Sabtu, 20 Februari 2016

Filosofi Riset Kependidikan (17): Variasi Penelitian Kependidikan (Penelitian Sejarah)



Penelitian Historis/Sejarah
Penelitian Sejarah atau Historis merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian kependidikan, sebagaimana pemikiran McCulloch dan Richardson (2000), yang dituangkan dalam bukunya Historical Research in Educational Settings (Penelitian Sejarah dalam Bidang Kependidikan ),menekankan perhatian pada kelangkaan literatur tentang penerapan penelitian sejarah untuk bidang pendidikan - terutama, bagi yang suka pada aktivitas refleksi/ bercermin dari sejarah dalam pendidikan- meskipun ada begitu banyak ditulis tentang sejarah pendidikan. Hal paling penting, penelitian sejarah bermaksud untuk mengeksplorasi arti berpikir secara historis - tidak hanya keterampilan khusus (katakanlah, dalam mencari dan menafsirkan bukti dokumenter), selain itu mampu bersaing dalam tradisi filosofis ' bekerja paradigma sejarah' atau 'berpikir historis'. Misalnya, ketika terdapat masalah yang tak terelakkan untuk memahami teks dalam sistem kepercayaan (agama) pada suatu periode waktu tertentu- upaya untuk masuk pada suatu level “imajinatif” ke dalam pola pikir seseorang ataupun lembaga di era dan situasi yang sangat berbeda (era skolastik, atau kependidikan di pondok pesantren, ataupun seminari). Gagasan 'imajinasi sejarah', atau yang oleh filsuf sejarah, R. G. Collingwood, disebut sebagai 're-enactment' (“memperagakan”, rekonstruksi), tampaknya akan menjadi penting – dengan catatan, selalu terbuka untuk revisi saat diuji saat ditemukan fakta ataupun bukti yang baru. Namun demikian yang dimaksud oleh Pring adalah adalah sentralitas (fokus pada) pemahaman sejarah untuk munculnya  apresiasi yang valid dari mulai saat ini, serta kesadaran bahwa bagaimana kita melihat diri kita sendiri (reflektif), orang lain, dan dunia di sekitar kita sendiri yang (sebagian) merupakan “produk sejarah”, dengan demikian dapat sepenuhnya dipahami hanya dalam narasi sejarah. Ini merupakan cara konseptualisasi pengalaman kita tidak (tidak akan pernah) tetap (selalu berubah) untuk selama-lamanya. Seperti inilah sejarah, yang berakar pada kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu, sampai batas tertentu telah dan terus berkembang melalui refleksi kritis dan berbagai macam proses diskusi.
Ide Collingwood tentang sejarah (lihat Collingwood 1946, tetapi juga Hughes-Warrington (1996 dan 1997) merupakan hal yang baik dari sejarah /pemahaman filosofis Collingwood pendidikan), tidak akan diterima secara universal oleh filsuf sejarah. Penelitian sejarah akan terjebak dalam sengketa ideologis yang menyerap ilmu-ilmu sosial secara umum - Marxis, Positivis, modernis, dan postmodernis-, mengingat masih ada pendekatan penelitian lain, yang harus kita ingat, berkaitan dengan:  kajian masyarakat dan kelompok-kelompok lainnya (dari sudut pandang masyarakat atau kelompok itu sendiri); Penelitian dokumenter; perbandingan lintas budaya (Cross Cultural Comparation); penelitian tindakan (Action Research). Richard  Pring masih akan mengulas banyak hal mengenai pertarungan antara dua kubu, Kualitatif versus Kuantitatif, yang konon kabarnya merupakan suatu dualitas yang keliru.
Referensi :

McCulloch, G. and Richardson, W. (2000)
Historical Research in Educational Settings. London: Continuum.

Hughes-Warrington, M. (1996)
'How good an historian should I be? R. G.Collingwood on education7. Oxford Review of Education, Vol. 22.

Hughes-Warrington, M. (1997)
            'Collingwood and the Early Paul Hirst on the forms of experience, knowledge and education7. British Journal of Educational Studies, Vol. 45 (2).

Pring, Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum

Kamis, 18 Februari 2016

Filosofi Riset Kependidikan (16): Variasi Penelitian Kependidikan (Studi Kasus)


Kajian Kasus (Case studying)
Studi kasus merupakan kajian yang menekankan kejadian ataupun tindakan, aktivitas, dan mungkin juga perilaku, yang unik yang muncul dari gejala-gejala dibentuk oleh pemaknaan dari para partisipan dalam situasi. Hal ini merupakan kajian mengenai kasus yang unik atau kejadian khusus/ istimewa. Hal ini mencerminkan hal yang sedikit paradoks, sebagaimana dalam buku mengenai studi kasus yang disunting Helen Simon, “Toward a Science of Singular”(Simons, 1981). Kebanyakan kajian akan dimulai dari suatu premis yang merupakan unit-unit perangkat investigasi, di mana pribadi-pribadi hanya akan dimengerti dengan keterlibatan langsung (dan interaksi dari sudut pandang dari peneliti dan subjek) sangat diperhitungkan. Memang, ini akan menjadi pusat suatu perhatian pada penelitian. Namun, tentu saja, hal inilah subjek atau objek yang sedang diteliti akan menjadi unik dan tidak dimaksudkan untuk  melakukan generalisasi.
Unit kajian mungkin personal, institusi atau lembaga secara kolektif (sebagaima satuan unit atau divisi lembaga  pendidikan setempat).  Dengan demikian, semakin besar unit semakin lebih kompleks menjadi tersingkap jelas pola interaksi dan perspektif. Tidak salah, jika terdapat klaim bahwa, hal ini mendalam seperti pekerjaan detektif,  salah satu keistimewaannya akan benar-benar memahami apa yang sedang terjadi. Contoh 'studi tunggal/ singular study' dalam pendidikan secara menyeluruh, sebagaimana Peshkin (1978) ”Growing Up of America”, dan Hargreaves (1967) dalam kajian “Hargreaves's (1967) Social Relations in a Secondary School.  Studi ini mengungkapkan berbagai metode - observasi, survei, wawancara, dll- sulit untuk menggeneralisasi. Hal itu cenderungan memiliki kesamaan (walaupun ada pengecualian) sebagai berikut.

Pertama, Terdapat intensitas dalam pemeriksaan tertentu. Data selalu divalidasi dengan melakukan berbagai konfirmasi, atau pun triangulasi, dan beberapa di antaranya dengan teknik-teknik perhitungan statistik.
Kedua, diyakini bahwa unit diteliti tidak dapat dipahami, kecuali dalam konteks yang lebih luas dari pemahaman bersama dan tidak dimiliki oleh para subjek.
Ketiga, terdapat keengganan untuk mennyerap bahasa asing (istilah lokal) dan istilah teoritis tidak digunakan oleh para pelaku (yang diteliti).
Keempat,hanya tanggap ataupun tertarik pada pengalaman 'kasus'.
Kelima, jarak antara peneliti dan diteliti menyempit sehingga studi yang dihasilkan lebih merupakan'Negosiasi' dari penemuan apa yang terjadi. Dengan demikian, dalam studi kasus, meskipun terdapat perbedaan di antara metode lainnya, tetapi terdapat kecenderungan yang sama yaitu,  membuat asumsi yang menimbulkan pertanyaan filosofis.

Pertama, sering diasumsikan bahwa peneliti, turun lapangan dengan pikiran terbuka, supaya memungkinkan data 'berbicara sendiri'. Oleh karena itu, popularitas Glaser dan Strauss (1967) 'grounded theory' - secara bertahap  mencoba untuk memahami pengalaman seseorang, seseorang mengembangkan posisi teoritis (konsep dari sudut pandang  subjek yang diterjemahkan menjadi teoritis oleh peneliti) , dan kemudian 'muncul teori' yang terus diuji dibandingkan, dan dilengkapi oleh pengalaman selanjutnya, yaitu pertanyaan, dan data.  Selanjutnya, posisi teoritis tetap dekat dengan konsep dan bahasa bersama dengan orang-orang yang diteliti dalam. Tidak ada posisi teoritis khusus yang diimpor dari luar melainkan melalui data yang dicari atau dipilih.
Kedua, dari studi tertentu yang intens, tidak mungkin untuk melakukan generalisasi dengan situasi lainnya, meskipun deskripsi grafis dapat mengingatkan peneliti untuk kemungkinan yang sama dalam situasi yang  berbeda. Hal ini adalah peringatan yang harus diwaspadai. Walaupun secara  umum hubungan antara peristiwa/ kondisi tertentu dengan kejadian selanjutnya tidak dapat dikaitkan, karena tidak masuk akal.

Ketiga, pertanyaan muncul tentang kesanksian objektivitas penelitian, realitas yang terjadi dan kebenaranklaim yang dibuat. Memang, konsep-konsep ini, seperti yang akan kita lihat dalam bab berikut, yang masih saling terkait. Objektivitas ditantang karena para peneliti tidak dapat seolah-olah kehadirannya tidak berpengaruh  pada situasi. Selanjutnya, situasi seharusnya dijelaskan dalam bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang sedang diteliti. Jika tidak, argumen itu tidak akan sesuai dengan situasi yang diteliti. Realitas yang diteliti harus kenyataannya seperti yang didefinisikan oleh pelaku (orang atau kelompok orang yang diteliti).

Dengan demikian, terdapat pembicaraan dari 'beberapa realitas'. Hal ini mencerminkan berbagai definisi realitas dari semua orang yang terlibat dalam penelitian - yaitu, 'realitas' "dari individu yang berbeda, merupakan 'definisi' situasi berbeda dari yang satu sama lain. 'Objektivitas' di sini diartikan mendapatkan segala sesuatu ada 'di luar sana', secara tanpa terpengaruh oleh peneliti dan diteliti, dan hal ini dapat dikatakan hal yang tidak mungkin atau tidak masuk akal. Konsep yang saling terkait antara 'objektivitas', realitas 'dan' kebenaran 'memerlukan pertimbangan cermat yang akan dipaparkan  berikan dalam artikel-artikel berikutnya (“Konsep-Konsep Kunci dan Meredakan Konflik dalam Penelitian Kependikan” direncanakan mulai edisi 18) .

Memang, bagaimana penggunaan  konsep ini menjadi masuk akal atau menerapkan hal ini dalam penelitian pendidikan dapat memiliki pengaruh yang mendalam dalam makna-makna yang termuat dalam penelitian. Interpretasi tertentu dari pemaknaan ini akan muncul dan diperhitungkan dalam studi kasus. Pring (2005: 42) percaya bahwa banyak hal tersebut mengalami kesalahan secara filosofis. Namun, meskipun demikian, Pring masih mempertahankan pada wawasan yang studi kasus, studi tentang personal – yang membawa studi tentang fitur tematik dari situasi tertentu yang belum sepenuhnya dapat dipahami. (Di sisi lain, ada sesuatu yang aneh terdapat dalam kalimat yang 'sepenuhnya dipahami'. Kejadian dipahami untuk tujuan yang berbeda, dan tingkat pemahaman yang diperlukan tergantung pada tujuan mereka). Tetapi tingkat dari 'studi tunggal' seharusnya tidak membutakan kita untuk fitur-fitur dari penelitian yang membatasi singularitas. Semua situasi yang unik dalam beberapa aspek, yang kadang  terdapat/dimiliki pada orang lain. Terdapat  sesuatu yang khas pada setiap individu, namun di sisi lain terdapat kesamaan antara individu satu dengan lainnya. Singularitas (tunggal/individu) digambarkan dengan bahasa yang sama mengenai suatu situasi tertentu, kepada singularitas yang lain. (Peneliti menterjemahkan salah satu sudut padan, dan sudut pandang lain dalam interpretasi kejadian yang sama. Sebagaimana konsep bersifat umum, namun secara operasional akan selalu berbeda. Dengan demikian maka peneliti harus hati-hati, dalam mempelajari 'singularitas/personal/ individu', tidak untuk menarik kesimpulan filosofis cukup keliru, karena kajian ini bukan untuk mendapatkan generalisasi.

Referensi:
 
Pring, Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum

Peshkin, A. (1978)
            Growing Up American: Schooling and the Survival of Community. Chicago: University of Chicago Press.

Simons, H. (1981)
            Towards a Science of the Singular. Norwich: University of East Anglia.

Hargreaves, D. (1967)
Social Relations in a Secondary School. London: Routledge & Kegan Paul.

Glaser, B. and Strauss, S. S. (1967)
 The Discovery of Grounded Theory . Chicago: Aldine.

Selasa, 16 Februari 2016

Filosofi Riset Kependidikan (15): Variasi Penelitian Kependidikan (Wawancara)

Interviewing/Wawancara
Richard Pring kali ini, mengulas tentang wawancara, Hal ini merupakan jawaban  masalah yang mengacu pada masalah-masalah sebelumnya dalam penelitian kependidikan, berkaitan dengan observasi yang sistematis mengenai perilaku, atau permasalahan survey dengan skala yang lebih luas, tentang apa yang dilakukan ataupun dipercaya oleh orang-orang, akan tampak diletakan dalam pembiaran objek riset, Sebagai contoh guru-guru atau siswa-siswa berbicara pada dirinya sendiri. Apa makna yang melekat pada tindakan diamati atau kegiatan dikehendaki? Peneliti secara khusus dalam pencarian jawaban-jawaban pasti akan menyusun interview yang terstruktur, kemudian berharap akan mendapatkan jawaban yang relevan dengan ketertarikan peneliti. Walaupun demikian wawancara biasannya semi-terstruktur, karena jika tidak, maka peneliti tidak akan sempat memberikan kesempatan menjelaskan keinginan dan tujuan yang dilakukan oleh peneliti. Jika anda percaya bahwa arti atau makna mengenai apa yang dilakukan dalam gagasan, perhatian, nilai-nilay ataupun keyakinan dari “agen”, maka ide tersebut akan cukup diperhitungkan.
 Pewawancara yang baik akan dapat menarik membawa seseorang hingga dapat diwawancarai secara mendalam pada suatu waktu, hal ini akan sebanding dengan kesulitan seorang pewancara untuk melakukan generalisasi- untuk melihat sesuatau atau individu sesederhana suatu turunan dari generalisasi.
Kesadaran individu dan kepentingan merupakan faktor-faktor yang signifikan dalam penjelasan mengenai mengapa sesuatu terjadi sebagaimana yang mereka alami. Hal ini tampaknya sangat masuk akal, dan hasilnya terus berkembang seiring dengan perolehan pemahaman melalui sudut pandang partisipan. Tetapi banyak sekali kesulitan di sini, antara lain.
Pertama, banyak sekali kajian yang hanya akan menarik jika hal tersebut merupakan keadaan yang unik –unik karena dipahami melalui gagasan dan kepercayaan milik pelaku yang berada dalam situasi tersebut. Tetapi akan sangat jelas jika hal ini terus dicari untuk mengembangkan praktek kependidikan atau mereka yang bertanggungjawab terhadap kebijakan pengembagan kependidikan yang ingin mengumpulkan hasil kajian, bagaimanapun menariknya, jika tidak akan dapat mengatakan apa-apa melampaui peristiwa dan konteks kajian.   Oleh karena itu, kritik itu dapat dibenarkan bahwa penelitian kependidikan seringkali memiliki skala ang sempit dan terpisah-pisah sehingga tidak mampu menyumbangkan sesuatu yang dibutuhkan untuk pengambil kebijakan dan tidak menarik secara profesional.
Kedua, bagaimanapun kaitannya dengan kesulitan dan kritik yang nampak secara jelas, ini merupakan jenis kesulitan yang sangat filosofis. Pemberian klaim unik pada setiap masing-masing individu dipahami dalam proses kegiatan ataupun pada suatu situasi tertentu, hal ini akan nampak mustahil bagi seorang pewawancara mengungkap makna dari apa yang dikatakan. Pewawancara berada di dunia unik dari keyakinan dan pemahaman sendiri. Tanggapan akan perlu disaring melalui pewawancara, dan dengan demikian, maka menjadi berbeda dari keyakinan dan pemahaman dari orang yang diwawancarai. Kesulitan ini dan jawaban untuk itu kemudian dikembangkan. Segala macam perangkat digunkan oleh para peneliti yang ingin mengabadikan subjektivitas keunikan yang penting dalam dunia pribadi milik orang yang diteliti. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa pemaknaan tersebut 'dinegosiasikan' antara peneliti dan diteliti, karena memang hal ini adalah klaim antara setiap orang yang terlibat dalam percakapan. Namun metafora tersebut tidaklah benar-benar membuat kita keluar dari lubang yang sudah digali antara dunia objektif yang didukung oleh orang-orang dalam 'paradigma ilmiah' dan dunia subjektif dari niat, keyakinan dan makna yang dianut oleh orang-orang yang menolak paradigma seperti itu.
Mari kita abaikan yang di sana untuk saat ini. Kita telah melihat pentingnya menyatu pada cara tertentu yang terlibat dalam penelitian (wawancara semi-terstruktur) yang memenuhi beberapa kritik, sebagian kritik filosofis, yang timbul dari ketergantungan pada observasi, survei dan eksperimen. Tapi, kecuali satu hati, penangkal ini sama bermasalah. Pring (2015: 47) berpendapat panjang lebar nanti, dikotomi antara publik dan pribadi, antara obyektif dan subyektif, telah menciptakan dualisme yang tidak bisa dibenarkan.

Sumber :
Pring, Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum




Minggu, 14 Februari 2016

Filosofi Riset Kependidikan (14): Variasi Penelitian Kependidikan (Survey Kasus)

Melakukan survey mengenai suatu kasus
Pengamatan dan pengumpulan data pada suatu riset atau penelitian hampir selalu terdapat kesulitan karena tidak ketidaksesuaian di dalam prosedur penelitian (sering disebut “metodologi penelitian”: Problem studi, data, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data). Salah satu cara menghindari beberapa kesulitan ini maka munculah survei (baik sebagai teknik pengumpulan data ataupu metode penelitian. Hal ini diserukan oleh Pring (2005: 45) kepada pandangan orang-orang yang peduli  melakukannya melakukan penelitian  dengan suatu cara yang dapat memunculkan generalisasi.

Richard Pring
Survei ini tidak tergantung pada seorang pengamat dari luar yang merekam apa yang diamati, gagal untuk memasuki ranah pandangan mereka yang diamati - pandangan pengamatan- yang mungkin mempengaruhi kesimpulan. Ide-ide, dan bukan hanya perilaku diamati, dari guru atau peserta didik mungkin diinginkan. Menyusun survei tampaknya akan menjadi cara yang jelas ke depan. Artinya, satu hanya menanyakan pada orang melalui kuesioner.

Selain itu, ketika, misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui lebih banyak beberapa beberapa sekolah, maka mungkin observasi tidak akan tampak praktis. Seseorang dapat mempekerjakan sejumlah besar pengamat. Tapi, pertama, ini akan menjadi mahal; kedua, akan ada masalah lebih ketrampilan pengamat dari begitu banyak pengamat.  Dalam beberapa kasus, itu mungkin tidak menjadi masalah observasi.

Survei, bagaimanapun tidak luput sepenuhnya  dari masalah yang diangkat oleh pengamatan langsung. Seringkali peneliti berusaha untuk membuat bukti supaya kemudian dapat menjadi terukur  - X% mengatakan ini, Y% mengatakan itu, dan sebagainya-. Ada cara-cara canggih untuk mendapatkan informasi ini dan memeriksa keandalan jawaban. Namun terdapat keterbatasan untuk membangun suatu pendekatan. Dengan demikian, seperti para peneliti memiliki cara tersendiri untuk melihat dunia dari sudut pandang  pengamatan mereka, begitu dengan orang-orang yang diteliti  memiliki pemahaman sendiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Dua orang tua mungkin akan menjawab 'ya' untuk “pertanyaan apakah sekolah anak Anda yang sukses?”,  namun  mungkin mereka mengartikan sebagai hal yang berbeda. Salah satu mungkin sukses dalam pergaulan dengan prestasi terhadap norma-norma nasional dalam umum, keberhasilan yang lain mungkin ditafsirkan  sebagai hal kecakapan di olahraga. Atau, bahkan jika mereka berdua sepakat dengan apa yang dimaksud, mereka mungkin tidak tahu dengan cara yang berbeda dari implikasi dari apa yang mereka setujui. Jika mereka tahu implikasi, mereka mungkin akan memberikan jawaban yang berbeda. Dari contoh di atas, dapat terjadi keganjilan secara logis, dengan mudahnya memasukkan secara bersama-sama suatu jawaban pada kuesioner, melakukan survey, dan memberinya skor/nilai numerik/ kuantifikasi.
 
Hal ini Seolah-olah semua jawaban (data dari kuesioner) dimasukkan bersama-sama adalah semua jenis logis yang sama. Namun, jika nilai  yang sama di atas kertas merupakan pemahaman yang berbeda, maka data/nilai tersebut tidak boleh dimasukkan seolah-olah nilai-nilai tersebut berarti sama. Kecenderungan ini banyak kritik dan penelitian tersebut banyak ditolak. Hal ini terlihat 'senada' (yaitu, semua pemikiran, pendapat responden dianggap sama) bahwa yang signifikan hanya dalam kaitannya dengan pikiran, perasaan, niat dari orang yang bersangkutan. Tindakan semacam ini telah mengkuantifikasi bahwa pikiran responden, yang tidak terbuka, serta dapat digunakan dalam fungsi matematis untuk menambah dan mengurangi dan mengalikan. Dengan kata lain, hal ini merupakan perluasan pemaksaan secara 'ilmiah / matematis' paradigma yang dipaksakan berlaku untuk mengukur pemahaman manusia.

Setiap peneneliti harus sangat berhati-hati dan cermat dalam harapannya untuk menggunakan paradigma ini secara lebih jauh, terutama dalam penelitian pendidikan, di mana manusia dan pemahamannya terlibat untuk diukur. Pring (2005: 46) merasa bahwa terdapat banyak hal untuk dikritisi, karena terlalu banyak wacana dalam penelitian kependidikan yang tidak didasari oleh pengetahuan, serta pertimbangan filosofis yang mendasar. Hal ini terlihat dari polarisasi (pemisahan menjadi dua kubu/kutub) antara paradigma ilmiah dengan paradigma humanisme, antara metodologi kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian, ada banyak pertanyaan yang cukup jelas untuk pengguna bahasa Inggris yang sudah fasih. Pemaknaan yang ditafsirkan responden  terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dianggap sebagai sesuatu yang bukan bersifat pribadi dan subjektif, namun makna yang siapa pun fasih dengan bahasa akan atribut kepada mereka. Atas dasar setiap kata dianggap memiliki makna yang sama, seorang peneliti memaksakan untuk meyakini bahwa jawaban responden objektif dan umum (umum). Hal ini mungkin masuk akal namun penggunaan tersebut tidak akan dapat diandalkan sepenuhnya, karena begitu banyak pertanyaan melakukan mengangkat isu-isu yang terdapat ketidaksepakatan atas interpretasi mengenai suatu  fakta-fakta. Karena hal ini wajar maka untuk bertanya lebih lanjut harus dilakukan probing (penggalian lebih lanjut untuk konfirmasi respon/ jawaban dari responden, tanpa mengarahkan responden untuk memilih salah satu jawaban).

Sumber :
Pring, Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum


Kamis, 11 Februari 2016

Filosofi Riset Kependidikan (13): Variasi Penelitian Kependidikan (Eksperimen)

Artikel ini akan melanjutkan bahasan sebelumnya mengenai variasi penelitian kependidikan. Kali ini akan diulas mengenai pengertian dan dasar dari salah satu pendekatan penelitian eksperimen ini dipilih. Dan kita akan dapat memahami, kapan pendekatan eksperimen ini dapat atau sesuai untuk digunakan. Berikut ini pemikiran dan pendapat Richard Pring mengenai eksperimen.

Eksperimen/ Percobaan
Eksperimen merupakan salah satu paradigma ilmiah dalam penelitian kependidikan yang meniru atau megadopsi dari bidang ilmu medis. Desain eksperimental merancang suatu percobaan dengan menggunakan dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok kontrol dan kelompok kedua merupakan kelompok eksperimental. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pendekatan eksperimental lebih sistematis dibandingkan pendekatan observasi. Karena dalam pendekatan ini, seorang peneliti benar-benar mengatur/menyesuaikan/merekayasa suatu kondisi dengan sangat hati-hati pada setiap elemennya, dan mengamatinya secara sangat cermat, terkendali/terkontrol, sehingga mendapatkan hasil yang sesuai. Kelompok kontrol dan eksperimen harus diseleksi dengan sangat hati-hati, sehingga hasilnya nanti layak untuk disimpulkan untuk menggambarkan atau mewakili populasi yang lebih besar. Supaya yang terjadi sebagaimana yang diinginkan, dua kelompok yang diambil secara random, kemudian dibandingkan, dan dilihat peforma dari dua kelompok tersebut. Terutama peforma hasil intervensi pada kelopok eksperimen. Riset atau penelitian tersebut didasarkan pada kelompok kontrol sebagai pembanding, dan tentu saja ini adalah hal yang secara ilmiah sudah mapan pada ilmu medis. Kemudian, jika seorang peneliti ingin mengetahui dampak obat-obatan tertentu, maka ia akan menentukan secara acak dua kelompok pasien, kemudian menjaga supaya semua variabel menjadi konstan/tetap, lalu mengamati secara cermat pengaruh pada salah satu kelompok yang menggunakan obat tersebut. Kelompok-kelompok harus dalam jumlah yang besar untuk memperkecil signifikansi 'faktor pengganggu' atau pengecualian khusus untuk kasus umum.

Terdapat banyak contoh penelitian semacam ini di bidang pendidikan, dan seorang peneliti dapat merasakan godaan untuk memperluas pendekatan seperti ini untuk lebih luas lagi. Sebagai contoh penelitian Sylva and Hurry's (1995) pada intervensi untuk masalah penelitian“kesulitan membaca”dengan cara membandingkan antara kelompok eksperimen/intervensi dengan kelompok kontrol. Hal ini mungkin dapat disimpulkan, bahwa jika satu kelompok secara signifnifikan memiliki lebih tinggi dalam nilai membaca setelah periode intervensi, maka intervensi merupakan faktor yang signifikan. Dengan demikian intervensi tersebut merupakan faktor yang signifikan, dimungkinkan intervensi menjadi “sebab” dari perbedaan tersebut.
Konsep 'sebab' merupakan salah satu hal penting yang harus dicermati. Namun, dalam bahasan ini tampak sekarang akan bergeser pada paradigma sangat ilmiah yang telah dan akan selalu dipertanyakan. Mengingat intervensi atau perlakuan yang telah dijelaskan di atas merupakan perlakuan untuk membedakan kelompok, dengan demikian muncul pertanyaan, apakah tidak berbahaya mengabaikan perbedaan individual, yang tercermin pada kesadaran khas mereka sendiri, dalam rangka untuk mengobati setiap beberapa ribu anak sebagai unit identik dengan ditambahkan bersama-sama, dikurangi dan dibandingkan? Bagaimana bisa pendekatan ini digunakan untuk penelitian dipaksa untuk sesuai dengan keunikan yang jelas pada masing-masing individu? Walaupun di sisi lain, keunikan setiap individu dalam hal tertentu tidak berarti keunikan dalam segala hal. Nampaknya terdapat aspek-aspek tertentu dari menjadi manusia yang paling dimungkinkan untuk membuat generalisasi tentatif mengenai bagaimana individu akan bersikap atau bereaksi - sementara pada saat yang sama mengakui bahwa pasti akan ada pengecualian. Apakah pengakuan dari cara khas kesadaran pribadi tidak memungkinkan disamakan dan di-generalisasir (bagaimanapun tentatif) tentang motif manusia, aspirasi, menilai, cara belajar, dll?

Teka-teki dalam berbagai  pertanyaan penelitian seakan menuntut  pemisahan dan pembedaan tegas antara pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kualitatif - dan perbedaan yang jelas sering dibuat berdasarkan tujuan, objektif, dunia yang teramati dan terukur ilmu pengetahuan, di satu sisi, dan di sisi lain, subjektif dan dunia tak terukur dari kesadaran individu. Pring (2005) mengatakan perbedaan ini terlalu dibesar-besarkan untuk keunikan masing-masing orang. Mungkin kita membuat terlalu tajam memisahkan antara kesadaran 'pribadi' dan 'subjektif' dan 'publik' dan dunia 'obyektif', baik fisik dan sosial. Mengingat sifat manusia itu dan mengingat kondisi fisik yang diperlukan untuk aktivitas mental, maka mungkin generalisasi dapat dilakukan, diverifikasi oleh pengamatan, secara ketat. Saling keterkaitanm antara publik dan privat, objektif dan subjektif, fisik dan mental, pribadi dan sosial, terlalu sering diabaikan oleh para peneliti yang mendukung 'paradigma penelitian ' menggenggam kuat atau berpihak pada salah satu sisi yang berberda dan saling tertutup antara satu dengan yang lainnya.

Referensi:

Sylva, K. and Hurry, J. (1995) The Effectiveness of Reading Recovery andPhonological Training for Children with eading Problems. London: Thomas Coram Research Unit.

Pring, Richard. (2005)

Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum

Senin, 08 Februari 2016

Filosofi Riset Kependidikan (12): Variasi Penelitian Kependidikan (Observasi)

Salah satu pokok bahasan penting yang perlu dicatat, yaitu variasi atau jenis- jenis penelitian Kependidikan. Pendekatan yang bervariasi ini digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang berbeda, Hal ini tentu  saja masuk akal ketika hal yang akan diteliti prakek kependidikan, fenomenologi yang kompleks, tentu  saja harus menggunakan pendekatan penelitian yang berbeda.  Peneliti harus memilih pendekatan dalam proses pencarian “kebenaran”, namun dibalik pendekatan-pendekatan yang berbeda tersebut tersembunyi perbedaan yang sangat mendasar dalam jenis-jenis  dasar filosofisnya. Dengan demikian maka pendapat-pendapat yang saling bertentangan di antara para peneliti ini didasari oleh asumsi dibalik metode penelitiannya sebagai salah satu cara yang lebih efektif untuk menjalankan prosedur penelitian tersebut. Hal ini akan dapat diilustrasikan acuan dan jangkauan pendekatan yang akan sesuai dan dapat digunakan.

Mengamati apa yang terjadi (Observasi)
Hal ini mungkin menjadi kesepakatan umum, jika seseorang ingin mengetahui sesuatu ia akan pergi ke luar dan melihat-lihat dan mengamati. Untuk mengetahui apa yang sedang terjadi membutuhkan observasi yang sangat hati-hati, “merekam” secara sistematis segala sesuatu yang diamati dengan tujuan mendapatkan generalisasi dari apa yang diamati. Terdapat observasi yang lebih menekankan pada tujuan untuk mendukung generalisasi, Seseorang yang memiliki keyakinan mungkin akan menyimpulkan hasilnya. Dengan demikian, teori secara bertahap disusun secara induktif dari “rekaman-rekaman” sistematis tersebut. Kebanyakan teori, ketika menguji secara terus menerus, dengan demikian hal ini nanti akan dapat digunakan untuk memperkirakan hasil yang dapat teramati (obeservable), dan berikutnya dapat digunakan sebagai panduan praktis. Seseorang kadang dapat membayangkan atau memperkirakan untuk melakukan observasi dengan dasar teori pada banyak hal, sebagaimana bagaimana untuk memilih mana kelas kontrol, bagaimana mengajarkan bentuk-bentuk kata,  ataupun bagaimana menciptakan suatu pembelajaran yang efektif.
Kunci dari pembahasan ini adalah menjamin bahwa observasi akan menjadi konsisten dalam suatu pendekatan. Karena tidak mustahil setiap observer masing-masing memiliki perbedaan sudut pandang, perbedaan ketertarikan terhadap subjek penelitian, dan terkadang observer berubah sudut pandang, sehingga dengan observasi ini tidak memungkinkan untuk generalisasi dalam menarik kesimpulan. Dengan demikian, maka perlu untuk  'Panduan Observasi' (Flanders, 1970). Panduan dibagi berdasarkan sesi ataupun jam pelajaran (dalam penelitian kelas), dan dalam panduan tersebut terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas mengenai hal yang memang benar-benar akan di-observasi ataupun kegiatan/ kebiasaan/ perilaku/saikap subjek yang diamati dalam sesi tersebut. Dengan demikian, maka seseorang akan dapat melakukan pengamatan secara akurat dan pasti pada interaksi guru dan siswa. Selain itu, panduan tersebut dapat digunakan oleh observer lain, dengan instruksi yang sama. Dan mereka akan dapat memperoleh kesimpulan yang sama. Atau dengan penggunaan panduan tersebut, mereka akan dapat mengamati  proses pembelajaran di kelas lain, dengan basis catatan tersebut, dan disusun untuk membuat analisis perbandingan yang mungkin berguna. Peneliti akan dapat membuat suatu generalisasi hanya ketika jumlah kasus-kasus meluas dan mencukupi, sehingga dapat diuji kembali kebenarannya ketika dilakukan pada observasi-observasi berikutnya ketika peneliti lain melakukannya dengan cara yang sama. Jika demikian, maka suatu teori dapat dibuat.
Hal ini merupakan suatu harapan untuk dapat membangun suatu pengetahuan pengajaran atau kurikulum yang mudah untuk dipraktekkan, hal ini hanya akan terwujud dengan melalui prosedur ilmiah (dibangun melalui observasi yang ketat, generalisasi, dan verifikasi) dari dunia nyata. Hal yang diharapkan adalah dasar kesepakatan untuk menjadikan observasi-observasi dan ketekunan niat untuk selalu mengumpulkan dan selalu menguji tingkat keabsahannya. Dan roh dari aspirasi ditangkap dengan observasi peneliti yang menyatakan bahwa dalam satu proses pembelajaran, seribu interaksi telah terjadi di antara guru dan para siswa. Hal ini merupakan suatu pemikiran/konsep bahwa “interaksi” adalah sesuatu yang tidak dapat dibatasi, dalam pengamatan dan penambahan pada semua interaksi yang terjadi. Terdapat banyak contoh penelitian berpengaruh di mana hal itu menekankan pada pengamatan dengan cara ini. Penelitian dengan melakukan  'modifikasi perilaku' harus sangat berhati-hati untuk mendefinisikan mengenai hal-hal apa saja yang harus diamati secara tepat, yaitu perilaku dan berbagai hal yang dapat diamati (lihat Gurney, 1980). Para peneliti merasa dapat menghubungkan secara pasti kebiasaan perilaku dengan kondisi, dan dapat melakukan pengujian melalui observasi yang sistematis, mengenai apa yang terjadi ketika kondisi-kondisi tersebut telah berubah. Atau bahkan hasil ujian/test/soal dapat dilihat sebagai salah satu jenis kebiasaan perilaku yang dapat diamati, dengan maksud untuk memperoleh generalisasi sebagai “cara pembelajaran yang efektif”. Hal ini akan dihubungkan dengan pengamatan tentang bagaimana suatu sekolah dikelola, atau bagaimana para guru seharusnya berperilaku. Dengan demikian, pengawas berkeliling dengan panduan observasi, dan guru menerima nilai numerik atas dasar apa yang diamati.
Di satu sisi, tentu saja observasi dibutuhkan, tetapi kebutuhan tersebut tidak dapat dilakukan secara sembarangan yang akan mengaburkan hal-hal yang diamati.
Pertama, observasi tidak begitu saja dengan sembarangan diambil secara bebas dari konsep-konsep dan teori, terlepas dari prasangka, kepentingan, dan kesimpulan yang dibawa peneliti pada pengamatan tersebut. Seperti misalnya permintaan untuk mengamati objek-objek yang berbeda dalam suatu ruangan. Segera saat seorang peneliti menyadari dirinya dalam kelas saat observasi, ia menemukan kesulitan untuk memutuskan dan menentukan serta mengidentifikasi satuan (unit) objek, beberapa di antaranya mereka adalah sekumpulan orang saja, ataukah mereka itu satu keluarga? Apakah ini satu objek atau kah empat objek? Apakah mereka satu kelompok? Mana yang mahasiswa mana yang dosen? Dalam kondisi peneliti yang benar-benar orang baru dalam satu lingkungan tertentu kebingunan semacam ini akan dialami.
Kedua, Hal yang dapat ditunjukkan lagi, tentang ketidakjelasan kebiasaan perilaku dan peran sebagai pengamat (observer). Sebagai contoh ketika dua guru yang muncul akan melakukan hal yang sama, mungkin faktanya dua guru tersebut merupakan sesuatu yang berbeda, seakan dalam mengajar mereka menirukan yang lainnya. Dua murid menuliskan jawaban yang sama dalam kondisi yang sama, tetapi salah satunya mengerjakan dengan rumus-rumus yang rumit, dan lainnya mengerjakannya dengan kemampuan mengingatnya. Hal yang tampak di permukaan akan menjadi sama, dengan fakta yang sesungguhnya berbeda. Ini semua hanya akan dapat disimpulkan dengan mengacu pada pengengamatan mendalam terhadap aktivitas mental pada mereka yang diamati. Dengan demikian, kita akan menyadari banyak kesulitan, dan ini tergantung  pada kualitas observasi. Observasi “terfilter” oleh pemahaman, kesimpulan, dan keyakinan/kepercayaan pelaku. Kadang mereka yang diamati juga tidak saling terbuka untuk saling mengenal, dengan demikian pemaknaan dan motif dari mereka yang diamati, menjadi poin yang sangat menentukan.
Pring akhirnya menyimpulkan, bahwa untuk melakukan observasi tidak dapat mengabaikan konsep-konsep kunci pendidikan (lihat artikel-artikel sebelumnya) dan Teori interpretif (teori interpetasi, akan dibahas pada artikel-artikel berikutnya). Tapi satu hal dapat dilakukan, tidak diragukan lagi, sudah dilihat seberapa jauh jangkauannya pada isu-isu filosofis. Apakah dunia yang kita amati ini nyata atau jangan jangan hanya dunia yang ditafsirkan secara pribadi dengan paradigma pikiran sendiri (dan subjektif?)? Apakah hubungan antara bahasa yang kita pilih untuk menggambarkan dunia dengan dunia itu sendiri, ataukah eksistensi kita secara bebas? Dan kita melakukannya dunia manusia, yang ingin kita jelaskan, sesungguhnya itu semua adalah kita sendiri, yaitu, interaksi dan interpretasi kita? Kami mengambil begitu saja  dan meyakini bahwa “common sense/keyakinan umum” dari dunia ini sudah cukup akurat. Namun  demikian tidak mustahil segala yang terjadi di dunia ini telah terdistorsi berbagai konsep-konsep bodoh yang diyakini mengenai dunia, seperti pada masa pra-Copernicus yang meyakini pengalaman subjektif bahwa matahari mengelilingi bumi.

Referensi :

Flanders, N. A. (1970)
Analysing Teachers' Behaviour. Reading, Mass.: Addison-Wesley.

Gurney, P. (1980)
Behaviour Modification. London: University of London Press.

Pring, Richard. (2005)

Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum