Distingsi/ pemilahan yang telah digambarkan antara
benda-benda fisik dan pribadi-pribadi pada akhir-akhir ini, namun bukanlah
pembentuk, penafsir, atau melampirkan makna pada satu orang ke orang lain.
Untuk memahami orang lain, dibutuhkan pemahaman interpretasi yang diberikan
mereka terhadap apa yang mereka lakukan. Kita harus mengetahui apa niat mereka.
Pada pembahasan di artikel-artikel sebelumnya, Pring telah menjelaskan aspek
mengenai niat yang dapat kita identifikasi dari tindakan-tindakan tertentu. Apa
yang tidak dapat kita pahami sebagaimana berbagai perilaku mereka yang dapat
diobservasi. Dalam perilaku-perilaku tersebut termuat berbagai niat. Hal
ini yang muncul di sini dapat dilihat dari penanda seperti misalnya tempat yang
dipilih, sikap tubuh, atau tindakan-tindakan ingin merebut perhatian. Hal ini
dilakukan tergantung dari maksud pelaku.
Penjelasan mengenai perilaku mereka, dapat
diperoleh dari berbagai niat dan motif-motifnya. Kita sebaiknya juga memahami
atau menafsirkan situasi-situasinya. Untuk alasan tersebut, maka para peneliti
perlu membicarakan berbagai pemaknaan subjektif dari para pelaku yang diteliti
- hal ini merupakan perbedaan pemahaman dan penafsiran mengenai situasi yang
dibawa oleh peneliti pada para pelaku. Jika seseorang menambahkan
keyakinan/pemaknaan dunia sosial yang dibentuk oleh niat dan pemaknaan oleh
pelaku sosial, maka tidak akan ada pembicaraan kajian secara objektif. Berpikir
terbalik akan dapat membuat lebih konkrit (memperlakulan objek-objek tidak
terikat pada pemikiran kita tentang mereka) yang dalam kreasi-kreasi aktor
sosial dalam pemikiran dan niat kita sendiri. Kita masing-masing berada dalam
dunia subjektif pemaknaan melalui penafsiran kita terhadap dunia sosial kita.
Memang, dunia sosial kita tidak lebih dari pemaknaan pemaknaan yang kita lakukan.
Paling tidak hal ini nampak sebagai
penampakan populer, dan merupakan hal yang dilakukan terlalu untuk para
peneliti yang sedang berusaha mengungkap penafsiran-penafsiran situasi yang
dilakukan oleh aktor-aktor sosial. Ini 'menerangi' apa yang telah
terjadi. Jika tidak kita paksakan pada interpretasi situasi yang bukan dari para pelaku ataupun dari partisipan. Dan dengan kata lain, interpretasi
bukan dipahami melalui situasi ini.
Meskipun begitu, kita perlu berhati-hati. Karena akan muncul
pertanyaan, Apakah tidak mungkin aktor sosial salah menafsirkan tindakan baik
sendiri dan orang lain? Mungkin hal tersebut tidak menjadi kasus , bagi orang
lain mungkin dapat memberikan yang lebih baik dan lebih benar mengenai tindakan
“saya” daripada “saya “sendiri?
Kita berbicara tentang penolakan
diri atau tidak memahami seluruh gambaran diri. Orang lain mungkin dapat
melihat ambisi yang gagal dilihat oleh agen itu sendiri. Hal seperti ini harus
jelas, seperti bagian tertentu yang menciptakan jurang antara jenis penelitian
dalam tradisi positivis dan penelitian yang menekankan intensionalitas aktor
sosial. Dengan demikian maka, mungkin
perbedaan tertentu memang perlu dibuat, untuk mencerminkan tradisi yang berbeda
mengenai penjelasan sosial. Mari kita
mulai dengan fenomenologi, yang sepertinya memiliki pengaruh yang kuat.
Bagian yang mendukung aliran baru dalam sosiologi mengacu pada karya-karya
Alfred Schutz (1972), yang berusaha menegakkan dasar-dasar sosiologi
fenomenologi. Schutz sendiri menentukan bahwa fenomenologi berkaitan dengan
filsuf Edmund Husserl. Hal ini sulit untuk dipahami dalam kata-kata yang
ringkas, sebagaimana para filsuf mengatakannya. Namun Husserl menyediakan
tempat untuk penjelasan mengenai kesadaran manusia yang bebas dari prasangka.
Untuk melakukannya dibutuhkan jenis kemampuan khusus dari refleksi mendalam
melalui pengalaman yang dialami secara langsung. Seperti pengalaman-pengalaman
yang mendalam dalam pengalaman-pengalaman tentang sesuatu. Namun alam dari
pengalaman ini diungkap dalam sisi subjektif, tidak mengacu pada keberadaan
yang bebas dari pengalaman. Hal ini merupakan objek-objek sebagaimana yang
dialami dalam pikiran, dan dicirikan oleh salah satu dari kesadaran mereka
–bentuk dan warnanya relevan dan signifikan, dengan demikian hubungan sebab
akibat dibuat dengan objek-objek lain, serta ide-ide disulap dan
dihubungkan-hubungkan.
Tentu saja pengalaman kita begitu selektif, dan prinsip seleksi
tersebut umumnya memiliki relevansi
dengan kebutuhan yang dirasakan. Mode pengalaman tersebut tidak memerlukan apakah
itu adalah realitas obyektif, seolah-olah tidak berkaitan dengan apapun selain
pengalaman itu sendiri. Demikian salah seorang merepresentasikan orang lain
dengan cara fenomenologis. Hal ini bukan soal bagaimana mereka dalam diri
mereka, dan lebih pada masalah bagaimana mereka mengalami pengalaman, dan
bagaimana diri mereka dibangun oleh pengalaman subjektif seseorang.
“The
Stranger”, essay yang di tulis oleh Schutz (1964) menggambarkan tentang seorang
pengunjung yang datang di suatu masyarakat yang asing. Apakah orang asing memaknai
dibayangi dengan prasangkanya sendiri - dengan interpretasi subjektif sendiri. Namun
dia perlu memahami bagaimana praktik kehidupan sehari-hari yang dibentuk oleh
makna subjektif dari anggota masyarakat yang telah masuk. Jika tidak, dia tidak akan bertahan. Pemahaman
sehari-hari masyarakatnya akan selalu menganggap pendatang tersebut orang baru.
Interpretasi- interpretasi yang tertanam dalam praktek masyarakat baru
seringkali tidak sesuai dengan prasangka dari orang asing, karena interpretasi
tersebut diciptakan dan dipelihara keberadaannya hanya melalui interpretasi
dari anggota dalam masyarakat yang terlibat dalam praktek keseharian. Entah
bagaimana orang asing itu perlu mendapatkan interpretasi yang sama di dalam
masyarakat tersebut, untuk berbagi dalam berbagai aktivitasnya dan menjadi
bagian dari masyarakat didefinisikan dan mendefinisikan kembali realitas yang
konstan, bahkan dalam memasuki dunia sosial, sehingga dunia akan selalu
berubah, dalam proses negosiasi interpretasi dengan orang asing, ketika ia
mencoba untuk memahami, dan menjadi bagian lebih lanjut dalam konstruksi
realitas sosial. Terdapat interpretasi yang konstan, melalui realitas sosial
yang didefinisikan, dan muncul juga re-interpretasi terhadap interpretasi
tersebut. Setiap orang membawanya pada negosiasi interpretasi berdasarkan
pengalaman unik mereka sendiri. Karena tidak akan ada yang dapat memiliki
sejarah hidup orang lain, tidak akan ada yang akan berbagi interpretasi yang
sama persis, demikian pula dengan pengalamannya.
Fenomenologis
menekankan pada pembuktian pengalaman yang merupakan kombinasi antara claim
pengalaman yang disaring melalui pengalaman-pengalaman seseorang yang unik, dan
yang menjadi poin-poin penting dari pemaknaan subjektif ataupun interpretasi
subjektif terhadap pengalaman dalam pemahaman kita. Seseorang tidak akan dapat
menghindari filter dari seseorang yang unik dan juga pengalaman pribadi,
perasaan, dan juga pemahaman. Untuk memahami peristiwa tertentu seseorang harus
melihat hal-hal dari sudut pandang para partisipan atau masyarakat yang
terlibat - bagaimana mereka menginterpretasikan peristiwa, dan oleh karena interpretasi
tersebut yang membentuk peristiwa-peristiwa sebagai peristiwa yang memiliki
tertentu. Orang mungkin melangkah lebih jauh dan berusaha untuk menjelaskan
mengapa orang berperilaku dalam suatu cara tertentu. Kemudian mereka mengambil
tindakan dengan mencoba untuk kembali memberlakukan apa yang mereka peroleh
dari sejarah hidup mereka, di mana beberapa tindakan tertentu tersebut merupakan bagiannya
. Memang, Collingwood (tahun 1946, The
Idea of History, melihat diberlakukannya kembali secara imajinatif merupakan
salah satu bagian penting untuk memahami sejarah.
Intepretasi
dapat dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda untuk dapat dipahami dan menghubungkan
pemaknaan untuk melengkapi penjelasan mengenai perkataan atau tindakkan kita.
·
Pertama menayakan makna apa yang yang telah
dilakukan oleh seseorang, kita membutuhkan acuan dari niat yang berada dalam
suatu tindakan.
·
Kedua, makna dari suatu tindakan ataupun
situasi yang mengacu pada makna yang lebih luas dari situasi dan tindakan suatu
agen.
·
Ketiga, makna apa yang dikatakan, meskipun
terkait dengan pengalaman tertentu dan perasaan dan tidak ada orang lain, mempergunakan
kata-kata (dan tata bahasa untuk menempatkan kata-kata yang disepakati) atau
kata-kata yang berlaku umum atau 'milik umum'.
·
Keempat, niat yang dimiliki, dan diwujudkan
dalam tindakan atau gerak tubuh atau kata-kata, dan memerlukan interpretasi dari
orang lain (Kode, simbol, dan tanda/sign).
·
Kelima,
makna suatu tindakan atau dari suatu peristiwa atau teks mengacu pada
maknanya yang mungkin jelas bagi orang-orang selain agen.
Pring
memberikan catatan penting dalam pembahasan pemaknaan dan interpretasi. Jika
pemaknaan subjektif diartikan perasaan (feeling)
seseorang, kontasi atau asosiasi pribadi yang menyertai suatu pernyataan, gerak
tubuh ataupun tindakan, maka intepretasi subjektif dan pribadi tidak
disangsikan lagi batas objektivitas adalah apa yang kita lakukan, katakan,
ataupun yang kita percaya. Seseorang dapat melihat, mengapa para peneliti ingin
menggunakannya untuk memahami mengapa
orang-orang bertindak dengan berbagai cara sebagaimana yang mereka lakukan (Berpikir
jumlah dalil yang hanya memburu persepsi orang-orang yang diteliti). Jika memang
kita mengartikan pemaknaan subjektif merupakan suatu cara khusus untuk memahami
segala sesuatu mengenai subjek atau agen, maka makna yang subjektif hanya merupakan hal yang tidak
penting (sepele). Semua itu merupakan pemahaman-pemahaman khusus pada seseorang
atau subjek tertentu. Namun pemahaman semacam itu merefleksikan
kehendak-kehendak yang memberikan informasi-informasi khusus dari tindakan,
gerak tubuh ataupun kata-kata, prasangka publik dan dengan demikian dunia
objektif aturan sosial dan bahasa melalui perilaku yang dibuat menjadi dapat
diterima umum. Dan dengan demikian interpretasi ini mungkin bisa salah.
Selanjutnya, pemahaman tentang makna yang dikatakan ataupun tidak, seringkali
tidak dapat terobservasi. Mereka seakan menipu diri mereka sendiri. Atau mereka
mungkin bersikap dan berperilaku dalam konteks kekuatan sosial dan latar
belakan sejarah yang berada di luar pemahaman mereka.
Memang hal
ini mungkin masih dapat dianggap walaupun aturan-aturan yang dibentuk oleh
kehidupan sosia dan fakta-fakta sosial (sebagai contoh, aturan-aturan yang
dibuat untuk mengatur hubungan perkawinan) yang merupakan warisan aturan dan
tidak tergantung pada makna subjektif dari masing-masing individu, tidak ada
yang kurang secara sosial karena dibentuk dan keberadaan mereka masih terus
tergantung pada kesepakatan sosial. Seperti makna-makna yang mengalami perubahan
untuk menafsirkan sesuatu yang telah berbeda. Pernikahan homoseksual mungkin
tidak akan dimengerti oleh generasi tua, dan hal itu tidak lagi terjadi.
Kesepakatan tentang hal-hal yang yang digunakan menafsirkan berbeda menciptakan
kembali realitas sosial. Jika bom neutron atau gas saraf dilenyapkan semua
manusia, maka tidak akan ada fakta-fakta sosial - meskipun realitas fisik akan
tetap. Itu karena secara sosial, -tetapi bukan secara fisik- realitas
tergantung pada kesepakatan masyarakat untuk menafsirkan berbagai hal dengan
cara tersebut. Demikian pula, cara yang digunakan untuk menggambarkan motif, tergantung pada perjanjian dalam
kelompok sosial dengan beberapa taksonomi kemungkinan motif. Daftar kebajikan,
misalnya, perubahan dari budaya ke budaya. Oleh karena itu, bukan cara tertentu
dibentuk untuk menafsirkan orang lain, dan memang diri kita sendiri dibangun
secara sosial, dan dapatkah interpretasi tersebut masih akan dipertanyakan?
Jawabannya
adalah keduanya 'ya' dan 'tidak'. Tentu saja, sebagai contoh, sekolah sebagai
organisasi yang didefinisikan dalam hal aturan yang diterima oleh semua orang
di dalam sekolah-sekolah tersebut – hal ini merupakan jenis tertentu dari pengetahuan
yang bernilai dan harus diajarkan, otoritas yang harus dihormati, kinerja yang
harus dinilai oleh standar eksplisit yang terkandung dalam pemeriksaan sistem,
dan lain sebagainya. Dan memang benar bahwa aturan tersebut (dan demikian pula organisasi
sekolah) tergantung pada kesepakatan para agen yang berbeda (orang tua, guru,
siswa). Realitas sosial sekolah dipertahankan melalui perjanjian tersebut. Terdapat
berbagai jenis sekolah di mana mereka memahami diri mereka secara berbeda,
perbedaan tersebut dilihat dari segi tujuan pendidikan, keyakinan tentang sifat
manusia dan motivasi, cita-cita hubungan guru/ pelajar, --yang disepakati. Oleh
karena itu, akan tampak konyol untuk tunduk aturan Summerhill dengan kriteria
keberhasilan yang sama sebagai sekolah dipahami dengan cara yang sangat berbeda
–tujuan pendidikan, visi misi sekolah berbeda, namun menggunakan indikator keberhasilan
yang sama.
Sekali
lagi, ranah pembahasan sekolah tersebut - dalam konteks ambisi kepala sekolah,
brutalnya dari para siswa, keputusasaan para guru, otoritas lokal birokrasi
pendidikan, tekanan dari pengawas - hal ini tergantung pada interpretasi
mengenai motif, sikap, aspirasi, niat, penilaian dari orang lain. Lingkup
tersebut tergantung pada kejelasan penyajian deskripsi yang miliki. Dan hal ini juga memungkinkan sebaliknya. Selain
itu, mereka mungkin bukan bagian dari kepala sekolah, guru, siswa, pemerintah
daerah dan para dipilih. Oleh karena itu, tampaknya kasus ganda bahwa realitas
sosial merupakan konstruksi dan hal tersebut mencerminkan makna subjektif dari
kedua agen sendiri dan dari orang-orang yang menafsirkan mengenai apa yang agen
lakukan.
Di sisi
lain, sebagai 'konstruksi sosial', meskipun hal ini dikelola oleh kesepakatan
sosial, hal ini merupakan warisan dari dunia di mana kita dilahirkan. Hal
tersebut tertanam dalam bahasa yang kita peroleh melalui penggambaran kita
tentang dunia sosial yang memiliki hubungan satu sama lain. Setiap rekonstruksi
bahwa dunia sosial harus menjadi rekonstruksi 'diberikan'. Selain itu, ranah
yang kompleks untuk menjelaskan dunia memerlukan
pembedaan yang memang harus berhubungan dengan ketidaktergantungan realitas dengan
upaya-upaya kreatif seseorang. Ambisi kepala sekolah atau keganasan siswa yang didasarkan
pada segala hal yang diakui sebagai perilaku didasari kehendak atau niat
masing-masing. Mengingat apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut,
tuduhan seperti itu mungkin salah. Seseorang tidak dapat langsung menentukan
untuk memaknai kepala sekolah sebagai seorang yang ambisius atau siswa brutal.
Fenomenologi
berfokus pada kesadaran individu. Oleh karena itu Penelitian fenomenologis bertujuan
untuk mengungkap kesadaran subjektif. Hal ini menekankan pentingnya penafsiran
peristiwa atau 'tindakan yang jelas' untuk menemukan makna subjektif '. 'Makna
subyektif', bagaimanapun, merujuk baik pada ide-ide dan perasaan yang terkait
atau tujuan dan komitmen dari agen – Hal ini terlalu sering membingungkan dalam
kajian fenomenologis. Lebih lanjut, hal ini menyatakan bahwa realitas sosial
hanyalah konstruksi subjektivitas. Tidak terdapat realitas sosial dalam arti sebagai
sesuatu yang muncul secara independen. Penilaian bahwa seseorang bertindak dari
ini atau itu, sehingga motif hanyalah interpretasi subjektif dari suatu
peristiwa.
Namun, para
pendukung pandangan ini melupakan objektivitas tersirat pada segala hal yang
mereka katakan. Makna dari tindakan atau perkatakan tergantung pada keberadaan
orang lain yang akan menafsirkan dengan benar, mengenai segala hal yang
dikatakan atau dilakukan. Terdapat kebutuhan untuk mensepakati bahasa bersama
dan menetapkan aturan-aturan sosial, melalui pemahaman subjektif terbentuk dan
niat mereka yang ditafsirkan oleh orang lain. Selain itu, perbedaan yang dibuat
dari dunia sosial untuk pembahasan ini, meskipun mungkin hal ini digantikan
oleh pembedaan yang lebih bermanfaat, untuk keperluan membayar pada dunia
nyata, yang membuat pembedaan tersebut memungkinkan. Makna subjektif, kecuali
dalam kasus definisi ketiga di atas, adalah parasit pada pengetahuan mengenai
realitas objektif dan bukan sebaliknya. Mengutip Bhaskar (1989: 4), 'praktek
sosial tidak terbuang oleh aspek konseptual mereka' .
Referensi:
Bhaskar, R. (1989) Reclaiming Reality. London:
Verso.
Collingwood, R.G. (1946) The Idea of
History. Oxford: Oxford University Press.
Schutz, A. (1964) 'The Stranger', in A.
Brodersen (ed.) Studies in Social Theory. The Hague: Martinus Nijhoff.
Schutz, A. (1972) The
Phenomenology of the Social World. London: Heinemann.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar