Ku mengalir di lereng terjal deras kuat menyusur riam riak mengikis bebatuan menuju lembah. Kuat ganas dan liar kumengalir berkelok di sungai dangkal. Ku bertemu di ujung anak sungai, bersatu menyatu meluas, semakin luas dan semakin dalam ku semakin tenang. Bersama meluas menuju arah yang sama, bergerak menuju tempat yang rendah, menuju tempat yang lebih luas dalam satu kesatuan, menyatu dengan kesatuan takterbatas. Itulah yang kurindukan sungai dangkal berarus kuat. Sejak awal, sejak menyeruak ke permukaan tanah aku selalu mengguman, berteriak, atau kadang menangis pilu, hingga hal itu menjadi teman keseharian dalam perjalanan. Mungkin ini nyanyian, mungkin ini tangisan, mungkin ini sorak pembangkit semangat, atau bahkan ini merupakan doa, atau mantra yang selalu terucap untuk menjadi afirmasi.
Oh samudera terimalah sungai dangkal berarus kuat agar aku dapat menyatu dalam birumu. Telan aku dalam luas mu. gulung aku dalam pelukan gelombang, hempaskanlah aku ke karang tajam... tenggelamkan aku ke dasar, lontarkan aku ke permukaan bersama perbedaan kadar garam, mengembara mengikuti arah angin.
Kini ku tak tahu sampai di mana, tapi disekitarku terbentang luas, oh... Matahari.. angkatlah aku tubuh dan kutinggalkan beban garam, ke melayang pelan dan ringan... kuberkumpul dengan wujud lembut kapas putih bersatu dengan barisan awan. Dari waktu ke waktu kami berkumpul warna kami berangsur kelabu, semakin gelap dan semakin gelap.
Loncatan-loncatan bunga api menari kian kemari, di iringi dengan gemuruh gelegar, bahkan ledakan yang memekakkan telinga. Tarian geliat naga langit mengerang, bersama dengan tubuh berat awan hitam yang sudah tak mampu lagi menahan bebannya, ya... Awan hitam yang sarat akan hujan.
Awal dari kesedihan yang selalu berulang dan berulang dalam lingkaran siklus karma.... Aku di hempaskan lagi ke bumi.. kadang rinai... kadang terjurah lebat... harus kembali lagi mengulangi. Tanah kering yang haus dengan rakus menelanku ke dasar bumi tersimpan dalam kantong-kantong yang rapat, entah berapa lama lagi aku muncul di permukaan.
Ku menyatu terseret arus air bawah tanah, ku begerak terhisap ke dasar bumi, tergeser terhisap ditarik sulur-sulur akar pohon kehidupan. Entah berapa lama dan tertidur dalam lelap yang panjang.
Ku terjaga dan telah berada pada celah melingkar, dan kulihat di atas sana tampak cahaya matahari. Oh matahari... Tapi... Sebuah benda yang sering disebut ember atau timba turun... Dan mengangkatku... oh tidak... Tak berapa lama aku terpanggang dalam sebuah panci di dalam tungku... panasnya membuatku berkali kali terbentur di langit-langit tutup panci...
Tubuh fisikku semakin berat ketika harus melarutkan yang kukenal sebagai glukosa dan caffein... Oh... Tidak..... perjalananku akan lebih panjang.... Aku menjerit.... Aku masih harus melewati banyak pipa kapiler dalam tubuh manusia.... Dan.... Harus melewati kandung kemih... lalu aku tak tau akan menguap atau harus terbenam dalam septic tank. Ku berteriakkkkk.. menangis, mengucap doa dan mantra dengan putus asa...
Oh samudera terimalah sungai dangkal berarus kuat agar aku dapat menyatu dalam birumu... Telan aku dalam luas mu, gulung aku dalam pelukan gelombang, hempaskanlah aku ke karang tajam, tenggelamkan aku ke dasar, lontarkan aku ke permukaan bersama perbedaan kadar garam, perbedaan hangat dan dingin bawa aku mengembara mengikuti arah angin.
Lereng Merapi sisi Selatan , 01.30 WIB 12112005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar