PENJELASAN-PENJELASAN MENGENAI COMMON SENSE
Keyakinan-keyakinan mengenai common sense akan menjadi jelas jika dibedakan dibedakan secara teoritis dan sebagai kejelasan (kebenaran yang tidak perlu dibuktikan) palsu. Bahasa common sense dibedakan dengan bahasa secara teknis melalu pengalaman yang dideskripsikan ulang secara lebih tepat dalam tatanan ilmiah. Para filsuf suka sekali membedakan 'dunia sains' dengan 'dunia sehari-hari' atau 'teknis' dengan konsep 'untechnical/ non-teknis' (lihat Ryle, 1954). Dan selalu begitu hingga hari ini, seringkali tujuan peneliti pendidikan menyertakan bahasa yang lebih teknis dari ilmu-ilmu sosial dalam wacana keseharian bahasa yang lebih teknis dari ilmu-ilmu sosial. Dengan cara apalagi untuk mengembangkan ilmu pengajaran atau sekolah yang efektif? Dan politisi dan birokrat lebih memilih hal ini karena bahasa teknis tersebut lebih memungkinkan memiliki kepastian akuntabilitas.
Contoh dari upaya untuk menggeser kekurangan common sense menjadi penjelasan yang lebih ilmiah, dengan cara menginformasikan melalui pengajaran, sebagaimana pendapat Atkinson (1964). Ia berpendapat bahwa psikologi (khususnya, dalam pemahaman motivasi), sebagai ilmu eksperimental perilaku, berubah dari “pra-ilmiah, memiliki dasar kebijaksanaan intuitif, yang sering disebut common sense, melalui beberapa tahapan kemajuan dalam metode penelitian”. Bagian dari kemajuan kecanggihan tersebut adalah pada skema konseptual lebih sesuai. Psikologi bertujuan untuk mengembangkan skema konseptual atau teoritis, yang mampu memberikan penjelasan lebih memadai dari sekedar kebijaksanaan konvensional 'arah, semangat dan ketekunan dari aksi individu'. Dalam mengejar kajian ini, Atkinson menemukan konsep-konsep seperti 'keinginan/'wants', 'harapan/wishes', 'nafsu/desires', 'maksud/intentions' dan 'tujuan/ purposes', namun hal ini tidak banyak berguna. Ketidak tepatan konsep-konsep tersebut akhirnya hanya berbelit-belit di dalam definisi saja. Perkembangan psikologi terletak pada bahasa teoritis yang didefinisikan lebih ketat seperti pada psikoanalisis, neuro-fisiologi atau behaviorisme. Hal ini kemudian menjadi pengganti untuk bagaimana kita biasanya menjelaskan mengapa orang bertindak seperti yang mereka lakukan.
Atkinson mengatakan bahwa bagaimana kita biasanya menjelaskan motivasi tidak secara memadai. Cara pembahasan tersebut harus digantikan oleh bahasa baru yang dapat menarik batas-batas konseptual berbeda, serta membuat asumsi yang berbeda. Namun, dalam upaya untuk melakukan hal ini, Atkinson mengalami banyak kesulitan, dan hal ini terungkap pada proses tersebut. Kemudian, bahasa yang direkomendasikan harus berlaku untuk sesuatu, dan sesuatu di mana individu atau kelompok individu memilih dalam bahasa umum biasa/ordinary atau wacana common senses. Poin pada pengembangan teori motivasi adalah untuk membantu mengejar tugas-tugas praktis misalnya mengajar atau memecahkan masalah praktis seperti manajemen kelas yang telah diidentifikasi dalam bahasa non-teoritis keseharian. Solusi yang diajukan dalam bahasa behaviorisme harus terhubung dengan masalah yang diajukan dalam bahasa 'keinginan/'wants', 'harapan/wishes', 'nafsu/desires', 'maksud/intentions' dan 'tujuan/ purposes'. Untuk melakukan hal ini adalah untuk menghadapi masalah logis berkaitan suatu pembatasan dan wacana universal secara teknis dengan pengguna bahasa yang dikenal dalam keseharian. Mungkin itu sebabnya guru 'berpikir secara bisnis', dalam arti apa yang mereka lakukan hanya terbatas untuk mengejar target, masukan, audit dan indikator kinerja, dengan demikian sulit untuk menerima common sense.
Permasalahan menjadi tidak sederhana ketika melihat objek-objek atau peristiwa-peristiwa non teoritis yang diidentifikasi sebagai common sense yang harus berkaitan. Ranah common sense menentukan penjelasan relevan. Untuk mengidentifikasi perilaku dari tindakan seseorang (sebagai lawan refleks atau tindakan terpaksa) adalah dengan melihat kerangka niat, dan aturan-aturan sosial yang membentuk niat mereka untuk dimengerti. Pada tingkatan teoritis, tidak ada alasan untuk mengabaikan dimensi intensional dan sosial ini. Jika tidak, maka apa yang akan menjadi penjelasan? Kita berkomitmen untuk jenis tertentu penjelasan, dan jenis penjelasan macam apa yang dapat di jelaskan diluar penjelasan tersebut (misal behavioral), jika ini ditawarkan sebagai cara yang lengkap untuk mengetahui mengapa orang bertindak seperti yang mereka lakukan.
Tidak kurang masalah yang terjadi, saat membicarakan pemahaman umum, keyakinan common sense, dan bahasa umum dari orang awam, atau berbicara dari common sense praktis. Tidak jelas apa ini 'common sense', atau bagaimana mungkin berhubungan dengan non- common sense pengetahuan dari teori dan peneliti. Dapatkah kita mengidentifikasi area yang cukup spesifik dari pemikiran yang mungkin semacam common sense tentang pengetahuan? Jika demikian, sikap filosofis seperti apa yang harus kita adopsi supaya menuju arah tersebut- mengenai hal tersebut, di satu sisi, secara sementara dan sebenarnya tidak memadai, atau, di sisi lain, sangat diperlukan dan sebagai alat penentu mengenai yang nyata dan benar? Tentu, hal itu mungkin terus-menerus perlu disempurnakan, tetapi tidak untuk dibuang. Apa hubungan dari common sense seperti dengan karakteristik berpikir yang lebih disiplin jenis penelitian tertentu?
Common sense mungkin merupakan hal yang tepat untuk menjadi tantangan yang memang diinginkan oleh para peneliti. Hal ini seringkali mengacu pada pernyataan-pernyatan dan penjelasan yang terlihat menjadi benar secara jelas. Common sense berada di antara keyakinan yang tidak diragukan lagi pada suatu kelompok masyarakat dan hal ini memberikan pandangan mendasar tentang dunia – Hal ini merupakan seperti apa yang Atkinson sebut sebagai 'modal pra-ilmiah, atau kearifan intuitif'. Common sense menyediakan aturan-aturan praktis di mana setiap orang dapat hidup dan membuat keputusan. Dan hal ini mungkin bekerja dengan baik, ketika lingkungan fisik dan sosial cukup stabil atau memenuhi syarat untuk keberhasilan selanjutnya dari asumsi dipertanyakan.
Fitur mengenai kajian seperti common sense ini selalu terjadi perubahan isi. Apa yang terdapat dalam common sense pada suatu waktu mungkin akan berubah di waktu berikutnya; Apa yang tidak diketahui waktu itu, pada waktu berikutnya akan menjadi bagian dari folklore yang nggak perlu dipertanyakan lagi. Hubungan antara lingkungan rumah dengan prestasi di sekolah sekarang merupakan bagian dari common sense para guru, walaupun dalam salah satu hubungannya mungkin tidak nampak nyata. Penelitian meresap hingga asumsi sebagai hal yang tidak diragukan lagi dari kehidupan sehari-hari, sehingga bertahan atau mengubah common sense. Selanjutnya, common sense bagi satu orang mungkin tidak berlaku untuk orang lain. Keyakinan common sense dari guru mungkin tidak jelas bagi orang tua, sehingga asumsi tidak diragukan lagi, seseorang mungkin dipahami dengan baik atau dipertanyakan oleh orang lain. Penelitian meresap hingga asumsi sebagai tidak diragukan lagi dari kehidupan sehari-hari, sehingga memperpanjang atau mengubah common sense. Selanjutnya, common sense satu orang mungkin tidak untuk yang lain. Keyakinan common sense dari guru mungkin tidak jelas bagi orang tua, sehingga asumsi tidak diragukan lagi dari orang mungkin baik dipahami atau dipertanyakan ke yang lain.
Apa yang dibawa dari keyakinan, seperti common sense merupakan tatacara yang mereka pertahankan –dengan tanpa dipertanyakan, umumnya dianggap jelas. Dalam hal ini, penelitian dapat dilihat sebagai hal yang bertentangan dengan common sense, tidak harus dengan isinya (yang mungkin benar dan signifikan) tetapi dengan cara yang tidak perlu diragukan lagi di mana keyakinan yang diciptakan. Dalam mengembangkan sikap akal non-common sense terhadap keyakinan seseorang di awal pemikiran disiplin, kritis dan reflektif menanda dari penelitian pendidikan. 'Pendidikan common sense' terletak pada pengambilalihan kebiasaan dan kualitas mental –pendekatan interogasi dan kritis untuk segala yang diterima tanpa kritik, penolakan untuk menerima segala yang dianggap pasti diyakini benar secara umum, sikap reflektif dan analitik terhadap warisan modal kearifan.
Di sisi lain, dalam common sense biasanya terdapat kepercayaan tertentu yang tampak tak dapat di tolak – terdapat dunia luar, yang di dalamnya merupakan objek-objek fisik berhubungan secara sebab-akibat antara satu dengan yang lain dan terdapat pribadi-pribadi yang memiliki maksud dan motif-motif. Pribadi-pribadi tersebut tidak dapat dianggap menjadi objek fisik. Fitur ini lebih merupakan pusat dari kepercayaan-kepercayaan common sense yang bukan merupakan tata cara (manners) dipertahankan, namun lebih merupakan status khusus. Hal tersebut di satu sisi tidak perlu dipertanyakan karena mengandung praduga-praduga yang mendasar untuk semua pemikiran kita. Hal ini juga memberikan kerangka kerangka keyakinan yang tidak dapat digantikan oleh pemikiran teoritis. Memang, perkembangan prasangka-prasangka tersebut membuat Piaget khawatir - kerangka kategoris saling mendahului dan masuk ke negara-negara lebih mencerminkan pemikiran teoritis. Pemikiran teoritis dan lebih disiplin dalam penelitian tidak boleh bertentangan ini 'kerangka common sense” yang berasal dari pengalaman. Akan lebih baik jika menggabungkan referensi common sense pada objek dan kualitasnya, dan pada pribadi-pribadi dan motif, atau (dalam disiplin yang lebih formal) membangun untuk tujuan tertentu dengan objek baru dari referensi yang paling tidak harus dihubungkan kembali pada kerangka common sense tersebut.
Perlu dicatat bahwa common sense mengacu pada beberapa hal, yang pertama adalah mengacu pada kepercayaan-kepercayaan yang dipertahankan dengan cara tidak perlu dipertanyakan; seperti perubahan kepercayaan dari satu kelompok pada kelompok lain dan dari jaman ke jaman. Kedua, Hal ini mengacu pada kerangka kerja mutlak di mana kita mengidentifikasi dan berpikir tentang dunia fisik dalam waktu dan ruang, sebab dan akibat, dan pribadi-pribadi. Ketiga, mengacu pada wacana bersama (yang mungkin lebih atau kurang canggih) yang akan kontras dengan bentuk yang lebih teknis dan terbatas wacana fisik dan ilmu-ilmu sosial.
Penelitian seringkali merupakan suatu yang menentang common sense. Hal ni merupakan pertanyaan mengenai apa yang sering menjadi tidak perlu dipertanyakan lagi, dan hal ini mungkin dilakukan dalam perhatian yang berpusat pada bukti-bukti yang bertentangan atau perbandingan perbandingan dengan apa yang dipercaya orang lain. Penelitian seringkali juga menentang common sense pada pengertian ketiga, keinginan untuk membawa pada perspektif yang lebih teoritis dari ilmu sosial pada apa yang selama ini di pahami oleh para orang-orang kalah, tersisih, dalam bahasa wacana awam. Namun ranah teoritis sering tidak dapat berlaku lebih lanjut dari pengertian common sense yang kedua –kerangka yang mendasar dan penting dari ide-ide mengenai, kondisi fisik, pribadi, dan dunia sosial di mana kita berada.
Mari kita ambil beberapa contoh teori. Di satu sisi ekstrim, Teori dibuat dan dibangun oleh perbedaan pendapat dari postulat-postulat dari wacana keseharian. Fisikawan menbuat satu perbedaan tentang alam semesta dari wacana yang dapat terlihat, objek nyata, sebagaimana postulat-postulat tentang objek yang tak terindera, sepeti partikel-partikel misalnya. Seorang Psikolog, Skinner atau Atkinson, membuat postulat-potulat yang bertentangan dengan keyakinan-keyakinan common sense, yang menyebutkan bahwa manusia tidak dapat dimengerti sebagaimana agen-agen yang berkepentingan dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan. Di dunia ekonomi tidak terdapat perbedaan secara mendasar dari common sense –dengan anggapan dunia dari para pribadi, dengan keinginan, harapan, dan tujuan dan pembuatan asumsi-asumsi tertentu (mengenai pergerakan harga) yang diakui oleh orang-orang awam berdasarkan pengalaman keseharian mereka. Tetapi apa yang bukan common sense adalah pembenahan keyakinan pada postulasinya, yang dipertentangkan dengan pengalaman keseharian, dari seseorang yang rasional, dalam penetapan ketepatan konseptual yang lebih besar, dan kuantifikasi hubungan antara berbagai faktor yang berbeda (seperti contoh, yang ditunjukkan dengan grafik elastisitas antara permintaan dan penawaran). Postulat secara individual yang dimiliki oleh seseorang yang rasional, untuk menentukan defnisi yang tepat dari istilah kunci, dan mengkuantifikasikan hubungan antara hal-hal tersebut, tergantung pada penerimaan ketetapan yang digantung bersama sebagai suatu sistem tertentu, walaupun itu bukan merupakan bagian dari common sense. “Homo economicus”, sebagaimana “homo skinnerius”, merupakan suatu abstraksi dari makhluk yang agak lebih komplek, sebagaimana kita temui di jalanan ataupun dalam literatur.
Seringkali kaitan dengan pembatasan bidang wacana, sebagaimana telah kita bahas, merupakan suatu ketepatan teknis yang dipaksakan pada penggunaan-penggunaan istilah –sebagai contoh dalam pengurangan tindakan-tindakan intensional pada perilaku-perilaku yang terukur. Sesuatu yang ideal dari ilmu-ilmu alam akan menjadi pengganti untuk pendekatan kualitatif sedapat mungkin melalui penggunaan deskripsi kuantitatif, seperti misalnya di mengganti standar yang tepat pengukuran untuk 'penilaian sehari-hari' terhadap suhu udara. Ketepatan juga menjadi tuntutan dituntut, sebagaimana dalam ilmu sosial, seperti ketika, misalnya, dalam psikologi yang memberikan tes sikap, atau penyimpangan sebagaimana diungkapkan dalam kaidah-kaidah statistik Walaupun sesungguhnya dalam disiplin non-ilmiah, kuantifikasi jelas tidak memungkinkan, istilah-istilah penting harus secara tepat didefinisi dan perlu ditekankan dalam penggunaannya dalam wacana awam.
Oleh karena common sense mengacu pada sesuatu yang tidak dapat dikritik karena memang merupakan keyakinan yang dipegang erat, maka hal ini perlu untuk diubah. Namun, sejauh pertanyaan kritis yang mengembangkan ketepatan secara lebih teoritis, akan menimbulkan perbedaan logis antara wacana common sense dan teori. Common sense tidak lagi hanya mengacu pada cara kritis ketika keyakinan tetap dipertahankan. Hal ini mengacu pada struktur keyakinan yang meskipun seharusnya dibedakan secara pasti dengan teori. Mungkin supaya lebih mendasar dan memadai, maka common sense tersebut perlu dilawan oleh peneliti dengan hati-hati.
Tanpa mengkaitkan pada common sense, pemikiran yang dikhususkan, secara teknis didefinisikan menjadi istilah-istilah dan materi pelajaran yang dibatasi, akan ada 'pembayaran' pada pertanyaan yang kita biasanya ditanyakan. Guru, terperangkap dalam dunia praktis yang kompleks di kelas, sehingga perlu untuk melihat di mana ranah teoritis yang terkait secara luas sangat berbeda pada wacana. Teori perlu menunjukkan di mana teori mampunmengoreksi atau memperbaiki keyakinan terhadap common sense yang menuntun praktik guru.
Kekuatan argumen Pring (2005: 87) berdasar tidak hanya pada perbedaan yang kontras antara common sense dan mode lebih disiplin dan teoritis dari suatu pemikiran, tetapi juga pada interkoneksi pemikiran-pemikiran tersebut. Bahasa yang digunakan dalam kesehariam menerapkan berbagai konsep, prinsip, aturan dari kesimpulan dengan banyak tujuan tumpang tindih - lukisan kompleks tentang dunia dalam kerangka objek material dan kepentingan tujuan, dan aturan-yang mengikuti, tugas dan hak-hak dan interaksi sosial dari bermacam-macam pribadi . Dan itu merupakan lukisan yang kompleks tentang dunia, yang diidentifikasi pertama kali oleh penelitian dan perlakuan teoritis dan teori (sering kali memusatkan pada aspek kuantitatif suatu pengalaman) dan memaksakan beberapa penyesuaian, sementara pada saat yang sama ditempatkan dalam suatu perspektif. Kerangka bahasa awam, bersama-sama dengan keyakinan yang menyertainya tentang dunia luar, serta pikiran lainnya, dan lain sebagainya, menyediakan baik titik awal dan titik penerapan teori, maupun jembatan antara disiplin ilmu yang berbeda, maupun kesamaan dari kejelasan yang memungkinkan untuk komunikasi antara ranah teoritis yang berbeda. Beberapa prioritas logis juga harus diberikan pada apa yang disebut “dunia keseharian” dan “konsep mengenai wacana keseharian. Hal ini penting untuk diingat bagaimana penjelasan psikologi s mengenai perilaku yang terkait dengan bahasa yang kita anggap motif dan niat, atau bagaimana gaya mengajar formal dan informal -dari Bennett (1975)- berhubungan dengan perbedaan guru dalam membuat gambaran tentang kelas mereka. Teori selalu berjalan secara paralel dengan bahasa keseharian (dan karena itu merupakan pengganti bahasa teoritis) dan hanya untuk tujuan tertentu. Bahasa tentang atom dan partikel harus berhubungan dengan bahasa meja dan kursi. Bahasa modifikasi perilaku harus berhubungan dengan bahasa niat dan motif. Bahasa efektivitas sekolah perlu berhubungan dengan bahasa hubungan dan tujuan moral. Bahasa pencapaian dan kompetensi perlu berhubungan dengan bahasa pemahaman dan pengetahuan, dengan semua kompleksitas, sebagaimana diingatkan filsuf Plato dan seterusnya.
KESIMPULAN: Konsep-Konsep Kunci dan Mengatasi Konflik dalam Penelitian Kependidikan
Ada perpecahan mendalam antara peneliti pendidikan berdasarkan posisi filosofis, yang jarang muncul secara eksplisit. Perbedaan tersebut, bagaimanapun memiliki dampak yang mendalam pada pelaksanaan penelitian. Pring (2005: 88) telah mencoba untuk menunjukkan bagaimana perbedaan-perbedaan filosofis mengacu pada konsep yang saling terkait dan di dalamnya terdapat saling keterkaitan antara realitas dan objektivitas, kebenaran, fakta dan verifikasi, dengan teori dan pengetahuan. Konsep-konsep ini, yang tampaknya sangat diperlukan dalam wacana penelitian. Bagaimanapun dapat diterapkan dengan variasi yang cukup untuk menciptakan ide-ide yang sangat berbeda tentang sifat dan pelaksanaan penelitian. Pring juga telah mencoba untuk menunjukkan bahwa pada beberapa kasus posisi filosofis yang mendasari ternyata terdapat kekeliruan. Memang, saya telah menunjukkan bahwa, kegagalan untuk melakukan kajian filosofis yang tepat, membuat peneliti pendidikan dipaparkan dengan terlalu tajam kontras antara tradisi kuantitatif dan kualitatif. Tradisi dalam proses memahami dan menjelaskan dunia sosial, dan khususnya untuk praktek pendidikan yang lebih kompleks. Hal itu akan menjadi jelas hanya jika peneliti pendidikan akan hadir lebih dekat dengan bagaimana akademisi melakukan menjelaskan personal-personal dan praktek sosial.
Sebagian dari masalah adalah kegagalan untuk menghadiri cara kaya dan cerdik di mana kita telah masuk untuk menggambarkan praktek sosial, tertanam dalam bahasa penggunaan awam. keyakinan common sense perlu dipertanyakan, tapi bahasa common sense mewujudkan cara kompleks memahami dunia, yang pada satu tingkat tidak akan ditiadakan dan di tingkat lain adalah yang terbaik yang kita miliki. Penelitian harus berhubungan kembali ke sana, dan dasar-dasar filosofis untuk penelitian yang tak dapat mengabaikan apa yang common sense katakan tentang realitas untuk diteliti lebih dalam.
Posisi yang dianut di sini mungkin secara kasar dapat digambarkan sebagai salah satu realisme yang kuat, berakar kuat dalam bahasa common sense melaluinya kita datang untuk menggambarkan alam dan dunia sosial tempat kita tinggal, dan dengan demikian menghormati berbagai logika yang berbeda untuk penjelasan yang melekat di dalam bahasa. Waspadalah terhadap 'isme' - dan pembedaan yang timbul dari aplikasi yang kaku. Mungkin cara lain untuk melihat ini adalah untuk menguji beberapa dari 'isme'. Posisi filosifis tersebut akan dimunculkan pada artikel-artikel berikutnya mengenai positivisme, tradisi aritmatika, fenomenologi, etnografi, dan pos modernisme dalam konteks filsafat riset kependidikan.
Referensi :
Atkinson, J.W. (1964) An Introduction to Motivation. NJ: Van Nostrand.
Bennett, N. (1976) Teaching Styles and Pupil Progress. London: Open Books.
Pring, Richard, (2005) Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum
Ryle, G. (1954) Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar