Rabu, 10 Maret 2010

Dibalik Kabar mengenai Tuhan Telah Mati

Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?
Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft

Seringkali ungkapan ini mengundang kontroversi dan membuat kaget para tokoh agama, atau di antara kita yang sensitif mengenai hal yang relijius. Sesungguhnya, hal ini merupakan pesan moral dan kritik yang sangat mendalam bagi kita yang mau berefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikatakan oleh Nietzche karena ia merasakan bahwa Tuhan (agama) tidak dapat sepenuhnya mempunyai kendali terhadap penerapan semua aturan moral.
Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai relijus. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap keagamaan merupakan sesuatu yang nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas relijus -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya.
Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia.
Hal yang layak kita tanyakan pada diri kita sendiri ataupun sebagai bahan renungan (jika kita sempat) adalah, apakah dalam kehidupan sehari-hari masih mengingat atau menyadari  keberadaan Tuhan, atau hanya sekedar konsep??? Jika ingat sejauh mana keberadaan tersebut dapat berpengaruh ataupun menentukan, dan menuntun moralitas diri, perilaku, dan tujuan hidup???
Tuhan Maha Kuasa, namun kita semua diberi kekuasaan untuk memberikan tempat bagi Nya. Apakah kita termasuk orang yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan Tuhan?? Dan kemudian mengendap-endap di sekerumunan manusia lain yang sedang berziarah di makam Tuhan, hanya untuk menciptakan alibi??