Senin, 25 Oktober 2010

Sigmund Freud: Ego dan Mekanisme Pertahanan

Sekarang ego menghadapi hal yang menuntut untuk memuaskan baik id dan superego. Ego memiliki beberapa alat itu dapat digunakan dalam pekerjaan sebagai mediator, alat-alat yang membantu mempertahankan ego ini disebut mekanisme pertahanan ego. Ketika ego memiliki waktu yang sulit membuat kedua id dan superego bahagia, itu akan mempekerjakan satu atau lebih dari pertahanan:
  1. Penyangkalan. penyangkalan dilakukan ego untuk melawan kecemasan atau ketidaknyamanan, dengan menyatakan atau menganggap bahwa objek sumber kecemas tersebut dianggap, atau diyakini tidak ada.
  2. Pemindahan/displacement. yaitu memindahkan ketidaknyamanan emosi dengan melakukan sesuatu, seperti misalnya membanting pintu.
  3. Intelektualisasi. menghindari emosi yang tidak dapat diterima dengan meletakkannya pada aspek intelektual, contoh, ketika berkabung memfokuskan pada proses upacara pemakaman.
  4. Proyeksi. menempatkan objek yang tidak disukai pada orang lain.
  5. Rasionalisasi. mencari alasan rasional alasan logis yang bertentangan dengan alasan sebenarnya.
  6. Reaction formation/pembentukan reaksi. membalikkan keyakinan karena keyakinan yang benar menimbulkan suatu kecemasan.
  7. Regresi.melakukan cara-cara sebelum seseorang berkembang (cara "anak-anak"). Sebagai contoh, menangis, marah, mengamuk, dan berkhayal (hal yang biasa dilakukan ketika masih pada tahap anak-anak.
  8. Represi. menarik emosi, atau ingatan dengan emosi buruk, menuju ke bawah sadar (melupakan sesuatu yang dianggap aib, kecemasan, atau trauma, baik pada masa lalu maupun masa kanak-kanak, hal ini biasa dilakukan oleh korban pelecehan dan kekerasan seksual yang mengalami trauma)
  9. Sublimasi. bertindak tidak sesuai dengan keinginan diri (karena tidak dapat diterima secara sosial) supaya dapat diterima secara sosial. 
  10. Supresi. mendorong kecemasan, pengalaman buruk, atau ingatan ke alam bawah sadar. Hal ini dilakukan secara sadar, berbeda dengan represi yang merupakan mekanisme otomatis atau tidak disadari)
Pertahanan ego ini seluruhnya dilakukan ketika ego merasakan ketidaknyamanan/ ketidakseimbangan. Walaupun demikian melakukan aktifnya pertahanan ego secara berlebihan karena besar nya ketidak seimbangan kadang tidak dapat dihadapi dengan baik, dan akan merusak dan menjadi sumber gangguan psikologis, seperti neurotik hingga pada psiko patologis.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Sigmund Freud: Id dan Super Ego, Iblis dan Malaikat

Pikirkan id dapat juga kita sebut sebagai  "iblis  dan superego sebagai 'malaikat. Kita tidak mungkin ingin salah satu untuk mendapatkan terlalu kuat sehingga kita melakukan pengendalian diri dengan, mendengar perspektif mereka (id dan Ego) dan kemudian membuat keputusan. Keputusan ini ego berbicara, yang mencari keseimbangan yang baik.
apa yang mendorong id, ego, dan superego. Sebelumnya Menurut Freud, kita hanya memiliki dua drive, seks dan agresi (kehendak untuk hidup dan kehendak untuk mati). Dengan kata lain, segala sesuatu yang kita lakukan adalah dimotivasi oleh salah satu drive.
Seks, juga disebut Eros atau gaya Hidup, merupakan upaya untuk hidup, makmur, dan menghasilkan keturunan daya. Agresi, juga disebut Thanatos Kematian kita atau memaksa,hal ini mewakili harus tetap hidup dan mencegah ancaman kami untuk keberadaan kita,dan kondisi nyaman.

Kamis, 21 Oktober 2010

Sigmund Freud: Alam Sadar dan Tidak Sadar

Freud percaya bahwa sebagian dari apa yang kita alami dalam hidup kita, emosi yang mendasari, keyakinan, perasaan, dan impuls tidak berada di tingkat sadar percaya. Hal ini sebagian besar dikuburkan di alam tidak sadar . Jika Anda ingat mengenai Oedipus dan Electra Complex, kedua hal ini didorong ke dalam alam bawah sadar, dari kesadaran kita karena kecemasan ekstrem. Walaupun telah dikuburkan di alam bawah sadar, namun mereka terus mempengaruhi kita secara dramatis menurut Freud.
Peran bawah sadar ini hanya salah satu bagian dari model kita. Freud juga percaya bahwa segala sesuatu yang kita sadari akan disimpan dalam sadar . Alam sadar menunjukkan sebagian yang sangat kecil daripada siapa kita sebenarnya, lain Dengan kata pada waktu tertentu, kita hanya sadar bagian yang sangat kecil dari apa yang membentuk kepribadian kita, sebagian besar dari apa yang kita dimakamkan dan tidak dapat diakses oleh alam sadar.
Bagian akhir adalah prasadar atau bawah sadar. Ini adalah bagian dari kita bahwa kita dapat mengakses jika diminta namun tidak dalam. Kita membawa hal tersebut ke permukaan sadar dari bawah sadar, namun masih banyak juga yang terkubur , kecuali kita mencarinya. Informasi seperti kami nomor telepon, kenangan masa kecil beberapa, atau nama teman masa kecil yang terbaik yang disimpan dalam prasadar tersebut.
Karena bawah sadar begitu besar, dan karena kami hanya menyadari di alam sadar pada setiap diberikan, saat ini telah teori telah disamakan dengan sebuah gunung es, di mana luas secara mayoritas terkubur di bawah permukaan air. Model ini akan menunjukkan bahwa segala sesuatu yang kita tidak sadar, tidak berpengalaman, dan yang belum terintegrasi ke dalam kepribadian kita, disebut sebagai bawah sadar.

Selasa, 19 Oktober 2010

Sigmund Freud: Id, Ego, dan Super Ego

Freud, mengatakan bahwa kita dilahirkan  Id . Id merupakan bagian dari kepribadian dan dibawa oleh  bayi yang baru lahir, hal ini memungkinkan kita untuk mendapatkan kebutuhan dasar kita terpenuhi Freud percaya bahwa id didasarkan pada prinsip kesenangan kita. Dengan kata lain, id menginginkan apa pun yang terasa baik pada waktu itu, dengan pertimbangan tidak ada untuk realitas situasi. Ketika seorang anak lapar, id menginginkan makanan, dan sebab itu anak yang menangis. Ketika anak perlu diubah, id menangis. Ketika anak tidak nyaman, sakit, terlalu panas, terlalu dingin, atau hanya ingin perhatian, id berbicara sampai kebutuhan nya terpenuhi.
Id tidak peduli tentang realitas, tentang kebutuhan orang lain, hanya kepuasan sendiri.. Jika Anda berpikir tentang itu, bayi adalah nyata tidak perhatian orang tua mereka keinginan Mereka tidak peduli waktu, apakah orang tua mereka tidur , santai, makan malam, atau mandi,. Bila id menginginkan sesuatu tidak ada lagi adalah penting.
Dalam tiga tahun ke depan, sebagai anak berinteraksi lebih dan lebih dengan dunia, bagian kedua dari kepribadian mulai mengembangkan. Freud ini disebut bagian Ego . Ego didasarkan pada prinsip realitas. Ego memahami bahwa orang lain memiliki kebutuhan dan keinginan dan bahwa kadang-kadang menjadi impulsif atau egois bisa menyakiti kita dalam jangka panjang adalah tugas. Its ego untuk memenuhi kebutuhan dari id, sedangkan dengan mempertimbangkan realitas situasi.
Pada usia lima tahun, atau akhir tahap phallic dari pembangunan, superego berkembang. superego adalah bagian moral dari kita dan mengembangkan karena hambatan moral dan etika ditempatkan pada kami oleh pengasuh kita menyamakan. Banyak superego dengan hati nurani karena menentukan keyakinan kita benar dan salah.
Pada orang yang sehat, menurut Freud, ego adalah yang terkuat sehingga dapat memenuhi kebutuhan dari id, superego tidak marah, dan masih mempertimbangkan realitas setiap situasi,. Tidak mudah pekerjaan apapun dengan cara tetapi jika id terlalu kuat, impuls dan kepuasan diri mengambil alih seseorang hidup,. Jika superego bisa menjadi kuat, orang akan didorong kaku oleh moral akan menghakimi dan kaku dalam atau dia interaksi dengan dunia. Anda akan belajar bagaimana ego mempertahankan kontrol Anda terus membaca.

Senin, 11 Oktober 2010

Sigmund Freud dan Penerapan Psikoanalisis

Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia.  Pada mulanya istilah psikoanalisis hanya dipergunakan dalam hubungan dengan metode yang digunakan Freud saja, sehingga "psikoanalisis" dan "psikoanalisis" Freud sama artinya. Bila beberapa pengikut Freud dikemudian hari menyimpang dari ajarannya dan menempuh jalan sendiri-sendiri, mereka juga meninggalkan istilah psikoanalisis dan memilih suatu nama baru untuk menunjukan ajaran mereka. Contoh yang terkenal adalah Carl Gustav Jung dan Alfred Adler, yang menciptakan nama "psikologi analitis" (en: Analitycal psychology) dan "psikologi individual" (en: Individual psychology) bagi ajaran masing-masing.Psikoanalisis memiliki tiga penerapan:
1) suatu metoda penelitian dari pikiran;
2) suatu ilmu pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia;
3) suatu metoda perlakuan terhadap penyakit psikologis atau emosional.
Dalam cakupan yang luas dari psikoanalisis ada setidaknya 20 orientasi teoretis yang mendasari teori tentang pemahaman aktivitas mental manusia dan perkembangan manusia. Berbagai pendekatan dalam perlakuan yang disebut "psikoanalitis" berbeda-beda sebagaimana berbagai teori yang juga beragam. Psikoanalisis Freudian, baik teori maupun terapi berdasarkan ide-ide Freud telah menjadi basis bagi terapi-terapi moderen dan menjadi salah satu aliran terbesar dalam psikologi. Sebagai tambahan, istilah psikoanalisis juga merujuk pada metoda penelitian terhadap perkembangan anak.

Minggu, 10 Oktober 2010

Sigmund Freud, Awal Perkembangan Psikologi Modern

Tokoh ini ku kenal lewat sebuah buku bekas yang ku beli di depan gelanggang mahasiswa boulevard UGM, dan waktu itu aku masih SMA.Mulai saat itu aku mulai tertarik dengan tokoh ini.Pemikiran-pemikirannya menjadi modal awal untuk melakukan introspeksi dan refleksi dia adalah:
Sigmund Freud (lahir di Freiberg, Moravia, Austria–Hungary, sekarang Republik Ceko, 6 Mei 1856 – meninggal di London, Inggris, Britania Raya, 23 September 1939 pada umur 83 tahun) adalah seorang psikiater Austria dan pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Konsep dari teori Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain itu, dia juga memberikan pernyataan pada awalnya bahwa prilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas pada awalnya (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Ketika Hasil Belajar Seakan Sia-Sia

Hidup mungkin menjadi sangat misterius dan membingungkan ketika sebuah masalah dalam pikiran datang seakan tanpa permisi.Ketika ia datang sesungguhnya telah memberi pertanda, namun demikian terlalu sering aku terlambat untuk menyadari, dan kalaupun menyadari aku pasti akan menunggu dan bertanya apakah hal ini akan benar-benar terjadi, ya demi sebuah bukti, demi sebuah kebenaran.Dari pertanda-pertanda, inilah semua kucoba catat dan ingat karena menurutku hal ini sangat berharga dan merupakan suatu data akan menjadi bahan untuk sesuatu yang kuanggap sebagai pengetahuan. Kemudian setelah semua terakumulasi pada titik tertentu dan tak terjelaskan hal ini akan menjadi masalah yang teramat berat seakan tak terpecahkan. Seakan ambang kegilaan sudah di depan mata. Terutama bila hal ini tak dapat dikomunikasikan kepada orang lain.
Jika hal ini sudah terjadi, satu-satunya jalan termudah adalah tuliskanlah. Dan yakinlah bahwa suatu saat hal ini akan berguna baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Kamis, 13 Mei 2010

Karya-Karya Kierkegaard

Karya-karya Kierkegaard baru tersedia luas beberapa dasawarsa setelah kematiannya. Pada tahun-tahun segera setelah meninggalnya, Gereja Negara Denmark, sebuah institusi penting di Denmark pada saat itu, menjauhi karya-karyanya dan menganjurkan orang-orang Denmark lainnya untuk melakukan hal yang sama. Selain itu, kurang dikenalnya bahasa Denmark, dibandingkan dengan bahasa Jerman, Perancis, dan Inggris, membuat hampir tidak mungkin bagi Kierkegaard untuk mendapatkan pembaca-pembaca non-Denmark.
Akademikus pertama yang mengarahkan perhatian kepada Kierkegaard adalah sesama orang Denmark Georg Brandes, yang menerbitkan dalam bahasa Jerman maupun Denmark. Brandes menyampaikan kuliah resminya yang pertama tentang Kierkegaard dan menolong memperkenalkan Kierkegaard ke seluruh Eropa.
Pada 1877, Brandes juga menerbitkan buku pertama tentang filsafat dan kehidupan Kierkegaard. Dramatis Henrik Ibsen menjadi tertarik terhadap Kierkegaard dan memperkenalkan karyanya ke seluruh Skandinavia. Sementara terjemahan-terjemahan independen dalam bahasa Jerman dari beberapa karya Kierkegaard mulai muncul pada 1870-an, terjemahan-terjemahan akademis dalam bahasa Jerman dari seluruh karya Kierkegaard harus menunggu hingga 1910-an. Terjemahan-terjemahan ini dimungkinkan karena pengaruh Kierkegaard terhadap para pemikir dan penulis Jerman, Perancis, dan Inggris abad ke-20 mulai terasa.
Pada 1930-an, terjemahan akademis pertama dalam bahasa Inggris, oleh Alexander Dru, David F. Swenson, Douglas V. Steere, dan Walter Lowrie muncul, di bawah usaha editorial dari editor Oxford University Press, Charles Williams. Terjemahan akademis yang kedua dalam bahasa Inggris dan yang terdapat luas diterbitkan oleh Princeton University Press pada 1970-an, 1980-an, 1990-an, di bawah pengawasan Howard V. Hong dan Edna H. Hong. Terjemahan resmi ketiga, di bawah pengawasan Pusat Penelitian Søren Kierkegaard, akan mencapai 55 jilid dan diharapkan akan selesai setelah 2009.
Banyak filsuf abad ke-20, baik yang teistik maupun yang ateistik, meminjam banyak konsep dari Kierkegaard, termasuk pemahaman tentang angst (kecemasan), keputusasaan, serta pentingnya individu. Sebagai seorang filsuf ia menjadi sangat termasyhur pada tahun 1930-an, sebagian besar karena naik daunnya gerakan eksistensialis yang menunjuk kepadanya sebagai seorang pendahulu, meskipun kini ia sendiri dipandang sebagai seorang pemikir yang sangat penting dan berpengaruh. Para filsuf dan teolog yang dipengaruhi oleh Kierkegaard termasuk Karl Barth, Simone de Beauvoir, Martin Buber, Rudolf Bultmann, Albert Camus, Martin Heidegger, Abraham Joshua Heschel, Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Maurice Merleau-Ponty, Franz Rosenzweig, Jean-Paul Sartre, Joseph Soloveitchik, Paul Tillich, Miguel de Unamuno, Hans Urs von Balthasar. Anarkisme ilmiah Paul Feyerabend diilhami oleh gagasan Kierkegaard tentang subyektivitas sebagai kebenaran. Ludwig Wittgenstein sangat dipengaruhi dan harus mengakui keunggulan Kierkegaard,[4] dan mengklaim bahwa "Betapapun juga, Kierkegaard jauh terlalu dalam bagi saya.  Karl Popper merujuk kepada Kierkegaard sebagai "pembaharu besar dalam etika Kristen, yang memaparkan moralitas Kristen yang resmi pada zamannya sebagai kemnafikan yang anti-Kristen dan anti-kemanusiaan".
Para filsuf kontemporer seperti Emmanuel Lévinas, Hans-Georg Gadamer, Jacques Derrida, Jürgen Habermas, Alasdair MacIntyre, dan Richard Rorty, meskipun kadang-kadang sangat kritis, juga telah mengadaptasi beberapa pemikiran Kierkegaard. Jerry Fodor pernah menulis bahwa Kierkegaard adalah "seorang empu dan jauh berada di luar liga tempat kami semua [para filsuf] bermain".
Kierkegaard banyak sekali mempengaruhi literatur abad ke-20. Tokoh-tokoh yang sangat dipengaruhi oleh karya-karyanya termasuk Walker Percy, W.H. Auden, Franz Kafka, David Lodge, dan John Updike.
Kierkegaard juga sangat berpengaruh terhadap psikologi dan ia daapt dianggap sebagai pendiri psikologi Kristen dan psikologi dan terapi eksistensial. Para psikolog dan terapis eksistensialis (seringkalid isebut "humanistik") termasuk Ludwig Binswanger, Victor Frankl, Erich Fromm, Carl Rogers, dan Rollo May. May mendasarkan bukunya The Meaning of Anxiety (Makna Kecemasan) pada karya Kierkegaard Konsep tentang Kecemasan. Karya sosiologis Kierkegaard Dua Zaman: Zaman Revolusi dan Masa Kini memberikan kritik yang menarik terhadap modernitas. Kierkegaard juga dilihat sebagai pendahulu penting dari pasca-modernisme.
Kierkegaard meramalkan bahwa setelah kematiannya ia akan terkenal, dan membayangkan bahwa karyanya akan dipelajari dan diteliti dengan intensif. Dalam jurnal-jurnalnya, ia menulis:

"Apa yang dibutuhkan zaman ini bukanlah seorang jenius sebab jenius sudah cukup banyak. Yang dibutuhkan adalah martir, yang rela taat hingga mati untuk mengajarkan manusia agar taat hingga mati. Apa yang dibutuhkan zaman ini adalah kebangkitan. Dan karena itu suatu hari kelak, bukan hanya tulisan-tulisan saya tetapi juga seluruh hidup saya, seluruh misteri yang membangkitkan tanda tanya tentang mesin ini akan dipelajari dan dipelajari terus. Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana Tuhan menolong saya dan karena itu adalah harapan saya terakhir bahwa segala sesuatunya adalah untuk kemuliaan-Nya"

—Søren Kierkegaard, Journals (20 November 1847)

Selasa, 11 Mei 2010

Pemikiran Kierkegaard mengenai Eksistensi

Pemikiran Kierkegaard, sebagai kritik atas Hegel, menekankan pada aspek subjektivisme. Mengingat seluruhnya pada dasarnya adalah manifestasi dari apa yang disebut Hegel sebagai fenomenologi roh maka individu manusia direduksi menjadi kawanan. Hal ini akan melenyapkan individu dari tanggung jawab pribadinya secara etis bahkan juga melenyapkan eksistensi individu di dalam kerumunan kawanan. Penekanan pada eksistensi individu inilah yang menjadikan Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialisme yang dipopulerkan oleh Sartre kelak.
Pemikiran lain yang menarik adalah sebuah dialektika eksistensialis yang menggambarkan perkembangan religiusitas manusia dari apa yang disebutnya tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan religius. Tahap pertama adalah tahap estetis yaitu ketika manusia bereksistensi berdasarkan prinsip kesenangan indrawi, sebagaimana arti kata estetis yang bermakna mengindra. Tokoh dalam peradaban barat yang menjadi contoh adalah Don Juan yang memburu kesenangan. Tahapan kedua dicapai dengan satu lompatan menuju tahap dimana manusia bereksistensi dengan pertimbangan moral universal dalam kerangka benar dan salah. Tokoh yang dapat dijadikan contoh adalah Socrates yang mengorbankan dirinya demi prinsip moral universal. Tahap terakhir adalah tahap keimanan puncak yang tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal namun menemui sifat paradoks keimanan. Tokoh yang dijadikan teladan adalah Ibrahim (atau Abraham) dalam kisah penyembelihan anaknya (Ishak dalam agama Kristen dan Ismail dalam agama Islam) yang tindakannya tersebut, sebagai manifestasi dari keimanannya, tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal. Sebuah tindakan yang mengandung dasar paradoks karena di satu sisi Ibrahim menyerahkan diri sepenuhnya, dan kehilangan segala-galanya, dengan gerakan imannya dan di sisi lain, secara bersamaan, dia mendapatkan segalanya dengan cara yang baru. Sebuah kegilaan ilahi, sesuatu yang tidak dikutuk tapi justru dianjurkan oleh Kierkegaard, yang akan tampak absurd apabila dimasukkan ke dalam kategori moral universal.

Karya-karya Kierkegaard baru tersedia luas beberapa dasawarsa setelah kematiannya. Pada tahun-tahun segera setelah meninggalnya, Gereja Negara Denmark, sebuah institusi penting di Denmark pada saat itu, menjauhi karya-karyanya dan menganjurkan orang-orang Denmark lainnya untuk melakukan hal yang sama. Selain itu, kurang dikenalnya bahasa Denmark, dibandingkan dengan bahasa Jerman, Perancis, dan Inggris, membuat hampir tidak mungkin bagi Kierkegaard untuk mendapatkan pembaca-pembaca non-Denmark.
Akademikus pertama yang mengarahkan perhatian kepada Kierkegaard adalah sesama orang Denmark Georg Brandes, yang menerbitkan dalam bahasa Jerman maupun Denmark. Brandes menyampaikan kuliah resminya yang pertama tentang Kierkegaard dan menolong memperkenalkan Kierkegaard ke seluruh Eropa. Pada 1877, Brandes juga menerbitkan buku pertama tentang filsafat dan kehidupan Kierkegaard. Dramatis Henrik Ibsen menjadi tertarik terhadap Kierkegaard dan memperkenalkan karyanya ke seluruh Skandinavia. Sementara terjemahan-terjemahan independen dalam bahasa Jerman dari beberapa karya Kierkegaard mulai muncul pada 1870-an, terjemahan-terjemahan akademis dalam bahasa Jerman dari seluruh karya Kierkegaard harus menunggu hingga 1910-an. Terjemahan-terjemahan ini dimungkinkan karena pengaruh Kierkegaard terhadap para pemikir dan penulis Jerman, Perancis, dan Inggris abad ke-20 mulai terasa.
Pada 1930-an, terjemahan akademis pertama dalam bahasa Inggris, oleh Alexander Dru, David F. Swenson, Douglas V. Steere, dan Walter Lowrie muncul, di bawah usaha editorial dari editor Oxford University Press, Charles Williams.[2] Terjemahan akademis yang kedua dalam bahasa Inggris dan yang terdapat luas diterbitkan oleh Princeton University Press pada 1970-an, 1980-an, 1990-an, di bawah pengawasan Howard V. Hong dan Edna H. Hong. Terjemahan resmi ketiga, di bawah pengawasan Pusat Penelitian Søren Kierkegaard, akan mencapai 55 jilid dan diharapkan akan selesai setelah 2009.
Banyak filsuf abad ke-20, baik yang teistik maupun yang ateistik, meminjam banyak konsep dari Kierkegaard, termasuk pemahaman tentang angst (kecemasan), keputusasaan, serta pentingnya individu. Sebagai seorang filsuf ia menjadi sangat termasyhur pada tahun 1930-an, sebagian besar karena naik daunnya gerakan eksistensialis yang menunjuk kepadanya sebagai seorang pendahulu, meskipun kini ia sendiri dipandang sebagai seorang pemikir yang sangat penting dan berpengaruh. Para filsuf dan teolog yang dipengaruhi oleh Kierkegaard termasuk Karl Barth, Simone de Beauvoir, Martin Buber, Rudolf Bultmann, Albert Camus,Martin Heidegger, Abraham Joshua Heschel, Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Maurice Merleau-Ponty, Franz Rosenzweig, Jean-Paul Sartre, Joseph Soloveitchik, Paul Tillich, Miguel de Unamuno, Hans Urs von Balthasar. Anarkisme ilmiah Paul Feyerabend diilhami oleh gagasan Kierkegaard tentang subyektivitas sebagai kebenaran. Ludwig Wittgenstein sangat dipengaruhi dan harus mengakui keunggulan Kierkegaard, dan mengklaim bahwa "Betapapun juga, Kierkegaard jauh terlalu dalam bagi saya. . Karl Popper merujuk kepada Kierkegaard sebagai "pembaharu besar dalam etika Kristen, yang memaparkan moralitas Kristen yang resmi pada zamannya sebagai kemnafikan yang anti-Kristen dan anti-kemanusiaan".
Para filsuf kontemporer seperti Emmanuel Lévinas, Hans-Georg Gadamer, Jacques Derrida, Jürgen Habermas, Alasdair MacIntyre, dan Richard Rorty, meskipun kadang-kadang sangat kritis, juga telah mengadaptasi beberapa pemikiran Kierkegaard.[15][16][17] Jerry Fodor pernah menulis bahwa Kierkegaard adalah "seorang empu dan jauh berada di luar liga tempat kami semua [para filsuf] bermain".
Kierkegaard banyak sekali mempengaruhi literatur abad ke-20. Tokoh-tokoh yang sangat dipengaruhi oleh karya-karyanya termasuk Walker Percy, W.H. Auden, Franz Kafka,[19] David Lodge, dan John Updike.
Kierkegaard juga sangat berpengaruh terhadap psikologi dan ia daapt dianggap sebagai pendiri psikologi Kristen dan psikologi dan terapi eksistensial. Para psikolog dan terapis eksistensialis (seringkalid disebut "humanistik") termasuk Ludwig Binswanger, Victor Frankl, Erich Fromm, Carl Rogers, dan Rollo May. May mendasarkan bukunya The Meaning of Anxiety (Makna Kecemasan) pada karya Kierkegaard Konsep tentang Kecemasan. Karya sosiologis Kierkegaard Dua Zaman: Zaman Revolusi dan Masa Kini memberikan kritik yang menarik terhadap modernitas. Kierkegaard juga dilihat sebagai pendahulu penting dari pasca-modernisme.
Kierkegaard meramalkan bahwa setelah kematiannya ia akan terkenal, dan membayangkan bahwa karyanya akan dipelajari dan diteliti dengan intensif. Dalam jurnal-jurnalnya, ia menulis:
Apa yang dibutuhkan zaman ini bukanlah seorang jenius sebab jenius sudah cukup banyak. Yang dibutuhkan adalah martir, yang rela taat hingga mati untuk mengajarkan manusia agar taat hingga mati. Apa yang dibutuhkan zaman ini adalah kebangkitan. Dan karena itu suatu hari kelak, bukan hanya tulisan-tulisan saya tetapi juga seluruh hidup saya, seluruh misteri yang membangkitkan tanda tanya tentang mesin ini akan dipelajari dan dipelajari terus. Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana Tuhan menolong saya dan karena itu adalah harapan saya terakhir bahwa segala sesuatunya adalah untuk kemuliaan-Nya.

Minggu, 09 Mei 2010

Pengalaman Hidup Yang Mempengaruhi Kierkegaard

Sebuah aspek penting dari kehidupan Kierkegaard (biasanya dianggap mempunyai pengaruh besar dalam karyanya) adalah pertunangannya yang putus dengan Regine Olsen (1822 - 1904). Kierkegaard berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan segera tertarik kepadanya. Begitu pula dengan Regine. Dalam jurnal-jurnalnya, Kierkegaard menulis tentang cintanya kepada Regine:
Engkau ratu hatiku yang tersimpan di lubuk hatiku yang terdalam, dalam kepenuhan pikiranku, di sana ... ilahi yang tak dikenal! Oh, dapatkah aku sungguh-sungguh mempercayai dongeng-dongeng si penyair, bahwa ketika seseorang melihat sebuah obyek cintanya, ia membayangkan bahwa ia sudah pernah melihatnya dahulu kala, bahwa semua cinta seperti halnya semua pengetahuan adalah kenangan semata, bahwa cinta pun mempunyai nubuat-nubuatnya di dalam diri pribadi. ... tampaknya bagiku bahwa aku harus memiliki kecantikan dari semua gadis agar dapat menandingi kecantikanmu; bahwa aku harus mengelilingi dunia untuk menemukan tempat yang tidak kumiliki dan yang merupakan misteri terdalam dari keseluruhan keberadaanku yang mengarah ke depan, dan pada saat berikutnya engkau begitu dekat kepadaku, mengisi jiwaku dengan begitu dahsyat sehingga aku berubah (transfigured) bagi diriku sendiri, dan merasakan sungguh nikmat berada di sini.
—Søren Kierkegaard, Journals[5] (2 Februari 1839)
Pada 8 September 1840, Kierkegaard resmi meminang Regine. Namun, Kierkegaard segera merasa kecewa dan melankolis tentang pernikahan. Kurang dari setahun setelah pinangannya, ia memutuskannya pada 11 Agustus 1841. Dalam jurnal-jurnalnya, Kierkegaard menyebutkan keyakinannya bahwa sifat "melankolis"nya membuatnya tidak cocok untuk menikah; tetapi motif sebenarnya untuk memutuskan pertunangannya itu tetap tidak jelas. Biasanya diyakini bahwa keduanya memang sangat saling mencintai, barangkali bahkan juga setelah Regine menikah dengan Johan Frederik Schlegel (1817–1896), seorang pegawai negeri terkemuka (jangan dikacaukan dengan filsuf Jerman Friedrich von Schlegel, (1772-1829) ). Pada umumnya hubungan mereka terbatas pada pertemuan-pertemuan kebetulan di jalan-jalan di Kopenhagen. Namun, beberapa tahun kemudian, Kierkegaard bahkan sampai meminta izin suami Regine untuk berbicara dengan Regine, namun Schlegel menolak.
Tak lama kemudian, pasangan itu berangkat meninggalkan Denmark, karena Schlegel telah diangkat menjadi Gubernur di Hindia Barat Denmark. Pada saat Regine kembali ke Denmark, Kierkegaard telah meninggal dunia. Regine Schlegel hidup hingga 1904, dan pada saat kematiannya, ia dikuburkan dekat Kierkegaard di Pemakaman Assistens di Kopenhagen.

Jumat, 07 Mei 2010

Kehidupan Kierkegaard

Søren Kierkegaard dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya di Kopenhagen, ibukota Denmark. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, adalah seseorang yang sangat saleh. Ia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Ia percaya bahwa dosa-dosa pribadinya, seperti misalnya mengutuki nama Allah di masa mudanya dan kemungkinan juga menghamili ibu Kierkegaard di luar nikah, menyebabkan ia layak menerima hukuman ini. Meskipun banyak dari ketujuh anaknya meninggal dalam usia muda, ramalannya tidak terbukti ketika dua dari mereka melewati usia ini. Perkenalan dengan pemahaman tentang dosa di masa mudanya, dan hubungannya dari ayah dan anak meletakkan dasar bagi banyak karya Kierkegaard (khususnya Takut dan Gentar). Ibunda Kierkegaard, Anne Sørensdatter Lund Kierkegaard, tidak secara langsung dirujuk dalam buku-bukunya, meskipun ia pun mempengaruhi tulisan-tulisannya di kemudian hari. Meskipun sifat ayahnya kadang-kadang melankolis dari segi keagamaan, Kierkegaard mempunyai hubungan yang erat dengan ayahnya. Ia belajar untuk memanfaatkan ranah imajinasinya melalui serangkaian latihan dan permainan yang mereka mainkan bersama.
Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum meninggal dunia, ia meminta Søren agar menjadi pendeta. Søren sangat terpengaruh oleh pengalaman keagamaan dan kehiudpan ayahnya dan merasa terbeban untuk memenuhi kehendaknya. Dua hari kemudian, pada 11 Agustus, Kierkegaard menulis: "Ayah meninggal dunia hari Rabu. Saya sungguh berharap bahwa ia dapat hidup beberapa tahun lebih lama lagi, dan saya menganggap kematiannya sebagai penghorbanan terakhir yang dibuatnya karena cinta kasihnya kepada saya; ... ia meninggal karena saya agar, bila mungkin, saya masih dapat menjadi sesuatu. Dari semua yang telah saya warisi daripadanya, kenangan akan dia, potretnya dalam keadaan yang sangat berbeda (transfigured) ... sungguh berharga bagi saya, dan saya akan berusaha untuk melestarikan (kenangannya) agar aman tersembunyi dari dunia.
Kierkegaard masuk ke Sekolah Kebajikan Warga, memperoleh nilai yang sangat baik dalam bahasa Latin dan sejarah. Ia melanjutkan pelajarannya dalam bidang teologi di Universitas Kopenhagen, namun sementara di sana ia semakin tertarik akan filsafat dan literatur. Di universitas, Kierkegaard menulis disertasinya, Tentang Konsep Ironi dengan Rujukan Terus-Menerus kepada Socrates, yang oleh panel universitas dianggap sebagai karya yang penting dan dipikirkan dengan baik, namun agak terlalu berbunga-bunga dan bersifat sastrawi untuk menjadi sebuah tesis filsafat. Kierkegaard lulus pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri Artium, yang kini setara dengan Ph.D. Dengan warisan keluarganya, Kierkegaard dapat membiayai pendidikannya, ongkos hidupnya dan beberapa penerbitan karyanya.

Rabu, 05 Mei 2010

Kierkegaard

Seorang pemikir yang membuat saya terkesan, dan menginspirasi diri untuk merenungkan hidup dan tahapan kehidupan salah satunya adalah Kierkegaard. Berikut ini ceritanya.
Søren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafatHegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang. Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".

Rabu, 10 Maret 2010

Dibalik Kabar mengenai Tuhan Telah Mati

Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?
Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft

Seringkali ungkapan ini mengundang kontroversi dan membuat kaget para tokoh agama, atau di antara kita yang sensitif mengenai hal yang relijius. Sesungguhnya, hal ini merupakan pesan moral dan kritik yang sangat mendalam bagi kita yang mau berefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikatakan oleh Nietzche karena ia merasakan bahwa Tuhan (agama) tidak dapat sepenuhnya mempunyai kendali terhadap penerapan semua aturan moral.
Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai relijus. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap keagamaan merupakan sesuatu yang nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas relijus -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya.
Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia.
Hal yang layak kita tanyakan pada diri kita sendiri ataupun sebagai bahan renungan (jika kita sempat) adalah, apakah dalam kehidupan sehari-hari masih mengingat atau menyadari  keberadaan Tuhan, atau hanya sekedar konsep??? Jika ingat sejauh mana keberadaan tersebut dapat berpengaruh ataupun menentukan, dan menuntun moralitas diri, perilaku, dan tujuan hidup???
Tuhan Maha Kuasa, namun kita semua diberi kekuasaan untuk memberikan tempat bagi Nya. Apakah kita termasuk orang yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan Tuhan?? Dan kemudian mengendap-endap di sekerumunan manusia lain yang sedang berziarah di makam Tuhan, hanya untuk menciptakan alibi??

Kamis, 25 Februari 2010

Merindukan Luas Samudera

Ku mengalir di lereng terjal deras kuat menyusur riam riak mengikis bebatuan menuju lembah. Kuat ganas dan liar kumengalir berkelok di sungai dangkal. Ku bertemu di ujung anak sungai, bersatu menyatu meluas, semakin luas dan semakin dalam ku semakin tenang. Bersama meluas menuju arah yang sama, bergerak menuju tempat yang rendah, menuju tempat yang lebih luas dalam satu kesatuan, menyatu dengan kesatuan takterbatas. Itulah yang kurindukan sungai dangkal berarus kuat. Sejak awal, sejak menyeruak ke permukaan tanah aku selalu mengguman, berteriak, atau kadang menangis pilu, hingga hal itu menjadi teman keseharian dalam perjalanan. Mungkin ini nyanyian, mungkin ini tangisan, mungkin ini sorak pembangkit semangat, atau bahkan ini merupakan doa, atau mantra yang selalu terucap untuk menjadi afirmasi.
Oh samudera terimalah sungai dangkal berarus kuat agar aku dapat menyatu dalam birumu. Telan aku dalam luas mu. gulung aku dalam pelukan gelombang, hempaskanlah aku ke karang tajam... tenggelamkan aku ke dasar, lontarkan aku ke permukaan bersama perbedaan kadar garam, mengembara mengikuti arah angin.
Kini ku tak tahu sampai di mana, tapi disekitarku terbentang luas, oh... Matahari.. angkatlah aku tubuh dan kutinggalkan beban garam, ke melayang pelan dan ringan... kuberkumpul dengan wujud lembut kapas putih bersatu dengan barisan awan. Dari waktu ke waktu kami berkumpul warna kami berangsur kelabu, semakin gelap dan semakin gelap.
Loncatan-loncatan bunga api menari kian kemari, di iringi dengan gemuruh gelegar, bahkan ledakan yang memekakkan telinga. Tarian geliat naga langit mengerang, bersama dengan tubuh berat awan hitam yang sudah tak mampu lagi menahan bebannya,   ya... Awan hitam yang sarat akan hujan.
Awal dari kesedihan yang selalu berulang dan berulang dalam lingkaran siklus karma.... Aku di hempaskan lagi ke bumi..  kadang rinai... kadang terjurah lebat... harus kembali lagi mengulangi. Tanah kering yang haus dengan rakus menelanku ke dasar bumi tersimpan dalam kantong-kantong yang rapat, entah berapa lama lagi aku muncul di permukaan.
Ku menyatu terseret arus air bawah tanah, ku begerak terhisap ke dasar bumi, tergeser terhisap ditarik sulur-sulur akar pohon kehidupan. Entah berapa lama dan tertidur dalam lelap yang panjang.
Ku terjaga dan telah berada pada celah melingkar, dan kulihat di atas sana tampak cahaya matahari. Oh matahari... Tapi... Sebuah benda yang sering disebut ember atau timba turun... Dan mengangkatku... oh tidak... Tak berapa lama aku terpanggang dalam sebuah panci di dalam tungku... panasnya membuatku berkali kali terbentur di langit-langit tutup panci...
Tubuh fisikku semakin berat ketika harus melarutkan yang kukenal sebagai glukosa dan caffein... Oh... Tidak..... perjalananku akan lebih panjang.... Aku menjerit.... Aku masih harus melewati banyak pipa kapiler dalam tubuh manusia.... Dan.... Harus melewati kandung kemih... lalu aku tak tau akan menguap atau harus terbenam dalam septic tank. Ku berteriakkkkk.. menangis, mengucap doa dan mantra dengan putus asa...
Oh samudera terimalah sungai dangkal berarus kuat agar aku dapat menyatu dalam birumu... Telan aku dalam luas mu, gulung aku dalam pelukan gelombang, hempaskanlah aku ke karang tajam, tenggelamkan aku ke dasar, lontarkan aku ke permukaan bersama perbedaan kadar garam, perbedaan hangat dan dingin bawa aku mengembara mengikuti arah angin.

Lereng Merapi sisi Selatan , 01.30 WIB 12112005

Rabu, 24 Februari 2010

Terbelah Dua


Seharian hujan saat itu, aku dalam keadaan yang tidak fit karena sejak seminggu lalu flu, saat itu sudah mulai membaik karena tidak terasa lagi keluhan baik pusing, batuk ataupun pilek, hanya tinggal perasaan melayang. Tiba-tiba aku terjaga walau mata masih terpejam dan tubuh tidur, memang peristiwa yang aneh namun aku mengalami. Hal ini nyata walau dalam kenyataan pikiranku sendiri. ini bukan lamunan, mungkin lebih mirip dengan sahabat imajiner yang muncul tiba-tiba. Cepat-cepat aku melompat dan mengambil notes dan ballpoint murah yang terserak di samping PC ku yang dirakit enam tahun sebelumnya.

Kutuliskan "03052006" di bagian atas, merupakan kebiasaan sebelum menulis sesuatu, ini salah satu cara saat aku ingin bicara dengan diriku sendiri ketika berbagai pikiran yang dapat tertangkap mulai nampak.

*Guru apa yang harus kulakukan , kuda-kuda yang menarik kereta ini nampak lemas kelelahan, atau lapar hingga tak mau bergerak, bahkan tiga diantaranya terkapar.

** Ya mungkin ini memang waktunya yang tepat untuk beristirahat. Keliaranmu telah membuat mereka lelah. mereka kau pacu untuk mengejar rumput-rumput ilusi yang kau janjikan. Dan rumput tersebut juga merupakan ilusimu juga. Selama beberapa bulan terakhir kau memacunya dengan liar, lihat.. kuda kuning itu kondisinya sangatlah parah... sementara kuda merah kita yang paling sehat dan akan masih ganas jika kondisi mendadak berubah, kuda hitam terlihat paling kuat, kuda putih sehat-sehat saja walau tampak kelelahan karena terseret kuda-kuda yang lain.

*Benarkah kita harus beristirahat? kita harus berhenti? sementara perjalanan ini tanpa ujung... apakah di sini tujuan kita? apakah kuda kuning itu akan mati? haruskah kita turun dari kereta, dan kuda-kuda ini kita tinggal kan?

** Hey... apa kamu pengen jadi hantu?! mau ganti kereta dan meninggalkan kuda?! mau reinkarnasi dengan lebih cepat?! Sebagai seorang sais kamu belum banyak belajar, segala yang kau pelajari untuk meninggalkan tubuh fisik ini belum mampu untuk bergerak bebas tanpa kendaraan ini. Kalaupun itu terjadi kita tak akan tahan berdiri di atas tanah, terguyur hujan, tertiup angin dan akan terbakar oleh panas sinar matahari. Kita harus istirahat.

*Tapi...???!!!

** Sudahlah istirahat dulu. Tidurlah beri minum kuda kuning dengan air kehidupanmu, dan biarlah kuda merah menghirup hangatnya api, dan kuda hitam biarkan menghisap saripati bumi, dan kuda putih mencerap terangnya cahaya esok pagi.

* Baiklah aku istirahat setelah memberi makan kuda hitam dan merah.

** Baiklah kalau begitu... aku lebih dulu tidur... jangan kagetkan aku.


Lalu ku kembali meletakkan ballpoint dan note ku. Kemudian tidur. Mataku mulai terpejam, gelap dan hitam hitam yang kulihat berikut debu-debu bintang yang berwarna-warni mengantarku pada lelap tidurku. Sesuatu yang tak jelas entah mau kutafsirkan apa, yang jelas aku harus buka buku-buku Sigmund Freud atau Carl Gustav Jung. Ada yang mau membantu??

Selasa, 23 Februari 2010

Rasa itu Hampir Sama

Pagi seperti ini ada rasa yang sepertinya pernah benar-benar kurasakan. Rasa itu hampir sama, segala kalimat, kilasan penampakan di benak, sekaligus cara berpikir. Terhempas tiba-tiba pada tanggal 4 September 2004, enam tahun yang lalu. Permasalahan masih sama, hanya waktu dan tempat yang berbeda, walau ruang pikirku tetap juga berkutat di situ dan tak juga beranjak.
Masih tetap memeriksa batin dan bertanya pada diri, "masih adakah rasa syukur di sini?"
Ketika kutemui sang rasa syukur tersebut masih saja berbentuk seperti gelombang yang hanya merespon kondisi sekitarnya, masih mengalami pasang surut bagai pantai yang dipengaruhi oleh gravitasi bulan yang mengorbit mengelilingi sang ego. Kemudian aku beranjak keluar, dan menggumam,"rasya syukur ini, dapat dipertahankan untuk tetap bersamaku, hanya saja perlu usaha dan semangat untuk tetap menggenggamnya, bahkan untuk memeluknya".
Memelihara, merawat, dan menumbuhkan rasa syukur membutuhkan beberapa tahapan cara, yang pertama adalah menyadarinya, kemudian mengidentifikasi, hama atau parasit yang selalu mengancam atau melekat siap untuk menggerogotinya. Kutemui hama pertama adalah kesombongan, walaupun hama ini pada awalnya memberikan banyak energi untuk mempertahankan stamina sistem diri, namun berikutnya ia akan mengacaukan merancukan pandangan ku mengenai konsep diri dan identifikasi rasa.
Halusinasi tentang pencitraan diri tersebut menjadi benar-benar rancu, dan hampir tidak dapat membedakan antara intuisi dan mood, keberanian dan kenekatan, kepasrahan dan keputusasaan, semangat dan nafsu, kata hati dan ego, kepercayaan diri dan kesombongan, harga diri dan gengsi, kerendahan hati dan kerendahan diri, visi dan ilusi, harapan dan ambisi, bahkan keikhlasan dan ketidakberdayaan diri.
Rasa syukur mendatangkan keikhlasan, keikhlasan menjadi bahan bakar bagi ketenangan, dan kebahagian (paling tidak sejauh ini). Ku masih berusaha waspada, melihat dengan pandangan yang lebih jernih dari sebelumnya. Hal tersebut harus tetap kujaga, karena dapat hilang dan terenggut tiba-tiba tanpa ku sadari, saat ku lengah.
Kembali lagi di di sini, saat ini.

Senin, 22 Februari 2010

Foucault: Filsafat dan Seksualitas Kuno (12-Habis)

Akhir dari keterlibatan Foucault dengan filsafat tradisional muncul sebagai sesuatu yang mengejutkan karena ia berpaling menuju dunia kuno, sebagaimana yang ia kaji dalam beberapa tahun terakhir hidupnya. “The History of Sexuality” telah direncanakan sebagai multi-volume yang terdiri dari berbagai tema dalam studi seksualitas modern.  Jilid pertama ia membahas pengenalan umum. Foucault menulis  jilid kedua, tetapi tidak pernah dipublikasikan (The Confessions of the Flesh)tentang segala sesutu yang berhubungan dengan asal-usul pengertian modern dari subjek pelaku praktik pengakuan (dosa) Kristen. Pusat perhatian dari tulisan ini adalah pemahaman yang tepat untuk mengembangkan kajian perbandingan konsepsi Kristiani dengan konsepsi kuno tentang etika. Kajian ini dilakukan ebagaimana kajian di kedua buku terakhirnya yaitu, The Greek and Roman Sexuality” dan “The Use of Pleasure and The Care of the Self”.  
Kajian Foucault terhadap seksualitas kuno berganti pada isu-isu etika yang telah tersirat,  namun jarang secara eksplisit ditematisasikan dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Tujuan spesifik dari kajian ini  adalah untuk membandingkan kasus-kasus pagan kuno dengan etika Kristen. Foucault melakukan kajiannya melalui uji-kasus seksualitas untuk menelusuri perkembangan ide-ide Kristen tentang seks dari ide-ide yang sangat berbeda dari orang dahulu. Foucault menekankan sisi yang sangat kontras antara pandangan Kristen mengenai tindakan seksual, secara keseluruhan, kejahatan dalam diri mereka sendiri,  dan pandangan Yunani berpendapat bahwa  seksulitas benda-benda, natural/yang alami masih diperlukan, meskipun subjek untuk pelampiasan. Akibatnya, bukannya kode moral Kristen melarang sebagian besar bentuk aktivitas seksual (yang lebih ditahan dalam diam), sementara Yunani kuno menekankan penggunaan yang tepat (chresis) untuk kesenangan, hal ini terlibat dalam berbagai aktivitas seksual (heteroseksual , homoseksual, dalam perkawinan, di luar perkawinan), dengan pengaturan dan etika yang tepat. Dengan demikian seks bagi orang-orang Yunani dipahami sebagai bagian utama dari apa yang oleh Foucault disebut "estetika-estetika diri":  kreasi estetika diri, serta eksistensi kenikmatan dan kesenangan. 
Studi-studi seksualitas kuno ini, khususnya  gagasan tentang estetika diri, dipelopori oleh  Foucault mengenai filsafat tentang gagasan kuno diterapkan sebagai jalan hidup, dan bukan mencari kebenaran teoritis. Meskipun demikian, terdapat beberapa pembahasan dalam “The Use of Pleasure of Plato's conception of philosophy”, Foucault menggunakan topik ini dalam kuliah (pada 1980-an) di Collège de France dan di Berkeley; saat itu ia tidak memiliki cukup waktu untuk mengembangkan ide-ide ini untuk diterbitkan. Pada masa kuliah di Collège de France, dia membahas Socrates (the Apology and in Alcibiades), baik dalam model dan eksponen kehidupan filosofis yang  terfokus pada " care of the self " ataupun mengikuti diskusi-diskusi yang membahas dengan tema kuno ataupun hal-hal sebagaimana tema ini (Misalnya, Epictetus, Seneca dan Plutarch). Pada pemberian materi kuliah di Berkeley ia membahas cita-cita kuno "berbicara penuh kejujuran" (parrhesia) yang dianggap sebagai titik pusat dari politik dan moral mengenai kebaikan. Di sini Foucault membahas formulasi gagasan  awal,  pada pembahasan Euripides dan Socrates suatu transformasi,  selain itu juga mengenai Epikuros, Stoa, dan Cynic.  Kedua hal itu menyediakan bahan-bahan untuk paling bermanfaat dari semua perjanjian Foucault dengan filsafat tradisional. Tetapi kematian dini pada tahun 1984 menghentikannya, sebelum terselesaikan.
Sumber: 

Minggu, 21 Februari 2010

Foucault: Analisis Keterbatasan (11)

Manusia adalah keterbatasan bagi manusia itu sendiri, hal ini merupakan kenyataan bahwa, sebagaimana dijelaskan oleh ilmu-ilmu empiris modern. Manusia dibatasi oleh sistem operasi pada dirinya, yaitu berbagai kekuatan historis (organik, ekonomi, linguistik). Keterbatasan ini merupakan masalah filosofis, karena sejarah yang sama ini menjadi empiris terbatas, dan harus entah bagaimana  hal ini dapat menjadi sumber representasi mengenai dari mana kita tahu dunia empiris, termasuk diri kita sendiri sebagai makhluk empiris. Aku (kesadaran saya), sebagaimana Kant katakan, harus menjadi keduanya, yaitu  objek empiris representasi dan representasi sumber transendental. Bagaimana mungkin? Pandangan Foucault  pada akhirnya, tidak - dan suatu kemustahilan (menyadarinya historis), dengan demikian hal ini berarti adalah keruntuhan episteme modern. Apa yang  Foucault sebut "analitik dari keterbatasan", adalah sketsa  mengenai kesimpulan dari kasus-kasus historis. Upaya utama untuk mengkajinya adalah dengan cara bersama-sama membentuk inti filsafat modern supaya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Pertanyaan dan strategi dasar untuk menjawab hal tersebut, kita tentu saja, kembali pada Kant, yang mengajukan pemikiran-pemikiran penting sebagai berikut adalah, faktor-faktor penting  yang membuat kita terbatas (ruang, waktu, kausalitas, dan sebagainya) yang merupakan kondisi/syarat  yang dibutuhkan bagi kemungkinan menuju pengetahuan.  Oleh karena keterbatasan manusia, secara terus menerus ditemukan berasamaan dengan pemuan tersebut (hal ini merupakan hal yang positif dan mendasar, sebagaimana dikatakan Foucault). Kajian-kajian filsafat modern (Kant dan pasca-Kantian) - analitik dari keterbatasan - adalah untuk menunjukkan bagaimana hal ini menjadi mungkin.

Beberapa filsafat modern berusaha untuk menyelesaikan masalah manusia tersebut,  yang ternyata pada dasarnya, hal ini mengurangi transendental menjadi lebih ke empiris. Sebagai contoh, usaha kaum positivisme untuk menjelaskan pengetahuan dengan pendekatan ilmu alam (fisika, biologi), sementara kaum Marxisme menggunakan sejarah ilmu-ilmu sosial. (Perbedaannya adalah bahwa pengetahuan beranjak atau didasari oleh hal-hal yang ada di masa lalu - misalnya, sebuah sejarah evolusi - sedangkan alasan kedua sebuah gerakan revolusioner masa depan yang akan melampaui batas-batas ideologi.) Sementara pendekatan yang lain mengabaikan hal-hal bahwa manusia harus dianggap sebagai sesuatu yang dapat direduksi, baik secara empiris dan transendental.

Fenomenologi Husserl  nampaknya telah melaksanakan proyek sintesis Kant mengenai manusia sebagai objek dan manusia sebagai subyek secara dengan pendekatan  Cartesian radikal yaitu, dengan mendasarkan bahwa pengetahuan kita mengenai kebenaran empiris dalam realitas subjek transendental.  Bagaimanapun juga, masalahnya adalah bahwa gagasan modern mengenai manusia termasuk Descartes ide dari cogito sebagai "souvereign transparency"  dari kesadaran murni. Pikiran tidak lagi murni representasi dan karena itu tidak dapat dipisahkan dari "bukan pemikiran" (yaitu, pemberian dari  kebenaran empiris dan historis tentang siapa kita). “Aku” tidak dapat meninggalkan bahwa "aku berpikir" untuk "Aku" karena isi dari realitas Aku (yang saya) selalu lebih dari isi dari pemikiran diri (saya, misalnya, hidup, bekerja, dan berbicara - dan semua ini membawa saya melampaui pemikiran belaka).  Atau, meletakkan titik pada alur yang sebaliknya, jika kita menggunakan "saya" untuk menunjukkan kenyataan saya hanya sebagai dalam keadaan sadar, maka saya "bukan" banyak dari apa yang saya (sebagai seorang diri di dunia) pagi. Akibatnya, sejauh bahwa Husserl telah didasarkan segala sesuatu dalam subjek transendental, ini bukan subjek (cogito) dari Descartes cogito tapi ide dari filsafat modern, yang meliputi (empiris) bukan pemikiran  yang merupakan bagian dari realitas manusia. Fenomenologi, seperti semua pemikiran filsafat modern, harus menerima yang bukan pemikiran sebagai yang tidak dapat sesuatu yang “lain” dari manusia yang tak dapat dieliminir. Bukan pula fenomenologis eksistensial (seperti Sartre dan Merleau-Ponty) mampu memecahkan masalah. Tidak seperti Husserl, mereka menghindari ego transendental yang di “tepat” kan dan berpusat pada realitas konkret manusia-dalam-dunia. Tapi ini, klaim Foucault, hanyalah sebuah cara yang lebih halus untuk mengurangi kadar  dari transendental ke empiris.

Akhirnya, beberapa filsuf (Hegel dan Marx dalam satu hal, Nietzsche dan Heidegger yang lain) telah mencoba untuk menyelesaikan masalah status ganda manusia dengan memperlakukan dia sebagai realitas sejarah. Tetapi langkah ini menjumpai kesulitan , yaitu manusia harus produk” sempurna ” dari proses dan evolusi sejarah.  Jika kita memperlakukan manusia sebagai produk, kita menemukan diri kita mengurangi realitas dengan sesuatu yang non-manusia (ini adalah apa yang Foucault sebut sebagai "kemunduran" dari asal manusia). Tetapi jika kita bersikeras "kembali" kepada manusia sebagai miliknya asal tepat, maka kita tidak lagi dapat memahami tempatnya di dunia empiris. Paradoks ini dapat menjelaskan obsesi tak berujung  filsafat  modern mengenai sesuatu yang asli (the origins), namun tak pernah ditemukan jalan keluar dari kontradiksi antara manusia sebagai pencipta dan manusia sebagai berasal. Meskipun demikian, Foucault berpendapat bahwa mengejar filsafat modern dengan  pertanyaan tentang “the origins” telah memberikan kita suatu rasa mendalam makna ontologis yang sangat penting dari waktu.Hal ini sebagaimana dalam pemikiran Nietzsche dan Heidegger, yang menolak Hegel dan pandangan Marx mengenai “kembali ke asal” sebagai pemenuhan penebusan ini, dan bukannya melihatnya sebagai sebuah ketiadaan konfrontasi dengan keberadaan kita.
 

Sumber:
http://plato.stanford.edu/entries/foucault

Sabtu, 20 Februari 2010

Foucault: Manusia dan Bahasa (10)


Pada titik ini, The Order of Things memperkenalkan dua fitur utama pemikiran setelah Kant, yaitu tentang kembalinya bahasa dan "kelahiran manusia". Diskusi kita menjelaskan mengapa Foucault berbicara tentang “kembali”nya bahasa yang sekarang tidak hanya tergantung dengan hal lain, tetapi juga memiliki peran yang penting , dengan demikian hal ini bukanlah sebagai ide Klasik semata. Namun arti kembali juga bukan sebagai fenomena monolitik. Bahasa berkaitan dengan pengetahuan dalam berbagai wujud. jadi, misalnya, dalam sejarah, bahasa alam telah memperkenalkan kebingungan dan distorsi bahwa kita dapat mencoba untuk menghilangkan melalui teknik formalisasi. Di sisi lain, sejarah yang sama ini mungkin telah disimpan sebagai kebenaran hakiki dalam bahasa kita,dan kita hanya bisa menggali dengan metode interpretasi hermeneutika. (ternyata ada dua pendekatan yang bertentangan - yang mendasari pembagian filsafat analitik dan kontinental - sebenarnya, yang menurut Foucault merupakan proyek-proyek pelengkap pemikiran modern.) Tapi masih ada kemungkinan lain yaitu dibebaskannya ide-ide dari subordinasinya, bahasa dapat diobati (seperti yang pernah terjadi pada saat Renaissance) sebagai sebuah realitas anonim - sebagai anonim bahkan justru lebih mendalam daripada bahasa Renaissance, karena tidak ada sistem mengikat kemiripan-kemiripan di dunia ini. Dalam pengertian ini, bahasa adalah suatu kebenaran sebagai dirinya sendiri, berbicara tidak mempuanyai arti kecuali artinya sendiri. Ini adalah wilayah "sastra murni", yang dipicu oleh Mallarmé ketika dia menjawab Nietzsche (genealogis) pertanyaan, "Siapa yang berbicara?" Dengan, "Bahasa itu sendiri". Berbeda dengan Renaissance, bagaimanapun, tidak ada Firman ilahi yang mendasari dan memberikan kebenaran yang unik untuk kata-kata bahasa. Sastra secara harfiah apa-apa tetapi bahasa - atau lebih banyak bahasa, berbicara untuk dan dari diri mereka sendiri, bahkan lebih penting daripada bahasa adalah sosok manusia. Yang paling penting tentang "manusia" adalah ia adalah sebuah konsep epistemologis. Manusia, sebagaimana Foucault mengatakan, tidak ada pada selama era Klasik (atau sebelumnya). Ini bukan karena tidak ada gagasan mengenai manusia sebagai suatu spesies atau sifat manusia sebagai psikologis, moral, atau gagasan politik. Sebaliknya, "tidak ada kesadaran epistemologis manusia seperti itu" (The Order of Things). Tetapi bahkan "epistemologis" kebutuhan akan konstruktif. Tidak ada keraguan bahwa bahkan di era Klasik manusia yang dipandang sebagai lokus pengetahuan (yaitu, manusia adalah pemilik ide-ide yang mewakili dunia). Manusia, di sisi lain, adalah gagasan epistemologis dalam arti (Kantian) subjek yang transendental juga merupakan objek empiris. Pada Era Klasik, manusia adalah representasi lokus tetapi tidak bagi Kant. Dalam pemikiran klasik, tidak terdapat ruang untuk pengertian modern dari "konstitusi".

Foucault mengungkapkan melalui serangan tajam pada cogito nya Descartes, menunjukkan mengapa ini merupakan suatu kepastian yang tidak dapat disangsikan dalam episteme klasik, tapi tidak dalam episteme modern. Ada dua cara untuk mempertanyakan kekuatan cogito. Salah satunya adalah untuk menunjukkan bahwa subjek (pemikiran diri, Foucault), sementara Descartes menyimpulkan bahwa terdapat sesuatu yang lebih dari sekedar tindakan yang merepresentasikan benda, maka kita tidak dapat meninggalkan representasi menuju seorang pemikir. Namun t untuk Zaman Klasik hal ini tidak masuk akal, karena pemikiran adalah representasi itu sendiri. Kritik kedua adalah diri representer merupakan sesuatu bukan "benar-benar nyata" melainkan hanya "produk dari" (constituted/bagian dari) pikiran nyata dalam arti yang lebih lengkap. Namun ketidaksetujuan ini memiliki bobot hanya jika kita dapat memikirkankannya dengan "lebih nyata", pikiran memiliki diri sebagai objek dalam arti tertentu selain sebagai representer. (Jika tidak, tidak ada dasar untuk mengatakan bahwa diri sebagai representer adalah "kurang nyata".) Tapi, sekali lagi, ini justru apa yang tidak dapa menjadi pemikiran dalam istilah klasik.

Sumber:

http://plato.stanford.edu/entries/foucault/

Jumat, 19 Februari 2010

Foucault : Kritik-kritik Kant terhadap Representasi Klasik (9)


Foucault menyatakan bahwa "perubahan" besar menjadi filsafat modern terjadi ketika, dengan Kant (sebagai contoh dari sesuatu pembahasan yang jauh lebih luas dan lebih mendalam), dengan demikian maka terdapat kemungkinan munculnya pertanyaan “apakah ide mengenai kenyataan merepresentasikan objek-objek” dan , jika demikian, bagaimana cara kerjanya. Dengan kata lain, ide-ide tidak lagi dianggap sebagai kendaraan tak bermasalah bagi pengetahuan; sekarang mungkinkan untuk berpikir bahwa mungkin tidak ada yang dapat dilakukan terhadap pengetahuan (atau memiliki akar dalam) mengenai sesuatu yang lain kecuali representasi. Hal ini bukan berarti bahwa representasi sama sekali tidak berhubungan dengan pengetahuan. Mungkin beberapa (atau bahkan semua) pengetahuan masih didasari oleh ide-ide yang terlibat 'untuk merepresentasikan objek-objek. Namun Foucault menegaskan, bahwa hanya pemikiran (dengan Kant)yang mungkin dapat merepresentasikan pemikiran itu sendiri (dan ide-ide yang direpresentasikan) dapat juga sesuatu yang memiliki asal dari sesuatu yang lain.

Pemikiran ini, menurut Foucault, menjadi kemungkinan-kemungkinan modern yang penting dan khas. Pada awalnya merupakan hanya dikembangkan oleh Kant sendiri, yang berpikir bahwa representasi (pikiran atau ide) itu sendiri produk ( "bentukan" yang dilakukan oleh) pikiran. Bagaimanapun jugayang dihasilkan oleh pikiranmerupakan realitas natural atau historis, tetapi merupakan wilayah khusus dalam epistemis: transendental subjektivitas. Dengan demikian, Kant mempertahankan keberadaan pemikiran Klasik dari desakan bahwa pengetahuan tidak dapat dipahami sebagai realitas fisik atau historis, namun ia meletakkan dasar-dasar pengetahuan dalam suatu domain (transendental) lebih fundamental daripada ide-ide. (Kita harus menambahkan, tentu saja, bahwa Kant juga tidak memikirkan memiliki domain ini sebagai sebuah realitas di luar sejarah dan fisik, tetapi bukan metafisika. Tetapi sebagai metafisik alternatif yang dieksplorasi oleh idealisme metafisika yang diikuti oleh Kant) di sisi lain - dalam beberapa hal yang lebih identik dengan pandangan modern adalah bahwa ide-ide itu sendiri merupakan realitas sejarah. Ini paling masuk akal untuk dapat dikembangkan dengan membuat ide dasarnya terikat dengan bahasa (misalnya, Herder), saat ini dianggap sebagai hal yang primer (dan di-historiskan) sebagai kendaraan dari pengetahuan. Tetapi pendekatan semacam itu tidak layak dalam bentuk murni, karena untuk membuat sepenuhnya pengetahuan menjadi historis akan menjauhkannya dari karakter-karakter normatif, sehingga justru menghancurkan karakternya sebagai pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan pemikiran modern pada dasarnya membuat sejarah, ia harus mempertahankan beberapa keseimbangan fungsional pada wilayah transendental Kant untuk menjamin validitas normatif pengetahuan.

Referensi:
http://plato.stanford.edu/entries/foucault/

Kamis, 18 Februari 2010

Foucault: Reprsentasi dalam Filsafat Modern (8)

Foucault menyatakan bahwa representasi bukan hanya salah satu dari berbagai permasalahan filsafat modern. Seperti banyak penafsir, ia menganggap pemikiran filosofis dari Descartes ditekankan pada maslah mengenai pengetahuan. Sangat khas dan konsisten dengan pandangan, misalnya, Heidegger. Ia selalu melihat representasi sebagaimana inti pertanyaan terhadap pengetahuan. 
Representasi Klasik  
Foucault berpendapat bahwa mulai dari Descartes hingga Kant (sebagaimana di Perancis, pada masa itu disebut jaman Klasik), representasi hanya diidentifikasi sederhana dengan pikiran, dengan demikian maka, berpikir adalah pada saat menerapkan ide-ide untuk merepresentasikan objek pemikiran. Namun, kita harus benar-benar jelas mengenai arti sebuah ide untuk merepresentasikan suatu objek. Hal ini bukan merupakan yang pertama dari beberapa pemilahan hubungan berdasarkan kemiripan : tetapi lebih dari sesuatu yang kosong dari ide itu sendiri yang merupakan representasi dari objek tersebut. (bagaimanapun juga hal ini tidak memerlukan acuan yang tidak relevan dari representasi ide mengenai objek itu sendiri). Sementara yang sebaliknya, pada masa rennaisance, pengetahuan dipahami sebagai hal mengenai kemirimapan dan pemilahan dari tanda-tannda.
Peta adalah model yang berguna untuk representasi dengan cara klasik. Peta terdiri dari serangkaian garis lebar yang berbeda-beda, panjang, dan warna, dan dengan demikian menujukkan informasi mengenai jalan-jalan di dan sekitar kota. Ini bukan karena jalan memiliki sifat-sifat dalam peta (yang lebar, panjang, dan warna garis), tetapi karena struktur abstrak yang diberikan pada peta (hubungan antara garis-garis) meniru struktur abstrak jalan. Pada Inti dari pemikiran Klasik adalah prinsip yang kita tahu dalam kebajikan memiliki gagasan yang, dalam pengertian ini, merepresentasikan apa yang kita ketahui. Tentu saja, berbeda dengan peta, kita tidak perlu mengetahui fitur-fitur yang sebenarnya sebenarnya merupakan ide-ide kita dalam kebajikan yang drepresentasikan. (Dalam skolastik terminologi Descartes, kita tidak perlu mengetahui "realitas formal".) Kita hanya perlu tahu struktur abstrak yang mereka bagi dengan hal-hal yang mereka direpresentasikan (struktur dari apa yang menurut Descartes adalah "realitas objektif"). Kita bagaimanapun, telah memiliki akses langsung (introspektif) terhadap struktur abstrak ide-ide kita: kita bisa "melihat" struktur apa yang mereka miliki. Lebih jauh lagi, kita dapat mengubah struktur sebuah ide untuk membuat representasi yang lebih baik dari sebuah objek, seperti yang kita dapat mengubah peta untuk memperbaikinya.
Bagaimana pada pandangan klasik? apakah kita tahu bahwa ide merupakan representasi dari obyek dan representasi tersebut yang memadai?, Foucault berpendapat tidak, dengan membandingkan ide dengan objek seperti memisahkan dua hal tersebut dari representasi. Ini mustahil,untuk mengetahui objek tanpa representasi (anggapan kaum klasik, tahu adalah untuk merepresentasikan). Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa ide itu sendiri harus menjelaskan bahwa itu adalah representasi. Gagasan representasi dari fakta, dengan demikian hal itu adalah representasi. Mengenai pertanyaan apakah ide adalah representasi? Ini merupakan"self-referensial" fitur yang ada padanya. Mengenai kelayakannya, hal itu harus terdiri beberapa bagian dari ide, serta juga kelayakan kesaksian dari hal tersebut. Sebagai contoh, Descartes ' " persepsi yang jelas dan berbeda" atau impresi sederhananya Hume. Dalam pengertian ini, awal filsafat modern harus selalu didasarkan pada "intuisi" (intelektual atau indera). Namun, perlu diketahui bahwa "intuisi" dari sebuah ide yang tidak memadai, dengan sendirinya, menetapkan keberadaan independen objek yang direpresentasikan oleh ide. Sejauh pandangan modern awal yang bersangkutan, mungkin tidak ada objek tersebut, atau, jika ada, ini perlu dibangun dengan beberapa cara lain (misalnya, sebuah argumen atau beberapa jenis intuisi).
Kita melihat, kemudian, bahwa bagi Foucault kunci untuk mengetahui pemahaman Klasik adalah ide, sebagai representasi dari mental. Pemikir klasik dapat tidak sepakat tentang status ontologis ide-ide yang sebenarnya (realitas formal dari ide tersebut); tetapi mereka semua harus setuju bahwa sebagai representasi (secara epistimologi, jika tidak ontologis) mereka adalah "non-fisik" dan "non-historis", yang secara tepat dapat merepresentasikan objek-objek tersebut, mereka tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang berperan dalam jaringan kausal atau alam dunia manusia. Beranjak dari hal ini kemudian diikuti lebih lanjut oleh bahasa -yang merupakan fisik sekaligus realitas historis- bisa tidak memiliki peran penting dalam pengetahuan. Bahasa bisa jadi tidak lebih tinggi dari sekedar instrumen berpikir: representasi fisik dari ide, tidak memiliki makna kecuali dalam hubungannya dengan ide-ide tersebut.

Referensi:
http://plato.stanford.edu/entries/foucault/

Rabu, 17 Februari 2010

Blog Promotion | BlogUpp!

Blog Promotion | BlogUpp!
Best regards,
G. Bayuardi

Free lance - Try and Learning Everything
tel.:085228582222
fax:
zegavon@gmail.com
http://zegavon2go.blogspot.com

Foucault: Sejarah Seksualitas Modern (7)

Foucault menuliskan karyanya "History of Sexuality" pada awalnya diproyeksikan sebagai perpanjangan yang cukup sederhana dari pendekatan Genealogi "Dicipline and Punishment" dengan topik seksualitas. Ide Foucault adalah bahwa berbagai badan modern pengetahuan tentang seksualitas (berbagai "ilmu-ilmu seksualitas", termasuk psikoanalisis) memiliki hubungan intim dengan struktur kekuasaan masyarakat modern dan begitu juga perdana kandidat untuk analisis genealogis. Jilid pertama dari proyek ini, yang diterbitkan pada tahun 1976, itu dimaksudkan sebagai pengantar untuk serangkaian penelitian tentang aspek-aspek tertentu seksualitas modern (anak-anak, perempuan, "sesat", penduduk, dll) ini menjabarkan proyek dari keseluruhan sejarah, menjelaskan sudut pandang dasar dan metode yang akan digunakan.
Foucault menekankan bahwa kontrol terhadap seksualitas modern sama dengan  kontrol kriminalitas modern, dengan membuat seks (seperti kejahatan) objek diduga  merupakan disiplin ilmiah, yang secara terus menerus menawarkan dominasi pengetahuan terhadap objek-objeknya . Namun, menjadi jelas bahwa terdapat dimensi lebih lanjut dalam kuasa ilmu-ilmu dalam hubungannya dengan seksualitas. Tidak hanya dilakukan kontrol melalui orang lain 'pengetahuan individu; ada juga mengendalikan melalui individu "pengetahuan tentang diri mereka sendiri. Individu menginternalisasi norma-norma yang ditetapkan oleh ilmu pengetahuan seksualitas dan memantau diri mereka sendiri dalam upaya untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma ini. Jadi, mereka tidak dikendalikan hanya sebagai objek disiplin tetapi juga sebagai pengamat diri sendiri dan membentuk diri sebagai subjek.

Untuk semua minat dan kepentingan mereka, kritik Foucault tidak begitu bersifat filsafat dalam arti tradisional itu sebagaimana suatu masalah untuk mencapai tujuan filosofis tradisional - kritik mengklaim kontemporer pengetahuan - oleh baru (sejarah) berarti. Namun ada juga aspek-aspek pekerjaan yang secara langsung terlibat topik filosofis standar, terutama yang terkait dengan masalah epistemologis pusat perwakilan. Secara khusus, ia menawarkan, dalam The Order of Things, analisis rinci pertanyaan perwakilan dari Descartes melalui Kant. Hal ini, jauh dan menjauh, yang paling berkelanjutan tradisional sepotong analisis filosofis dan karena itu layak perhatian kita.

Referensi:
http://plato.stanford.edu/entries/foucault/

Selasa, 16 Februari 2010

Foucault: Sejarah Penjara (6)

Dicipline and Punishment (1975) adalah studi genealogis Foucault mengenai pengembangan "halus" cara modern yaitu dengan memenjarakan kriminal, daripada menyiksa atau membunuh para kriminal. Walaupun hal ini merupakan bagian dari reformasi pencerahan,  Foucault lebih menekankan betapa reformasi semacam itu juga menjadi sarana kontrol lebih efektif: "untuk tidak terlalu menghukum ,  tetapi jelas untuk menghukum dengan cara yang lebih baik". Dia lebih jauh berpendapat bahwa modus baru hukuman menjadi model untuk mengontrol seluruh masyarakat, dengan pabrik-pabrik, rumah sakit, dan sekolah model di penjara modern. Kita tidak boleh Namun, berpikir bahwa penyebaran model ini adalah karena keputusan eksplisit dari beberapa lembaga pusat pengendalian . Dalam silsilah biasanya mode, analisis Foucault menunjukkan bagaimana teknik dan lembaga, dikembangkan untuk berbeda dan sering sangat berbahaya tujuan, berkumpul untuk menciptakan sistem modern kekuasaan disipliner.
Inti dari gambar Foucault modern "disipliner" masyarakat adalah tiga teknik utama kontrol: pengamatan hierarkis, menormalkan penilaian, dan pemeriksaan. Untuk sebagian besar, kontrol atas orang-orang (kekuasaan) dapat dicapai hanya dengan mengamati mereka. Jadi, misalnya, berjenjang deretan kursi di sebuah stadion tidak hanya membuat mudah bagi penonton untuk melihat tapi juga untuk penjaga atau kamera keamanan untuk memindai penonton. Sebuah sistem yang sempurna akan memungkinkan pengamatan satu "penjaga" untuk melihat segala sesuatu (situasi diperkirakan, seperti yang akan kita lihat, dalam Jeremy Bentham's penjara yg bentuknya bundar). Tapi karena hal ini biasanya tidak mungkin, ada kebutuhan untuk "relay" dari pengamat, hierarkis memerintahkan, melalui pengamatan data  kurang lengkap, mulai dari level yang rendah ke level yang lebih tinggi.
Sebuah ciri khas kekuasaan modern (pengawasan kedisiplinan) adalah perhatian terhadap apa yang orang tidak melakukan (tak teramati), dengan, yakni kegagalan seseorang untuk mencapai standar yang diperlukan. Keprihatinan ini menggambarkan fungsi utama sistem disiplin modern: untuk memperbaiki perilaku menyimpang. Tujuannya bukan balas dendam (seperti dalam kasus hukuman siksaan dari pra modern), tetapi lebih pada pembentukan kembali (reformasi), di mana, tentu saja, dalam arti kembali pada bentuk perilaku yang sebagaimana standar masyarakat atau norma. Disiplin melalui pemaksaan norma-norma ("normalisasi") adalah sangat berbeda dengan hukuman sistem peradilan yang lebih tua, di mana otoritas hakim yang menentukan bahwa mereka dinilai  "normal" atau " tidak normal ". Ide ini normalisasi mengakar dalam masyarakat kita: misalnya, dalam standar nasional untuk program pendidikan, praktek medis, untuk proses industri dan produk.
Pemeriksaan/test (misalnya, siswa di sekolah, pasien di rumah sakit) adalah metode kontrol hierarkis yang menggabungkan pengamatan dengan normalisasi penilaian. Ini adalah contoh utama dari apa yang disebut Foucault kekuasaan-pengetahuan, karena menggabungkan menjadi kesatuan yang utuh "penggelaran kekuatan dan pembentukan kebenaran". Hal kedua memunculkan kebenaran tentang orang-orang yang menjalani pemeriksaan (menceritakan apa yang mereka ketahui atau apa yang keadaan kesehatan mereka) dan kontrol perilaku mereka (dengan memaksa mereka untuk belajar atau mengarahkan mereka ke pengobatan).
Foucault menggarisbawahi, konteks hubungan kekuasaan dan pengetahuan yang jauh lebih sesuai  daripada pendapat Bacon yaitu model "knowledge is power" berarti bahwa pengetahuan adalah alat kekuasaan, meskipun kedua hal tersebut merupakan hal yang tidak memiliki hubungan. Inti pendapat Foucault adalah bukan, atau setidaknya untuk studi tentang manusia, bahwa kekuasaan dan tujuan tujuan pengetahuan tidak dapat dipisahkan: untuk mengetahui apa yang kita kontrol dan mengontrol apa yang kita ketahui.
Pemeriksaan juga menempatkan individu dalam sebuah "bidang dokumentasi". Hasil ujian tercatat dalam dokumen yang memberikan informasi rinci mengenai individu yang diperiksa dan biarkan sistem kekuasaan untuk mengendalikan mereka (misalnya, absentee, catatan bagi sekolah, grafik pasien di rumah sakit). Berdasarkan catatan ini, mereka yang memegang kendali dapat merumuskan kategori, rata-rata, dan norma-norma yang pada gilirannya dasar pengetahuan. Pemeriksaan mengubah individu menjadi sebuah "kasus"-dalam kedua arti dari istilah: sebuah contoh ilmiah dan objek perawatan; merawat penderita  juga merupakan kesempatan untuk pengendalian.
Konsep Bentham tentang panopticon (penjara bundar), bagi Foucault,  hal ini merupakan model arsitektur modern yang ideal untuk kekuasaan disipliner. Ini adalah desain untuk sebuah penjara, yang dibangun sehingga setiap tahanan terpisah  dan tidak terlihat oleh yang lain (dalam terpisah "sel") dan masing-masing tahanan selalu terlihat dalam monitor yang terletak pada sebuah pusat menara pengawas. Monitor sebenarnya tidak akan selalu melihat setiap tahanan. Sejak narapidana tidak pernah tahu apakah mereka sedang diamati, mereka harus bertindak seolah-olah mereka selalu objek pengamatan. Akibatnya, kontrol dicapai lebih oleh pemantauan internal yang dikendalikan oleh pembatasan fisik yang ketat
Prinsip dari panoptic dapat diterapkan tidak hanya ke penjara, tetapi untuk setiap sistem kekuasaan disipliner (sebuah pabrik, rumah sakit, sekolah). Dan, pada kenyataannya, meskipun Bentham sendiri tidak pernah menyadarinya, prinsip ini telah mengakar di setiap aspek masyarakat modern. Hal ni adalah suatu alat di mana disiplin modern telah menggantikan kedaulatan pra-modern (raja-raja, hakim) sebagai dasar hubungan kekuasaan.

Referensi:
http://plato.stanford.edu/entries/foucault/

Senin, 15 Februari 2010

Foucault: Arkeologi dan Genealogi (5)

Disiplin dan Menghukum menandai transisi untuk apa umumnya ciri sebagai komentator Foucault's "genealogi"(silsilah) masa, berbeda dengan sebelumnya "arkeologi" periode. Pada tahun 1969, ia menerbitkan The Archaeology of Knowledge, sebuah risalah metodologis yang secara eksplisit merumuskan apa yang diperlukan untuk menjadi implisit pendekatan sejarah ( "arkeologi") dia ditempatkan dalam The History of Madness, The Birth of the Clinic, dan The Order of Things. Premis metode arkeologi adalah bahwa sistem pemikiran dan pengetahuan (epistemes atau formasi diskursif, dalam terminologi Foucault) diatur oleh peraturan, yang melebihi tata bahasa dan logika, yang beroperasi di bawah kesadaran individu subyek dan menetapkan sistem konseptual kemungkinan yang menentukan batas-batas pemikiran dalam suatu domain dan periode. Jadi, misalnya, The History of Madness harus, Foucault dipelihara, dibaca sebagai penggalian intelektual yang sangat berbeda dari formasi-formasi diskursif yang mengatur bicara dan berpikir tentang kegilaan dari ke-17 melalui abad 19. (Memang, dengan metode arkeologi hanya adumbrated dalam pekerjaan awal ini, tetapi itu sepenuhnya dikembangkan dalam The Order of Things.)

Arkeologi merupakan metode penting bagi Foucault karena mendukung suatu penulisan sejarah yang tidak bertumpu pada kesadaran keunggulan masing-masing mata pelajaran; justru membiarkan pemikiran sejarawan untuk beroperasi pada tingkat tak sadar bahwa keunggulan terlantar subjek yang ditemukan di kedua fenomenologi dan historiografi tradisional. Namun, kekuatan kritis arkeologi dibatasi untuk perbandingan formasi diskursif yang berbeda dari periode yang berbeda. Perbandingan seperti bisa menyarankan kontingensi dari suatu cara berpikir dengan menunjukkan bahwa masa-masa sebelumnya telah berpikir sangat berbeda (dan, tampaknya, dengan sebanyak efektivitas). Tetapi analisis arkeologi hanya bisa mengatakan apa-apa tentang penyebab transisi dari satu cara berpikir yang lain sehingga mungkin harus mengabaikan hal yang paling kuat untuk kontingensi tertanam posisi kontemporer. Genealogi, metode baru dikerahkan di buku Disiplin dan Hukum, dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan ini.

Foucault dimaksudkan istilah "genealogi" untuk membangkitkan silsilah Nietzsche moral, terutama dengan saran yang kompleks, biasa, yg tak dikenal asal-usul - sama sekali tidak bagian dari skema besar sejarah progresif. Tujuan dari analisis silsilah adalah untuk menunjukkan bahwa sebuah sistem pemikiran (sendiri ditemukan dalam struktur penting oleh arkeologi, yang karenanya tetap menjadi bagian dari historiografi Foucault) adalah hasil dari kontingen mengubah sejarah, bukan hasil secara rasional tren tak terhindarkan.

Referensi:

Minggu, 14 Februari 2010

Foucault: Sejarah Kegilaan (History of Madness) (4)


Karya yang paling menonjol dari pemikiran Foucault adalah karya besar pertamanya, The History of Madness di Zaman Klasik (1961). Buku ini berasal dari studi akademis psikologi Foucault (a licence de Psychologie pada tahun 1949 dan diplome de psiko-Pathologie pada tahun 1952) dan hal ini dikerjakan ketika ia bekerja di sebuah rumah sakit jiwa Paris, namun lebih banyak ditulis selama menjalani studi pasca-sarjana Wanderjahren (1955-1959 ) melalui succession of diplomatic/ educational posts di Swedia, Jerman, dan Polandia. Sebuah studi tentang munculnya konsep modern "penyakit mental" di Eropa, dalam "The History of Madness" disusun dari kedua arsip-arsip pekerjaan Foucault, dan ia sangat marah pada apa yang dilihat sebagai kemunafikan moral psikiatri modern. Sejarah melihat abad kesembilan belas merupakan era pengobatan kegilaan (dikembangkan dari reformasi Pinel di Perancis dan Tuke saudara di Inggris) sebagai pencerahan gila, pembebasan dari kebodohan dan kebrutalan usia sebelumnya. Tapi, menurut Foucault, gagasan baru bahwa hanyalah sakit gila ( "mental" sakit) dan membutuhkan perawatan medis sama sekali tidak perbaikan yang jelas pada konsep-konsep sebelumnya (misalnya, ide Renaissance bahwa gila berada di kontak (pandora box)dengan kekuatan misterius atau tragedi kosmik-17-abad ke-18 pandangan kegilaan sebagai menyangkal nalar). Selain itu, ia berpendapat bahwa dugaan netralitas ilmiah pengobatan medis modern terhadap kegilaan, sebenarnya mencakup untuk mengendalikan tantangan untuk moralitas borjuis konvensional. Singkatnya, Foucault berpendapat bahwa apa yang disajikan sebagai tujuan, tak terbantahkan penemuan ilmiah (bahwa kegilaan adalah penyakit mental) sebenarnya produk yang dipertanyakan secara nyata mengenai komitmen sosial dan etika.
Foucault sejarah berikutnya, The Birth of the Clinic (1963) juga dapat dibaca sebagai sebuah kritik kedokteran klinis modern. Namun kritik sosio-etis akan dimatikan (kecuali beberapa bagian keras), mungkin karena ada inti substansial bahwa kebenaran objektif dalam bidang kedokteran (sebagai lawan dari psikiatri), sehingga tidak banyak gunakan sebagai dasar  kritik. Akibat Kelahiran klinik jauh lebih dekat dengan standar ilmu sejarah, dalam tradisi sejarah konsepnya Canguilhem. Hal yang sama berlaku bagi The Order of Things, yang jauh lebih kontroversial karena serangan filosofis fenomenologi (dan Marxisme) daripada yang kompleks dan bernuansa kritik terhadap ilmu-ilmu manusia.

Referensi:
http://plato.stanford.edu/entries/foucault/