Artikel kali ini memulai pokok bahasan baru dari pembahasan pemikiran Richard Pring (2005), yang selama ini merenungkan kekacauan yang terjadi pada ranah penelitian kependidikan. Mulai dari kekacauan metode yang muncul karena adopsi yang sembarangan dari berbagai bidang ilmu lain dengan mengabaikan dasar-dasar filsafat ilmu, yang semestinya dipertimbangkan dengan asumsi-asumsi dasar penggunaannya. Secara pribadi penulis -yang sedang mempelajari- masih berniat untuk melanjutkannya untuk meperoleh pemahaman yang lebih mengenai ilmu pendidikan ini, mengingat penulis adalah "orang baru" -secara "common sense" akan selalu dianggap orang baru di dunia ilmu kependidikan ini- karena tidak memiliki latar belakang pendidikan ilmu pendidikan. Namun apapun kata mereka, dengan segala kerendahan hati penulis akan terus mencoba untuk mempelajarinya dengan keterbatasan kemampuan berbahasa, ataupun jangkauan pikiran yang belum seluas penulis harapkan sebaga refleksi tiada henti ini. Berikut ini akan kita simak bersama penuturan dari Richard Pring tentang persaingan para pemikir pendahulu yang mungkin dianggap bertanggungjawab akan terjadinya "multipolar" aliran-aliran dalam ilmu pengetahuan. Penulis berharap untuk dapat membagikan ini untuk bahan diskusi atau perenungan berbagai pencarian, dapat juga untuk memilih sikap yang tepat (fleksibilitas) dan memperluas keterbukaan pikiran dalam beradaptasi terhadap perubahan. Seperti dalam hati kecil penulis yang terkecewakan dicabutnya kurikulum 2013 karena kita kurang mampu mengatakan "ya" pada perubahan. Kelegaan hampir terjadi, ketika kita mulai melangkah menuju era konstruktivisme. Kita kurang percaya diri, enggan belajar hal yang baru, dan takut pusing, serta tidak ingin repot dengan perubahan sudut pandang baru. Selipan paragraf di atas mungkin tidak ada hubungannya pembahasan ini. Berikut kita mulai.
***
Kita telah terlibat dengan isu-isu mengenai - konflik antara penelitian kuantitatif dan kualitatif, sifat kebenaran dan verifikasinya, hal yang dianggap realitas, objektivitas dan subjektivitas, pengetahuan dan perkembangannya, dan lain sebagainya - mungkin hal ini akan cenderung bermanfaat dipahami dari sudut yang berbeda. Cara-cara dominan dalam berpikir tentang fenomena sosial yang telah diartikan pada posisi teoritis berbeda. Oleh karena posisi tersebut dalam suatu penelitian memiliki latar belakang budaya dan filosofis yang berbeda pula. Tanpa perumusan eksplisit latar belakang filosofis - dengan implikasi untuk verifikasi, penjelasan, pengetahuan tentang realitas - peneliti dapat tetap dengan tanpa dosa tidak menyadari makna yang lebih dalam, dan komitmen dari apa yang mereka katakan, atau bagaimana mereka melakukan penelitian mereka. (Lihat, misalnya, Atkinson et al, 1993.)
Posisi filosofis dikenal dengan berbagai judul membingungkan. Kita sering mendengar mengenai "positivisme" (yang merupakan tradisi filsafat tetap dipertahankan di tengah banyak penghinaan dari banyak peneliti), fungsionalisme, teori interpretatif, fenomenologi, ethnomethodology, etnografi, konstruktivisme, postmodernisme, dan lain sebagainya. Pada bagian berikut, Kita akan mencoba untuk menyediakan peta filosofis singkat tentang posisi dominan. Namun tentu saja, peta setiap bisa saja disimpulkan secara berbeda, yang kemudian akan membuat perbedaan lebih lanjut dan kabur orang lain. Pada artikel lebih lanjut akan disajikan satu persatu.
Referensi:
Pring, Richard (2005) Philosophy of Educational Research, Second Edition. Continuum: London
Tidak ada komentar:
Posting Komentar