Senin, 31 Oktober 2016

Panduan Lapangan Pembentukan Budaya Sekolah: Pentingnya Budaya (2)

Begitu besar perhatian saat ini untuk mengembangan sekolah untuk menjadi lebih baik. Penyusun kebijakan ingin memahami mengapa kita tidak mencapai perubahan dengan proses yang cepat dan lebih responsif terhadap kebutuhan belajar siswa. Jawaban yang paling disukai adalah dengan memperketat struktur dan meningkatkan akuntabilitas, memperkuat standar kurikulum, tes prestasi siswa, dan memberikan penghargaan kepada sekolah-sekolah yang mengukur dan melaksanakan sanksi bagi yang belum berhasil. Dalam jangka pendek, solusi tersebut dapat mendorong sekolah untuk melakukan perubahan mengembangkan batasan praktis dan meningkatkan skor tes. Dalam jangka panjang, tuntutan eksternal seperti tidak akan pernah menandingi kekuatan harapan, motivasi, dan nilai-nilai budaya.

Pada tingkatan yang dalam, segala bagian dalam lembaga, terutama sekolah sebagai lembaga pendidikan, mengngembangkan peforma dengan dukungan pengembangan yang dibagikan dan digunakan bersama dalam sistem norma, tata cara, nila-nilai, dan tradisi. Ini menanamkan tekad, tujuan, dan semangat secara gigih. Tanpa budaya positif yang tangguh, tidak mustahil sekolah akan menggelepatr sekarat dan kemudian mati. Budaya sekolah atau wilayah tertentu mempresentasikan peran sentral dalam kinerja akan menjadi percontohan yang patut diteladani.

Hal itu sama dalam konteks tempat yang berbeda. Apakah itu kedai kopi Starbucks atau Toko Serba Ada Nordstrom, orang-orang akan dengan bersemangat menceritakan seperangkat nilai-nilai, norma, dan tradisi yang memiliki makna yang mendalam.

Kunci untuk menjadi sukses dalam peforma merupakan inti dan roh yang tertanam dalam hubungan interaktif di antara masyarakat, mereka mengupayakan untuk melayani semua siswa, berbagi rasa tanggung jawab untuk belajar. Tanpa pelestarian inti dan semangat secara kultural, sekolah akan menjadi pabrik jiwa dan cita-cita.

Kuatnya budaya sekolah yang positif tidak hanya terjadi begitu saja. Hal ini dibangun dari waktu ke waktu oleh mereka yang bekerja di dan menghadiri sekolah dan oleh para pemimpin formal dan informal yang mendorong dan memperkuat nilai-nilai dan tradisi sekolah tersebut. Banyak sekolah yang lembek dengan budaya lemah atau tidak fokus, karena kekurangan secara kepemimpinan dan kurangnya perhatian. Namun demikian terdapak banyak sekolah lain yang berkembang karena ketangguhan, semangat budayanya. Hal ini didukung dan terpelihara oleh koordinator guru dan kepala sekolah yang secara sadar atau tidak sadar memperkuat serta bertindak dan bersikap yang terbaik untuk staff dan sekolah tersebut. Jenis pertama sekolah yang hampir tidak selamat; yang terakhir sekolah tersebut kaya akan tujuan dan berlimpah dalam tradisi dan makna.

Pusat perhatian di sini adalah pengembangan sekolah yang bermakna dan produktif. Pemimpin harus membentuk dan memelihara budaya di mana setiap guru memungkinkan untuk memiliki perbedaan dan setiap anak dapat belajar dengan penuh semangat dan komitmen untuk merancang serta mempromosikan sebaik mungkin, dengan hakekat budayanya, kiprah di masyarakat bukan hanya jargon dan semboyan, serta janji untuk kemudahan dalam kelulusan.

Apa Pengertian Budaya Sekolah?
Catatan yang dapat dikumpulkan mengenai konsep budaya sekolah, sejauh ini akan dipaparkan dari mulai yang paling tua hingga yang terbaru. Pengertian atau konsep ini muncul pertama kali pada 1932, yang sebutkan oleh seorang sosiolog pendidikan Willard Waller (1932), yang berpendapat bahwa setiap sekolah memiliki budayanya sendiri, dengan seperangkat ritual dan tata cara, serta kode etik/moral yang membentuk perilaku dan interaksi sosial dalam sekolah tersebut. Para orang tua dan siswa pada umumnya telah mengetahui keistimewaan khusus dari sekolah.

Siswa atau pelajar yang bersekolah ke sekolah tertentu, mereka akan dengan segera dapat mengambil dan melakukan internalisasi, yaitu yang mereka lakukan untuk menjadi salah satu bagian dari penyatuan di sekolah tersebut. Mereka mengetahui perbedaan cara baik atau buruk –sesuatu yang lebih dari sekedar aturan atau prosedur.

Anggota staff yang baru saja bekerja di sebuah sekolah juga dapat mengadopsi budaya sekolah. Mereka secara sadar ataupun secara intuitif mulai melakukan interpretasi terhadap aturan-aturan tak tertulis, harapan yang tersirat, bahkan tata-cara tersebunyi (underground folkways). Pada waktu pertama kali seorang guru Dalam satu jam pertama dari penugasan baru, guru mulai menyaring “lumpur” yang ada dalam harapan, norma, dan ritual belajar untuk benar-benar diterima menjadi bagian dari sekolah.

Budaya ini juga tertanam dalam jaringan budaya informal. anggota staf sering mengambil peran dalam jaringan tersebut. Hampir setiap sekolah memiliki sekumpulan dari pemelihara nilai-nilai yang mensosialisasikan orang yang baru saja direkrut, dengan menggunakan gosip sebagai nformasi, ataupun pendongeng yang memiliki pengetahuan sejarah dan hidup, serta pahlawan yang bertindak sebagai teladan dari nilai-nilai inti yang ada di sekolah tersebut. Sebaliknya, terdapat pula budaya beracun di mana seseorang sering sering menemukan "pemelihara mimpi buruk" yang mengabadikan segala sesuatu yang kacau, para pembawa rumor yang menyebarkan gosip permusuhan, pendongeng negatif yang melestarikan sejarah pesimistik, anti-kepahlawanan yang cukup berbahaya, dan lain-lain yang dapat menghancurkan energi positif untuk prestasi (kesepakatan dan Peterson, 1999).

Bagi beberapa pendidik, istilah etos dan iklim yang digunakan untuk menyusun atau menata berbagai fenomena budaya sekolah tersebut. Iklim di sini diartikan sebagai perasaan dan mewarnai dan kontemporer, keterkaitan perasaan moral pada tempat tersebut.

Kami percaya bahwa pengertian budaya merupakan terbaik menunjukkan unsur-unsur yang kompleks dari nilai, tradisi, bahasa, dan tujuan yang sedikit lebih baik yang akan digunakan pada buku ini. Budaya terdapat dalam unsur-unsur yang lebih mendalam dari sekolah: baik aturan tidak tertulis dan asumsi, kombinasi ritual dan tradisi, susunan simbol dan artefak, bahasa khusus dan ungkapan yang digunakan oleh staf dan siswa, harapan terhadap perubahan dan pembelajaran yang menjenuhkan dunia sekolah.

Dari Mana Asal Budaya?
Di balik kenampakan kehidupan sehari-hari, sekolah bagai sungai bawah tanah dari sekumpulan perasaan, tata cara, norma, dan nilai-nilai yang mempengaruhi bagaimana orang menjalani pekerjaan mereka sehari-hari. Hal ini diambil begitu saja sebagai seperangkat harapan mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir, berperasaan, dan bertindak. Hal Ini merupakan bentuk tentang cara menafsirkan ratusan interaksi sehari-hari dalam menjalani kehidupan pada pekerjaan mereka serta memaknai tujuan dalam interaksi, kegiatan, dan bekerja (Deal dan Peterson, 1999).
 
Dari mana aspek sekolah berasal? Seiring dengan waktu, semua sekolah mengembangkan kepribadian yang unik dan dibangun sebagaiman seseorang memecahkan masalah, mengatasi tragedi, dan merayakan keberhasilan (Schein, 1985). Kepribadian, atau budaya, diwujudkan dalam pola masyarakat yang dapat dilihat dari perilaku, peta mental, dan norma-norma sosial. suatu cara sederhana yang digunakan untuk berpikir tentang budaya adalah "cara kita melakukan hal-hal di sekitar sekolah" (Bower, 1966).

Mengapa Budaya Penting?
Hal yang tak tertulis dari harapan-harapan ditemukan pada pengaruh budaya yang hampir semuanya terjadi di semua aspek kehidupan. Budaya mempengaruhi dan membentuk guru, siswa, dan juga administrator berfikir, merasakan, dan bertindak. Sebagai contoh aspek-aspek harapan-harapan sosial dan nilai-nilai staff di suatu sekolah, antara lain adalah sebagai berikut:
  • Apakah mereka berpikir bahwa pengembangan adalah hal yang penting
  • Bagaimana membuat mereka ter motivasi untuk bekerja keras. 
  • Apa yang mereka rasakan ketika para siswa tidak menunjukkan hal-hal yang terbaik
  • Bagaimana mereka bertindak di ruangan sekolah, tempat istirahat, dan pada pertemuan fakultas.
  • Bagaimana mereka berpakaian untuk undangan acara yang berbeda.
  • Apa yang mereka bicarakan di ruang publik ataupun secara pribadi.
  • Seberapa jauh dukungan yang mereka berikan untuk rekan kerja yang inovatif
  • Siapa yang mereka temui untuk mendapatkan ide ataupun bantuan. Bagaimana perasaan mereka terhadap rekan kerja dan siswa-siswa mereka yang berbeda.
  • Apakah mereka percaya bahwa siswa mereka belajar.
  • Apakah mereka berasumsi bahwa kapasitas siswa ditentukan oleh latar belakang mereka.
  • Sejauh mana pembelajaran siswa tergantung pada pengajaran dan kurikulum.
  • Apakah mereka percaya bahwa kolaborasi dan kerja tim merupakan sesuatu yang baik
  • Apakah standar penilaian secara potensial berguna.
  • Apakah mereka melihat pekerjaan sehari-hari merupakan panggilan ataukah tugas.
Setiap aspek pada sekolah berwujud, dibentuk, dan terbentuk oleh unsur-unsur simbolik yang mendasarinya. Meskipun tidak semua aspek budaya dengan mudah dibentuk oleh para pemimpin, dari waktu ke waktu, kepemimpinan dapat memiliki pengaruh yang kuat pada muncul pola budaya. Menjadi reflektif dapat membantu memperkuat pola budaya yang positif dan mengubah berbagai hal yang negatif atau beracun.
 
Budaya adalah jaring-jaring makna yang kuat dari ritual dan tradisi, norma, dan nilai-nilai yang mempengaruhi setiap sudut kehidupan sekolah. Budaya sekolah mempengaruhi apa yang orang memperhatikan (fokus), bagaimana mereka mengidentifikasi dengan sekolah (komitmen), seberapa keras mereka bekerja (motivasi), dan sejauh mana mereka mencapai tujuan mereka (produktivitas) (kesepakatan dan Peterson, 1999).

Budaya suatu sekolah mempertajam fokus perilaku sehari-hari dan peningkatan perhatian pada hal yang penting dan berharga. Jika suatu sekolah yang terkenal di cabang olahraga atletik misalnya, norma-norma dan nilai-nilai yang mendasari akan mendukung dan memperkuat atletik, maka sekolah akan fokus pada hal tersebut. Ataupun misalnya, dalam satu sekolah, mereka memiliki nilai lebihpada sebuah tim sepak bola. Sekolah membangun stadion baru dengan biaya lima kali dari anggaran perpustakaan baru. Sebaliknya, di sebuah sekolah dasar di Midwest, yang memiliki keunggulan nilai pada sistem pelayanan kebutuhan akademik semua siswa, maka sekolah terfokus waktu, tenaga, dan sumberdaya dan kurikulum, selain itu juga pada strategi pembelajaran yang membantu semua siswa menjadi pembaca yang baik. Jika budaya mendukung siswa belajar, maka hal ini lah yang akan mendorong perhatian orang pada sekolah. Budaya di sini dapat mempertajam fokus.

Budaya sekolah membangun komitmen dan identitas dengan nilai-nilai inti. Misalnya, dalam satu sekolah, guru baru terhalang mengidentifikasi diri dengan sekolah oleh staff lama dengan menceritakan kisah-kisah kepemimpinan yang buruk dan bermusuhan orangtua. Dengan demikian, maka staf baru terntu saja akan hanya sedikit memegang komitmen pada sekolah dan datang terlambat dan pulang lebih awal. Sementara di sekolah lain, staf merasa bahwa mereka adalah anggota dari komunitas profesional, dan bahkan ketika mereka menawarkan gaji yang lebih tinggi dan peluang baru di tempat lain, mereka menolak untuk meninggalkan. Jika ritual dan tradisi, upacara dan perayaan membangun rasa kebersamaan, staf, siswa, dan masyarakat akan mengidentifikasi dengan sekolah, dan merasa berkomitmen untuk tujuan dan hubungan sana.

Budaya membangun komitmen. Budaya sekolah menguatkan motivasi. Ketika sekolah mengakui berbagai prestasi, nilai upaya, dan mendukung komitmen, maka staf dan siswa juga akan merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras, inovatif, dan mendukung percepatan perubahan. Di suatu sekolah di mana tidak memiliki rasa akan kejelasan tujuan, kurangnya visi yang menginspirasi, dan kurangnya penghargaan terhadap prestasi, maka staf pun menunjukkan sedikit energi selama untuk merancang dan merencanakan berbagai program. Hal Ini tidak berbeda kasus dengan di sekolah Louisiana di mana anggota staf saling mengunjungi kelas satu sama lain secara teratur, berbagi bahan materi ajar, dan ide kurikulum, saling menghargai ide-ide baru dan prestasi satu sama lain bahkan hal tersebut dikembangkan hingga penyelenggaraan konferensi regional tentang inovasi praktek mengajar. Mereka termotivasi bukan karena hal tersebut bagian dari tugas atau kontrak kerja mereka tetapi lebih karena mereka keinginan. Budaya seperti inilah yang menguatkan motivasi.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa budaya sekolah dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas sekolah. Guru dan siswa lebih memungkinkan untuk berhasil dalam budaya yang menumbuhkan kerja keras, komitmen untuk penghargaan, perhatian terhadap pemecahan masalah, dan fokus pada belajar bagi semua siswa. Sebaliknya di sekolah dengan budaya yang negatif atau atau menyedihkan, staf yang memiliki baik tujuan baik, akan ter fragmentasi atau bahkan menjadi samasekali sama sekali tidak memiliki komitmen, merasa tidak ada rasa komitmen terhadap misi sekolah, dan memiliki sedikit motivasi untuk meningkatkan, yang disebabkan kurang dukungan, bahkan mungkin ketiadaan apresiasi. Di banyak sekolah dengan budaya profesional yang kuat, staf berbagi norma- norma kolegialitas yang kuat, dan segala hal dalam rangka perbaikan, siswa lebih mudah dalam menyerap nilai-nilai/norma pembelajaran secara pribadi, dan menganggap semua anak dapat belajar, jika mereka -guru dan staf- menemukan kurikulum dan strategi pembelajaran strategi yang sesuai. Di sekolah tersebut, budaya sekolah memperkuat pemecahan masalah pemecahan, perencanaan, dan pengambilan keputusan berbasis data secara kolaboratif. Positif, profesional budaya produktivitas yang saling mengasuh.

Referensi :

Bower, M.Will to Manage. New York:McGraw-Hill, 1996.

Clark, B. “The Organizational Saga in Higher Education.” Administrative Science Quarterly,
1972, 17, 178–184.

Deal, T. E., and Kennedy, A. A. Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life.
Reading,Mass.: Addison-Wesley, 1982.

Deal, T. E., and Key, M. K. Corporate Celebration: Play, Purpose, and Profit at Work. San
Francisco: Berrett-Koehler, 1998.

Deal, T. E., and Peterson, K. D. The Leadership Paradox: Balancing Logic and Artistry in
Schools. San Francisco: Jossey-Bass, 1994.

Deal, T. E., and Peterson, K. D. Shaping School Culture: The Heart of Leadership. San Francisco: Jossey-Bass, 1999.

Gordon,W. J. Synectics: The Development of Creative Capacity. New York: Collier Books,
1961.

Kouzes, J. M., and Posner, B. Z. Encouraging the Heart: A Leader’s Guide to Rewarding and
Recognizing Others. San Francisco: Jossey-Bass, 1999.

Kübler-Ross, E. On Death and Dying. New York:Macmillan, 1969.

Ott, J. S. The Organizational Perspective. Pacific Grove, Calif.: Brooks/Cole, 1989.

Schein, E. H. Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey-Bass, 1985.

Waller,W. The Sociology of Teaching. New York:Wiley, 1932.

Jumat, 28 Oktober 2016

Panduan Lapangan untuk Identifikasi Wujud Kultur Sekolah: Pengantar dan Sistematika Panduan Lapangan (1)

Saat kami mengumpulkan sejumlah kasus untuk buku “Wujud Budaya Sekolah”, kami memusatkan perhatian untuk menyajikan berbagai contoh terbaik dari budaya-budaya sekolah yang sangat luas dan beranekaragam. Contoh-contoh ini digunakan untuk menyentuh keinginantahuan semua yang memiliki rasa penasaran. Beberapa waktu lalu, ketertarikan para pemimpin yang memiliki berbagai pertanyaan mengenai bagaimana kami melakukan bersama mereka untuk mempelajari bagaimana membaca, melakukan assesmen, dan membentuk sekolah dan wilayah budaya mereka. Gambaran pendekatan-pendekatan yang memiliki ribuan prinsip sebaik gagasan-gagasan baru yang ada dalam buku-buku literatur kepemimpinan, ditarik bersama untuk menjadi suatu cara kongkret menjadi analisis, assesmen, dan penguatan secara kultural.

Panduan ini dirancang untuk membatu kita untuk merefleksikan dalam tindakan, maksud, dan pemahaman, serta kemudian dapat mengasah keterampilan kepemimpinan sebagaimana yang diinginkan untuk membentuk lingkungan pembelajaran yang lebih layak. Hal ini diharapkan dapat melegitimasi beberapa hal yang baru saja kita ketahui dan lakukan. Hal ini juga menyediakan kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan kepeminpinan secara kultural, serta memperdalam dan meng-operasionalkan konsep kultur sekolah dengan cara menghubungkannya pada kesuksesan dan siswa-siswa nya.

Bagaimana menggunakan Buku Ini?
Panduan ini disiapkan sebagai pendekatan-pendekatan yang aktif dan reflektif bagi siapa saja yang ingin mengembangkan komunitas profesional mereka. Bagian ini menekankan pada tiga kunci tahapan cara dan tradisi kebudayaan.
 
Pemimpin harus dapat:
- Membaca kultur
- Melakukan assesmen kultur
- Memberi dukungan ataupun mengubah kultur

Pertama, hal ini merupakan hal yang penting untuk membaca budaya mereka. Mereka memiliki kebutuhan untuk memahami dari mana asal budaya –wilayah atau sejarah sekolah tersebut- saat ini. Selama proses tersebut, pemimpin harus selalu menafsirkan secara intuitif menentukan aspek-aspek kebudayaan yang positif, meningkatkan, dan memotivasi dan mengantisipasi yang negatif, tekanan, dan pemborosan.

Kedua, Pemimpin membutuhkan untuk menaksir/menilai/ melakukan assesmen budaya dengan mempertahankan cara-cara tertentu untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk. Mereka membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi positif, dukungan norma, nilai-nilai, ritual, dan tradisi mereka. Namun mereka juga tetap harus memperhatikan aspek-aspek budaya yang mungkin negatif, berbahaya, atau beracun.Hal positif seperti apa yang dibutuhkan untuk memberikan dukungan? Hal negatif apa yang perlu untuk diubah? Sebagaimana yang kita pelajari, kita akan memulai secara intuituf untuk memulai melakukan assesmen aspek-aspek yang berbeda, sebagaimana yang terbaca dari suatu budaya atau segala hal yang berkaitan dalam kegiatan untuk belajar lebih banyak.

Ketiga, pemimpin harus mencurahkan dukungan penuh pada pola kebudayaan dan cara-cara untuk melakukan perubahan. Walaupun budaya wilayah atau sekolah terbaik tersebut dapat menjadi layu dan mati, walapun jika hal ini tidak dikelola atau didukung melalui rutinitas sehari-hari dan ritual yang bermakna. Demikian pula, aspek yang hampir mati atau negatif dari budaya mungkin perlu diubah, diubah, atau bahkan disemaikan lagi.

SISTEMATIKA SUSUNAN BUKU PANDUAN LAPANGAN: DISKUSI, CONTOH, AKTIVITAS, DAN GAGASAN/IDE

Buku ini disusun untuk menyediakan berbagai macam variasi sumber informasi, inspirasi dan beberapa saran. Buku ini dapat dibaca dan digunakan oleh semua orang dengan berbagai cara. Masing-masing bab akan dimulai dengan diskusi dan fitur-fitur tentang budaya, peran, dan pimpinan secara simbolik. Diskusi-diskusi ini akan selalu diikuti dengan seperangkat contoh sebagai ilustrasi gagasan, ataupun konsep-konsep. Berikutnya buku ini menyediakan penjelasan dan gambaran mengenai aktivitas-aktivitas baik secara individu ataupun tim pengajar, ataupun berbagai jenis pengajaran secara berkelompok, panduan ini dapat digunakan. Beberapa hal dirancang secara khusus untuk aktivitas kelompok, dan dilengkapi dengan saran mengenai bagaimana mengorganisir setiap sesi pengajaran. Beberapa di antaranya mengartikan untuk memicu refleksi; mereka seringkali mengajukan semacam pertanyaan bagi pembaca.

Hampir semua kegiatan dapat digunakan bersama kelompok; dalam kasus ini, pertanyaan-pertanyaan dapat menjadi topik dialog atau kelompok brainstorming. Diselingi oleh ide-ide yang menarik, yang menyediakan pembaca bersama masalah tambahan untuk mempertimbangkan atau menggunakan dengan staf. Beberapa di antaranya ditambahkan saran lebih lanjut untuk kegiatan, refleksi, dan rencana.
 
Referensi: 
 
Peterson. Kent. D, dan Deal. Terrence E. (2002). The Shaping School Culture Fieldbook. San Francisco: John Willey and Son Inc.
 

Selasa, 25 Oktober 2016

Penantian Sebagai Pekerjaan: Catatan Akhir (7-Habis)



Dengan pemaparan etnografis ini dapat terlihat hubungan antara dua pasangan dengan rantai remitan (uang kiriman), hubungan saling ketergantungan yang mendalam, namun begitu rapuh rentan. Penantian adalah seringkali tidak dihargai dan hanya dinilai sebagai kerja afektif meskipun penantian pasangan ini memfasilitasi aliran cinta, uang, dan manusia. Penantian merupakan bagian dari pasangan suami-istri sebagai –bentuk proyek intersubjektif mereka berdua, untuk meraih masa depan yang lebih baik, serta merupakan penyusunan strategi yang penting sebagai suatu strategi bertahan hidup di China semakin kompetitif. Di sini, masa depan bukan sebagai temporalitas stabil atau keadaan psikologis, melainkan sebagai seperangkat hal yang ditempa oleh berbagai kemungkinan bahwa pasangan yang menanti secara aktif memanipulasi keadaan untuk mengatasi rasa ketidakpastian dan keputusasaan. Kedua pihak –pengirim dan penerima melakukan pertukaran dan berbagi, tidak hanya nilai ekonomi, tetapi juga tanggung jawab secara khusus untuk masa depan keluarga mereka, yang ditopang melalui penangguhan kebersamaan ini. Meskipun kedua belah pihak mungkin ingin saling membantu dalam membangun masa depan, dan sosialitas melalui penantian sebagai pekerjaan, ikatan keluarga mereka dapat terjerumus pada  ke kondisi yang genting.

Kondisi genting melampaui tingkat pribadi. Pengiriman uang telah memainkan peran yang jelas dalam membuka peluang keluarga migran untuk memperoleh kemakmuran materi: segalah yang baru, apartemen modern, kemajuan bisnis sendiri, mobil mahal, dan kemampuan untuk mengirimkan anak-anak mereka ke Beijing, Shanghai, atau besar, kota-kota kosmopolitan lainnya untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Segala hal yang menjadi penting dalam konteks ini adalah bagaimana mempertahankan kemakmuran, dan gaya hidup urban. Namun demikian, banyak migran Cina-Korea telah menyatakan, "Walaupun banyak uang yang saya telah dapat di Korea, tangan saya masih terasa kosong." China telah dengan cepat menjadi tempat yang jauh lebih serba mahal dibandingkan awal 1990-an dulu. Kebutuhan untuk bertahan hidup di Cina menarik migran Cina-Korea kembali ke arena sebagai Migran; mereka harus kembali ke Korea untuk bertahan secara ekonomi atas pesat dengan pembangunan ekonomi di Yanbian. Pekerjaan Sebagai seorang Penanti terus berlanjut, tidak hanya selalu di bawah tekanan dari peraturan visa tetapi juga di bawah kewajiban untuk mempertahankan gaya hidup baru, dan harapan di Cina.
Migran transnasional Cina-Korea menunjukkan bahwa terdapat distingsi antara mobilitas dan imobilitas, mencari uang dan menanti uang, sebagai sesuatu yang tidak mudah dipisahkan. Sebaliknya, suami ataupun istri yang menanti di rumah merupakan bagian dari migrasi; dengan tidak adanya penantian, maka tidak ada ikatan intim dan,  tidak ada pula sirkulasi moneter. Kembali ke metode rahasia Tuan Ho, dengan pernyataan teoritisnya atau proposisinya bahwa "mengelola uang lebih penting daripada mencari uang," Esensi dari pekerjaan sebagai penanti, terletak pada saling ketergantungan yang rentan antara (remitan) uang dan cinta, antara penantian dan bekerja. Imobilisasi ataupun mobilisasi  merupakan pekerjaan afektif yang tidak dibayar dan yang terus mendorong sirkuit migran saat ini; seperti kata orang Yanbian pergi migrasi, "di mana uang itu berada, di sanalah cinta itu ada."

Referensi:

Adam, Barbara
1991    Time and Social Theory. Philadelphia: Temple University Press.

Ahmed, Sara
2010    The Promise of Happiness. Durham, N.C.: Duke University Press.

Bhabha, Homi
1994 The Location of Culture. London: Routledge.

Baldassar, Loretta, and Laura Merla
2013 “Locating Transnational Care Circulation in Migration and Family Studies.” In Transnational Families, Migration, and the Circulation of Care: Understanding Mobility and Absence in Family Life, edited by Loretta Baldassar and Laura Merla, 25–58. London: Routledge.
Boris, Eileen, and Rhacel Salazar Parren˜as, eds.
2010    Intimate Labors: Culture, Technologies, and the Politics of Care. Stanford, Calif.:
Stanford University Press.
Brennan, Denise
2004 What’s Love Got To Do With It: Transnational Desires and Sex Tourism in the Dominican Republic. Durham, N.C.: Duke University Press.
Chu, Julie
2009 Cosmologies of Credit: Transnational Mobility and the Politics of Destination in China. Durham, N.C.: Duke University Press.
Chua, Jocelyn Lin
2011 “Making Time for the Children: Self-Temporalization and the Cultivation of the Anti-suicidal Subject in South India.” Cultural Anthropology 26, no. 1: 112–37.
Clifford, James
1997 Routes: Travel and Translation in the Late Twentieth Century. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Constable, Nicole
2007    Maid to Order in Hong Kong: Stories of Migrant Workers. 2nd edition. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
2009 “The Commodification of Intimacy: Marriage, Sex, and Reproductive Labor.” Annual Review of Anthropology 38: 49–64. http://dx.doi.org/10.1146/ annurev.anthro.37.081407.085133.
Crapanzano, Vincent
1986    Waiting: The Whites of South Africa. New York: Random House.
Deleuze, Gilles
1988    Spinoza: Practical Philosophy. San Francisco: City Lights.
Derrida, Jacques
1994    Given Time I: Counterfeit Money. Chicago: University of Chicago Press.
Ehrenreich, Barbara, and Arlie Russell Hochschild, eds.
2004    Global Woman: Nannies, Maids, and Sex Workers in the New Economy. New York: Holt.
Faier, Lieba
2007 “Filipina Migrants in Rural Japan and Their Professions of Love.” American Ethnologist 34, no. 1: 148–62. http://dx.doi.org/10.1525/ae.2007.34.1.148.
Felski, Rita
2000    Doing Time: Feminist Theory and Postmodern Culture. New York: New York
University Press.
Freeman, Caren
2011 Making and Faking Kinships: Marriage and Labor Migration Between China and South Korea. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
Gasparini, Giovanni
1994                 “On Waiting.” Time and Society 4, no. 1: 29–45. http://dx.doi.org/10.1177/ 0961463X95004001002.
Gregory, Christopher
1982    Gifts and Commodities. London: Academic Press.
Gu, Edward X.
2002 “The State Socialist Welfare System and the Political Economy of Public Housing Reform in Urban China.” Review of Research Policy 19, no. 2: 179–211. http:// dx.doi.org/10.1111/j.1541-1338.2002.tb00270.x.
Hage, Ghassan
2009 “Waiting Out the Crisis: On Stuckness and Governmentality.” In Waiting, edited by Ghassan Hage, 97–106. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.
Han, Clara
2011 “Symptoms of Another Life: Time, Possibility and Domestic Relations in Chile’s Credit Economy.” Cultural Anthropology 26, no. 1: 7–32. http://dx.doi.org/
Hardt, Michael, and Antonio Negri
2000    Empire. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Harms, Erik
2013 “Eviction Time in the New Saigon: Temporalities of Displacement in the Rubble of Development.” Cultural Anthropology 28, no. 2: 344–68. http://dx.doi.org/ 10.1111/cuan.12007.
Hung, Eva P. W., and Stephen W. K. Chiu
2003 “The Lost Generation: Life Course Dynamics and Xiagang in China.” Modern China 29, no. 2: 204–36. http://dx.doi.org/10.1177/0097700402250740.
Jeffery, Craig
2010 “Timepass: Youth, Class, and Time among Unemployed Young Men in India.” American Ethnologist 37, no. 3: 465–81. http://dx.doi.org/10.1111/j.15481425.2010.01266.x.
Kim, Hyun Mee
2008 “The Korean Chinese Migration Experience in England: The Case of Residents in Korea Town.” Korean Anthropology 41, no. 2: 39–77.
Lazzarato, Maurizio
1995                 “Immaterial Labor.” In Radical Thought in Italy: A Potential Politics, edited by Paul Virno and Michael Hardt, 133–50. Minneapolis: University of Minnesota Press. Lee, Jinyoung, Hyekyung Lee, and Hyunmee Kim
2008    The Effect of Satisfaction on the Visit and Employment System. Korean Immigration Service.
Lee, Ching Kwan
2007 Against the Law: Labor Protests in China’s Rustbelt and Sunbelt. Berkeley: University of California Press.
Lim, Hyun-Chin, and Suk-Man Hwang
2002 “The Political Economy of South Korean Structural Adjustment: Reality and Fac¸ade.” African and Asian Studies 1, no. 2: 87–112. http://dx.doi.org/10.1163 /156921002x00086.
Mackenzie, Peter W.
2002 “Strangers in the City: The Hukou and Urban Citizenship in China.” Journal of International Affairs 56, no. 1: 305–19.
Mains, Daniel
2007 “Neoliberal Times: Progress, Boredom, and Shame among Young Men in Urban Ethiopia.” American Ethnologist 34, no. 4: 659–73. http://dx.doi.org/10.1525/ ae.2007.34.4.659.
Marx, Karl
1998 The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Translated by Martin Milligan. Amherst, N.Y.: Prometheus Books.
Mauss, Marcel
2000    The Gift: The Form and Reason of Exchange in Archaic Societies. New York: W. W. Norton.
Minnegal, Monica
2009    “The Time is Right: Waiting, Reciprocity, and Sociality.” In Waiting, edited by Ghassan Hage, 89–96. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.
Noh, Gowoon
2011 “Life on the Border: Korean Chinese Negotiating National Belonging in Transnational Space.” PhD dissertation, University of California, Davis.
O’Neill, Bruce
2014 “Cast Aside: Boredom, Downward Mobility, and Homelessness in PostCommunist Bucharest.” Cultural Anthropology 29, no. 1: 8–31. http://dx.doi.
Park, Gwang Sung
2006    “The Movement of Korean Chinese Labor and Social Change in the Age of
Globalization.” PhD dissertation, Seoul National University.
Park, Jung-Sun, and Chang, Paul
2005 “Contention in the Construction of a Global Korean Community: The Case of the Overseas Korean Act.” Journal of Korean Studies 10, no. 1: 1–27. http:// www.jstor.org/stable/41490207.
Parren˜as, Rhacel Salazar
2001 Servants of Globalization: Women, Migration, and Domestic Work. Stanford, Calif.: Stanford University Press.
Pun, Ngai
2005 Made in China: Women Factory Workers in a Global Work Place. Durham, N.C.: Duke University Press.
Richard, Analiese, and Rudnyckyj, Daromir
2009 “Economies of Affect.” Journal of the Royal Anthropological Institute 15, no. 1: 57 – 77. http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-9655.2008.01530.x.
Rundell, John
2009 “Temporal Horizons of Modernity and Modalities of Waiting.” In Waiting, edited by Ghassan Hage, 89–96. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.
Seol, Dong-Hoon
2002    “Korean Chinese         Working           in         Korea— Are    They    Overseas Koreans or Foreigners?” Trend and Perspective, no. 52: 200–23.
Spinoza, Benedict de
1994    Ethics. Translated by Edwin Curley. New York: Penguin Classics.
Walder, Andrew
1986 Communist Neo-Traditionalism: Work and Authority in Chinese Industry. Berkeley: University of California Press.
Yan, Hairong
2008 New Masters, New Servants: Migration, Development, and Women Workers in China. Durham, N.C.: Duke University Press.
Zhang, Li
2002 Strangers in the City: Reconfiguration of Space, Power, and Social Networks within China’s Floating Population. Stanford, Calif.: Stanford University Press.
Zheng, Tiantian
2009 Red Lights: The Lives of Sex Workers in Postsocialist China. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Penantian sebagai Pekerjaan: Remitan sebagai Janji Cinta (6)

Sebagaimana catatan yang pernah menjadi perhatian Marx tentang potensi transformatif yang terkandung dalam uang, Marcel Mauss (2000) juga menyatakan bahwa kecemasan selalu mengikuti suatu kesepakatan yang merupakan dampak dari suatu pemberian -hal ini mengacu pada konsep resiprositas pada suatu waktu Gregory (1982). Jacques Derrida (1994) juga mempertimbangkan bahwa "batas waktu" sebagai suatu kondisi bagi suatu pemberian menjadi pemberian: hanya jika terdapat suatu perbedaan antara pertukaran dan hanya jika masa menunggu dialami dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan pemberian. Di bawah pertukaran pemberian, penantian antara penerimaan pemberiann tersebut dan dalam hal ini maka resiprositas menciptakan kecemasan, karena kegagalan untuk mengembalikan pemberian tersebut ataupun ada yang melanggar janji dapat menghancurkan suatu hubungan. Dengan demikian di antara dua pihak terdapat perjanjian untuk mengembalikan tepat pada waktunya.
Makna menunggu lebih dari sekedar  hubungan pengembalian pada waktunya, jika berpikir lebih jauh tentang peran janji ketika suatu pasangan terpisah, beberapa di antaranya secara transnasional. Pada kenyataannya, orang-orang harus mengatasi pengingkaran janji, sebagaimana dilihat  pada kasus di beberapa artikel sebelumnya ketika suami Li mengkhianatinya baik secara emosional dan ekonomi. Ketika penantian dikondisikan oleh faktor yang jauh di luar kontrol individu, seperti misalnya perubahan kebijakan negara, penggusuran, atau perkembangan perumahan baru, hal ini akan menjadi lebih menindas karena merusak individu atau kemampuan keluarga untuk merencanakan kegiatan ekonomi dan sosial (Harms 2013). Rasa begitu panjangnya waktu penantian yang tidak terstrukstur menunjukkan suatu keadaan tanpa jaminan, penderitaaan sosial, termasuk, marjinalisasi sosial. Seperti etnografi baru-baru ini yang telah menyorot, mereka yang mengalami kejenuhan dalam masa penantian yang panjang dan menderita, tingginya angka pengangguran karena pembangunan pasca sosialis dan restrukturisasi ekonomi neoliberal (Harms 2013; Jeffery 2010; Mains 2007; O'Neill 2014). Namun penantian bukanlah tindakan yang benar-benar pasif, tidak berdaya, dan tidak produktif kondisi, atau sebagai konsekuensi kekerasan struktural belaka. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Craig Jeffery (2010) bahwa, penantian dapat diubah menjadi kesempatan untuk membangun  relasi sosial. Daripada cemas penantian sesuatu untuk mengakhiri atau terjadi, mereka yang menunggu dapat benar-benar dapat menciptakan nilai ekonomi yang  menghasilkan bukan hanya materi tetapi koneksi sosial yang mengubah kemungkinan menjadi kenyataan (Harms 2013). Bahkan, "penanti yang terampil" menghasilkan subjek yang cocok untuk mempercepat dan memperbesar kemungkinan menuju kapitalisme mutakhir (Chua 2011).
Narasi dari Cina Korea, dapat dikatakan bawha penantian merupakan penangguhan afektif serta kerentanan kondisi sosial ekonomi yang  menunjukkan bahwa penantian merupakan elemen kunci dari nilai produksi dalam migrasi transnasional. Di sini, penantian adalah pekerjaan; Korea Cina yang menunggu di Yanbian tidak bekerja secara langsung untuk uang, melainkan  potensi membuat atau menerima uang karena mereka mempertahankan benang afektif antara ponsel dan mobilitas. Menunggu adalah pekerjaan karena tindakan tunggu merupakan sarana memotivasi dua pihak untuk tetap bersama-sama dan berkomitmen sebagai bagian dari rangkaian besar migrasi dan pengiriman uang. Tapi karya tunggu tidak selalu dihargai, juga tidak perlu secara keuangan, namun dihargai sebagai bentuk dukungan kelancaran pekerjaan.
Dari cerita Mr. Ho yang mengatakan kepada kita mengenai bagaimana penantian dan pengiriman uang merupakan perwujudan setimpal, baik itu janji atau cinta, dalam mendukung masa depan keluarga melalui penangguhan kebersamaan. Mr Ho harus efektif menggantikan peran istrinya dengan melakukan pengelolaan yang kompeten untuk uang yang dikirim; Hal ini adalah cara untuk menunjukkan apresiasi atas kerja nya. Seperti Mr Ho mengatakan kepada Kwon, 
"Saya selalu merasa berhutang budi kepada istri saya. Tapi aku tahu istri saya dan saya saling berhutang satu sama lain. "
Saling berhutang antara Mr. Ho dan istrinya harus timbal balik, kembali ke satu sama lain pada waktu tertentu. Itu karena utang, yang dihasilkan dari penantian dengan mewujudkan keinginan untuk berbagai peluang ataupun kemungkinan (Han 2011), yaitu dengan mewujudkan kondisi untuk melanjutkan hubungan pernikahan mereka. Mr Ho sedang menunggu istrinya pulang ke rumah, dan istrinya sedang menunggu untuk kembali ke China. Mereka memiliki setiap  jenis pengalaman yang berbeda dari penantian di tempat yang berbeda, dan mereka masing-masing telah terlibat dalam bentuk-bentuk tertentu berada pada sumber daya keuangan. Menunggu mengikat dua bagian ini bersama-sama, penyejuk subjektivitas interpersonal mereka.
Mengelola uang, walaupun, tidak terbukti cukup untuk Mr Ho untuk mempertahankan dalam jangka panjang nya, hubungan dipisahkan oleh jarak. Pada bagian ini terdapat hal yang memiliki kualitas sepadan dengan remitansi: kepemilikan mereka ambigu, tidak pernah sepenuhnya milik siapa pun. Kendali dari istri Mr. Ho atas uang mereka terbukti lebih kuat daripada yang ia bayangkan.
"Suatu hari saya meminjamkan uang kepada ibu saya karena dia membutuhkan uang jaminan untuk membeli sebuah apartemen baru. Aku tidak memberitahu istri saya karena saya pikir itu masalah sepele. Namun ketika dia tahu, dia menjadi sangat marah. Dia tidak bisa berhenti menangis selama beberapa hari dan tidak berbicara dengan saya selama seminggu. Saya hanya telah meminjamkan uang kepada ibu saya! Wow! Sejak saat itu saya telah menyadari betapa pentingnya uang itu baginya, dan juga aku seharusnya tidak menyentuh uang di bawah kendali saya. Saya pikir itu uang kita yang membutuhkan perawatan dan pengelolaan  saya."
Setelah menyadari uang kiriman tersebut ternyata tidak bisa dibelanjakan tanpa izin, Tuan Ho merasa tak berdaya karena situasi memberikannya pemahaman bahwa ia tidak memiliki hak untuk menggunakan uang, meskipun dia bertanggung jawab untuk menjaga dan meningkatkan nilainya.
"Saya tidak pernah egois tentang uang. Pemikirannya, saya telah melakukan begitu banyak pekerjaan di sini di Yanbian menunggunya untuk kembali. Sedang menunggu pekerjaan mudah untuk dilakukan? Saya harus memainkan peran ganda untuk mengisi ketidakhadirannya sebagai ibu, ayah, dan guru. Tunggu telah membunuh saya selama dua puluh tahun terakhir. Kesepian telah menjadi sumber dari semua penyakit saya. Aku berkata pada diriku, aku layak lebih baik dari ini!"

Meskipun ia berhasil mengelola uang dan properti mereka selama bertahun-tahun, kewajiban Mr. Ho sepertinya tetap terpenuhi. Dia merasa ditipu oleh masa penantian yang panjang karena istrinya tidak pernah puas dengan usahanya. Menunggu, baginya, memaksanya untuk merasa  terjebak. Hal ini juga kerja keras yang membutuhkan "kemampuan untuk menunggu acara" dan "penerimaan penuh waktu lain" (Gasparini 1995). Tapi sebagai Mr Ho ditemukan, tunggu adalah jenis tenaga kerja yang sering berjalan tidak dihargai. Mr Ho percaya bahwa ia telah membayar kembali kesulitan tenaga kerja istrinya. Tapi istrinya rupanya tidak setuju. Dalam pandangannya, transaksi itu tidak pernah sepenuhnya selesai, sehingga meninggalkan mereka berdua dengan utang yang tampaknya belum dibayar.
Tuan Ho terus menekankan bahwa tunggu sebagai "botoli" harus diakui dalam hal ekonomi juga, karena uang kiriman tersebut diperlukan dalam upayanya jika untuk mewujukan keinginan memperluas  milik dan kekayaan. Ia menegaskan bahwa pekerjaan penantiannya dianggap  hal  yang rendah membuatnya merasa feminin dan tidak berharga  di mata  pasar dan istrinya. Meskipun Tuan Ho bukanlah orang yang mendapatkan uang, ia adalah orang yang bertanggung jawab untuk membelanjakannya. Namun pengeluaran nya yang tunduk pada pengawasan istrinya, menyatakan bahwa uang itu milik dia. Kenikmatan  uang kiriman tersebut dalam kenyataannya merupakan sesuatu yang ditangguhkan hari ini untuk masa depan. Kemampuan untuk membayangkan masa depan secara umum tergantung pada janji bersama, karena jika salah satu yang rusak dan rapuh, maka janji tersebut tak akan terwujud. Dalam konteks ketidakpastian ini, metode rahasia Mr. Ho terbukti merupakan respon yang wajar: Mengelola dan investasi sumber daya keuangan merupakan satu-satunya teknik dan bukti nyata yang bisa menunjukkan cintanya dan ketertekanannya penantian yang penuh kecemasannya. Tuan Ho percaya bahwa "di mana uang disimpan, di situlah istri saya kembali." Uang datang untuk muncul sebagai kekuatan yang benar-benar mengikat  cinta. Pada saat yang sama, sesungguhnya hal ini merupakan kesepakatan yang ini rapuh, karena aliran uang mungkin berhenti ketika tak ada lagi cinta. Karena Uang dan cinta inilah, sehingga mereka dapat tetap walaupun secara fisik dipisahkan dalam hubungan suami-istri  transnasional yang rentan, migrasi, dan pengelolaan uang sebagai inspirasinya.

Referensi:
Adam, Barbara
1991 Time and Social Theory. Philadelphia: Temple University Press.

Ahmed, Sara
2010 The Promise of Happiness. Durham, N.C.: Duke University Press.

Bhabha, Homi
1994 The Location of Culture. London: Routledge.

Baldassar, Loretta, and Laura Merla
2013 “Locating Transnational Care Circulation in Migration and Family Studies.” In
Transnational Families, Migration, and the Circulation of Care: Understanding Mobility
and Absence in Family Life, edited by Loretta Baldassar and Laura Merla, 25–58.
London: Routledge.

Boris, Eileen, and Rhacel Salazar Parren˜as, eds.
2010 Intimate Labors: Culture, Technologies, and the Politics of Care. Stanford, Calif.:
Stanford University Press.

Brennan, Denise
2004 What’s Love Got To Do With It: Transnational Desires and Sex Tourism in the Dominican
Republic. Durham, N.C.: Duke University Press.

Chu, Julie
2009 Cosmologies of Credit: Transnational Mobility and the Politics of Destination in China.
Durham, N.C.: Duke University Press.

Chua, Jocelyn Lin
2011 “Making Time for the Children: Self-Temporalization and the Cultivation of the
Anti-suicidal Subject in South India.” Cultural Anthropology 26, no. 1: 112–37.

Clifford, James
1997 Routes: Travel and Translation in the Late Twentieth Century. Cambridge, Mass.:
Harvard University Press.

Constable, Nicole
2007 Maid to Order in Hong Kong: Stories of Migrant Workers. 2nd edition. Ithaca, N.Y.:
Cornell University Press.
2009 “The Commodification of Intimacy: Marriage, Sex, and Reproductive Labor.”
Annual Review of Anthropology 38: 49–64. http://dx.doi.org/10.1146/
annurev.anthro.37.081407.085133.

Crapanzano, Vincent
1986 Waiting: The Whites of South Africa. New York: Random House.
Deleuze, Gilles
1988 Spinoza: Practical Philosophy. San Francisco: City Lights.

Derrida, Jacques
1994 Given Time I: Counterfeit Money. Chicago: University of Chicago Press.
Ehrenreich, Barbara, and Arlie Russell Hochschild, eds.
2004 Global Woman: Nannies, Maids, and Sex Workers in the New Economy. New York:
Holt.

Faier, Lieba
2007 “Filipina Migrants in Rural Japan and Their Professions of Love.” American
Ethnologist 34, no. 1: 148–62. http://dx.doi.org/10.1525/ae.2007.34.1.148.

Felski, Rita
2000 Doing Time: Feminist Theory and Postmodern Culture. New York: New York
University Press.

Freeman, Caren
2011 Making and Faking Kinships: Marriage and Labor Migration Between China and South
Korea. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.

Gasparini, Giovanni
1995 “On Waiting.” Time and Society 4, no. 1: 29–45. http://dx.doi.org/10.1177/
0961463X95004001002.

Gregory, Christopher
1982 Gifts and Commodities. London: Academic Press.

Gu, Edward X.
2002 “The State Socialist Welfare System and the Political Economy of Public Housing
Reform in Urban China.” Review of Research Policy 19, no. 2: 179–211. http://
dx.doi.org/10.1111/j.1541-1338.2002.tb00270.x.

Hage, Ghassan
2009 “Waiting Out the Crisis: On Stuckness and Governmentality.” In Waiting, edited
by Ghassan Hage, 97–106. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.
Han, Clara
2011 “Symptoms of Another Life: Time, Possibility and Domestic Relations in Chile’s
Credit Economy.” Cultural Anthropology 26, no. 1: 7–32. http://dx.doi.org/
10.1111/j.1548-1360.2010.01078.x

Hardt, Michael, and Antonio Negri
2000 Empire. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

Harms, Erik
2013 “Eviction Time in the New Saigon: Temporalities of Displacement in the Rubble
of Development.” Cultural Anthropology 28, no. 2: 344–68. http://dx.doi.org/
10.1111/cuan.12007.

Hung, Eva P. W., and Stephen W. K. Chiu
2003 “The Lost Generation: Life Course Dynamics and Xiagang in China.” Modern
China 29, no. 2: 204–36. http://dx.doi.org/10.1177/0097700402250740.

Jeffery, Craig
2010 “Timepass: Youth, Class, and Time among Unemployed Young Men in India.”
American Ethnologist 37, no. 3: 465–81. http://dx.doi.org/10.1111/j.1548-
1425.2010.01266.x.

Kim, Hyun Mee
2008 “The Korean Chinese Migration Experience in England: The Case of Residents
in Korea Town.” Korean Anthropology 41, no. 2: 39–77.
Lazzarato, Maurizio
1996 “Immaterial Labor.” In Radical Thought in Italy: A Potential Politics, edited by Paul
Virno and Michael Hardt, 133–50. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Lee, Jinyoung, Hyekyung Lee, and Hyunmee Kim
2008 The Effect of Satisfaction on the Visit and Employment System. Korean Immigration
Service.

Lee, Ching Kwan
2007 Against the Law: Labor Protests in China’s Rustbelt and Sunbelt. Berkeley: University
of California Press.

Lim, Hyun-Chin, and Suk-Man Hwang
2002 “The Political Economy of South Korean Structural Adjustment: Reality and
Fac¸ade.” African and Asian Studies 1, no. 2: 87–112. http://dx.doi.org/10.1163
/156921002x00086.

Mackenzie, Peter W.
2002 “Strangers in the City: The Hukou and Urban Citizenship in China.” Journal of
International Affairs 56, no. 1: 305–19.

Mains, Daniel
2007 “Neoliberal Times: Progress, Boredom, and Shame among Young Men in Urban
Ethiopia.” American Ethnologist 34, no. 4: 659–73. http://dx.doi.org/10.1525/
ae.2007.34.4.659.

Marx, Karl
1998 The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Translated by Martin Milligan.
Amherst, N.Y.: Prometheus Books.

Mauss, Marcel
2000 The Gift: The Form and Reason of Exchange in Archaic Societies. New York: W. W.
Norton.

Minnegal, Monica
2009 “The Time is Right: Waiting, Reciprocity, and Sociality.” In Waiting, edited by
Ghassan Hage, 89–96. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.

Noh, Gowoon
2011 “Life on the Border: Korean Chinese Negotiating National Belonging in
Transnational Space.” PhD dissertation, University of California, Davis. O’Neill, Bruce
2014 “Cast Aside: Boredom, Downward Mobility, and Homelessness in Post-
Communist Bucharest.” Cultural Anthropology 29, no. 1: 8–31. http://dx.doi.
org/10.14506/ca29.1.03.

Park, Gwang Sung
2006 “The Movement of Korean Chinese Labor and Social Change in the Age of
Globalization.” PhD dissertation, Seoul National University.

Park, Jung-Sun, and Chang, Paul
2005 “Contention in the Construction of a Global Korean Community: The Case of
the Overseas Korean Act.” Journal of Korean Studies 10, no. 1: 1–27. http://
www.jstor.org/stable/41490207.

Parren˜as, Rhacel Salazar
2001 Servants of Globalization: Women, Migration, and Domestic Work. Stanford, Calif.:
Stanford University Press.

Pun, Ngai
2005 Made in China: Women Factory Workers in a Global Work Place. Durham, N.C.: Duke
University Press.

Richard, Analiese, and Rudnyckyj, Daromir
2009 “Economies of Affect.” Journal of the Royal Anthropological Institute 15, no. 1: 57–

Rundell, John
2009 “Temporal Horizons of Modernity and Modalities of Waiting.” In Waiting, edited
by Ghassan Hage, 89–96. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.

Seol, Dong-Hoon
2002 “Korean Chinese Working in Korea—Are They Overseas Koreans or
Foreigners?” Trend and Perspective, no. 52: 200–23.

Spinoza, Benedict de
1994 Ethics. Translated by Edwin Curley. New York: Penguin Classics.

Walder, Andrew
1986 Communist Neo-Traditionalism: Work and Authority in Chinese Industry. Berkeley:
University of California Press.

Yan, Hairong
2008 New Masters, New Servants: Migration, Development, and Women Workers in China.
Durham, N.C.: Duke University Press.

Zhang, Li
2002 Strangers in the City: Reconfiguration of Space, Power, and Social Networks within
China’s Floating Population. Stanford, Calif.: Stanford University Press.

Zheng, Tiantian
2009 Red Lights: The Lives of Sex Workers in Postsocialist China. Minneapolis: University
of Minnesota Press.