Rabu, 28 September 2016

Pengantar Antropologi Demografi/Kependudukan



Translasi Bebas Oleh:
G. Bayuardi, S.Sos., M.Si

1 . Pengantar
Antropologi Kependudukan merupakan kajian secara khusus memuat kajian demografi/ kependudukan dengan menggunakan teori, pendekatan, serta metode antropologi sebagai ilmu yang menyediakan pemahaman yang lebih untuk melihat fenomena demografis hari ini ataupun fenomena yang telah lalu. awal mula dan pertumbuhan yang terus berlangsung didasarkan saling keterkaitan antara demografi dan antropologi sosial-budaya sebagai upaya untuk memahami proses kependudukan, terutama fertilitas, migrasi, dan kematian. Kedua disiplin ilmu dikombinasikan untuk mempelajari objek penelitian, yaitu populasi manusia, dan kajian tersebut memusatkan kajian pada aspek yang saling melengkapi dari objek penelitian tersebut: kajian kependudukan berorientasi statistik dan terutama berkaitan dengan dinamika ukuran populasi, dan struktur, serta variasi demografi, yang melintasi ruang dan waktu, sementara secara antropologi sosial budaya bersifat interpretatif dan berfokus pada organisasi sosial membentuk mode produksi dan reproduksi populasi manusia. Konsep teoritis utama dalam demografi antropologi adalah budaya, jenis kelamin, dan ekonomi politik; Pendekatan penelitian empiris meliputi campuran metodologi kuantitatif dan kualitatif diterapkan untuk studi kasus. Penelitian lapangan etnografi dan observasi partisipatif sering digunakan sebagai pendekatan utama untuk membaca dan melakukan interpretatif data sekunder dan data sejarah.
Pendekatan antropologi demografi akhir-akhir ini berkembang secara pesat dan sering muncul dalam kajian-kajian mengenai kependudukan. Perkembangan ini menghadapi tantangan utama secara internal, yaitu karena perbedaan tradisi disiplin metodologis dan epistimologis. Demografi lebih positivistik dan lebih berorientasi kuantitatif proses kependudukan; di sisi lain antropologi sosial budaya lebih bersifat intepretif dan berorientasi kualitatif lebih memperhatikan pada mekanisme perilaku dan institusi/ lembaga untuk memaknai suatu proses. Dengan demikian, konsekuensi dari hal ini seringkali menjadi kebingungan para demographer oleh aspek-aspek dalam konsep-konsep sosio-antropologi., seperti misalnya (i) sebagian peran demograf tentang pengujian teori yang banyak memainkan peranan utama, (ii) hal ini merupakan pendekatan kritis yang dibawa pada kategori analitis universal, sebagaimana konsep ruang dan waktu, dan (iii) Studi kasus yang non-representatif. Hal inipun membuat para antropolog menjadi skeptic terhadap fakta demografis yang menekakan pada representasi statistis dan perbandingan data yang tidak seimbang dan ditekankan pada validitas data, model analisis, dan intepretasi mereka. Meskipun tantangan yang melekat dalam upaya ini, para akademisi di kedua disiplin telah bekerja sama dalam tim penelitian multidisiplin untuk menciptakan desain penelitian yang kompleks dalam rangka membangun kekuatan bersama, serta mengurangi keterbatasan masing-masing disiplin, sehingga meluncurkan bidang demografi antropologi (antropologi kependudukan).
Demografi antropologis telah muncul secara bertahap dan definisi sebagai spesialisasi dalam demografi ini masih dalam proses pengembangan. Sejarah demografi dan antropologi selalu memberikan beberapa contoh dari akademisi beralih ke disiplin ilmu lain, walaupun kelahiran demografi antropologi baru benar-benar muncul kembali pada dua dekade terakhir di abad kedua puluh. Berbagai tulisan teoritis dan empiris menggunakan pendekatan demografi antropologis telah muncul dalam jurnal demografi dan antropologi secara jelas sejak tahun 1980-an, dan eksistensi demografi antropologi di masyarakat demografi telah dikembangkan oleh kalangan konstitusi interdisipliner spesifik dan komite internasional. Program Misi dari Komite IUSSP (International Union for the Scientific Study of Population)
 dari Antropologi Demografi, aktif 1998-2002, yang membina kerjasama interdisipliner dalam demografi dan antropologi. Sementara Komite IUSSP memiliki fokus utama pada masyarakat non Barat, Kelompok Kerja pada Antropologi Demografi Eropa dalam Asosiasi Eropa untuk Studi Kependudukan, aktif sejak tahun 2005, bertujuan untuk menghasilkan kolaborasi teoritis dan metodologis yang sebanding dalam konteks Eropa. Bagian dari Demografi antropologis telah menyelenggarakan banyak pertemuan profesional sejak tahun 1990-an yang didedikasikan untuk isu-isu kependudukan, seperti pertemuan Asosiasi Penduduk Amerika. Hibah khusus dan program pascasarjana, program populasi Andrew Mellon Foundation dan program Antropologi Kependudukan di Universitas Brown telah dibentuk dengan tujuan memberikan kesempatan para sarjana junior untuk menerima pelatihan yang tepat untuk mempelajari antropologi dan demografi serta organisasi-organisasi internasional, dan lembaga donor telah menempatkan penekanan khusus pada pendekatan interdisipliner.

Uraian berikut secara singkat menggambarkan sejarah minat tentang demografi dan antropologi sosial budaya, dan dengan menunjukkan beberapa kontribusi utama teori antropologi dan metode penelitian demografis. Kami kemudian menggambarkan beberapa 3 pencapaian antropologi demografi dan menyimpulkan berupa beberapa refleksi dari kemungkinan di  masa depan sebagai sub-disiplin ilmu.

Teks semacam merupakan kepastian hasil dari pilihan tentang penentuan batas demografi antropologi dan memastikan bahwa pembaca menyadari pilihan ini. Pertama, mengikuti diskusi antropologi mengacu semata-mata untuk antropologi sosial budaya (istilah yang digunakan secara bergantian). Terdapat bidang kajian yang tumpang tindih antara demografi dan antropologi, yaitu bidang besar yang terlingkupi antropologi evolusi, arkeologi, dan paleodemography: cabang-cabang dari antropologi yang ditandai dengan penggunaan metode demografi untuk memahami struktur bio-demografi populasi masa lalu, atau kontemporer, seperti pemburu dan pengumpul ataupun populasi terasing. Meskipun terdapat tumpang tindih secara parsial pada demografi antropologi, konsep teori acuan kedua disiplin tersebut berbeda: evolusi, adaptasi, kekerabatan, dan hubungan antara penduduk serta sumber daya. Pembaca yang tertarik diarahkan ke literatur tertentu yang disebutkan dalam daftar pustaka dan bab tentang demografi biologis dalam buku ini (Roth 2004, Howell 1986, Hammel dan Howell 1987, Schacht 1981). Kedua, diskusi ini ditulis dari perspektif demografi dan menekankan kontribusi demografi antropologi untuk bidang kependudukan; tidak ada usaha untuk secara sistematis menguraikan kontribusinya terhadap (sosial budaya) antropologi.

2. Demografi menuju Antropologi
Kertzer and Fricke (1997:1) menyatakan bahwa keterkaitan antara antropologi dan demografi “sudah cukup lama, teruji, seringkali ambivalen dan kadang menjadi penuh gairah” dan diketahui bahwa antropologi demografi merupakan hasil utama dari keterbukaan komunitas demographer kepada wawasan ilmu antropologi dalam mengkaji proses dinamika populasi, sementara mayoritas antropolog masih ragu-ragu untuk mempelajari dan menggunakan teknik-teknik demografi. Awal dekade abad duapuluh, keadaan mulai berubah dan menjadi berbeda, antropologi di Inggris telah secara besar-besaran menggunakan data populasi dengan focus utama pada kajian kekerabatan sebagai suatu pilar dari organisasi sosial produksi dan reproduksi. Secara bersama-sama dengan perluasan pengambilan data sensus pada populasi local  sebagai salah satu dari alat yang mendasar untuk memahami keluarga dan rumah tangga beserta proses-prosesnya seperti struktur rumah tangga, perceraian, dan pengasuhan anak ( sebagaimana kajian antropologi klasik, Redcliff Browan (1964), Raymond Firth (1968)[1936], dan Fortes (1946). Hal ini berbeda sekali dengan pendekatan ini, di Amerika Serikat yang menempatkan penekanan pada manifestasi budaya dan ritual daripada organisasi sosial; dengan demikian maka di Amerika Serikat relative lebih kebal terhadap pengaruh demografi untuk beberapa tahun lebih lama, dengan perkecualian dalam penelitian-penelitian mengenai ekologi kebudayaan dan materialisme cultural yang memiliki pusat perhatian pada isu-isu mengenai kependudukan dan menekankan perhatian pada keseimbangan antara populasi dan sumberdaya. (Harris dan Ross 1987).

Demografi mulai berubah menuju kearifan kepustakaan yang antropologis pada awal 1950 ketika beberapa di antara sedikit ahli antropologi diundang untuk bergabung dengan Komite Permasalahan Kependudukan Pada Masyarakat Non-Industri, PBB untuk Kajian Ilmiah Kependudukan. Perlunya mengatasi pengaruh bentuk-bentuk organisasi sosial budaya lokal memiliki pengaruh dinamika populasi menjadi lebih jelas antara 1960-an dan 1970-an: dalam periode ini dua proyek demografi utama dapat menunjukkan batas-batas metodologis dan teoritis demografi. Salah satu proyek program pengumpulan data yang cukup ambisius Survey Fertilitas Dunia, yang bertujuan untuk menghasilkan perkiraan populasi pada negara-negara dengan data yang tidak lengkap dan yang menyoroti perlunya informasi kontekstual dalam rangka mencapai pengumpulan data yang valid dan interpretatif. Proyek lainnya berkembang pada periode yang sama adalah Proyek Princeton Eropa, dengan tujuan untuk menguji dan melakukan konfirmasi teori transisi demografi dengan melakukan dokumentasi perubahan pola empiris tentang kesuburan, perkawinan, kematian bayi, urbanisasi, industrialisasi, dan tingkat melek huruf pada sejarah populasi Eropa; kesimpulan dari kajian ini menyatakan bahwa faktor budaya memainkan peran penting dalam menentukan membentuk dan ritme transisi.

Survey-survey skala besar dengan sampel yang representative tentang Tingkat Fertilitas di dunia digunakan sebagai alternatif pencatatan dan sensus di Negara-negara Asia dan Afrika yang sebagian besar cakupan dan akurasi sumber data lebih  tradisional untuk memperkirakan masih perlu dipertanyakan. John Caldwell, seorang ahli demografi Australia, adalah yang pertama di bidangnya untuk merasa prihatin dengan keterbatasan dalam penggunaan dan interpretasi data tersebut, bergema untuk sebagian besar kritik umum dari pengumpulan data kuantitatif dalam ilmu sosial empiris. Kritik adalah bahwa data semacam ini hanya mencerminkan apa yang termasuk dalam pertanyaan, dan realitas sosial mereka berusaha untuk mewakili terdistorsi jika pertanyaan yang dirumuskan oleh seorang peneliti yang tidak terlibat dalam proses pengumpulan data atau terkena sosial realitas dari mana data berasal. Perhatian untuk informasi standar di pengaturan sosial dan budaya dapat, di satu sisi, dikatakan membenarkan kaku protokol kuesioner dan pertanyaan Format tertutup. Di sisi lain, bagaimanapun, itu sangat membahayakan validitas jawaban dikumpulkan. Caldwell adalah dirinya terlibat dalam studi desa di Afrika Barat pada akhir 1970-an. pengalaman ini dan membaca tentang literatur antropologi tentang daerah yang menyebabkan dia untuk meninggalkan apa yang telah dianggap sebagai 'pendekatan kursi' analisis demografi (a pelepasan besar analis dari lapangan) dan meluncurkan apa yang ia didefinisikan sebagai tingkat mikro demografi atau pendekatan antropologis untuk demografi (Caldwell dan Hill 1988).

Aspek-aspek utama pendekatannya adalah: mengadopsi beberapa fitur dari kerja lapangan antropologi ke dalam demografi untuk dengan tujuan untuk memiliki ikatan yang intensif dan berlanjut dengan populasi yang dikaji; menerapkan batas yang fleksibel untuk metode-metode; pengembangan peneliti secara langsung dalam semua tahapan-tahapan, yang memungkinkan untuk membentuk tim peneliti yang multidisipliner. Selain itu juga, untuk memperkenalkan demografi dengan kajian demografi (Leibenstein, 1981). Pendekatan Caldwell dipengaruhi oleh penggunaan kajian desa untuk mengumpulkan informasi yang kontekstual dan untuk memahami perilaku demografis pada kompleksitas realitas sosial. Caldwell mengatakan bahwa hanya dengan informasi yang dapat diinterpretasi hubungan antar variabel. Demikian pula, kehadiran peneliti di lapangan dan kolaborasi setiap hari dengan antropolog dalam proyek umum akan memungkinkan evaluasi yang lebih baik pada validitas data karena penggunaan informasi yang jarang dikaji secara ilmiah pada makna lokal, pada motivasi untuk tindakan, dan topik-topik sensitif. Beberapa tahun terakhir para demografer telah menggunakan pendekatan demografi-mikro (Lesthaeghe 1980, Massey 1987), sebagian terinspirasi oleh pioner riset yang dirintis oleh Caldwell dan sejumlah kolega-koleganya pada waktu itu. Personel Komite IUSSP (International Union for the Scientific Study of Population) pada antropologi kependudukan yang telah memberikan kemampuan melihat pendekatan dan memiliki kontribusi dalam perluasan perdebatan mendasar antropologi kependudukan.

Alasan utama untuk menggunakan penelitian lapangan pada riset survey telah menambakan eksplorasi untuk membuka komponen pada pengumpulan data supaya benar-benar valid dan menemukan intepretasi yang benar. Dan rasanya, aliran utama demografi telah menerima kontribusi antropologi kepada demografi sebagai salah satu metodologinya: kepentingan utama yang masih tertinggal untuk penjelasan kuanitatif berubah pada dinamika kependudukan dan bukan lagi hanya merupakan penerapan teori antropologi pada dinamika kependudukan. Kegagalan untuk menggunakan teori antropologi ini, sebagian selalu dikritik oleh para antropolog yang juga mengkaji masalah kependudukan ini (Fricke, 1997).

Sumber lain dari minat baru dalam antropologi antara demografi muncul pada waktu yang hampir sama dari kelompok kerja pada Proyek Fertlitas Eropa dan upaya mereka untuk secara empiris membuktikan teori transisi pada data historis dari Eropa. Tujuan utama mereka  adalah untuk melihat keadaan sosial dan ekonomi yang berlangsung, pada saat terjadi penurunan fertilitas mulai jaman modern, serta untuk memperjelas mekanisme kausal dari transisi fertilitas di Eropa. Tim yang terlibat dalam proyek ini menciptakan rekor kuantitatif orisinil dalam kajian perubahan demografi dan sosial ekonomi yang mendalam terjadi di benua Eropa dalam XIX dan abad XX. Dua perangkat langkah-langkah dikumpulkan dan dianalisis: indikator karakteristik demografi (terutama pernikahan dan fertilitas), dan indikator keadaan sosial dan ekonomi. Proyek ini menunjukkan bahwa formulasi klasik dari teori transisi adalah yang terbaik untuk akurasi penggambaran proses sejarah perubahan demografi dan beberapa hal yang belum lengkap dari faktor-faktor penentu perubahan demografi. Para peneliti utama proyek tersebut menyimpulkan bahwa pengaturan budaya memiliki pengaruh terhadap penurunan fertilitas yang independen dari faktor sosial ekonomi, dan mereka merasa yakin bahwa teori transisi dapat menggabungkan budaya dan perubahan ide-ide (Cleland dan Wilson 1987, Knodel dan van de Walle 1986, Watkins 1996).

3. Tantantangan Teoritis: Budaya dan Gender Sebagai Institusi-Institusi
Dengan minat baru terhadap budaya sebagai satu di antara banyak demensi-demensi kontekstual dari dampak yang dicerminkan oleh gejala demografis, demografi telah memulai sejak era 90 an menyambut antropologi sebagai disiplin ilmu sosial yang memiliki konsep dan teori kemasyarakatannya dapat dipinjam, bukan sekedar metodologinya. Bagaimanapun hal ini tidak terjadi secara lengkap dengan cara yang mulus. Tantangan utama telah direpresentasikan oleh a) operasionalisasi konsep budaya, gender, dan institusi; b) konsistensi interpretasi data empiris yang dikumpulkan secara intensif dalam penelitian lapangan, di sisi lain estimasi/prakiraan dihasilkan dari seperangkat data dengan sampel yang besar; c) kombinasi pendekatan holistik telah berkembang dalam analisis studi kasus dan analisis-analisis hubungan antar variabel.

3.1. Budaya
Peran dari budaya dalam analisis proses demografi menjadi minat baru para demografer dengan teori. Penjelasan secara kultural dari perilaku demografi nampaknya menjadi cahaya baru pada variasi hal-hal eksplisit yang terobservasi. Bagaimanapun juga, isu mengenai bagaimana mengartikan budaya, dan bagaimana budaya dibwa dalam ranah riset empiris masih merupakan pertanyaan, dan masih belum dan akan selalu diartikan jawabannya selalu bertemu dengan persetujuan yang belum jelas. Perdebatan sengit selalu terjadi sejak waktu yang lama dalam antropologi dan batas-batas definisi dari " secara historis, pola ditularkan dari makna yang termuat dalam simbol-simbol", “organisasi sistem pengetahuan, dan tindakan-tindakan  atau perilaku yang diditunjukkan sehari-hari oleh anggota kelompok sosia"l, "penerapan nilai mengenai benar dan salah", serta "sistem yang terorganisasi dari pemaknaan bersama". Hammel 1990, menjabarkan bagaimana konsep kebudayaan dalam antropologi digunakan sebagai alternatif untuk "pengidentifikasi kelompok-kelompok sosial, tubuh tradisi-tradisi, perangkat pola-pola perilaku yang tampak, penentu tindakan manusia, ekspresi seni dari pengalaman manusia, seperangka simbol-simbol yang dinegosiasikan antara aktor-aktor sosial” (Hammel 1990: 457).
Terinspirasi Clifford Geertz’s (1973) yang menyatakan terdapat pemilahan antara model untuk dan model dari, dalam kontek hubungan dialektika antara struktur dan tindakan, Hammel mengajukan penekanan pemilahan secara paralel: "Kebudayaan untuk penduduk dan Kebudayaan oleh Penduduk". Di budaya rasa yang sebelumnya, memiliki fungsi sebenarnya menentukan tindakan masyarakat dengan menyediakan "cetak biru" tentang bagaimana kehidupan mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Individu belajar norma-norma yang terdapat pada lingkungan sosial mereka dan baik yang mereka internalisasi dan sesuai, ataupun yang menentang tradisi sebelumnya, telah diperhitungkan peluang kerugian perilaku mereka. Hal ini merupakan "budaya untuk masyarakat" berguna untuk membenarkan masuknya dimensi budaya menjadi model perilaku yang memberikan penjelasan mengapa orang dalam konteks budaya yang sama, bertindak seperti yang mereka lakukan. Namun, pandangan mengenai budaya ini dikritik oleh aliran utama antropologi karena memperlakukan individu sebagai "penjelasan budaya," mengesampingkan peran agen secara individual, dan hanya meninggalkan sedikit ruang untuk menjelaskan perubahan budaya. Sebuah "budaya dari orang-orang" merupakan cara di mana aktor sosial memandang dunia dan atribut yang jelas dan makna simbolik terhadap perilaku sosial. Dalam pengertian budaya, pengertian ini merupakan bingkai dari jalur yang mungkin tersedia, sementara jalan yang sebenarnya diambil adalah masalah pilihan individu. Dalam definisi ini setiap agen budaya dan praktek-praktek yang sentral. Simbol budaya rentan untuk diubah dan diinterpretasikan oleh individu untuk tujuan mereka sendiri dalam keadaan tertentu. Karena proses ini, transformasi dan interpretasi terjadi dalam interaksi sosial, dalam percakapan dan dalam praktek, lembaga individu tampaknya menjadi "terdistribusikan secara sosial" (Carter, 1995) dan berlangsung dalam "hubungan dialektis antara tindakan-tindakan masing-masing personal dan latar belakan kegiatan mereka" . Visi budaya tersebut merupakan "percakapan evaluatif" yang konsisten dengan fakta bahwa atribut subjektif individu seperti nilai-nilai atau sikap perilaku tertentu yang mungkin ambigu dan bahkan bertentangan dalam konteks budaya tertentu.

Menurut Fricke: “Kajian populasi sensitif secara kultural memerlukan suatu asumsi bahwa orang-orang terikat dunia mereka dalam istilah yang sangat beragam dalam sistem pemaknaan lokal, dan kehendak untuk mengungkap sumber-sumber yang telah ada dengan menggunakan mata untuk menghubungkan makna-makna dengan keluaran demografis" (Fricke 1997 : 186). Antropologi Kependudukan selalu dibutuhkan untuk menghadapi tiga tantangan dalam menambahkan budaya dalam kajian demografi. Tantangan tersebut antara lain:

Pertama, perlu untuk memastikan bahwa variabel demografis standar, seperti misalnya pendidikan atau usia saat menikah dijelaskan dengan makna budaya bahwa variabel ini memiliki asumsi dalam konteks tertentu. Misalnya Johnson-Hanks, ia menemukan bahwa pendidikan berhubungan dengan usia yang lebih tua pada kelahiran pertama di antara perempuan suku Beti di Kamerun. Terutama karena sekolah formal berhubungan erat dengan tingginya motivasi untuk memiliki reputasi yang lebih baik dan berperilaku ideal sesuai dengan Agen1[1] lokal mengenai konsep kehormatan. Menempuh pendidikan (sekolah) berfungsi sebagai faktor sosialisasi yang memperkuat karakteristik perilaku terhormat melalui tindakan tertentu, salah satunya adalah- dominasi diri. Hal ini menjelaskan mengapa pendidikan juga konsisten dengan meluasnya penggunaan kontrasepsi non-Barat alami dalam konteks ini (Johnson-Hanks, 2006).

Ke dua, ahli antropologi kependudukan harus memperhatikan sistem simbolik sebagai acuan dalam kajian mereka tentang, dan dengan demikian maka terbuka kesempatan untuk memodifikasi variabel standar, atau memperkenalkan variabel kontekstual baru ke dalam model perilaku. Studi lapangan oleh tim Susan Short di Cina menunjukkan definisi yang jauh lebih baik dan berlaku mengenai karakteristik bidang pekerjaan perempuan daripada bidang pekerjaan klasik menjadi dibayar dan tidak dibayar. Hal itu hanya dengan perhitunganan untuk tingkat yang berbeda dari intensitas dan tingkat kesesuaian dengan pengasuhan anak dalam kegiatan non-upah spesifik, bahwa hubungan antara alokasi waktu kerja dan waktu mengasuh  anak dapat dihargai secara penuh (Short et al. 2002). Demikian pula, dalam penelitian bertujuan melakukan pendataan tunawisma di Paris, fase kerja lapangan eksploratif desain penelitian yang diperlukan untuk menjelaskan beberapa definisi atau konsep 'rumah/ tempat tinggal' yang dibentuk oleh informan sehingga memungkinkan para peneliti untuk mengumpulkan data valid dalam melakukan penghitungan (Marpsat 1999).

Ke tiga, Para ahli Antropologi Pendudukan perlu untuk menafsirkan kompleksitas motivasi secara individu, melalui pola-pola perilaku lokal. Kompleksitas ini tersebut, sebagaimana yang ditemukan oleh Bledsoe beserta timnya di pendesaan Gambia. Ditunjukkan bahwa di sana, alat kontrasepsi barat secara secara konsisten digunakan oleh para wanita, karena motivasi dan ketertarikan yang tinggi, sebagaimana keinginan memiliki anak sebanyak yang memungkinkan, dan hal ini secara tidak langsung mengkondisikan tujuan pembatasan fertilitas. Organisasi sosial dalam komunitas tersebut menyatakan bahwa memiliki anak-anak yang sudah dewasa merupakan sumberdaya yang penting  dan merupakan tanggungjawab sosial bagi perempuan. Ide lokal mengenai reproduksi biologis melakukan identifikasi kehidupan pengasuhan anak sebagai "tubuh yang menghasilkan sumberdaya" (Bledsoe 2002) dan mengenai kapasitas reproduksi ini, sama sekali terpikirkan untuk menguranginya seiring dengan pertambahan usia, tetapi dengan tekanan yang diderita oleh tubuh wanita. Salah satu peristiwa paling membebani wanita dalam pengertian ini dianggap hanya pengalaman sebuah kecelakaan kecil (keguguran, bayi lahir atau kematian dini pada bayi). Seorang wanita dalam masyarakat tersebut mempertimbangkan untuk beristirahat di antara kehamilan sebagai cara yang paling efektif untuk memulihkan kapasitas reproduksi sendiri (sendiri "sumberdaya tubuh" nya).  Kombinasi dari suatu organisasi sosial setempat dan konsep fertilitas lebih tergantung pada tekanan fisik dibandingkan pada penuaan yang menyebabkan kehamilan para perempuan berakhir dengan kegagalan untuk menggunakan kontrasepsi barat supaya dapat memaksimalkan kesempatan untuk bertahan hidup anak-anak mereka berikut. Dalam contoh terakhir antropologi kependudukan selalu meluruskan konseptualisasi bahwa organisasi sosial dan budaya sebagai kekuatan yang terpisah dalam mempengaruhi keluaran demografis.
Cara atau prosedur yang sama untuk sejarah sosial, Antropologi kependudukan memberikan banyak perhatian pada titik temu kekuatan lokal dan global dalam menghasilkan agen dinamika struktur populasi. Fokus ini akan lebih menarik jika disajikan dalam pendekatan politik ekonomi terhadap proses-proses demografi, di mana tujuan dari analisis ini adalah dampak dari kekuatan ekonomi dengan muatan konteks politik dan budaya, bukan sebaliknya (Kertzer, 1995, Greenhalgh 1990, Schneider dan Schneider 1984).

Contoh yang bagus dari pendekatan semacam ini adalah kajian yang dilakukan oleh Kertzer dan Hogan mengenai perbedaan penentuan waktu  menolak fertilitas menurut kategori bidang pekerjaan di Casalecchio, Reno, Italia. Kebiasaan orang-orang pada tingkat lokal terlihat jelas dipengaruhi oleh seperangkat kisaran dari pengenalan wajib belajar, diberlakukannya undang-undang pekerja anak, serta jenis pengaturan hidup kelas tertentu, yang mempengaruhi nilai ekonomis anak-anak bagi orang tua. Hal ini memiliki  cara yang berbeda jika dibandingkan antara petani penggarap dibandingkan dengan semua kelas sosial lainnya (Kertzer dan Hogan 1986). Demikian pula rekonstruksi penurunan fertilitas di Sisilia, sebagaimana dikatakan oleh Schneider dan Schneider (1984) dan juga yang dilakukan oleh Netting (1981) di Swiss Alps keduanya model peran studi ekonomi politik diterapkan serta mengintervensi fertilitas.

Mereka menggunakan ingatan lisan dan data arsip untuk menentukan kekuatan di balik transisi fertilitas; penggunakan data historis tentang peristiwa penting juga diuji untuk menentukan seberapa fertilitas mengalami transisi pada berbagai kelompok sosial. Schneiders mengatakan bahwa:
"Pendekatan ekonomi politik adalah di atas semua memperhatikan perbedaan kekuatan yang muncul, dan akan terus muncul, dalam alur sejarah: perbedaan usia dan gender di dalam lingkungan keluarga dan unit kekerabatan; antara lembaga resmi dan klien mereka, pelanggan atau pengikut; antara kelas atau kelompok etnis; dan di garis-garis ini sebagai hasil dari interaksi. Dan berorientasi terhadap penanaman berbagai jenis perubahan, termasuk perubahan populasi dalam sejarah yang berbeda dari evolusi" (Schneider dan Schneider, 1996: 8).

Secara ideal, pendekatan-pendekatan tersebut terinspirasi oleh politik ekonomi yang di dalamnya termasuk lima elemen kunci sebagai berikut: fokus pada analisis-analisis multilevel (berbagai tingkatan); perspektif historis; berorientasi praktis; memperhitungkan kekuatan-kekuatan  aspek ekonomi, politik, dan kebudayaan; dan menggunakan pendekatan-pendekatan riset metode campuran (mixed-methods). Pendekatan ekonomi politik cenderung menantang  demografi untuk mengabadikan perbedaan yang sedikit artifisial di antaranya sebagai efek pada perilaku organisasi budaya dan sosial, yang seolah-olah ini diwakili oleh dua lembaga independen. Misalnya klaim bahwa agama sebagai kekuatan budaya dan industrialisasi dan kekuatan ekonomi utama bertindak secara terpisah pada transisi fertilitas. Hal ini harus memperhitungkan peran politik Gereja Roma dalam mendefinisikan segalahal yang berkaitan dengan registrasi kelahiran dan efek definisi tersebut untuk kematian bayi. Inti dari hal ini adalah bahwa terdapat hubungan antara lembaga-lembaga sosial dan budaya yang masih perlu dilakukan eksplorasi dalam konteks lokal. Jenis pendekatan memiliki potensi untuk mengidentifikasi unit yang relevan tentang pengambil keputusan perilaku (baik individu, pasangan, unit patrilineal, keluarga inti, atau jaringan lain),  dan definisi keputusan dalam tingkat  kerangka situasional (definisi: lokal, regional, nasional, atau global). Tantangan bagi antropologi kependudukan adalah untuk bergerak di luar studi kasus tunggal, dan promosi desain penelitian komparatif, yang diharapkan dapat meningkatkan pengujian teori dan generalisasi teori.



3.2 Gender
Setelah 'budaya', 'jenis kelamin' sebagai kategori analitis yang digunakan oleh para ahli demografi menjadi paling banyak dikritik dalam antropologi; hal itu kemudian menjadi salah satu tantangan teoritis utama dalam demografi antropologi. Konseptualisasi dalam demografi antropologi dari hubungan antara gender dan perilaku demografi telah diringkas oleh Susan Greenhalgh pada pengantar untuk kumpulan esai 'Pengkondisian Fertilitas'. Dalam tulisannya, Susan menyatakan mengenai cara bagaimana demografi menjelaskan gender dalam proses reproduksi yang terbaik adalah "menunjukkan munculnya kajian demografi mengenai perempuan". Hal ini ditekankan pada wilayah kajian khusus mengenai karakteristik penting perempuan secara  demografis dan mengabaikan pemikiran ulang kategori analitis terkait dengan gender yang telah banyak dilakukan dalam antropologi, sosiologi, dan sejarah sosial.

Dengan berfokus pada indikator "peran perempuan", "status perempuan," dan "otonomi perempuan" dan bukan pada dimensi kontekstual gender, sebagian besar literatur demografi telah menganggap bahwa gender lebih sebagai atribut individu daripada institusi. Sebagai perbandingan, redefinisi konsep gender sebagai institusi sosial, berarti mengakui hal tersebut sebagai prinsip penataan kehidupan sosial, dan distribusi kekuasaan. Karena hal tersebut mempengaruhi reproduksi, serta domain lain dalam kehidupan, serta memerlukan kajian laki-laki, dan perempuan serta pertimbangan, baik sosial ekonomi ataupun dimensi ideologi gender. Kajian antropologi telah banyak mengamati ketimpangan sosial-ekonomi yang menunjukkan bahwa kesetaraan antara pria dan wanita dalam domain ini tidak selalu tumbuh sesuai dengan pemberdayaan pemberdayaan perempuan. Gender tampaknya menjadi konsep multidimensional dengan perubahan yang tidak selalu searah. Konseptualisasi gender sebagai variabel makro (yaitu prinsip penataan sosial) membuat antropologi demografi sangat dekat dengan demografi institusional dimaksud dalam rumusannya yang jelas sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Geoffrey Mcnicoll (1980).

Demografi Institusional  juga menekankan pentingnya melihat lembaga lokal untuk  menjelaskan perilaku demografi. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan melihat lembaga-lembaga sosial formal dan informal sebagai kerangka kerja bagi individu dalam pengambilan keputusan pada setiap periode waktu tertentu. Dalam hal ini lembaga sebagai konteks latar belakang perilaku demografi. Misalnya, untuk kembali ke hubungan antara gender dan fertilitas, pendekatan kelembagaan akan melihat cara di mana hubungan konsep-konsep struktural gender antara laki-laki dan perempuan di pasar, di ranah hukum, dan dalam lingkup pribadi ataupun keluarga. Peter McDonald (2000), seorang ahli demografi, menggunakan pendekatan ini, pengujian tersebut pada tingkat makro, dan menyimpulkan bahwa dalam konteks ini, kesetaraan gender dijamin pada ruang publik, tetapi tidak dalam lingkup hubungan pribadi, fertilitas cenderung lebih rendah dalam konteks lain di mana hubungan gender secara konsisten sama ataupun tidak sama. Cara kedua untuk mempertimbangkan lembaga sebagai salah satu variabel, adalah untuk mengambil pendekatan transaksional terhadap perubahan kelembagaan dan untuk melihat bagaimana lembaga lokal sebagai agen perubahan sebagai konsekuensi dari pola historis atau perubahan pada tingkat kelembagaan yang lebih tinggi (nasional atau global). Karena fokus pada studi kasus dan perkembangan sejarahnya, demografi institusional adalah salah satu jembatan yang lebih solid untuk menghubungkan kesenjangan konsptual antara demografi dan antropologi, khususnya bidang antropologi dengan pendekatan ekonomi politik.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Susan Greenhalgh (1990) , cara lengkap untuk melihat masalah yang sama ataupun perbedaan antara keduanya hanya di titik awal hal tersebut. Demografi institusional akan mengawali kajian  dari pengambilan keputusan individu dan kemudian meluas untuk menentukan konteks kajian lokal dan bagaimana hal tersebut dimodifikasi oleh kekuatan global. Sebaliknya, "seorang ahli demografi ekonomi politik lebih mungkin untuk bekerja dari atas ke bawah dimulai dengan pemahaman tentang kekuatan global historis yang dikembangkan - pasar dunia, sistem kenegaraan pada tingkat internasional, dan lain sebagainya - yang akhirnya membentuk rezim demografi lokal. Langkah selanjutnya mengidentifikasi cara-cara yang terjadi  pada wilayah regional, nasional, dan lokal, dan kemudian menelusuri dampaknya pada perilaku fertilitas individu "(Greenhalgh 1990: 87). Dengan kata lain, sementara demografi kelembagaan memasukkan lembaga sebagai konteks mendefinisikan struktur kesempatan bagi para pengambil keputusan yang memiliki nilai-nilai dan tujuan mereka sendiri, di sisi antropologi politik ekonomi melihat fenomena tersebut sebagai konteks yang mendefinisikan nilai-nilai dan tujuan melalui definisi struktur kekuasaan dan moral.

4. Tantangan Metodologis: Mengkombinasikan Pendekatan Kajian Lapangan dan Pendekatan Statistik
Penelitian empiris pada antropologi kependudukan umumnya dilakukan melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, baik digunakan secara terpisah atau digabung dalam desain penelitian yang koheren dan kompleks. Kombinasi dari dua metodologi ini tidak mudah.

Pendekatan minimalis untuk antropologi kependudukan adalah dengan menggunakan metode antropologi untuk menghasilkan data yang lebih baik, dan menggunakan data tersebut untuk membuat model dinamika populasi. Secara multidisiplin, metode antropologi yang 'hanya' diminta untuk berkontribusi pada peningkatan validitas pengukuran dan interpretasi hasil dengan menyediakan konteks lokal,  dan mengklarifikasi dimensi ideasional, serta budaya lokal (makna dan nilai-nilai). Pendekatan yang terbuka untuk metodologi ini, misalnya, cara yang baik untuk menjelajahi definisi yang berbeda dari istilah tampaknya sama, dan mendapatkan salah satu masalah terbesar yang dihadapi kemudian dibandingkan secara lintas budaya. Ternyata hal sederhana yang menunjukkan konsep-konsep seperti hubungan kerabat, pengaturan hidup, status perkumpulan, atau migrasi,  mungkin memiliki konsekuensi perilaku yang sangat berbeda karena hal-hal tersebut dapat memiliki arti yang berbeda. Dalam studinya tentang motivasi strategi  di luar kajian tentang rumah tangga di Sierra Leone, Bledsoe (1990) menunjukkan cara di mana kewajiban intragenerational antara kerabat tidak kaku diatur dan univocal, melainkan tersebar di jaringan ikatan yang selalu berubah. Dukungan masa depan dari anak-anak biologis tidak dapat secara otomatis diasumsikan dipengaruhi oleh bagaimana pola asuh atau tanggung jawab orang tua: melainkan harus dinegosiasikan. Sifat kerja lapangan antropologis, yang melibatkan peneliti dengan konteks empiris di bawah pengawasan dan dapat mengamati perilaku masyarakat secara langsung, dengan menyusun strategi metodologis yang sangat kuat untuk mendapatkan pembacaan kritis terhadap reportase perilaku dan untuk melihat potensi bias secara sistematis. Karena bias, penelitian akan melemahkan kualitas data. Antropologi kependudukan memiliki penekanan khusus pada metode penelitian lapangan sebagai dasar dari kajian etnografi; namun ketika para peneliti memiliki tujuan pada penekanan kedalaman sejarah, data lapangan perlu dilengkapi dengan penggunaan arsip, registrasi, dan dokumentasi lainnya, seperti yang disediakan oleh kajian sejarah lisan. Pendekatan terakhir ini pada demografi antropologis, diterjemahkan dengan menggunakan interpretasi yang cermat dari data statistik historis; dengan demikian hal dapat disejajarkan dengan karya sejarah sosial, dan melengkapi bekerja di demografi sejarah (Hammel 1995, Kertzer 1987).

Dalam rangka mencapai kedalaman kontekstual yang diperlukan, dan untuk menyuarakan penelitian kualitatif, antropologi kependudukan cenderung memilih untuk melakukan studi kasus. Sifat sample yang non-representative karena relatif kecil, kajian yang didasarkan pada studi kasus masih menuai skeptisisme tentang karena hasil dari pendekatan tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh penduduk. Oleh karena itu, kegunaan hasil studi kasus ini, masih menjadi bahan diskusi di antara beberapa ahli demografi. Meskipun demikian, hal tersebut sering kali terjebak pada diskusi yang menembak target yang salah, karena diskusi tersebut gagal untuk mengakui bahwa tujuan dan kontribusi yang unik dari studi kasus memang tidak atau kurang menyediakan kuantifikasi fenomena yang diteliti, dan lebih menekankan pada klarifikasi mekanisme yang terlibat dalam menghasilkan dan untuk memperjelas interkoneksi yang kompleks fenomena kependudukan.

Di pihak antropologi terdapat ketidakpuasan terhadap pendekatan minimalis ini, di mana kebijaksanaan antropologi hanya dianggap penyedia pelayanan sebagai hamba untuk statistik demografi. Beberapa ahli menolak identifikasi sederhana antropologi dengan metode kualitatif dan berpendapat untuk memperkuat posisi metodologis, yang telah diberi label "interpretatif demografi kritis" atau "demografi tanpa angka" (Sheper-Hughes 1997: 203). Antropolog menganut pandangan ini berpendapat untuk dekonstruksi tujuan kategori demografis analitis, dan metodenya dalam mendukung pemahaman tentang praktek-praktek sosial lokal. Penelitian Sheper-Hughes (1992) sendiri tentang kematian bayi di "favela" dari sebuah kota berukuran menengah di Brasil, dimulai dengan memeriksa standar registrasi kematian anak balita. Ia menemukan bahwa sepertiga dari anak-anak tersebut hilang dari catatan resmi; kemudian, catatan kematian yang ada sering kurang informatif, terutama informasi sejauh penyebab anak kematian yang bersangkutan. Daripada membatasi dirinya untuk mencatat bias bahwa rendahnya kualitas pencatataan data dapat digunakan untuk menyiratkan memperkirakan kematian bayi dengan tepat, dia terlibat dalam observasi partisipan dan wawancara terbuka. Melalui kerja lapangan yang intensif tersebut, dia menyadari bahwa perempuan (dan orang dewasa lainnya) memberikan perawatan dari ibu ke bayi mereka sangat bertahap, dengan keyakinan bahwa sejumlah anak-anak tidak dimaksudkan untuk bertahan hidup, dan ditakdirkan untuk menjadi "malaikat" tak lama setelah lahir. Mengingat kematian bayi yang tinggi di daerah tersebeut, praktek ini dapat diartikan sebagai cara untuk melindungi ibu dari kehamilan dini dalam konteks di mana kemungkinan kehilangan anak tinggi.

Sebagaimana "orientasi praktis, orientasi kritis juga harus diterapkan, dengan melihat antropologi politik", (Sheper-Hughes 1997: 219) mampu melihat dan menjelaskan karakteristik  sosial proses kependudukan yang tersembunyi dari data resmi, sehingga perlu berdamai dengan orientasi demografi untuk kajian silang budaya, generalisasi, dan pengujian teori. Kesulitan yang timbul dari penggabungan metode kualitatif dan kuantitatif menyebabkan pertanyaan, apakah penggabungan tersebut lebih baik dengan mengerjakan proyek demografis  secara tim multidisiplin, yaitu demografer dan antropolog yang terlatih, atau alternatif untuk berinvestasi dalam program pelatihan interdisipliner untuk membentuk demografi antropologi sepenuhnya bulat. Opsi pertama menawarkan keunggulan komparatif spesialisasi tetapi memiliki resiko menciptakan hambatan komunikasi antara peneliti. Opsi kedua, sambil menanggulangi masalah yang akhir-akhir ini oleh paparan kedua disiplin ilmu terserbut. Namun dalam tahun-tahun mahasiswa menjalani perkuliahannya, mungkin meremehkan sejumlah investasi yang dibutuhkan untuk membentuk demografi yang baik dan antropolog yang baik.


5. Penelitian empiris di demografi antropologi
Bagian sebelumnya dari pembahasan ini telah menelisik masalah teoritis dan metodologis yang dipertaruhkan dalam demografi antropologi; sekarang, kontribusi ilmu tersebut terhadap studi populasi akan digambarkan dengan menggunakan contoh yang dipilih dari beberapa keragaman jenis lingkup penelitian itu mencakup. Tiga contoh yang dipilih diambil dari tempat dan waktu yang berbeda, dan dilakukan oleh para sarjana dari latar belakang disiplin ilmu yang berbeda. Mereka juga menangani aspek yang berbeda dari penelitian demografi, yaitu fertilitas, migrasi, dan kematian. Namun, mereka memiliki tiga kualitas yang sama, dan dipilih: mereka dengan jelas menggambarkan kontribusi teori dan metode antropologi untuk memahami dinamika populasi; mereka memberikan kontribusi yang signifikan terhadap interpretasi mengenai pola demografis yang ditertentu; dan mereka yang diterbitkan relatif baru.

5.1. Fertilitas
Dalam penelitiannya tentang makna ayah dan keterlibatan ayah pada anak-anak di sebuah desa di Botswana, Nicholas Townsend (2002) mencermati model budaya yang digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap perilaku laki-laki dalam peran mereka sebagai ayah, baik itu oleh sang ayah sendiri, oleh orang lain dan dari anggota kerabat dan rekan dalam kelompok mereka. Minat tersebut semakin besar karena secara jelas peran pria ditemukan pada data resmi, yang melaporkan sangat tingginya persentase kelahiran di luar nikah, persentase yang tinggi juga terdapat pada data kepala rumah tangga perempuan, dan sekitar 70% dari pria berusia 20-40 tinggal jauh di luar desa mereka (merantau) hal ini sebagai akibat dari tenaga kerja migrasi keluar. Townsend menggunakan wawancara untuk melakukan rekonstruksi hubungan sosial dan ekonomi dari sekelompok orang selama menjalani kehidupan keseharian mereka dan mengamati hubungan ini selama di lapangan selama 11-bulan.

Analisis dari sejarah kehidupan dengan data lapangan yang menghasilkan unsur-unsur sulit untuk di temukan pada data resmi; Hal ini pada gilirannya memungkinkan para peneliti untuk menarik kesimpulan tentang nilai-nilai yang dominan yang berkaitan dengan ayah dan orangtua dalam konteks tersebut, dan hal ini juga digunakan untuk menafsirkan letak fertilitas  pria dalam reproduksi populasi ini. Terdapat banyak penjelasan yang dapat dikaitkan dengan sistem perkawinan dan konsep tanggung jawab orang tua di desa tersebut.

Pertama, dalam konteks ini hubungan antara pernikahan dan ayah biologis, lemah. Status dan peran sebagai atribut ayah lebih bersifat sosial, bukan pada  prinsip-prinsip biologis: di satu sisi memberikan sejumlah pembayaran pada pengantin, memungkinkan seorang pria memperoleh atribut ayah untuk dirinya sendiri bagi semua anak yang lahir dari istrinya; di sisi lain tidak ada kewajiban hukum bagi seorang pria untuk memberikan keturunan biologisnya, karena secara hukum lebih mewajibkan pembayaran satu kali kompensasi kepada orang tua seorang wanita yang mengaku telah dihamili. Hal ini memiliki konsekuensi, hanya sedikit pria yang belum menikah, menyatakan diri untuk menjadi ayah; ini terjadi terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar dari laki-laki tersebut tidak menyatakan dirinya sebagai ayah yang diketahui telah memiliki anak biologis.

Kedua, fertilitas pria terkait lintas generasi dan persaudaraan. Kegiatan dan pertukaran yang akan terjadi di tempat lain dianggap khas dalam keterlibatan ayah yang sering diambil alih oleh kakek dan saudara ibu saudara dengan anak-anak bukan secara biologis maupun secara sosial, anak mereka sendiri. Salah satu contoh kasus: Townsend memberikan reportase bahwa ia pernah bertemu dengan setiap anak sulung yang tidak lahir di rumah kakek-dari ibu mereka. Dia juga mengamati bahwa bagi sebagian besar anak-anak, hubungan teman sebaya  pertama mereka adalah dengan saudara kandung mereka sendiri dan anak-anak yang lahir dari saudara ibu mereka. Kakek turut merawat cucu mereka sampai putri mereka, ibu anak-anak, menikah dengan seorang pria yang dapat membayar mas kawin dan biaya pernikahan. Dalam konteks ini laki-laki hanya menjadi kepala rumah tangga mereka sendiri di bagian akhir hidup mereka dan pada saat itu rumah tangga mereka mengandung jumlah anak yang mereka memiliki dengan hubungan biologis dan sosial yang berbeda. Seorang pria mungkin tidak pernah tinggal atau merawat anak pertamanya sendiri, sedangkan ia mungkin menghabiskan bertahun-tahun dengan hubungan yang sangat  dekat dengan satunya anak bungsunya. Demikian pula, saudara ibu juga sangat banyak terlibat dengan keturunan saudara mereka. Misalnya, pada kesempatan pengaturan perkawinan, paman ibu memiliki hak dan kewajiban untuk berkontribusi pada negosiasi tentang mas kawin. Praktek sosial tersebut sepertinya  membuat daya tarik pemuda di pasar pernikahan tergantung pada karakteristik rumah tangga dan kerabat-kerabatnya. Misalnya, status persaudaraan dan sosial pasangan mereka mempengaruhi kemampuannya untuk membayar mas kawin, seperti kekayaan saudara-saudara ataupun ayahnya.

Dalam konteks ini, melahirkan anak dan ayah yang memiliki hubungan kekerabatan yang membentang lebih dari satu generasi dan berbagai aspek pengasuhan, seperti tinggal bersama, dukungan ekonomi, dan kedekatan emosional didistribusikan di antara orang yang berbeda dalam periode yang berbeda dari perjalanan hidup. Sebagai Townsend menempatkan "kesuburan pria, dalam arti biologis sempit, dapat terus akhir waktu hidup. Lebih penting lagi, berbagai hubungan laki-laki memiliki dengan anggota generasi berikutnya mempengaruhi reproduksi mereka sendiri, reproduksi anak-anak mereka dan kemungkinan kehidupan cucu mereka "(Townsend, 2000: 361).
Dalam sebuah makalah berikutnya, Townsend (2002) membandingkan data dari studi kasus Botswana dengan orang-orang dari perkotaan di Northern California (AS), di mana seperangkat  harapan orangtua dan ayah terkonsentrasi pada satu hubungan orangtua tunggal. Pesan utama dalam penelitian ini adalah bahwa aspek paling relevan dari bagaimana keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dirasakan oleh anak-anak. Persepsi tersebut dimediasi oleh norma-norma budaya pengasuhan yang tepat dan sebagai ayah dan "apakah anak-anak berpikir mereka mendapatkan hak untuk memiliki harapan" (idem 2002: 254). Dalam rangka untuk membuat hipotesis tentang, bagaimana keterlibatan ayah memiliki konsekuensi bagi fertilitas pria, perlu dipahami dengan model budaya ayah dan segala hal yang terkait dengan hal tersebut. Di AS mungkin terjadi bahwa ayah memiliki waktu dan kontak emosional dengan anak-anak. Hal ini merupakan elemen penting untuk menjelaskan perkembangan anak dan prestasi mereka dalam kehidupan mereka di masa dewasa. Namun, hal ini tidak selalu begitu dalam budaya di mana ayah dikaitkan dengan perbedaan harapan.

5.2 Kematian
Contoh untuk pembahasan mengenai kematian ini akan membahas kematian yang menyangkut dengan kematian anak akibat campak, karena hal ini merupakan salah satu penyebab paling umum dari kematian anak di negara berkembang. Peter Aaby, seorang ahli epidemiologi, telah melakukan penelitian perbedaan alasan kematian akibat campak,  pada anak laki-laki dan perempuan; yang akhir-akhir ini muncul sebagai salah satu penderitaan. Aaby memusatkan kajian pada interaksi antara pola perilaku dan penularan penyakit, dan penelitian tersebut sepenuhnya memiliki roh yang sangat demografi antropologi, karena pertanyaan ditujukan secara demografis yang khas (angka kematian pada usia anak berdasarkan jenis kelamin dan usia), hal ini begitu menari karena kedua hal ini  memberikan interpretasi pada kedua mekanisme epidemiologi dan budaya, serta teori Gender (Aaby 1998).

Perbedaan gender dalam kematian anak-anak yang diakibatkan  penyakit infeksi sebagaimana biasa nampak di negara-negara berkembang, dan dari perbedaan tersebut nampak lebih menguntungkan nasib anak laki-laki. Memang, pola tersebut bertentangan dengan keyakinan bahwa perempuan memiliki keunggulan biologis karena secara hormonal dan genetik perempuan memiliki sistem kekebalan yang lebih kuat dibandingkan dengan anak-anak laki-laki. Interpretasi pola yang tak terduga tersebut adalah peluang kelangsungan hidup terkait dengan perbedaan cara pengobatan laki-laki yang sakit dan anak-anak perempuan, dibandingkan ditentukan oleh karakteristik biologis mereka. Argumen dari interpretasi berikut: dalam konteks di mana terdapat preferensi seks untuk pria (anak laki-laki lebih diutamakan untuk dibawa ke fasilitas kesehatan) dan di mana sumber daya tenaga kesehatan yang langka, seperti halnya di banyak negara berkembang, perlakuan jenis kelamin yang berbeda (pada dasarnya makan dan perawatan) yang mendukung anak laki-laki. Hal ini yang kemudian dapat digunakan menjelaskan mengapa kematian anak perempuan karena penyakit campak menjadi lebih tinggi. Berikut pilihan kerangka teori yang rasional dari kesimpulan ini. Kesimpulan ini akan cukup untuk menjelaskan pola-pola yang teramati dan demografi dapat  mempertimbangkan bahwa pertanyaan penelitian tersebut telah terjawan, sehingga kemudian dapat memberikan saran kepada langkah-langkah kebijakan untuk mengatasi preferensi seks di tingkat rumah tangga dan masyarakat. Aaby mempertanyakan validitas penjelasan tunggal untuk perbedaan gender ini. Di satu sisi, ia berpendapat, bahwa penjelasan alam mentakdirkan perempuan dalam merespon kekebalan yang lebih baik, tidak akan cukup konsisten untuk menjelaskan berbagai pola kematian secara umum, khususnya pada kematian yang disebabkan oleh penyakit campak berdasarkan usia, dan jenis kelamin yang diamati pada populasi secara historis dan kontemporer.

Abby menyajikan data historis yang dapat menunjukkan bahwa anak perempuan dalam daftar kematian lebih tinggi disebabkan oleh campak, mulai dari perbedaan usia dalam konteks sosial yang berbeda. Data menunjukkan bahwa perbedaan usia dan jenis kelamin sangat tergantung pada karakteristik yang berhubungan dengan jenis kelamin secara sosial. Aaby berpendapat bahwa penjelasan berdasarkan bias preferensi seks, dengan menghubungkan penyebab efek sosial, semata-mata untuk perlakuan istimewa orang tua secara sadar orang tua 'terdapat anak-anak laki-laki, mengabaikan peran lembaga dalam menciptakan kesenjangan di tingkat struktural.

Aaby menyarankan menggabungkan dua argumen ini, dan mempertimbangkan hal lain selain bagaimana mekanisme genetik, infeksi, dan interaksi lembaga-lembaga sosial dalam peranannya memproduksi kematian secara diferensialini. Penjelasannya terdiri dari dua bagian utama: Pertama yang berkaitan dengan cara campak ditularkan, dan yang kedua dengan cara membedakan secara jenis kelamin, hal ini  mungkin akan memiliki pengaruh yang secara berbeda dalam mengalami campak tersebut. Bagian pertama dari argumen menjadi dasar dari dua fakta mengenai mekanisme penularan campak diambil dari literatur epidemiologi. Pertama, campak (seperti penyakit menular lainnya) lebih cenderung ditularkan oleh kontak dekat dan lebih mungkin untuk menjadi fatal jika kontak dengan seseorang bertempat tinggal serumah, daripada jika kontak tempat lain. Kedua, meskipun daya tahan dari anak-anak yang masih terlalu kecil/muda lebih kecil dibandingkan anak-anak  usia tertentu, dan dalam hal tingkat respon respon terhadap imunitas, serta tingkat keparahan berkaitan dengan intensitas. Bagian kedua dari argumen Aaby ini, mengenai penjelasan dari perbedaan anak perempuan dan anak laki-laki, menggabungkan literatur antropologi sekunder, dan pengalaman kerja lapangan tersebut. Hipotesisnya menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin yang diamati mungkin berhubungan dengan anak-anak perempuan yang lebih sering berada di rumah daripada anak laki-laki dan memiliki kontak lebih dekat dengan orang lain. Selain itu, anak-anak perempuan beberapa memiliki kewajiban untuk menjaga adik-adik mereka yang sakit, bahkan anak-anak perempuan  sering mengorbankan aktivitas sekolah untuk membantu pekerjaan rumah tangga, dan oleh karena itu mereka lebih rentan terkena infeksi pada usia  yang lebih tua dari teman laki-laki sepantaran mereka.

Jika terdapat  peranan dalam perbedaan perawatan secara sadar terhadap anak-anak oleh orang tua, kita juga harus memperhitungkan perbedaan kematian kematian diferensial karena lembaga-lembaga sosial yang mengatur perbedaan secara jenis kelamin tersebut. "Kerangka kelembagaan serta keyakinan budaya memiliki efek besar pada perbedaan angka kematian melalui cara mereka membangun perbedaan gender dalam perilaku, yang pada gilirannya mempengaruhi penularan penyakit, misalnya dengan membatasi perempuan di rumah dan mengirim anak-anak ke sekolah" (Aaby 1998: 224 -225).

5.3 Migrasi
'Penemuan' terakhir tentang migrasi oleh antropologi pada tahun 1960, ditandai dengan penekanan awal pada kajian migrasi desa-kota, pertumbuhan populasi eksponensial dari pusat-pusat perkotaan di negara-negara berkembang, dan transformasi terkait masyarakat dari agraris pedesaan untuk industri perkotaan. Tiga puluh tahun kemudian, pada era 1990-an, perhatian telah mulai bergeser pada kajian yang lebih luas yaitu migrasi internasional, dan studi besar di daerah yang difokuskan pada pengirim migran, pada kehidupan migran di lingkungan baru, dan bahwa anak-anak mereka (generasi kedua). Aspek teoritis terkonsentrasi pada isu-isu transnasionalisme sebagai model alternatif berpikir tentang migrasi ke model lama, tentang asimilasi dan integrasi, dan identitas etnis sebagai isu menjadi lebih penting karena populasi migran berkembang dalam konteks perkotaan. Tema lainnya secara reguler dibahas dalam literatur mengenai peran kekuasaan dan gender dalam proses pengambilan keputusan migrasi, dan makna migrasi paksa, dan daya mengacaukan proses demografi. Sementara ulasan terbaru, tugas antropologi dalam makalah-makalah yang merupakan hasil kajian migrasi lebih banyak tertarik dengan kajian migrasi dari Asia, Afrika, atau Amerika Selatan ke daerah yang lebih makmur, contoh yang sesuai  dari penelitian demografi antropologi dalam konteks Eropa adalah penelitian oleh Brettell pada migrasi Portugis ke Prancis (Brettell 2003). Individu, rumah tangga, dan menyatakan semua memiliki peran dalam penentuan fenomena migrasi, sehingga migrasi yang dapat dipelajari secara mikro, meso, ataupun di tingkat makro, serta pada berbagai unit analisis yang dipilih. Dalam rangka untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang kasus migrasi Portugis, Brettell memilih fokus pada keterkaitan antara tiga tingkat dinamika antara struktur dan agensi. Dia membahas masalah migrasi - mengapa orang bergerak, yang bergerak dan apa konsekuensi dari pengambilan keputusan tersebut – dilihat dari perspektif multilevel dan sejarah. Penelitiannya didasarkan pada data arsip, data statistik, wawancara narasi, dan kerja lapangan antropologis di Portugal, serta partisipasi observasi di antara masyarakat pendatang Portugis di Perancis, Amerika Serikat, dan Kanada.

Pertama, dari perspektif makro, Brettell membahas kaitan antara bagaimana arus penduduk terlihat dan dikendalikan oleh negara Portugis, dan strategi individu untuk menghindari kontrol negara tersebut. Kesimpulan dari hal tersebut, sejak tahun 1960-an, migrasi keluar menjadi solusi yang nyaman dan efisien bagi Negara untuk mengatasi tingkat pengangguran yang tinggi melanda Portugal Utara. Dengan meninggalkan negara asal, migran bertanggungjawab terhadap kesuksesan atau kegagalan dan upaya mereka sendiri ekonomi untuk mempertahankan keluarga mereka, sementara pengiriman uang juga mewakili sumber kekayaan bagi negara. Kedua, cerita-cerita sukses migran pendahulu menjadi motivasi mereka untuk bermigrasi dan mencari pengalaman hidup mereka untuk migrasi, Brettel mengumpulkan informasi rinci tersebut di tingkat mikro mengenai migrasi individu,  dan proses pengambilan keputusan. Informasi tersebut kemudian disesuaikan dengan konteks dan ditafsirkan secara jelas dengan menggunakan data statistik yang berkaitan dengan sejarah migrasi masyarakat yang memiliki banyak cerita pengalaman  individu yang tertanam. Ketiga, mengingat individu sebagai anggota jaringan sosial (rumah tangga, keluarga, atau masyarakat), Brettell juga memperhatikan strategi kelompok dan hubungan saling ketergantungan untuk mengambil keputusan dalam kelompok sosial tersebut: "baik itu keluarga inti di mana laki-laki bermigrasi sementara wanita cenderung tetap tinggal, sebuah keluarga besar yang mengirim beberapa anak yang belum menikah untuk migrasi dengan, atau tanpa orang tua, atau desa di mana keluarga mengukur/membandingkan diri terhadap satu sama lain, sehingga relatif kurang menjadi stimulus untuk keberangkatan "(hal. 6).

Terinspirasi oleh konsep "budaya migrasi" (Massey 1993), ia menguraikan tentang pengaruh pengalaman migrasi kumulatif dalam suatu populasi yang dari generasi ke generasi telah menjadi saksi sebagian besar proses migrasi pemuda yang meninggalkan negara tersebut. Di sisi lain, hal ini dilihat dari perspektif sosiologis, dilakukan analisis jaringan hubungan di antara para migran di negara tujuan. Modal sosial di daerah tujuan dibangun oleh masyarakat yang datang terlebih dulu merupakan aset bagi para pendatang baru dan potensial. Di sisi lain, Brettell menyimpulkan dari wawancara bahwa migrasi dalam konteks tingkat migrasi yang tinggi dipandang sebagai transisi jalan hidup yang diharapkan; diharapkan sebagai mana halnya pendidikan atau pekerjaan. Dengan karakteristik tersebut, maka hal ini menjadi penanda baik bagi  identitas individu dan kelompok ( "menjadi Portugis untuk melakukan emigrasi atau memiliki seseorang dalam suatu keluarga emigran" p. 4). Makna budaya migrasi dalam pengertian ini merupakan identifikasi simbolik.

Brettell menempatkan pengalaman migrasi penduduk Portugis ke dalam perspektif sejarah, kemudian analisis adalah kedua pola kecenderungan historis imigrasi Portugis di negara-negara tujuan serta konsekuensi bias gender dari aliran migrasi-keluar dari Portugal tersebut. Secara khusus Brettell tertarik pada konsekuensi migrasi-keluar pada struktur rumah tangga, pengaturan hidup, dan aktivitas ekonomi perempuan yang ditinggalkan sebagai single, menikah, dan janda (baik dalam arti harfiah atau sebagai janda virtual dengan suami masih hidup namun suami tidak ada). Untuk studi kasus penelitian ini dilakukan pada paroki Santa Eulalia de Lanheses di Northwestern Portugal, yang memungkinkan untuk dapat dilakukan rekonstruksi informasi penting selama periode antara tahun 1850 dan 1920. Salah satu temuan yang paling luar biasa adalah bahwa banyak rumah tangga yang muncul dan menjadi mandiri, secara geografis berkerumun bersama dalam satu garis kekerabatan perempuan; pada kenyataannya, mereka merupakan semacam rumah tangga yang diperpanjang dan terbentuk sebagai konsekuensi dari intensitas laki-laki yang melakukan migrasi keluar.

6. Perspektif Masa Depan
Demografi antropologi adalah bidang penelitian yang berkembang dan telah menghimpun para ahli dari dua disiplin ilmu untuk mempelajari topik yang sama. Definisi yang terus  dikembangkan dari tahun ke tahun di perbatasan disiplin ilmu tersebut. Pengembangan yang terus-menerus dilakukan oleh komunitas riset secara aktif dan telah mencapai kemajuan secara  konseptual dan secara analitis telah mengiringi luasnya penelitian empiris di beberapa tahun terakhir. Pembahasan ini memusatkan perhatian pada elemen kunci dasar teoritis dan metodologis serta tantangan Demografi Antropologis yang dihadapi oleh para praktisi sampai saat ini.

Harapan yang memungkinkan untuk diwujudkan dengan keberadaan disiplin ilmu demografi antropologi ini paling tidak ada beberapa hal, sebagai berikut. Pertama, diharapkan bahwa demografi antropologi banyak menyumbangkan peran dalam penelitian-penelitian  empiris terutama untuk memahami aspek-aspek yang berkaitan dengan fenomena kependudukan dalam konteks industri modern. Hal ini telah terlihat selama ini bahwa dalam bidang kajian migrasi dan demografi sejarah. Konsekuensi demografi budaya reproduksi, kelompok, penduduk usia lanjut, dan kesehatan masyarakat, masih belum banyak diteliti oleh para ahli demografi antropologis. Memang, mudah untuk membayangkan perlunya penggunaan pendekatan demografi antropologis untuk meneliti berbagai nilai-nilai secara simbolik mengenai teknologi reproduksi dalam atau yang menentukan keadaan politik dan ekonomi mengenai penduduk usia lanjut.

Kedua, dialog antara antropologi dan demografi dapat diperpanjang sehingga beberapa cabang tetap pada margin studi populasi. Salah satu contoh adalah antropologi kognitif (D'Andrade 1997 [1992]), yang dapat menunjukkan sebuah studi sistematis mengenai cara seseorang membangun skema budaya serta peran gender, dengan mengkaji mengenai bagaimana kondisi penduduk usia lanjut, cara perawatan, jenis penyakit, identitas dan lain sebagainya. Pendekatan ekonomi politik belum sepenuhnya dilakukan untuk pembaharuan demografi institusional. Dalam kedua penjelasan di tingkat konteptual masih didominasi oleh konsep yang kaku secara institusional. Konsep seperti itu membatasi demografi institusional dalam lingkup dampak institusi  tertentu terhadap perilaku individu. Hal yang dibutuhkan adalah penggabungan interaksi antara lembaga individu dan lembaga-lembaga, serta bagaimana cara institusi-institusi budaya, ekonomi dan politik saling terkait dalam perspektif sejarah.

Ketiga, sejak masa awal munculnya sampai pada antropologi mendudukung teknik demografi yang lebih canggih seperti analisis peristiwa sejarah dan melakukan kajian komparatif, serta berkomitmen untuk membuat kolaborasi dalam tim multidisiplin yang lebih baik dan melakukan pengembangan demografi antropologi secara lebih pesat. Menurut David Kertzer, "banyak projek antropologi pada topik-topik seperti fertilitas dan migrasi yang berlangsung tanpa mengacu pada literatur demografi" (Kertzer 2006: 543). Meskipun demografi antropologi mendapatkan wilayah kajian secara khusus dalam demografi, berkat kontribusi penting yang telah dibuat, komunitas ahli demografi belum bulat meneriman dalam batas-batas tertentu. Beberapa perwakilan dari demografi lebih memilih untuk menentukan inti dari bidang mereka dengan metode analisis formal, dan membatasi ilmu yang mempelajari perubahan populasi dan struktur dalam ukuran kuantitatif. Dengan definisi tersebut, sebagian besar penelitian yang didedikasikan untuk mengungkap penyebab dan konsekuensi dari perubahan demografi seharusnya tidak lagi dianggap sebagai bagian dari pekerjaan demografi saja. Namun, jika demografi dianggap sebagai ilmu yang menganalisis penyebab dan akibat proses populasi, maka sebagaimana pendapat Bozon (2006) menyatakan bahwa "demografi komprehensif", dengan demikian, maka demografi antropologi akan terus memberikan wawasan yang unik ke dalam peran budaya dan kompleksitas kekuatan institusional global dan lokal dalam proses tersebut.



Referensi

Aaby P. (1998), Are men weaker or do their sisters talk too much? Sex differences in childhood mortality and the construction of biological differences. In: in Basu, A. and P. Aaby (eds.) The Methods andthe Uses of Anthropological Demography, Oxford, Clarendon Press: 223-245.
 
Basu, A. and P. Aaby (1998). Introduction: Approaches to Anthropological Demography, in Basu, A. And P. Aaby (eds.) The Methods and the Uses of Anthropological Demography, Oxford, Clarendon Press, 1-21.

Basu, A. and P. Aaby (1998). The Methods and the Uses of Anthropological Demography. 329 pp. Oxford,Clarendon Press

Bernardi, L. and I. Hutter (eds.) (2007 forthcoming). The Anthropological Demography of Europe,Demographic Research

Bernardi, Laura (2007). An Introduction to Anthropological Demography. MPIDR WORKING PAPER WP 2007-031, Rockstock: Max-Planck-Institut für demografische Forschunghttp://www.demogr.mpg.de/papers/working/wp-2007-031.pdf

Bledsoe, C. (2002). Contingent Lives, 396 pp. Chicago, the University of Chicago Press.

Bledsoe, C. (1990). No success without struggle: social mobility and hardship for foster children in Sierra Leone. Man, New Series, 25(1), 70-88.

Bozon, M. (2006). The Contribution of Qualitative Methods to Demography, Demography. Analysis andsynthesis, Vol 4 (ed. G. Caselli, J. Vallin, G. Wunsch), 731-744 Brettell C. (2003). Anthropology and Migration. Essays on Transnationalism, Ethnicity and Identity, pp. 238, New York, Altamira Press.

Caldwell, J., P. Caldwell, B. Caldwell, D. Eversley, A. G. Fix, N. Howell; M. Nag, C Taeuber, and F. Van de Walle (1987). Anthropology and Demography: The Mutual Reinforcement of Speculation andResearch [and Comments and Reply] Current Anthropology, Vol. 28 (1), 25-43.

Caldwell, J, A Hill, and V. Hull (1988). Micro-Approaches to Demographic Research, 500 pp. London, Kegan Paul International

Carter, A. (1998),. Cultural Models and Demographic Behavior. The Methods and the Uses of
Anthropological Demography, Oxford, Clarendon Press (eds. Basu, A. and P. Aaby), 246-268.
Cleland, J., & Wilson, C. (1987). Demand Theories of the Fertility Transition: An Iconoclastic
View. Population Studies, 41(1), 5-30.

D'Andrade, R.G. (1997[1992]) Schemas and motivation. In: D'Andrade R. and C. Strauss (eds.), Human Motives and Cultural Models. Cambridge: Cambridge University Press : 23-44

Firth, R. (1983, 1936) We, the Tikopia, 374 pp., Boston, Beacon.

Fortes, M. (1943), A note on Fertility among the Tallensi of the Gold Coast, Sociological Review 35 :99-113

Fricke T. (1997) Culture theory and demographic process: Towards a thicker demography, in
Kertzer, D. and T. Fricke (eds.) Anthropological Demography. Towards a New Synthesis, Chicago, The University of Chicago Press :248-277 .

Geertz, C. (2000[1973]). The interpretation of cultures, 480 pp. New York: Basic Books.

Greenhalgh, S. (ed.) (1995), Situating Fertility, 304 pp., Cambridge, Cambridge University Press
Hammel, G. (1990). A Theory of Culture for Demography, Population and Development Review, Vol 13(3), 455-485 Hammel G., and N. Howell (1987), Research in population and Culture: an
Evolutionary Framework, Current Anthropology 28(2), 141-160.

Howell, N. (1986). Demographic Anthropology. Annual Review of Anthropology, 15, 219-246.
Harris, M. and E. B. Ross (1987), Death, Sex, and Fertility, 227 pp. New York, Columbia University Press.

Johnson-Hanks (2006). Uncertain Honour. Modern Motherhood in an African Crisis, 301 pp., Chicago, The University of Chicago Press

Kertzer and Fricke (1997), Anthropological Demography. Towards a New Synthesis, pp. 294. Chicago, The University of Chicago Press

Kertzer and Fricke (1997). Toward an Anthropological Demography, in Kertzer, D. and T. Fricke (eds.) Anthropological Demography. Towards a New Synthesis, Chicago, The University of Chicago Press, 1-35.

Kertzer, D., & Dennis Hogan. (1989). Family, Political Economy, and Demographic Change. Madison, Wisconsin. MPI 775 290: The University of Wisconsin Press.

Kertzer D. (2006), “Anthropological demography”, In: Dudley Poston and Michael Micklin (eds.), The Handbook of Population. New York: Plenum, 17, 525-547.

Knodel, J., & van de Walle, E. (1979). Lessons from the past: policy implications of historical fertility studies. Population and Development Review, 5(2), 217-245.

Leibenstein, H. (1981). Economic decision theory and human fertility behavior: A speculative essay . Population and Development Review, 7(3), 381-400.

Lesthaeghe, R.J. (1980). On the Social Control of Human Reproduction. Population and Development Review, 6(4):527-548.

Marpsat M., (1999) Les apports réciproques des méthodes quantitatives et qualitatives : le cas particulierdes enquêtes sur les personnes sans domicile, pp 10. Paris: INED

Massey, D.S. (1987). The Ethnosurvey in theory and practice. International Migration Review, 21 (4),1498-1522.

McDonald, P. (2000). Gender Equity, Social Institutions and the Future of Fertility. Journal of Population Research, 17(1), 1-16.

McNicoll (1980). Institutional Determinants of Fertility Change, Population and Development Review 6:441-462.
Netting, (1981) Balancing on the Alp: Ecological Change and Continuity on a Swiss Mountain
Community, 270 pp. New York: Cambridge University Press.

Radcliff-Brow A. R. (1964) The Andaman Islanders, 510 pp., Glencoe, Free Press

Roth A. E. (2004). Culture, Biology, and Anthropological Demography, pp 217. , Cambridge, Cambridge University Press

Schneider, J., & Schneider, P. (1984). Demographic transitions in a Sicilian rural town. Journal of Family History, fall, 245-272

Schneider and Schneider (1996) The festival of the Poor, 322 pp., Tucson, The University of Arizona Press.

Scherper-Hughes, N. (1992). Death without Weeping. The Violence of Everyday Life in Brazil, 614 pp. Los Angeles, University of California Press Schacht, R. (1981). Estimating Past Population Trends. Annual Review of Anthropology, 10:119-140.

Sherper-Hughes (1997). Demography without Numbers, in Kertzer, D. and T. Fricke (eds.)
Anthropological Demography. Towards a New Synthesis, Chicago, The University of Chicago
Press, 201-222.

Townsend, N. (2002). Cultural Contexts of Father Involvement. In C. S. Tamis-LeMonda & N. Cabrera(eds.), Handbook of Father Involvement, Mahwah, Lawrence Erlbaum Associates 249-277

Townsend, N (2000). Male Fertility as a Lifetime of Relationships: Contextualizing Men's Biological Reproduction in Botswana, in Fertility and the Male Life Cycle in the Era of Fertility Decline. In Bledsoe, C. , S. Lerner, and J. Guyer (eds.), Oxford University Press, Oxford: 343:364

Watkins C., S. (1986). Conclusions: The Decline of Fertility in Europe. In A. J. Coale & S. C. Watkins (Eds.), The Decline of Fertility in Europe. Princeton: Princeton University Press


[1] Agensi dapat diartikan sebagai kapasitas manusia yang memiliki pengaruh pada kesempatan-kesempatan dalam kehidupan mereka sendiri dan orang-orang lain yang memainkan peran dalam formasi realitas sosial di mana mereka berpartisipasi.