Sabtu, 28 November 2015

Filosofi Riset Kependidikan (10): Komunitas Terpelajar dan Masyarakat Belajar

Artikel kali ini merupakan Review dari pemikiran Richard Pring pada Bab I, dan II (Lihat unggahan artikel sebelumnya), berbagai macam kritik ditujukan pada penelitian pendidikan, hingga banyak sekali penelitian yang ditolak karena buruknya kualitas penelitian-penelitian yang didanai pemerintah Inggris tersebut. Rangkuman permasalahan yang kemudian muncul dari hal di atas antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, pertanyaan penelitian tersebut kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat akademis dalam kaitannya dengan 'praktik pendidikan'. Sehingga kita perlu mengingatkan diri kita sendiri mengenai kompleksitas konsep pendidikan, khususnya sifat evaluatif dan pengembangan fokus penelitian, yaitu, promosi konsep pembelajaran, dipengaruhi oleh cara yang logis yang berbeda dengan konsep pembelajaran terstruktur. Teori-teori umum harus diwaspadai atau dengan kata lain hati-hati dalam mengadopsi teori-teori umum.

Kedua, “selera” terhadap metode penelitian, hal ini sangat beralasan, mungkin berasal karena ketidaktepatan dari adopsi konsep dan metode dari ilmu-ilmu sosial. Terdapat bahaya, ketiaka seorang peneliti kurang kritis terhadap model-model ilmu-ilmu sosial yang diadopsi, karena di bawah tuntutan kejelasan teoritis, seringkali mengabaikan berbagai yang mendasar dalam kajian dan konsep mengenai praktek pendidikan (pembelajaran di kelas). Richard Pring menekankan bahwa praktek mengajar tidak dapat dijadikan objek suatu ilmu.

Ketiga, bahasa penelitian, hal ini mencerminkan kepentingan dan kebutuhan pelaku yang mengelola sistem (para pemilik otoritas hasil penelitan). Penelitian kependidikan sering kali miskin definisi operasional, ataupun konsep-konsep dasar yang akan diteliti. Pada tingkat tertentu, hal semacam ini jauh lebih ketat daripada yang sering terjadi pada konsep dan ide-ide yang digunakan (kurang memperhatikan penggunaan bahasa yang bedasarkan kesepakatan konsensus) dan, pada tingkat lain, muncul permasalahan  filosofis karena ketidaktepatan penggunaan bahasa.

Kembali lagi ke Chicago, tempat di mana bab ini dimulai untuk menjadikan penelitian dan teori dengan tujuan tidak jelas, menjadi memiliki tujuan untuk menekankan pada praktek pendidikan yang merupakan tujuan dari masalah dalam berbagai hubungannya.Dan bagaimana dengan penelitian-penelitan apa yang tidak memiliki kontribusi dalam perkembangan pemahaman situasi publik, bagaimanapun darurat keadaan dan subjek tumbuh melalui berbagai macam kritik, baik itu guru, sebagaimana siswa dapat menunjukkan penyelesaian masalah dan hal ini mungkin akan memiliki kontribusi dalam kritik dan pengalaman sederhana? Saling keterkaitan antara praktek dengan teori seringkali memiliki kesenjangan, teori menjadi tidak relevan dengan praktik, serta praktik tidak dapat diambil sebagai pertimbangan teoritis. Mungkin ini adalah suatu pelajaran penting dari Chicago. 




Sumber:


Pring, Richard,
        2005, Philosophy of Educational Research (Second Edition), Continuum: London

Selasa, 24 November 2015

Filosofi Penelitian Kependidikan (9): Penelitian "Praktek Kependidikan"

Penelitian kependidikan tidak hanya merupakan objek kajian penelitian bidang ilmu kependidikan dan keguruan saja, karena banyak kita lihat, ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu non kependidikan mempunyai ketertarikan terhadap kajian pembelajaran (Belajar-Mengajar). Perguruan tinggi besar dan ternama seringkali melakukan penelitian dengan tema besar pembelajaran dan kependidikan.
Hal ini kemudian menjadi suatu permasalahan filosfis mendasar pada teknik pengumpulan data dan jenis data yang dikumpulkan. Mengapa demikian?! Richard Pring mengatakan bahwa sebagian besar dari para peneliti tersebut tidak melakukan pengamatan dan observasi secara langsung proses pembelajaran di dalam kelas. Mereka hanya menggunakan memperoleh data dari wawancara di luar kelas, ataupun angket yang diisi sendiri oleh responden, baik itu siswa ataupun guru. Dengan demikian, gambaran (deskripsi) situasi dalam kelas tidak dapat ditangkap dengan lebih terinci, termasuk gambaran mengenai interaksi antara guru dan siswa. Hal ini tidak dapat begitu saja diabaikan, karena dalam proses interaksi tersebut terdapat transaksi konseptual  materi antara guru dan siswa.
Penelitian kelas dalam ilmu kependidikan berbeda dengan penelitian lapangan dalam ilmu sosial. Dalam penelitian sosial, fenomena yang diamati merupakan masyarakat yang makjemuk dan sudah relatif dewasa. Jika kedua jenis penelitian ini rancu dalam penerapan konsep-konsep sosial dan konsep-konsep kependidikan/pedagogis, tentu saja hal ini akan memunculkan kerancuan dalam memandang interaksi subjek penelitian.Walaupun demikian secara umum harus diakui para praktisi pendidikan bahwa konsep belajar formal secara pedagogis, diterapkan dalam belajar mengajar dalam konteks kultural, tradisi, dan dinamis, tidak mungkin dapat dipandang sebagai konteks yang statis
Penelitian pendidikan dalam konteks sosial, Richard Pring merekomendasikan untuk menekankan pada dialog antar generasi- mengingat guru dan siswa berbeda generasi- dalam kontek sejarah, budaya, bahasa dan konteks sosial lainnya sehingga penelitian kependidikan ini lebih bermakna. Pring mengacu pada Carrs (1995), bahwa aktivitas dalam kelas dapat dipahami dari sudut pandang asli bidang kependidikan, dan hal ini tidak hanya merangkum apa yang harus dipelajari tetapi proses transmisi materi antara pengajar dan siswa.
Pemaparan pendapat Richard Pring tersebut mengacu pada banyak yang disiplin ilmu sosial dan humaniora yang memiliki ketertarikan untuk mengkaji masalah kependidikan dalam konteks yang lebih holistik, hanya saja Pring juga mengingatkan untuk tetap memperhatikan pengamatan praktis supaya dapat lebih dekat dan detail dapat menangkap interaksi guru dan murid dalam proses transaksi dan transfer konsep antar generasi. 

Sumber dan Referensi:

Carr, W.,
     1995, For Education, Buckingham: Open University.


Pring, Richard
     2005, Philosophy of Eduacional Research: Second Edition, London: Continuum 


Selasa, 22 September 2015

Filosofi Riset Kependidikan (8): Pengajaran sebagai Kunci dalam Pendidikan


Penelitian 'pengajaran’ mengalami masalah yang sama sebagaimana penelitian dalam pembelajaran - yaitu, perampingan konsep demi kesederhanaan, kemudahahan pengukuran. Reynolds (1998) dengan yakin mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat kerangka pengetahuan dalam pengajaran yang efektif sehingga memungkinkan kita untuk menyusun pedoman tentang pengajaran. Namun tanpa adanya niat untuk melakukan analisis mengenai hal-hal penting mengenai konsep pengajaran. Tindakan pengajaran  harus memenuhi syarat sebagai berikut, pertama, memiliki niat dan bertujuan untuk membawa pembelajaran, kedua, memperhitungkan karakteristik dan level para pelajar, dan, ketiga, siswa memiliki perhatian terhadap materi yang harus dipelajari.
Karakteristik materi pembelajaran menentukan bagaimana cara mengajar, kesiapan peserta didik juga perlu diperhatikan, jika hal ini diabaikan maka tindakan tersebut tidak bisa dikatakan pengajaran. Tentu saja, hal ini akan berimplikasi pada tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Selain itu, ketika siswa selalu gagal untuk belajar apa pun, maka mungkin guru belum benar-benar mengajar. Perkuliahan dengan membawakan topik ilmiah yang kompleks tanpa mempertimbangkan tingkat pemahaman audiens, hal ini pun  tidak dapat disebut sebagai pengajaran. Pengajaran merupakan usaha secara sadar untuk menjembatani kesenjangan antara keadaan pikiran pelajar dan subyek/pelajar (tingkat pengetahuan dan pemahaman publik), dan  keahlian guru seperti terletak pada kedua pemahaman tersebut.
Variasi pengajaran terdapat bermacam cara mengajar melalui contoh, melalui instruksi, melalui pertanyaan, melalui penataan ruang kelas dengan cara tertentu, melalui menyusun daftar bacaan, melalui mempersiapkan diskusi atau pemberian bahan pembelajaran, melalui penulisan buku teks, atau melalui mengatur macam tertentu pengalaman. Hal yang membuat kegiatan pengajaran menjadi beragam  adalah, pertama, niat untuk membawa pada proses pembelajaran; kedua, relevansi kegiatan tersebut pada materi yang akan dipelajari; dan, ketiga, relevansi kegiatan pada keadaan pemikiran dan motivasi peserta didik. Misalnya hubungan antara aktivitas pengajaran diklaim dan hasil belajar harus menjadi salah satu yang menghormati sifat yang yang harus dipelajari. Seorang guru tidak dapat dikatakan memberikan pengajaran/ mengajar ketika dia tidak memahami konsep dasar.
Penelitian pendidikan harus fokus -namun demikan tetap tidak eksklusif-, memperhatikan bagaimana interaksi antara guru dan pelajar dalam rangka mengembangkan kapasitas, keterampilan, pemahaman dan model apresiasi, dengan menghargai sudut pandang pelajar dalam melihat dunia. Nilai aktivitas tersebut terletak pada peningkatan kapasitas mengendalikan lingkungan fisik atau untuk memahami kekuatan sosial dan ekonomi. Kegiatan pembelajaran tertentu harus dilihat dalam konteks 'praktik pendidikan'yang lebih luas,  di mana tujuan dan nilai-nilai yang terkandung dapat dipahami.
Guru tidak bertindak sendiri. Mereka adalah bagian dari lembaga yang lebih besar, dan otoritas mereka diperoleh dari partisipasi mereka dalam institusi tersebut. Mereka adalah mediator budaya untuk tumbuh bersama pikiran pelajar. Kelas bukanlah disiapkan sebagai untuk mempromosikan pandangan pribadi, namun lebih pada  forum di mana terjadi pewarisan pemahaman  masyarakat  dan kemudian dikomunikasikan ke generasi berikutnya. Dengan demikian wacana pendidikan (yaitu,cara untuk membahas tentang praktek pendidikan) harus merangkul ini tujuan moral yang lebih luas di mana perkembangan suatu pribadi sebagai tujuan utamannya. Hal ini dinilai secara kompleks di mana pencapaian pembelajaran teraih. A fortiori, suatu wacana yang menghargai cara mengajar sebagai bagian penting dari prestasi belajar sebagai suatu pengantar ke dunia pengetahuan publik, kritik dan nilai-nilai.

Sumber:

Pring, Richard
     2005, Philosophy of Eduacional Research: Second Edition, London: Continuum  

Reynold, D
     1989, Teacher Effectiveness: Better Teacher, Better School, and Effect on Children.              
                Research intelligence, No. 66

Jumat, 18 September 2015

Filosofi Riset Kependidikan (7): Pembelajaran sebagai Konsep Kunci dalam Pendidikan



Pembelajaran
Fungsi utama pendidikan adalah membuka kemungkinkan orang muda untuk mempelajari segala sesuatu yang berharga dan signifikan. Hal ini kemudian harus menjadi fokus untuk menjelaskan hakikat penelitian pendidikan. Di sisi lain, kita belajar banyak mengenai berbagai macam hal dan perbedaan ini mempengaruhi sifat penelitian pembelajaran serta cara-cara yang harus dilakukan. Kita  belajar mengenai 'fakta', 'konsep', 'prinsip', 'keterampilan', 'sikap', 'kebiasaan', dan 'kompetensi'. Mereka belajar bagaimana melakukan berbagai hal (misalnya, bagaimana untuk terlibat dalam diskusi) serta sesuatu yang terjadi (misalnya, bahwa rumus kimia untuk air adalah H2O) atau untuk berperilaku tepat (misalnya, untuk bekerja secara kooperatif), atau menjadi seseorang (untuk Misalnya, orang yang memiliki karakter yang baik). Kompleksitas 'belajar' - memilih secara logis hal yang akan dipelajari - terlepas dari teori pembelajaran sederhana dan, dengan demikian, model pendidikan Penelitian yang tergantung pada teori-teori atau  terlalu mudah berhenti pada pengukuran atau tes.Dengan demikian, setelah dipelajari, maka akan diperoleh  penguasaan konsep yang akan digunakan. Namun konsep (cara menata pengalaman) tidak berdiri sendiri. Konsep memiliki lingkup dan pemaknaan yang hanya dapat dipahami dalam lingkup pemaknaan tersebut, apakah itu lingkup sains, ekonomi, atau apapun.Penguasaan konsep ditandai dengan mampu melihat suatu konsep dalam kaitannya dengan konsep lain, serta dapat meletakkan konsep tersebut dengan benar. Benar dalam hal ketika mampu meletakkan keterkaitan logis dari konsep melalui pengalaman yang terorganisir dalam cara tertentu. Untuk mempelajari subjek, sebagaimana pendapat Bruner (1960), yang telah menguasai kunci ide-ide dan keterkaitan  antar konsep melalui pengalaman dapat terorganisasikan (misalnya, dalam konsep pemahaman agama, 'Tuhan,' ibadah', 'doa ', 'dosa', 'penebusan'; dalam konteks mekanika klasik, 'kekuatan', 'energi', 'berat', dll).


Selain itu, ide-ide tersebut dapat dipahami pada berbagai tingkat 'representasi'. Belajar adalah usaha untuk'memahami', dan merupakan perjuangan untuk menangkap makna yang syarat ide atau konsep yang sebelumnya hanya setengah dipahami, dengan proses yang konstan semakin dalam dan akurat untuk menemukan batas yang jelas dalam suatu konsep.
Jika Pembelajaran adalah fokus utama penelitian pendidikan, maka penelitian harus diletakkan pada makna yang dipelajari dalam tingkatan yang berbeda sebagai suatu “representasi”, baik itu pada level pemaknaan, teori, penyajian fakta, ataukah hanya sebagai bentuk apresiasi.
Mempelajari ilmu pada dasar untuk menginternalisasi konsep-konsep yang relevan, bentuk-bentuk penilaian dan cara mempertanyakan. Untuk mendapatkan di jawaban dalam 'cara matematis” dapat menggunakan konsep-konsep tertentu – kemudian untuk menerapkannya benar baik dalam mengidentifikasi kasus-kasus tersebut dan menghubungkan dengan konsep-konsep matematika lainnya.
Belajar membutuhkan kebangkitan kesadaran ketika digunakan untuk melihat hal-hal yang berbeda,
melanjutkan dengan cara yang berbeda, dan memenuhi standar berpikir dan berperilaku. Selanjutnya, pembelajaran tersebut memerlukan kejujuran sebagaimana kepedulian terhadap kebenaran dan keterbukaan terhadap kritik.
Kesulitan melihat validitas penelitian pendidikan yang memiliki lingkup sempit dan merupakan jenis pembelajaran  yang berbeda baik cara ataupun karakteristik pada aktivitas kependidikan.
 Hal yang cukup riskan adalah ketika mengkaji mengenai 'masyarakat belajar/ learning society', sebagaimana yang memiliki tujuan peningkatan ekonomi,dalam istilah manajemen,  kemungkinan hal ini dilakukan dengan miskin ide-ide pembelajaran dan istilah pembelajaran, yang akan berakibat pada kegagalan dalam pemahaman arti yang disebabkan oleh perbedaan konsep, atau untuk memahami struktur logis dari suatu wacana, atau untuk merenungkan dan berupanya menemukan makna baru, atau untuk mencapai alternatif dan mendapatkan kesimpulan yang tidak populer.
Wacana 'masyarakat belajar/ learning society' sering melihat sesuatu secara berbeda. Tujuan yang tepat akan ditetapkan dan kemudian diterjemahkan ke dalam perilaku terukur, meskipun hubungan logis antara perilaku dan pemahaman sering  sulit untuk dijelaskan. Konten untuk dipelajari diresepkan meskipun hubungan antara yang konten dan struktur logis dari materi pelajaran tidak dibuat jelas. Kecepatan diatur untuk menutupi isi, seolah-olah tidak ada yang perlu waktu untuk merenungkan dan menyesuaikan. Sebuah titik awal yang diasumsikan tidak ada sudah kekayaan pemahaman yang diperoleh melalui yang penyaringan dan pembentukan pengalaman baru.
Singkatnya, penelitian pendidikan memunculkan makna pembelajaran. Hal ini membutuhkan analisis yang cermat dari banyak anekaragam pembelajaran. Kegagalan untuk melakukan hal itu melahirkan jenis penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran anak di sekolah atau jenis penelitian yang megkaji orang dewasa 'pembelajaran

Kamis, 17 September 2015

FILOSOFI RISET KEPENDIDIKAN (6): KONSEP-KONSEP KUNCI DALAM PENDIDIKAN


Artikel ini masih mengetengahkan pemikiran Richard Pring dalam tema besar mengenai filosofi riset pendidikan. Dalam mempelajari mengenai hal yang paling mendasar pada riset pendidikan, saya rasa saat ini sudah tiba pada pembahasan yang sangat penting, yaitu konsep-konsep kunci dalam pendidikan. Pring menyebutkan terdapat tiga konsep kunci dalam  pendidikan. Pertama, pengembangan pribadi dan kepribadian, kedua, pembelajaran, yang ketiga adalah pengajaran. Dalam pembahasan artikel ini hanya akan disajikan untuk bagian pertamanya saja yaitu Pengembangan pribadi dan kepribadian, sementara untuk yang kedua dan ketiga akan disajikan pada sambungan artikel berikutnya  di filosofi riset kependidikan yang ke (7) dan (8). Berikut ini adalah pembahasan pertama dan masih dengan penerjemahan yang masih sangat terbatas, dan akan terus diedit, sekirannya pembaca mengajukan perbaikan bahasa atau istilah, saya sangat berterimakasih dan itu juga merupakan hal yang saya harapkan.
   
Penelitian kependidikan memiliki tujuan untuk memberikan arti atau makna dari aktivitas, kebijakan, dan institusi melalui penataan pembelajaran, sehingga dapat membantu perubahan kapasitas seseorang untuk menjadi hidup lebih sempurna, dan kehidupan manusia menjadi lebih berkarakter. Penelitian perlu untuk hadir untuk mengungkap karakter dari manusia sebagai menjadi suatu pribadi dan menjadi seseorang yang lebih berkembang dan memiliki arti. Untuk mencapai hal ini perlu dipahami mengenai “apa” dan “bagaimana” pembelajaran mengembangkan kapasitas manusia berkarakter, serta untuk memperoleh pemahaman ini bukanlah hal yang sederhana. Hal ini harus dianalisis dengan cermat. Dan “pengajaran“ fortiori (meyakinkan), akan mencerminkan kompleksitasnya.

Pengembangan pribadi dan kepribadian
        Pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kualitas dan kapasitas karakter manusia, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman. Kemudian, apa yang dimaksud dengan kualitas dan kapasitas yang kemudian terkait dengan pembentukan karakter menjadi seseorang?
Pertama, konsep pribadi merupakan suatu kesatuan dari kesadaran, sebagai kapasitas untuk kemampuan memaknai pengalaman dunia, dan bukan hanya untuk mengalami dalam interaksi secara fisik. Kesadaran tersebut disusun dari berbagai pemahaman. Hal ini dapat semakin disempurnakan melalui pembelajaran. Memang, pendidikan bertujuan untuk memperkenalkan supaya pikiran dapat tumbuh sehingga bentuk pemahaman dapat merubah ke arah yang lebih luas dan kompleks mengenai dunia.
Kedua, salah satu aspek mengenai pemahaman tentang dunia adalah pengakuan dari orang lain sebagai pribadi -yaitu, sebagai pusat kesadaran pada hak asasi mereka sendiri dengan kapasitas untuk berpikir, merasa dan mengalami dengan jelas pikiran-pikiran. Hal itu adalah kepemilikan kapasitas, juga, untuk merenungkan diri sendiri (refleksi sebagai) sebagai pribadi - mampu memiliki pikiran dan sudut pandang sendiri.
Ketiga, seseorang dengan pemahaman, seperti memiliki kapasitas untuk berhubungan dengan orang lain dengan cara yang khas - tidak hanya sebagai salah satu objek fisik lain tapi sebagai salah satu pusat kesadaran yang lain. Orang berbagi dunia makna, bukan hanya dunia fisik ruang dan waktu.
Keempat, pribadi yang berbagi pemahaman secara praktis antara satu dengan lainnya, mengenai apa yang harus dilakukan dan untuk saling membantu. Kesepakatan tersebut dianggap bahwa seseorang dapat melakukan kontrol atas kehidupan sendiri dan satu yang dapat bertindak secara otonom, tidak menjadi benar-benar di bawah kekuasaan orang lain atau dari kekuatan alam.
Kelima, bagaimanapun, kualitas kehidupan pribadi tergantung pada hubungan sosial dan pengaturan kelembagaan yang mendukung mereka. Tapi ini jaringan sosial dan pengaturan kelembagaan, sangat penting dalam membentuk diri sebagai pribadi, adalah produk dari usaha manusia. Tanggung jawab untuk hidup sendiri meluas ke tanggung jawab konteks sosial yang hidup, dan yang membutuhkan disposisi, keterampilan dan pengetahuan untuk mengambil bagian aktif. Dalam hal ini, orang-orang adalah hewan politik - yang mampu membentuk lingkungan sosial yang mempengaruhi mendalam kualitas hidup.
Keenam, oleh karena itu, 'pribadi' adalah sebuah konsep moral dalam dua pengertian. Di satu sisi, itu berarti kapasitas untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan sendiri dan kehidupan sendiri seseorang. Di sisi lain, hal ini menunjukkan keinginan yang begitu diperlakukan - sedang diberi  kesempatan untuk mengambil tanggung jawab itu dan menghormati itu pada orang lain. Untuk sepenuhnya seseorang untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukan dan harus diperlakukan seolah-olah satu bertanggung jawab. Hal ini tercermin dalam prinsip-prinsip moral 'menghormati orang' dan di klaim moral untuk diperlakukan dengan rasa harga diri.
Proses pembentukan karakter (karakterisasi) menjadi pribadi didasari berbagai hal, meskipun saling terkait, kapasitas yang mungkin atau  tidak diaktualisasikan melalui praktek pendidikan - kemampuan untuk berpikir dan merasakan, melihat orang lain sebagai pribadi dan untuk berhubungan dengan mereka, untuk menyadari diri sebagai pribadi, untuk terlibat dalam kesepakatan moral yang penting untuk pembuangan tanggung jawab itu, untuk memiliki cita-cita yang mengangkat dan memotivasi. Tapi ada hambatan dalam berlatih -ketidakpedulian, keyakinan yang salah, kurangnya harga diri, iri hati dan kebencian terhadap orang lain, tidak adanya keterampilan sosial, serta kurangnya cakrawala pengetahuan  untuk memandu pembahasan. Selain itu terjadi  kebosanan, atau dengan kata lain kegagalan untuk menarik minat pada hal-hal di sekitar, yang membuat tidak berlakunya kapasitas karakter manusia.
        Latihan dalam membentuk kapasitas mereka tergantung pada proses pembelajaran. Kebodohan dan ketidakberdayaan akan masih tetap ada, kecuali melalui pembelajaran, sebagai salah satu memperoleh konsep dan pengetahuan yang kemudian menghilangkan kebodohan yang  memungkinkan seseorang untuk memahami diri sendiri dan orang lain, serta kewajiban dan tanggung jawab seseorang. Belajar adalah penting untuk menjadi pribadi sepenuhnya. Melalui belajar satu merangkul cita-cita yang memuliakan dan memotivasi, dengan standar memungkinkan untuk mengevaluasi kinerja sendiri dan orang lain. Remaja, khususnya, adalah periode di mana orang-orang muda mencari untuk menemukan identitas karakter mereka - menjadi pribadi yang seperti mereka inginkan, cita-cita yang layak diperjuangkan, keinginan untuk dihargai, bakat yang perlu dikembangkan, jenis hubungan di mana mereka akan menemukan penyempurnaan, gaya hidup yang ingin diraih.

Setiap orang membutuhkan teladan (idola), yang semuanya tergantung pada pembelajaran: pengetahuan dan pemahaman: konsep, bentuk-bentuk pikiran, keyakinan, yang dapat memahami dunia dan beroperasi secara cerdas di dalamnya; kebajikan intelektual: kejujuran, "tidak memasak buku", menguji dan berbagi keyakinan, keterbukaan terhadap ide-ide baru - tetapi juga skeptis terhadap klaim yang belum teruji; imajinasi: berpikir lateral, pemecahan masalah, berpikir di luar yang diberikan, membuat hubungan antara masa sekarang dan masa lalu, kembali menafsirkan pengalaman dalam terang pengalaman sebelumnya;keterampilan intelektual: keterampilan penyelidikan (apakah ilmiah di laboratorium, moral dalam memotong dan dorong diskusi, atau sosial dalam melakukan penyelidikan), penalaran, argumen marshalling, dari mengumpulkan bukti-bukti, berkomunikasi hasil; refleksi diri: termasuk pengembangan pengetahuan diri; kebajikan moral dan kebiasaan: seperti kebaikan, kemurahan hati, peduli lingkungan, kepekaan terhadap orang lain, rendah hati dalam menghadapi kesuksesan, keberanian dalam menghadapi bahaya, loyalitas kepada teman – disposisi yang mewujudkan cita-cita bagaimana hidup harus dijalani; keterlibatan sosial dan politik: kapasitas untuk berpartisipasi dalam dan untuk mempengaruhi kegiatan sosial yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang; integritas dan keaslian: kapasitas, di tengah tuntutan yang berbeda pada kesetiaan seseorang, untuk mencari apa yang benar dan tekun dalam kesulitan - tidak terpengaruh oleh mode atau popularitas.
Pendidikan menggabungkan nilai-nilai yang dihubungkan dengan pembentukan pribadi dalam arti luas ini. Tapi formasi yang akan dipahami dalam tradisi moral yang berbeda dan bersaing. Oleh karena itu, dalam menghargai peserta didik sebagai pribadi (dalam menhargaii integritas dan keaslian) seseorang harus memberi mereka kredit untuk pencarian pribadi untuk kehidupan yang bermakna dan signifikan dalam berbagai kemungkinan. Untuk Terlibat dalam pencarian ini - untuk menjadi otentik sebagai lawan mengambil melewati mode papan - adalah tugas yang menakutkan dan sering menyakitkan. Ini berarti sering melanggar dengan loyalitas dan pandangan dihargai. Tapi itu adalah bagian dari keseriusan hidup. Dan keseriusan yang tidak berarti terbatas pada akademis mampu. Maupuntidak tergantung pada keunggulan intelektual. Itu terletak di belakang suara banyak yang hanya ingin dianggap serius. Dalam hal itu, sebagaimana Charles Taylor mengacu pada 'cakrawala signifikansi' di mana setiap ingin mengetahui dan menilai sesuatu dengan cara tertentu. Memiliki wawasan moral merupakan hal penting untuk pertimbangan dan pilihan-pilihan atas bagaimana untuk hidup masa depan seseorang. Dia berpendapat 
"Mungkin cara terbaik untuk melihat hal ini adalah fokus pada masalah yang biasa kita gambarkan hari ini sebagai pertanyaan mengenai identitas (identifikasi). Kita berbicara tentang suatu hal karena pertanyaan yang sering diutarakan secara spontan oleh orang-orang dalam bentuk: Siapakah aku? Tapi ini belum tentu bisa menjawab dengan memberikan nama dan silsilah. Apa menjawab pertanyaan ini bagi kita adalah pemahaman tentang apa yang adalah sangat penting bagi kami. Untuk mengetahui siapa saya adalah spesies yang tahu di mana aku berdiri. Identitas saya didefinisikan oleh komitmen dan identifikasi yang menyediakan frame atau cakrawala di mana saya bisa mencoba untuk menentukan dari kasus ke kasus apa yang baik, atau berharga, atau apa yang harus dilakukan, atau apa yang saya mendukung atau menentang. Dengan kata lain, itu adalah cakrawala di mana saya mampu mengambil sikap. (Taylor, 1989, hal. 27) 
Upaya melakukan identifikasi diri bertahap ini titik awal dan inti dari pendidikan, dan tentu saja setiap pribadi akan bervariasi dalam mengidentifikasi dirinya. Namun hal ini memiliki implikasi dalam praktek pendidikan dan untuk sifat interaksi antara guru dan pelajar yang dieksplorasi (secara kritis dan jelas mengenai apa yang orang lain katakan melalui literatur, drama, dan sebagainya) cita-cita layak, kapasitas seperti apa yang harus dikembangkan, ingin menjadi pribadi yang seperti apa kemudian,  standar terhadap yang kinerja harus dinilai. Tetapi tidak penelitian, menggunakan istilah-istilah yang berbeda dan berpartisipasi dalam bentuk yang berbeda dari wacana. Karena jika memaksakan perbedaan, tentu mengabaikan ini karakter dasarnya moral pendidikan.
 

Untuk sekian kali, dalam suatu pendidikan, pengembangan pribadi, refleksi (evaluasi diri) adalah hal yang paling penting sebagai batu pijakan pertama, dan yang tersulit untuk menjalani hal ini, adalah keberanian untuk jujur pada diri sendiri.

Referensi

Pring, Richard,
             2005, Philosopy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum
 
Taylor, Charles,
            1989. Source of Self. Cambrige: Cambrige University Press