Sabtu, 25 Juni 2016

FILOSOFI RISET KEPENDIDIKAN (34): PENGETAHUAN, POTENSI KESALAHAN, DAN POLITIK PENELITIAN KEPENDIDIKAN -SUATU KESIMPULAN

Artikel kali ini merupakan kesimpulan dari artikel edisi 28 sampai dengan 33, yang bertema persaingan berbagai aliran pemikiran dari mulai positivisme yang menandai awal bangkitnya pengetahuan modern, hingga posmodernisme. Berikut ini kesimpulan dari artikel-artikel sebelumnya.
'Dualisme', sebagaimana yang pernah disebutkan oleh Dewey, dapat menjadi semacam tipuan. Dengan mengkontrasnya  perbedaan antara penelitian kualitatif dan kualitatif yang menyesatkan kita, sehingga terlalu mengkontraskan modernisme dengan posmodernisme akan membawa pada kesalahan pemahaman yang menyesatkan. Serangan pada kaum foundasionalisme dari Karl Popper (sebagai anggota dari Vienna Circle dan yang secara tak wajar muncul dalam hagiografi posmodernisme)menjadi sangat efektif. Dalam buku Popper, The Logic of Scientific Discovery (1959), mengajukan istilah "falsifiabilitas" (dapat dikonfirmasikan) daripada istilah 'verifiabilitas'  sebagai standar pemaknaan - dengan demikian maka, hanya pada makna pernyataan dan teori ilmiah. Beberapa teori selalu terbuka untuk direvisi dibawah sorotan pengalaman baru dan kritik. Kita tidak pernah memastikan bahwa kepercayaan dan teori adalah benar. Namun kita dapat merasa yakin dengan hal-hal tersebut jika telah mengalami pengujian yang paling ketat.
Pembahasan buku "logika penemuan ilmiah" tersebut terdapat ironi tertentu untuk itu. Penemuan muncul dalam segala macam cara, tanpa banyak menghargai untuk logika. Memang, mungkin terdapat cerita sosiologis yang menggambarkan tentang bagaimana hal tersebut terjadi. Namun Popper tidak khawatir dengan asal dari pengetahuan ilmiah, tetapi lebih pada dengan status penemuan tersebut. Pada dasarnya, orang harus percaya hanya pada hal yang telah diteliti dan telah dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut, serta melalui pengujian secara kritis oleh orang lain. Dengan cara ini kita dapat membangun tubuh pengetahuan, namun mungkin ini masih tentatif. Hal yang penting adalah bahwa hal yang kita percaya tersebut telah lolos dari pengujian kritis. Dan secara terus-menerus masih akan diuji. Hal tersebut terkandung teori-teori terbaik yangkita miliki, dan telah banyak menjelaskan, hal tersebut telah  melakukan pekerjaan yang lebih baik dibanding teori saingan dan mereka telah bertahan dari kritik.
Pengembangan dan pemeliharaan pengetahuan tentu saja membutuhkan dukungan kelembagaan (misalnya, penyediaan perpustakaan, publikasi, forum untuk debat kritis) dan tidak ada alasan untuk menolak kemungkinan pengurangan ataupun pembelokan pengetahuan seperti di tempat lain dalam kehidupan publik. Akan selalu ada orang-orang yang mencoba untuk menjalankan kekuasaan untuk mengontrol atau mencegah kritik, atau untuk mempromosikan pendapat tertentu dengan mengorbankan pengetahuan yang lain. Sosiologi knowledgecreation menunjukkan bahwa fakta (lihat, misalnya, Toulmin, 1972).
Namun, kisah tentang asal pengetahuan tidak memiliki hubungannya dengan status ataupun validitas klaim pengetahuan. Kisah secara sosiologis, pertumbuhan dan organisasi pengetahuan tidak sama dan tidak bisa menjadi pengganti untuk analisis filosofis ataupun pembenaran pengetahuan tersebut. Kita tentu mengatur pengetahuan dalam mata pelajaran yang berbeda; terdapat cerita untuk diinformasikan mengenai bagaimana pengorganisasian ini muncul; cara lain yang memungkinkan untuk mengorganisir pengetahuan; terdapat pula cerita berdarah tentang untuk mempertahankan beberapa disiplin ilmu dengan mengorbankan orang lain - dan tentu saja terdapat banyak kecurangan. Namun sangat banyak terjadi pemilahan antara permainan kotor dan adil, antara pengorganisasian pengetahuan yang keliru dan benar, dengan mengandaikan bahwa analisis dan kritik dari pengorganisasian dan muatan pengetahuan bukan hanya masalah bagi ilmu sosial saja. Terdapat fakta mengenai realitas yang membatasi segala hal yang dapat dikatakan. Seseorang tidak dapat menghindari kerangka "common sense" dalam pengalaman seseorang yang memang seharusnya diorganisir (objek yang ada dalam ruang dan waktu, hubungan kausal antar objek, seseorang yang dijelaskan dalam hal niat dan motif, kontrol sosial perilaku aturan-diatur, makna bersama berkomunikasi masyarakat, nilai-nilai dalam hal yang pilihan dibuat). Serta, tradisi di mana fakta-fakta mendasar mengenai realitas telah dikonseptualisasikan, diuji dan ditemukan secara memadai, merupakan 'kodrat' yang selama ini berkembang melalui berbagai kritik dan penemuan, bukan karena ketangguhannya dalam posisi kekuasaan. Tubuh pengetahuan tetap tentatif dan sementara. Hal itu selalu diuji dalam menghadapi pengalaman dan kritik lebih lanjut . Kebijaksanaan hari ini, mungkin akan menjadi kebodohan di esok hari, kecuali terdapat suatu peringatan untuk keadaan yang meragukan kebijaksanaan tersebut.
Ini secara umum terlihat berlaku untuk baik dalam dunia fisik dan dunia sosial. Namun perbedaan yang menunjukkan keraguan apakah mungkin terdapat akumulasi pengetahuan tentang dunia sosial karena terdapat juga pada dunia fisik. Berdasarkan bukti yang lebih kuat, tidak ada akumulasi pengetahuan tersebut untuk menginformasikan praktik pendidikan. Para kritikus penelitian pendidikan mengacu pada standar yang tidak aplikabel.
Secara singkat, praktek pendidikan muncul dari sifat khas realitas sosial dan demikian juga dengan pengetahuan kita tentang hal tersebut. Realitas yang didasari dan dikelola oleh kesepakatan dalam penafsiran anggota masyarakat dan kelompok-kelompok yang berada di dalamnya. Selain itu, kesepakatan mereka - tentang 'makna' yang mereka hubungkan dengan kata-kata, perilaku, dan tindakan- berkembang dan akan berubah sebagai pemahaman dari para aktor dalam perubahan lingkungan sosial. Oleh karena itu, terdapat sesuatu yang unik bagi setiap masyarakat dan kelompok, sebagai suatu 'konstruksi sosial' yang berbeda. Transaksi antara satu guru dan kelas di suatu sekolah akan berbeda secara signifikan dari transaksi di kelas-kelas lain dan di sekolah-sekolah lainnya. Walaupun sekilas tampak dari permukaan mungkin terlihat sama. Namun demikian, makna yang dikaitkan dengan transaksi oleh peserta, merupakan cerita kehidupan khas mereka sendiri, cukup berbeda, sehingga tidak mungkin membuat generalisasi. Paling tidak adalah bagaimana cerita mengenai proses di dalamnya. Oleh karena itu, penelitian dari jenis etnografi, menyingkap keunikan masing-masing setting sosial. Hal ini menjadi sangat penting mengingat banyak penelitian pendidikan yang mengabaikan keunikan ini saat sibuk mencari kebenaran umum (generalisasi). Praktek pendidikan diteliti tidak untuk menutup mata untuk kemungkinan muncul dan berkembangnya ilmu mengajar.
Pring (2005: 118)  menentang berbagai posisi ekstrem untuk alasan berikut ini. Terdapat realitas sosial - fakta sosial - yang eksis secara independen dari hal ini atau itu suatu individu yang menentukan mengenai beberapa ukuran, serta bagaimana seseorang melihat dan memahami dunia. Dalam belajar bahasa, atau untuk mencoba memahami dan pengamatan lapangan pada adat istiadat masyarakat, sebagaimana orang-orang lokal yang terberdayakan menemukan batas dan segala aturan dari realitas sosial mereka, di mana mereka menemukan diri mereka sendiri. Dalam hal ini, orang mungkin berbicara tentang sosial serta penyebab fisik. Selanjutnya, orang mungkin mengembangkan perspektif teoritis, atau tubuh pengetahuan tentang, katakanlah "mata rantai", antara kemiskinan dan pencapaian pendidikan, atau antara hubungan keluarga dan kecenderungan untuk melakukan kejahatan. Namun, perspektif teoritis sepertinya akan terus-menerus perlu disempurnakan dalam penjelasan dari studi yang lebih rinci. Hal ini harus selalu adaptasi dengan konteks sosial yang selalu berubah mempengaruhi sifat hubungan teoritis tersebut. Misalnya, kondisi sosial yang sangat berbeda dengan masa lampau dan hal ini patut diragukan lagi, ketika perubahan yang terjadi abad kedua puluh satu ternyata mempengaruhi hubungan antara kemiskinan dan pencapaian sosial. Dan perbedaan yang akan timbul pada bagian signifikansi yang melekat pada kemiskinan oleh orang-orang miskin itu sendiri. Oleh karena itu, perspektif teoritis berkaitan dengan realitas sosial perlu lebih tentatif, lebih siap untuk mengatasi pengecualian, lebih mudah beradaptasi dengan kesadaran masyarakat yang berubah sebagaimana  mereka yang merupakan bagian dari realitas tersebut.
 Penyempurnaan generalisasi berasal dari studi yang lebih rinci tentang realitas sosial yang berbeda- seperangkat aturan kompleks yang merupakan tujuan tindakan tersebut dimaksudkan dan diinterpretasikan sebagai dampak dari konteks sosial dari pemahaman dari para aktor sosial, keyakinan dan perspektif moral partisipan. Namun keunikan masing-masing konteks tidak berarti keunikan dalam segala hal. Terdapat kesamaan di antara konteks sosial yang berbeda, karena masing-masing merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas, di mana pemahaman dan kebiasaan tertentu yang berlaku. Anggota sebagai individu dari kelompok-kelompok yang berbeda memiliki kesamaan ketakutan, keinginan, aspirasi dan kelemahan. Seseorang dapat saja membesar-besarkan perbedaan di antara orang-orang tersebut dan bagaimana menjelaskan perilaku mereka.
Praktek kependidikan ditunjukkan oleh seperangkat tujuan dan oleh seperangkat hasil perjanjian berbagai prosedur. Hal ini dijiwai oleh nilai-nilai yang merupakan struktur hubungan antara guru dan pembelajar, dan di sisi lain merupakan tradisi pendidikan yang dianggap layak. Pembelajaran mengajarkan banyak hal sebagai suatu inisiasi dalam menanamkan nilai-nilai dan pemahaman-pemahaman praktis yang terdiri dari keterampilan belajar dalam pengelolaan kelas, atau buku-buku penilaian. Hubungan-hubungan yang dibutuhkan pada praktek pengajaran tersebut dapat dikatakan transaksi yang unik, di mana pada proses tersebut menunjukkan dan juga kebersamaan dalam melakukan berbagai praktek dan saling berbagi dalam sudut padang dan nilai-nilai yang sama. Hal ini merupakan alasan di mana guru mampu menegaskan secara jelas melalui tubuh pengetahuan secara lebih umum dalam praktek tersebut. Mungkin hal ini masih tentatif, namun demikian hal ini bak untuk diteliti sebaik yang kita mampu.
Namun, karena praktek pendidikan memiliki sifat yang selalu berubah - situasi yang berbeda, pergeseran nilai-nilai, perubahan tujuan pendidikan, dampak kebijakan - perlu adanya sikap skeptis dan selalu  mempertanyakan teori. Hal ini harus ada sebagai informasi penilaian profesional guru. Penelitian yang yang layak dilakukan sebaiknya  dimaksudkan untuk memberikan jawaban mengenai bagaimana seharusnya praktek yang baik tersebut dilakukan, dan tentu harus diperlakukan dengan hati-hati. Hal yang  tidak boleh diabaikan adalah musyawarah guru. Namun hal tersebut hanyalah salah satu elemen dari sekian banyak elemen yang harus dipertimbangkan. Tidak ada penelitian yang dapat mendikte guru tentang bagaimana ia harus mengajar.
Pembahasan tersebut memang membutuhkan konteks bahwa guru selayaknya melakukan penilaian tersebut. Terutama jika terdapat pengetahuan tanpa kepastian. Dengan demikian, maka pengetahuan harus selalu terbuka terhadap pengawasan kritis. Perlu keberadaan suatu forum di mana penelitian tunduk pada pengawasan, terutapa pada praktek pendidikan dapat atau boleh dipertanyakan, dan di mana generalisasi memungkinkan untuk diuji oleh penilaian profesional dan pengalaman guru. Mungkin hal itu menunjukkan peran yang lebih besar bagi guru dalam penelitian pendidikan. Namun hal yang lebih penting untuk kesimpulan dari pembahasan ini adalah sebagai pengingat mengenai kesementaraan pengetahuan dan penelitian, dan pentingnya kritik yang terinstitusional. Sebagaimana Popper berpendapat, tidak mungkin perkembangan ilmu pengetahuan terjadi tanpa kritik. Tidak ada cara lain menghilangkan kesalahan. Tapi itu bertentangan dengan gandum ("periuk")  para politisi yang bersangkutan.

Referensi:
Dewey, J. (1936) Experience and Education. New York: Macmillan.
Popper, K. (1959) The Logic of Scientific Discovery. Oxford: Oxford University Press.
Pring, Richard. (2005) Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum
Toulmin, S. (1972) Human Understanding. Oxford: Clarendon Press.

Kamis, 23 Juni 2016

FILOSOFI PENELITIAN KEPENDIDIKAN (33): Jeratan Posmodernisme

Tantangan bagi jenis penelitian kritis muncul dari  'jeratan post-modern'. Seseorang yang tergolong paling dekat untuk diasosiasikan dengan pemikiran ini ialah Jean-Francois Lyotard, dengan bukunya, The Postmodern Condition: a Report on Knowledge (1984), memiliki pengaruh besar. Secara singkat, buku ini mencerminkan perubahan besar dan dampak bahwa perubahan tersebut telah dan akan terus memiliki segala hal yang dianggap sebagai pengetahuan dan bagaimana memperlakukannya. Implikasi pada bidang pendidikan – yang mempertanyakan kembali apa dimaksud praktek pendidikan dan bagaimana praktek-praktek tersebut harus dipahami dan diorganisasikan-. Pada satu tingkat, buku tersebut dapat digunakan sebagai acuan kepada rincian konsensus dalam masyarakat plural dan multikultural hari ini, beserta implikasinya. Namun  pada tingkat yang lebih mendalam, hal ini akan membwa kita pada pertanyaan lebih lanjut mengenai makna pengetahuan dan kebenaran, serta makna yang dilampirkan sebagai pelengkap untuk menyusun cara verifikasi supaya dapat diklaim sebagai realitas. Hal ini sangat masuk akal untuk memahami apa yang dimaksud dengan postmodernisme, merenungkan apa yang sedang dibandingkan secara kontras, yaitu, 'modernisme'. 'Modernisme' lebih mengacu pada tradisi budaya dalam sejarah yang panjang dan dominan. Modernisme  memiliki karakteristik sebagai berikut:

Pertama, seperti yang tercermin dalam tradisi positivis, terdapat penjelasan ideal yang lengkap dan ilmiah tentang realitas fisik dan sosial. Meskipun ini mungkin tidak seperti itu dalam praktek, tetap ideal secara jelas.
Kedua, Perkembangan pengetahuan terjadi secara progresif dalam meraih idealisme ini, hal ini dapat dibagi menjadi beberapa disiplin intelektual berdasarkan konsep khusus, prosedur verifikasi dan mode-mode pencarian. Melalui kajian dan penelitian yang beragam dan disiplin tersebut, kerangka pengetahuan tersebut dibangun dari posisi yang tak terbantahkan.
Ketiga, kerangka-kerangka pengetahuan menyediakan basis pengetahuan yang aman untuk tindakan dan perbaikan sosial.
Keempat, terdapat 'narasi besar/ grand naration' yang selama ini kita ikuti untuk jadi panduan baku selama ini, yaitu, 'pencerahan', untuk bertindak dalam terang bukti sistematis diteliti, dan memberikan solusi untuk berbagai masalah yang kita dihadapi selama ini.
Kelima, sistem pendidikan sangat penting untuk inisiasi orang-orang muda ke dalam kerangka pengetahuan dan bentuk rasionalitas yang berbeda. Hal ini dicapai oleh guru melalui proses pendidikan dan pelatihan, sehingga telah menjadi 'penguasa' dalam bentuk-bentuk pengetahuan yang berbeda.

Tipe Premis-premis Posmodern menggambarkan berbagai pertanyaan dalam dunianya. Dengan demikian, pertanyaan dan permasalahan yang selalu diajukan adalah adakah dominasi dalam masyarakat yang beragam budaya oleh salah satu pandangan kelompok tentang dunia. Terdapat perspektif yang berbeda dan yang dianggap sebagai layak didefinisikan secara berbeda dalam masing perspektif. Hal yang dimaksud dengan perspektif yang berbeda berbagai sudut pandang yang berbeda adalah hal seperti- feminis, minoritas etnis, agama, dan sebagainya - yang sebelumnya diabaikan, dan seolah-olah mereka tidak penting di sebagai topik pembahasan kita di dunia ini. Sebagaimana seperti Kuhn berpendapat dalam The Structure of Scientific Revolutions (1970) yang menyatakan bahwa
rasionalitas ilmiah didefinisikan dalam paradigma tertentu dan oleh karena itu, pergeseran dari satu paradigma ke yang lain tidak dapat dengan sendirinya menjadi masalah rasionalitas ilmiah. Demikian juga dengan rasionalitas yang lebih umum dalam dunia postmodern. Perselisihan rival tentang apa yang dianggap sebagai pandangan rasional dunia tidak dapat diselesaikan oleh kesepakatan alasan. Tidak ada 'meta-narasi' rasionalitas yang dapat sepakati dan akan membawa kesatuan tertentu pada keanekaragaman ini keragaman ini.
Konsekuensi adanya ketidak jelasan batas-batas antara disiplin ilmu atau subjek-subjek yang sepertinya bersifat mandiri dari subjek tertentu yang dipertanyakan - baik secara logika ataupun pengorganisasiannya. Terdapat pertanyaan apakah perspektif tradisional telah termasuk dalam kategori perpektif tersebut. Subjek baru bersaing dengan disiplin ilmu lama untuk mengambil tempat pada kurikulum - misalnya studi perempuan, studi tentang masyarakat kulit hitam, studi tentang media, budaya populer, dan masih banyak lagi. Tidak terdapat narasi besar yang melegitimasi seperangkat aturan atau nilai-nilai untuk mengatur hal tersebut, sebagai cara untuk mengorganisasikan sistem pengetahuan. Oleh karena itu, kita perlu berdamai dengan pluralisme, tidak hanya dalam mengakui bahwa ada keragaman budaya, tetapi juga dalam mengenali mode keanekaragaman rasionalitas dan perspektif. Bukankah konstruksi sosial sangat beralasan?
Selain itu, jika alasan itu sendiri merupakan suatu konstruksi sosial (dan terdapat banyak konstruksi itu) maka terdapat juga konsekuensi tertentu untuk diikuti. Pertama, apa yang dianggap sebagai sesuatu yang rasional tergantung pada kesepakatan antara orang-orang, dan kesepakatan tersebut dicapai melalui 'negosiasi'.  Namun, sebagaimana yang kita semua tahu, negosiasi dapat condong sesuai dengan yang paling berkuasa. Bentuk pengetahuan - statemen diterima di dalamnya, merupakan mode verifikasi yang merupakan benar, dan mode validitas- dilegitimasikan lebih sering oleh mereka yang berada di posisi untuk mendefinisikan segala hal yang dianggap sebagai pengetahuan. Mereka adalah yang berada dalam pikiran para profesor universitas, para editor jurnal yang memutuskan penerbitan, penerbit dan pengulas buku. Pengetahuan dan rasionalitas dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki posisi dalam kekuasaan. Misalnya, mereka adalah laki-laki, maka perspektif feminis akan diabaikan. Postmodernisme, ditandai oleh budaya dan intelektual pemberontakan terhadap kontrol kekuasaan, dan pernyataan ini merupakan modus yang berbeda dari suatu ekspresi budaya. Dan, tentu saja, perkembangan evolusi teknologi komunikasi memungkinkan hal ini terjadi. Membebaskan orang dari praktek pengekangan yang merupakan tututanl rasionalitas. Perdebatan dalam dunia kependidikan –penelitian, mahasiswa dan argumen – merupakan wahana yang beragam, dibanding merupakan legitimasi. Dan siapa, memiliki hak untuk menyensor itu, pada pandangan ini? Konsekuensi kedua adalah pemutusan hubungan antara pengetahuan dan kepastian. Hal ini merupakan bagian dari pembangunan 'proyek pencerahan' sedikit demi sedikit, dari fondasi tertentu secara mendasar, dan dengan melakukan verifikasi secara menyeluruh dari setiap kesimpulan sementara tubuh pengetahuan yang kita yakini secara penuh. Namun pengakuan, sifat pertama, keragaman perspektif, kedua, dari teori-sarat atau perspektif-dipengaruhi pengamatan dasar, dan, ketiga,  mode persaingan prosedur rasional dari suatu tempat menuju ke kesimpulan, merusak rasa ini kepastian. Kita hidup dengan harapan, bukan dengan iman, dan dengan sangat sedikit amal.
Foundasionalisme 'tampaknya pusat untuk' proyek pencerahan ', karena jika ketidakpastian beranjak dari suatu tempat pencarian pengetahuan,  maka seluruh struktur akan tidak sehat. Oleh karena itu, Descartes, di Discourse on the Method of Rightly Directing One's  Reason and of Seeking Truth in Science (1637), mencoba melalui keragu-raguan keyakinan secara sistematis, untuk sampai pada sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi. Seperti "menemukan sendiri penjelasan" proposisi mengenai kebenaran yang akan memberikan landasan tertentu yang digunakan untuk membangun tubuh pengetahuan. Tetapi dengan kegagalan suatu proyek tersebut seperti kita dibiarkan sebagaimana apa yang oleh Wittgenstein disebut sebagai berbagai permainan bahasa, masing-masing dengan aturan wacana sendiri. Terdapat permainan bahasa tidak lebih tinggi untuk penanaman tatanan dalam berbagai variasi.

Konsekuensi-konsekuensi untuk dunia kependidikan dari kritik-kritik posmodern memiliki jangkauan yang cukup jauh. Pertama, terdapat pertanyaan mengenai organisasi yang berbasis otoritas dan mengantar "pengetahuan" sebagai pemikiran yang ditetapkan sebagai "pemberian" yang dilegitimasi oleh prosedur-prosedur rasional yang telah disepakati. Asumsi ini disanksikan, karena otoritas kependidikan telah mapan dan hal ini menunjukkan bahwa kependidikan telah dilemahkan. Otoritas yang ditunjukkan adalah cara transaksi antara guru dengan murid; "percakapan" dan "negosiasi" lebih pada metafora daripada "inisiasi" dan "instruksi". Kedua, pengaturan pengajaran dalam subjek-subjek tradisional dipertanyakan. Apakah tidak pada area-area ketertarikan intelektual dan budaya di luar atau melintas batas-batas subjek- media, lingkungan, kebudayaan, feminis, atau kajian-kajian Eropa? Dan terdapat pertumbuhan suatu ketidakterhubungan antara penataan subjek dari pendidikan tinggi dan sekolah tersebut, setinggi meningkatnya penerimaan tantangan kepada cara-cara hegemoni tradisional dalam mengorganisasikan pengetahuan. Ke tiga, lokasi dari pengetahuan (perlengkapan dan transmisi) dalam sekolah dasar, menengah dan universitas, dipersembahkan untuk kepentingan-kepentingan penguasa, nampak berbagai pertanyaan yang kemudian berkembang. Keterbukaan teknologi komunikasi dan informasi menjadi jalan untuk mengikat keterlibatan hubungan dengan orang lain dalam kepentingan akan pengetahuan. Para pemangku kepentingan lain (pelaku bisnis, jasa pelayanan umum, penyelenggaraan jasa kependidikan tanpa akreditasi) yang menyediakan tempat untuk belajar dan penelitian. Terdapat pelemahan secara bertingkat yang merupakan ciptaan institusional dan distribusi pengetahuan sebagaimana yang telah kita ketahui mengenai hal ini. Ke empat,  terdapat pelawanan kepada satu "grand narrative" yang ingin mengganti "pencerahan" tersebut.  Hal ini sebagaimana yang diacu oleh Lyotard sebagai "performativitas". Lyotard berpendapat bahwa letak dari satu "grand narrative" tersebut, merupakan semacam perlawanan yang dilakukan oleh semangat posmoderenisme, atau secara sederhana dapat dikatakan akan digantikan oleh yang lainnya. Mungkin kita telah kehilangan keyakinan dalam mimpi pencerahan- suatu pertumbuhan pengetahuan, yang merupakan nilai dari pengetahuan itu sendiri. Namun kita telah mengubahnya dengan jenis pengetahuan tersebut- yang melayani pertumbuhan kemakmuran dan ekonomi. Namun penetrasi yang terjadi dalam bahasa istilah kependidikan digantikan oleh istilah baru yaitu "performativitas".  Hal ini mencoba untuk menjadi "grand narrative", dengan melakukan penetrasi bentuk-bentuk wacana yang berbeda. Nilai-nilai yang dominan yang melegitimasi bahwa apa yang diajarkan lebih mementingkan efektivitas dalam mencapai tujuan kegunaan akhir, bukan pada pada "tujuan nilai-nilai kebajikan" dari kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Hal ini mendorong bentuk-bentuk lain dari wacana pendidikan menjadi tidak lagi signifikan.
Pring memiliki simpati terhadap analisi posmodern ini.  Keanekaragaman kebudayaan sebagai pengalaman kita saat yang kita jadikan sebagai pertanyaan mengenai berbagai kepastian yang sebelumnya hanya kita gunakan begitu saja tanpa pernah kita pertanyakan. Berangkat dari titik ini kemudian mengantarkan kita pada silsilah dan tatanan pengorganisasian pengetahuan yang merupakan bagian dari bidang-bidang dalam berbagai faktor dan latihan kontrol sosial dimana hal ini memiliki posisi yang kuat. Hal ini memunculkan pertanyaan pertanyan kritis mengenai mode pembelajaran (transmisi pengetahuan) yang didorong oleh kepastian-kepastian dari modernisme. Pada poin ini ketidak hadiran berbagai sudut pandang tanpa kekuasaan yang didasari pengajaran. Namun beberapa kesimpulan filosofis menegaskan dari analisis kebudayaan ini terlihat akan dianggap kurang tepat.
Hal ini cukup banyak diilustrasikan dalam buku yang ditulis oleh Stronach and MacLure yang berjudul Educational Research Undone: the post-modern embrace (1997). Tema umum dari buku ini kebanyakan merupakan penelitian kependidik yang telah dimulai dan sedang berlangsung, serta masih meninggalkan kekeliruan karena ketidakjelasan yang diakibatkan oleh wawasan-wawasan posmodernisme dan ketahanan pada pelukannya. Seperti wawasan mendasar secara filososif mempertanyakan asumsi-asumsi tentang bidang dan pengorganisasian pengetahuan, objektivitas mengenai perbedaan ranah wacana, dasar pengetahuan kita, serta klaim dan verifikasi dari semua itu. Dampanya Stronach and MacLure mengaitkan  pada hal yang mungkin diacunya pada "metafisik deskriptif" - yang diartikan sebagai konsep-konsep sentral yang dipahami melalui kapasitas kita untuk memikirkan segala pengalaman. Konsep-konsep yang (dibawah pengaruh modernisme) yang sebelumnya dipikir sangat diperlukan, sebagai alasan dan kebenaran, menjadi tidak dipelukan lagi. Terdapat pengabaian perbedaan antara kondisi kebenaran dan verifikasi, antara pengetahuan dan kepastian, antara interpretasi realitas dan realitas itu sendiri, antara teks dan pemahaman teks, antara alasan dan bukti.
Namun sebagaimana kekaburan tersebut seakan pemilahan ini tidak disyaratkan oleh wawasan postmodern. Pencarian kebenaran yang masuk akal tanpa jaminan sebagaimana pernah telah tercapainya hal tersebut. Kepercayaan pada rasionalitas sesuai dengan sifat sementara dan dapat juga kesimpulan seseorang menjadi salah. Penerimaan bahwa realitas tidak ditentukan oleh peneliti, tidak bertentangan dengan kemungkinan banyaknya interpretasi dari kenyataan tersebut. Sebagaimana Carr (1997) menunjukkan dalam kuliah perdana 'Professing Education in Postmodern Age', sebagai tradisi sentral dalam filsafat yang telah dan selalu mempertanyakan argumen yang diterima dan untuk mencari kebenaran sementara, dan sebagaimana diketahui bahwa kesimpulan akan selalu tetap sementara, untuk menghormati teks-teks yang merangkum posisi mereka yang berpendapat tanpa menganggap mereka tidak memerlukan kritik atau perbaikan, selain itu untuk menghormati pemberian alasan sementara, dan mengakui bahwa kanon penalaran yang baik dapat berkembang meskipun banyak kritik atau variasi sesuai dengan jenis wacana. Hidup dengan ketidakpastian bukanlah cabang dari postmodernisme. Ini adalah inti dari tradisi filsafat keabadian.

Referensi:

Carr, W. (1997)
 'Professing Education in a Postmodern Age'. Journal of Philosophy of Education, 31 (2).

Kuhn, T. (1970)
The Structure of Scientific Revolutions. 2nd edn. Chicago: Chicago University Press.

Lyotard, J.-F. (1984)
The Post-modern Condition: a Report on Knowledge.Minneapolis: University of Minneapolis
Press.

Pring, Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum

Stronach, L and MacLure, P. (1997)

Educational Research Undone: the postmodernembrace. Buckingham: Open University                       Press.

Kamis, 02 Juni 2016

FILOSOFI PENELITIAN KEPENDIDIKAN (32): Teori Interpretif: Realitas Sosial dan Etnografi

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Pring (2005) terdapat banyak cara dalam seseorang memetakan perbedaan tradisi pada penelitian kependidikan dan dasar filosofisnya. Pemilahan yang telah menegaskan pembedaan antara tradisi fenomenologi dan etnografi, yang sesungguhnya hal tersebut merupakan satu kesatuan. Namun, kedua hal tersebut mencerminkan suatu penegasan ketertarikan penekanan kajian terhadap pemaknaan-pemaknaan subjektif dari agen sebagaimana yang dapat terungkap dalam refleksi melalui ranah pemikiran yang ditunjukkan dengan tindakan-tindakan mereka. hal ini berakar dari filosofi Husserl. Namun hal ini mewujud sendiri dan sedikit mengabaikan reduksi, oleh para peneliti kependidikan, pemaknaan mengenai apa yang telah dikatakan ataupun dilakukan dalam ranah subjektif pikiran agen. Dalam beberapa hal itu sering berguna untuk menyadari keadaan pikiran. Kenakalan siswa mungkin muncul diakibatkan dari sesuatu yang berkaitan pelajaran dan ingatan yang tidak memungkinkan diantisipasi oleh guru dari pemaknaan sebagaimana apa yang dikatakan. Namun, kebingungan 'pemaknaan" dalam arti keadaan pikiran agen dengan 'pemaknaan' dalam istilah peraturan yang disepakati, perilaku sosial dan perilaku berbahasa, yang akhir-akhir ini telah kehilangan realitas objektifnya. Kita memasuki dunia solipsistik yang membuat bahkan bahasa tubuh kita tidak dapat dimengerti. Jika seseorang mulai dari pemaknaan subjektif, satu orang saja yang akan tetap ada.
Di sisi lain, masing-masing bahasa tubuh dan kata-kata yang diucapkan dapat menjadi ambigu. Dan ambiguitas seringkali meninggalkan ruangan untuk misinterpretasi. Selanjutnya, realitas sosial dapat terubah jika bentuk misintepretasi mengenai bentuk-bentuk hubungan. Mungkin guru bukan orang yang sarkastik, namun hal ini tergantung bagaimana kata-kata terebut diterima. Karena dengan penerimahan atau penafsiran yang berbeda maka hubungan antara guru dan siswa akan berubah. Dan mungkin hal ini akan menjadi elemen yang signifikan dalam pemahaman mengenai apa yang terjadi di kelas.
Pring (2005) selanjutnya juga telah menerangkan mengenai pemaknaan gerak tubuh atau suatu pernyataan selalu tergantung pada aturan-aturan sosial, apakah sesuai dengan bahasa ataupun tidak sebagaimana yang diwujudkan oleh gerak tubuh ataupun pernyataan yang diintepretasikan. Perintah untuk diam memiliki makna hanya karena adanya kesepakatan persetujuan yang diyakini hal tersebut akan dipahami oleh para siswa. Untuk memahami beberapa kelompok apakah itu masyarakat yang lebih luas atau apakah hal tersebut akan dikelompokkan secara sosial seperti sekolah di dalam suatu masyarakat, perlu diungkapkan bagaimana aturan-aturan sosialnya. Beberaoa di antaranya sangat jelas dan nyata bagi semua orang yang hidup dalam masyarakat tersebut. Beberapa di antaranya sangat eksplisit dan didukung oleh sanksi-sanksi yang legal. Bagi seseorang mungkin hal tersebut nampak jelas sebagai bagian dari suatu budaya, seperti misalnya dalam kasus antrian di halte bus. Tetapi bagi orang lain tidak begitu jelas. Hal tersebut perlu untuk diungkap. Memang, hal itu mungkin begitu sopan bahkan mereka yang terdaftar dalam praktek tersebut mungkin tidak mengakui aturan ini secara eksplisit. Guru mungkin tidak mengakui aturan yang memberikan makna pada gerakan tertentu, tindakan dan kata-kata dalam budaya siswa yang mereka ajarkan. Hal ini dapat menyebabkan tidak hanya kesalahpahaman sangat jelas, tetapi juga para guru tidak akan dapat menangkap dinamika ruang kelas di mana mereka bertugas. Terdapat hal yang berbahaya, seperti dalam kasus yang dipaparkan oleh Schutz, orang asing menafsirkan aturan sosial dan dengan pemahaman tersebut akan menentukan dan mempertahankan realitas sosial dengan cara tertentu, tanpa mengacu pada interpretasi yang diberikan oleh mereka yang bermakna bagi yang terlibat dalam kegiatan yang berbeda. Orang asing itu hanya tidak mengerti.
Terdapat bagian yang paling penting dalam penelitian dan perlu diperiksa secara detail dan dekat dengan situasi realitas sosial seperti "realitas keseharian" di sekolah ataupun ruang kelas, (lihat, contoh, karya Woods yang berjud Divided School, 1979, atau Ball, Beachside Comprehensive, 1981, atau Peshkin's Growing Up American, 1978) dari kelompok-kelompok yang diambil  dari pemaknaan "dengan arti apa adanya" dari budaya dominan tidak diterapkan pada/oleh budaya minoritas (lihat contoh, Mac an Ghaill's Young, Gifted and Black: Student-Teacher Relations in the Schooling of Black Youth, 1988). Sebagaimana kajian-kajian memperlihatkan mengenai apa yang terjadi dalam praktek dan aktivitas yang tidak seperti bagaimana yang seharusnya. Seperti kajian-kajian dalam kontek "pencerahan" di mana guru-guru dan yang lainnya mengerjakan, dan membuat beberapa kebijakan dan praktek-praktek yang tidak tepat. Retorika pendukung program kependidikan mungkin memperluas pikiran atau mengembangkan sudut pandang kritis; realitas mungkin akan menjadi sesuatu yang berbeda.
Etnografi mengacu pada jenis-jenis penelitian secara serius menempatkan perspektif dan interaksi-interaksi antar anggota kelompok sosial yang akan dipelajari. Hal ini didasari premis bahwa realitas sosial tanpa melalui aturan-aturan yang merupakan struktur hubungan antara anggota kelompok dan yang membuat hal ini memungkinkan untuk melakukan interpretasi tindakan, gestur ataupun kata-kata mereka. Hal ini mempertegas tradisi-tradisi tertentu dalam ilmu sosial, termasuk antropologi. Selalu dianjurkan untuk mengkaji dunia sosial sebagaimana cara di atas, dan mengungkap penampakan tersebut dari dalam melalui partisipasi. Hanya dengan cara ini mungkin seseorang akan menjadi mengerti mengenai realitas tersebut. Namun hal ini mensyaratkan tidak adanya relativisme sebagaimana yang kerapkali diasumsikan. Dunia sosial yang diteliti adalah sebagai sesuatu yang nyata dan objektif dunia fisik. Realitas ada secara independen, bebas dari tidak tergantung pada pemikiran ataupun asumsi peneliti. Namun demikian, terdapat kesulitan tertentu yang perlu diatasi. Hal itu antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, bukankah peneliti pada partisipasi dalam dunia sosial atau “Budaya asing” telah melihat dunia atau budaya tersebut dalam sudut pandang masyarakat tersebut, bukan dalam sudut pandang peneliti? Dalam menterjemahkan apa yang telah dipelajari dari sudutpandangnya sendiri untuk dikomunikasikan secara lebih luas, para penelti tidak lagi berbicara mengenai realitas sosial tersebut sebagaimana realitas sosial yang diartikan oleh para pelaku budaya. Bukankah hal ini ganjil secara logis ketika orang luar berperan juga orang dalam pada waktu yang sama? Sebagai contoh, peneliti yang sedang melakukan penelitian pada  budaya pemuda kelas pekerja di suatu perumahan terkenal, harus membiarkan para pemuda tersebut berbicara sendiri di 'latar belakang alami' mereka. Memang, penelitian mungkin hanya berhenti di situ - paparan tentang apa yang terjadi dan tidak lebih. Namun hal itu tidak akan memuaskan bagi mereka yang ingin menjelaskan lebih lanjut alasan atau penyebab untuk apa orang-orang muda lakukan dan katakan. Penjelasan lebih lanjut seperti timbul dari kebutuhan untuk meningkatkan lingkungan dan keselamatan mereka yang bukan merupakan budaya tersebut, atau dari kebutuhan untuk membantu fungsi lingkungan sekolah lebih efektif terhadap latar belakang tersebut. Pernyataan mengenai pemahaman sosial dan keyakinan yang memberikan informasi mengenai hubungan dan perilaku pemuda, menjadi data untuk berikutnya disusun analisis dan penjelasan. Dan hal tersebut bukan merupakan sudut pandang dari orang-orang yang sedang diteliti.
Isu tersebut sesuai dengan Winch dalam karya tulisnya yang berjudul The Idea of a Social Science (1958) dan yang terakhir dengan judul makalahnya 'Understanding a Primitive Society' (1972). Winch menekankan permasalahan mengenai bagaimana para peneliti dapat memahami suatu masyarakat yang sangat berbeda dengan kebudayaan para peneliti tersebut –sangat berbeda dalam arti terdapat sesuatu yang terlihat tidak ada satupun yang pahami sesuai dengan kehidupan sosial mereka. Terdapat ketidakpahaman juga dalam bahasa. Tidak ada satupun cara yang terang untuk menjelaskan tindakan-tindakan mereka. Dunia sosial yang akan diteliti, ditegakkan dengan pemahaman yang sangat berbeda dan aturan-aturan sosial tidak dapat diperoleh dengan pemahaman dari pemahaman peneliti yang berada dalam masyarakat yang sangat berbeda.
Winch berpendapat bahwa pada kasus yang ekstriom ini terdapat praktek-praktek umum tertentu yang dapat ditemukan oleh peneliti mengenai beberapa aktivitas yang dapat secara terang dijelaskan. Terdapat berbagai aktivitas yang berkaitan dengan mendapatkan dan mencari makanan, mencari kehangatan di musim dingin, pengasuhan anak dan orang lanjut usia, legitimasi jenis-jenis hubungan sosial antara satu dengan yang lain, perlindungan keselamatan dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan hal yang selalu ada apapun itu di antara kebudayaan dan masyarakat yang berbeda, terdapat elemen yang memang diakui atau milik bersama dalam berbagai pembedaan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjadi  kasus untuk menjelaskan sub-kultur dalam suatu masyarakat itu sendiri. Untuk memahami makna yang merupakan atribut bagi tindakan-tindakan, gestur, dan gaya bicara tertentu berdasarkan pemilahan kelompok kebudayaan (sebagai contoh, etnis minoritas, atau sekte keagamaan) membutuhkan pemahaman yang berasal dari sudut pandang mereka. Tetapi mengingat fakta-fakta tertentu tentang manusia –bahwa mereka memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis tertentu, tipe emosi manusia seperti rasa takut, loyalitas, ambisi, dan lain- lain - kemudian hal-hal apa saya yang membuat tindakan mereka dipahami oleh mereka melakukan tindakan-tindakan yang sama dan berpotensi dimengerti orang luar. Setelah memahami pentingnya ritual tertentu dalam masyarakat primitif tersebut, Winch menyatakan bahwa, bagaimanapun berbeda yang  didapatkan,  peneliti berpengalaman, akan membuat mereka menjadi lebih mudah dimengerti sebagai suatu kerangka penjelasan yang dapat diterapkan dalam masyarakat peneliti sendiri. Pring menekankan 'dapat diterapkan, karena masyarakat peneliti, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Winch, mungkin dominasi kerangka penjelasan  tersebut dengan sendirinya, tidak akan membuat tindakan masyarakat lain dimengerti. Misalnya, asumsi bahwa suatu tindakan adalah dimengerti hanya dalam arti penting - sebagai alat untuk mencapai tujuan - dapat menyebabkan kesalahpahaman dari tindakan yang  dijelaskan oleh peneliti. Namun dari bentuk-bentuk penjelasan lain yang sesuai dengan peneliti –tindakan sebagai ekspresi emosi, gestur sebagai tanda penghormatan, dan kisah-kisah sebagai sebagai pembentukan nuansa mitologis- yang dapat diterapkan pada masyarakat yang dikaji. Tidak ada alasan mengapa penjelasan yang ingin disajikan oleh peneliti, meskipun pada akhirnya istilah yang digunakan oleh orang-orang yang diteliti, tidak harus berhubungan dengan mereka, namun membuat aktivitas kelompok yang diteliti dapat dipahami oleh mereka yang bukan anggota kelompok tersebut. Sebagaimana Winch berpendapat,

Meskipun siswa mencerminkan masyarakat, atau terdapat mode-mode tertentu dalam kehidupan sosial tersebut, mungkin dirasa perlu untuk menggunakan konsep-konsep yang tidak diambil dari bentuk kegiatan yang dipelajari, tetapi konsep yang diambil dari konteks kajian itu sendiri, konsep teknisnya akan menyiratkan pemahaman sebelumnya, yaitu konsep-konsep lain yang termasuk dalam aktivitas yang diinvestigasi. (1958, p. 89)

Kedua, jenis kesulitan yang tidak berhubungan. Ketika aturan-aturan sosial dari suatu kelompok yang akan diteliti tidak dapat diungkap oleh orang luar (dan aktivitas mereka dibuat terjelaskan) mengenai apa yang harus dipahami akan menjadi unik. Realitas sosial dari investigasi tidak sama sebagaimana realitas-realitas soal lainnya sejak masing-masing telah ditentukan oleh pemilahan dalam interaksi, persepsi dan intepretasi dari anggota kelompok sosial tersebut. Masing-masing kelompokakan dijelaskan dalam istilah-istilah dan sudut pandang masarakat tersebut dengan makna yang telah dinegosiasikan. Apa yang dapat dikatakan salah satu kelompok tidak dapat diberlakukan pada kelompok lainnya. Hal ini akan terlihat seakan meninggalkan penelitian kependidikan dan nampak lebih seperti halnya paroki, untuk masing-masing setting sosial, akan membutuhkan pemahaman kajian etnografi. Seseorang tidak dapat melakukan transfer kesimpulan-kesimpulan dari satu kajian untuk memahami setting sosial lainnya, karena masing-masing setting sosial diartikan oleh berbagai persepsi dan interaksi dengan cara partisipasi pada realitas sosial tertentu.  Sebagaimana penampakannya akan terlihat mendukung kritik dari mereka yang memiliki keluhan dalam ranah yang tak terkumpul dalam penelitian kependidikan. Banyak kajian-kajian unik, walaupun dalam membawakan secara pintar dan menarik, terlihat tidak menambahkan apapun. Tidak ada generalisasi yang dapat ditentukan dari hal tersebut, serta hal tersebut tidak dapat digunakan untuk membantu penyusunan kebijakan atau berkaitan dengan praktek profesional dalam setting sosial yang sejauh ini tidak memiliki keuntungan yang diperoleh dari hasil studi etnografi.
Kritik ini, berhenti pada ‘keunikan dari kesalahan'. 'Keunikan kekeliruan ' ini adalah untuk mendebat kritik. Merupakan fakta bahwa setiap orang atau setiap kelompok adalah unik, dalam beberapa hal terdapat klaim bahwa setiap orang dan setiap kelompok adalah unik dalam segala hal. Misal Jadi saya unik karena hanya aku menempati ruang khusus ini pada saat ini dan hanya saya memiliki sejarah hidup saya. Tapi saya tidak unik karena seorang Inggris, atau bekerja di Universitas Oxford , atau menikah dengan tiga anak perempuan . Kami semua unik dalam beberapa hal dan tidak pada orang lain.
Objek-objek kajian etnografi merupakan salah satu yang terasa berkarakteristik unik, sehingga mengecilkan kemungkinan untuk terlalu terburu-buru membuat generalisasi dari hasil kajian tersebut.  Dalam beberapa cara penyajian yang lainnya hal tersebut tidak unik; para anggota kelompok di bawah pengawasan sesama manusia lain melalui proses interaksi emosi dan perasaan, aspirasi dan harapan, kebutuhan dan keinginan tertentu yang khas, dan digunakan serta milik secara bersama. Dalam menunjukan keunikan tersebut kita tidak boleh lupa apa yang khas dari orang di situasi tertentu. Itulah sebabnya orang-orang yang mengakui keunikan studi etnografi tidak melakukan atau kurang merasa 'mencerahkan'. Mereka mengakui terdapat hal yang sama dengan situasi yang sama. Dan itu secara pasti merupakan tujuan penelitian untuk mengidentifikasi kesamaan yang relevan.
Arti penting yang kemudian menjadi mendesak adalah karena terdapat pergeseran ke arah tinjauan sistematis penelitian yang sejalan model Cochrane pada bidang perawatan kesehatan berbasis bukti. Model tersebut memiliki ciri, difokuskan pada skala besar, sampel diambil secara acak, menggunakan tes terkontrol, serta dengan intervensi yang sangat ketat, diamati – merupakan model penelitian yang kaku dalam kerangka positivis. Dalam kerangka pemikiran positivis tersebut menjadikan posisi keunikan studi etnografi akan menjadi perkecualian atau tidak dibenarkan, sehebat apa pun wawasan dan 'iluminasi/pencerahan' yang mereka bawa. Kegagalan untuk mengakui “kegagalpahaman mengenai keunikan tersebut” akan memiskinkan penelitian berbasis bukti yang akan dilakukan untuk kepentingan kebijakan dan praktis.
Kesulitan ketiga yang kemudian dihadapi oleh peneliti etnografi adalah klaim peneliti pada partisipasi dalam berbagai interaksi sosial suatu kelompok yang perlunya mengubah situasi menjadi sesuatu yang lain. Aktivitas peneliti merubah apa yang akan diteliti. Berbagai pertanyaan dan pernyataan dari peneliti akan mengubah berbagai persepsi yang kemudian mengubah definisi mengenai situasi sosial oleh anggota-anggota group tersebut.
Dampak yang tidak dapat ditolak oleh peneliti adalah kesimpulan dari riset tidak dapat menjadikan situasi tersebut sebagai sesuatu yang asli untuk dilakukan investigasi. Tidak ada objektivitas dalam hasil penginderaan pada rekaman para peneliti dalam kasus ini. Namun seseorang dapat saja membesar-besarkan permasalahan. Setting sosial yang akan diinvestigasi, jika sangat mapan,  berakar pada tradisi yang tidak mudah untuk diubah oleh orang asing yang berada ditengah setting sosial tersebut. Peran-peran sosial dan berbagai pemahaman akan terus semakin mendalam untuk diinternalisasikan. Dampak dari peneliti dapat menjadi signifikan dalam kelompok yang lebih kecil, dan setting sosial yang lebih singkat - seperti kelas. Namun peneliti tidak perlu mengambil tindakan pencegahan yang tepat. Salah satu hal yang dibutuhkan untuk mencerminkan sifat dari realitas sosial. Meskipun dibentuk dan dikelola oleh interpretasi dan kesepakatan dari para peserta, mengubah realitas yang lebih, seperti membangun kembali kapal di laut daripada seperti sedikit menata furnitur. Seseorang dapat setuju untuk melakukan yang terakhir dan menyelesaikan tugas dengan cepat. Salah satunya dari mereka tidak mungkin untuk ditukar. Namun perancang perlu sangat berhati-hati, dengan pendekatan sedikit demi pendekatan sedikit yang dapat membuat kapal dibentuk sesuai dengan yang dari yang telah dikembangkan. Bicara tentang konstruksi realitas bagi masing-masing orang, realitas sering muncul seolah-olah itu adalah masalah bertukar furnitur. Seseorang memilih untuk membangun sesuatu cara yang berbeda dengan yang lain. Dan hal  ini cukup jelas membingungkan.
Praktek merupakan ‘sekumpulan berbagaimacam aktivitas yang disatukan dengan beberapa kehendak bersama, mewujud dalam nilai-nilai tertentu, dan membuat masing-masing komponen tersebut menjadi jelas’. Suatu praktek kependidikan merupakan salah satu aktivitas yang disatukan dalam tujuan belajar –dan untuk belajar dan untuk belajar mengenai apa yang dipikirkan oleh pengajar dan sistem kependidikan akan menjadi suatu nilai. Untuk memahami praktek kependidikan seseorang adalah dengan memahami bagaimana aktor-aktor tersebut menafsirkan agenda secara lebih luas. Seseorang dapat membayangkan dengan berbagai cara yang berbeda untuk menafsirkan hubungan timbal-balik antara guru dan siswa.
Guru yang menganut filosofi pendidikan berpusat pada siswa, akan mencoba untuk menetapkan aturan interaksi secara serius, dalam menempatkan persepsi dan kepentingan peserta didik. Para siswa, yang datang dengan agenda mereka sendiri, akan memberikan kontribusi pemahaman mereka tentang hubungan yang sedang dicoba untuk dibangun oleh guru. Dan kontribusi tersebut akan dipengaruhi oleh pengalaman siswa sebelumnya yang diperoleh dari guru. Transaksi tersebut, memang, akan  terus berlangsung lebih sering daripada tidak, dalam suatu perangkat sosial yang lebih luas tentang pemahaman mengenai arti pendidikan dan cara hal itu harus dilakukan. Pemahaman praktik pendidikan akan diperoleh dengan memahami pemahaman interaksi, keyakinan dan nilai-nilai. Ada perbedaan yang jelas antara praktek di mana guru sedang bermaksud mengejar nilai intrinsik dari subyek yang diajarkan, dan guru yang melihat nilai dalam hal murni utilitarian. Tidak hanya nilai yang berbeda yang terkandung dalam praktek, tetapi juga kriteria yang berbeda untuk memilih muatan dan metode pengajaran. Sebagai contoh, sebuah diskusi yang mengangkat  isu-isu kontroversial harus dipahami sebagai suatu niat dan nilai-nilai yang terdapat di balik pemilihan pendekatan dan cara menafsirkan. Proyek Kurikulum Humaniora diwujudkan dalam praktik pendidikan yang khas, meskipun penelitian akan perlu dicermati bagaimana hal ini ditafsirkan dalam suatu kasus yang berbeda itu. Dalam hal ini kita harus perhatikan cara evaluasi proyek yang dimunculkan oleh tradisi penelitian studi etnografi diterima sebagai hal yang esensial.
Pertimbangan ini menunjukkan ketidaktepatan jenis penelitian, dalam kerangka kerja dan semangat positivistik yang memperlakukan 'kelompok-kelompok diskusi' atau 'pengajaran dengan isu-isu kontroversial' atau 'ukuran kelompok' atau 'referensi bukti tekstual dalam diskusi' sebagaimana data fisik untuk penelitian empiris dan pemapanan secara umun, dengan prinsip-prinsip terverifikasi. Praktek tersebut dapat dipahami hanya dalam menerangkan bagaimana guru dan peserta didik memahami apa yang mereka lakukan. Dalam kasus Proyek Kurikulum Humaniora, seperti persepsi-persepsi diinformasikan oleh seperagkat kesepakatan nilai-nilai dan prosedur yang dipelajari dan diinternalisasikan oleh guru dan siswa, meskipun pasti memiliki berbagai variasi. Tidak ada yang kurang, dari studi kasus praktek tertentu, gambaran mengenai kondisi yang tepat tentanf suatu  pelatihan, ataupun praktek-pratek pendidikan  yang sebagaimana dilakukan dapat disusun.

Referensi:

Pring, Richard. (2005) Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum
Winch, P. (1958) The Idea of a Social Science. London: Routledge & Kegan Paul.

Winch, P. (1972) 'Understanding a Primitive Society', in P. Winch (ed.) Ethics and Action. London: Routledge & Kegan Paul.