Senin, 25 Desember 2017

Pembentukan Budaya Sekolah (3): Budaya Sekolah dan Warisannya




Konsep sekolah diklasifikasikan dalam budaya-budaya yang sesungguhnya bukan merupakan suatu hal yang baru. Willard Waller telah menuliskan pada tahun 1932: ‘‘Sekolah memiliki suatu budaya yang didefinisikan oleh mereka sendiri. Di suatu sekolah terdapat ritual yang kompleks dalam kaitannya dengan hubungan personal, seperangkat tata cara, adat, bahkan sanksi-sanksi yang irasional, di mana kode etik yang digunakan sebagai dasarnya. Terdapat berbagai permainan di mana hal tersebut  merupakan bentuk dari peperangan samar-samar, kelompok- kelompok, dan seperangkat  detail seremoni. Tradisi dan pelaku tradisionalis mengerahkan banyak hal untuk mempertahankan tradisi lama untuk memerangi para innovator atau pembaharu (p. 96). Observasi-observasi yang dilakukannya masih relevan sampai hari ini.

Para orang tua, guru, kepala sekolah dan siswa selalu dirasa sebagai sesuatu special, dan belum dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang sangat kuat namun begitu sulit untuk digambarkan. Hal ini tidak akan berlangsung lama, dan diambil begitu saja dari aspek-aspek di sekolah yang sering kali nampak dan merupakan suatu konsekuensi. Hal ini hampir selalu tidak pernah terbahas dalam diskusi-diskusi mengenai pengembangan sekolah.
Istilah-istilah seperti iklim dan etos yang seringkali terdengar selama satu dekade terakhir seringkali digunakan untuk menangkap makna suatu daya yang kuat, meluas, dan terkenal sulit dipahami. Kita yakin bahwa istilah budaya menyediakan cara-cara yang menarik secara intuitif dan akurat untuk membantu para pimpinan sekolah memahami aturan-aturan tak tertulis, tradisi, norma, ataupun harapan atau cita-cita.
Pola-pola yang tidak formal dan samar tampaknya menembus segala sesuatu, seperti: cara bertindak, bagaimana berpakaian, apa yang mereka bicarakan, atau pertimbangkan tabu, apakah mereka mencari rekan kerja atau mengisolasi diri, dan bagaimana perasaan guru tentang pekerjaan dan murid mereka. Di balik kesadaran, kita menyadari kehidupan sehari-hari di sekolah, dengan berbagai gagasan, pemikiran dan aktivitas. Arus bawah tanah dari perasaan dan menghalangi jalannya, memberi isyarat dan tanda, program, serta gagasan tentang tujuan-tujuan yang seringkali tidak tertulis: ''Arus keyakinan dan asumsi yang tak kasat mata, telah mengambil alih makna pada apa yang orang katakan dan lakukan. Hal ini membentuk penafsiran ratusan transaksi harian. Struktur kehidupan yang lebih dalam pada organisasi tercermin dan ditransmisikan melalui bahasa simbolis dan tindakan ekspresif. Budaya tersebut terdiri dari makna sosial yang stabil dan mendasar yang membentuk kepercayaan dan perilaku dari waktu ke waktu '' (Deal & Peterson, 1990, hal 7).

Konsep budaya memiliki sejarah panjang sebagai salah satu sudut pandang untuk melakukan eksplorasi perilaku antar kelompok manusia. Antropolog yang pertama kali mengembangkan konsep tersebut untuk menjelaskan berbagai perbedaan antara cara-cara unik, yang dimiliki semua jenis suku, masyarakat, dan kelompok nasional atau etnis. Kemudian, ilmuwan sosial lainnya menerapkan konsep tersebut pada pola perilaku dan pemikiran di tempat kerja. Organisasi formal memiliki identitas yang dapat dibedakan secara jelas yang terwujud dalam pandangan, tindakan, dan kebiasaan anggota organisasi. Konsep budaya membantu kita memahami pola-pola tersebut -bagaimana jadinya dan bagaimana pengaruhnya terhadap kinerja.

Dari sekian banyak konsep budaya yang berbeda, tidak satu pun yang diterima secara universal sebagai satu definisi terbaik. Seorang sarjana mendefinisikan budaya sebagai jaringan yang penting dimana kita semua terjerat di dalamnya (Geertz, 1973). Yang lain mendefinisikannya sebagai kepercayaan dan nilai bersama yang erat merajut sebuah komunitas bersama-sama (Deal & Kennedy, 1982). Hal lain menunjukkan bahwa budaya adalah '' cara kita melakukan sesuatu di sekitar sini '' (Bower, 1966).

Schein (1985) memberikan definisi yang komprehensif, ia menyebutnya sebagai pola asumsi dasar -dikumpulkan, ditemukan, atau disusun oleh kelompok tertentu dari proses belajar mengatasi masalah... yang berfungsi dan berguna dan dianggap sah, dan oleh karena itu, diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk merasakan, memikirkan, dan merasakan dalam kaitannya dengan masalah itu '' (halaman 9). Dia memandang pembentukan budaya sebagai salah satu hal terpenting yang harus diperhatikan oleh setiap pemimpin.

Entitas simbolik yang kompleks tidak berkembang hanya dalam waktu semalam. Budaya sekolah adalah kumpulan tradisi dan ritual yang kompleks yang dibangun dari waktu ke waktu seiring guru, siswa, orang tua, dan administrator bekerja sama dan menghadapi krisis, dan prestasi (Schein, 1985; Deal & Peterson, 1990). Pola budaya sangat bertahan lama, memiliki dampak yang kuat terhadap kinerja, dan membentuk cara orang berpikir, bertindak, dan merasa. Semua ini memiliki segala arti penting dalam organisasi yang dipengaruhi oleh budaya, bentuk, dan fiturnya.



Referensi

Bower, M. (1966). Will to manage. New York: McGraw-Hill.

Deal, T. E., & Kennedy, A. A. (1982). Corporate cultures: The rites and rituals of corporate life. Reading, MA: Addison-Wesley.

Deal, T. E., & Peterson, K. D. (1990). The principal’s role in shaping school culture. Washington, D.C.: U.S. Department of Education.

Geertz, C. M. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Schein, E. H. (1985). Organizational culture and leadership (1st ed.). San Francisco: Jossey-Bass.

Waller, W. (1932). The sociology of teaching. New York: Wiley.