Kamis, 02 Juni 2016

FILOSOFI PENELITIAN KEPENDIDIKAN (32): Teori Interpretif: Realitas Sosial dan Etnografi

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Pring (2005) terdapat banyak cara dalam seseorang memetakan perbedaan tradisi pada penelitian kependidikan dan dasar filosofisnya. Pemilahan yang telah menegaskan pembedaan antara tradisi fenomenologi dan etnografi, yang sesungguhnya hal tersebut merupakan satu kesatuan. Namun, kedua hal tersebut mencerminkan suatu penegasan ketertarikan penekanan kajian terhadap pemaknaan-pemaknaan subjektif dari agen sebagaimana yang dapat terungkap dalam refleksi melalui ranah pemikiran yang ditunjukkan dengan tindakan-tindakan mereka. hal ini berakar dari filosofi Husserl. Namun hal ini mewujud sendiri dan sedikit mengabaikan reduksi, oleh para peneliti kependidikan, pemaknaan mengenai apa yang telah dikatakan ataupun dilakukan dalam ranah subjektif pikiran agen. Dalam beberapa hal itu sering berguna untuk menyadari keadaan pikiran. Kenakalan siswa mungkin muncul diakibatkan dari sesuatu yang berkaitan pelajaran dan ingatan yang tidak memungkinkan diantisipasi oleh guru dari pemaknaan sebagaimana apa yang dikatakan. Namun, kebingungan 'pemaknaan" dalam arti keadaan pikiran agen dengan 'pemaknaan' dalam istilah peraturan yang disepakati, perilaku sosial dan perilaku berbahasa, yang akhir-akhir ini telah kehilangan realitas objektifnya. Kita memasuki dunia solipsistik yang membuat bahkan bahasa tubuh kita tidak dapat dimengerti. Jika seseorang mulai dari pemaknaan subjektif, satu orang saja yang akan tetap ada.
Di sisi lain, masing-masing bahasa tubuh dan kata-kata yang diucapkan dapat menjadi ambigu. Dan ambiguitas seringkali meninggalkan ruangan untuk misinterpretasi. Selanjutnya, realitas sosial dapat terubah jika bentuk misintepretasi mengenai bentuk-bentuk hubungan. Mungkin guru bukan orang yang sarkastik, namun hal ini tergantung bagaimana kata-kata terebut diterima. Karena dengan penerimahan atau penafsiran yang berbeda maka hubungan antara guru dan siswa akan berubah. Dan mungkin hal ini akan menjadi elemen yang signifikan dalam pemahaman mengenai apa yang terjadi di kelas.
Pring (2005) selanjutnya juga telah menerangkan mengenai pemaknaan gerak tubuh atau suatu pernyataan selalu tergantung pada aturan-aturan sosial, apakah sesuai dengan bahasa ataupun tidak sebagaimana yang diwujudkan oleh gerak tubuh ataupun pernyataan yang diintepretasikan. Perintah untuk diam memiliki makna hanya karena adanya kesepakatan persetujuan yang diyakini hal tersebut akan dipahami oleh para siswa. Untuk memahami beberapa kelompok apakah itu masyarakat yang lebih luas atau apakah hal tersebut akan dikelompokkan secara sosial seperti sekolah di dalam suatu masyarakat, perlu diungkapkan bagaimana aturan-aturan sosialnya. Beberaoa di antaranya sangat jelas dan nyata bagi semua orang yang hidup dalam masyarakat tersebut. Beberapa di antaranya sangat eksplisit dan didukung oleh sanksi-sanksi yang legal. Bagi seseorang mungkin hal tersebut nampak jelas sebagai bagian dari suatu budaya, seperti misalnya dalam kasus antrian di halte bus. Tetapi bagi orang lain tidak begitu jelas. Hal tersebut perlu untuk diungkap. Memang, hal itu mungkin begitu sopan bahkan mereka yang terdaftar dalam praktek tersebut mungkin tidak mengakui aturan ini secara eksplisit. Guru mungkin tidak mengakui aturan yang memberikan makna pada gerakan tertentu, tindakan dan kata-kata dalam budaya siswa yang mereka ajarkan. Hal ini dapat menyebabkan tidak hanya kesalahpahaman sangat jelas, tetapi juga para guru tidak akan dapat menangkap dinamika ruang kelas di mana mereka bertugas. Terdapat hal yang berbahaya, seperti dalam kasus yang dipaparkan oleh Schutz, orang asing menafsirkan aturan sosial dan dengan pemahaman tersebut akan menentukan dan mempertahankan realitas sosial dengan cara tertentu, tanpa mengacu pada interpretasi yang diberikan oleh mereka yang bermakna bagi yang terlibat dalam kegiatan yang berbeda. Orang asing itu hanya tidak mengerti.
Terdapat bagian yang paling penting dalam penelitian dan perlu diperiksa secara detail dan dekat dengan situasi realitas sosial seperti "realitas keseharian" di sekolah ataupun ruang kelas, (lihat, contoh, karya Woods yang berjud Divided School, 1979, atau Ball, Beachside Comprehensive, 1981, atau Peshkin's Growing Up American, 1978) dari kelompok-kelompok yang diambil  dari pemaknaan "dengan arti apa adanya" dari budaya dominan tidak diterapkan pada/oleh budaya minoritas (lihat contoh, Mac an Ghaill's Young, Gifted and Black: Student-Teacher Relations in the Schooling of Black Youth, 1988). Sebagaimana kajian-kajian memperlihatkan mengenai apa yang terjadi dalam praktek dan aktivitas yang tidak seperti bagaimana yang seharusnya. Seperti kajian-kajian dalam kontek "pencerahan" di mana guru-guru dan yang lainnya mengerjakan, dan membuat beberapa kebijakan dan praktek-praktek yang tidak tepat. Retorika pendukung program kependidikan mungkin memperluas pikiran atau mengembangkan sudut pandang kritis; realitas mungkin akan menjadi sesuatu yang berbeda.
Etnografi mengacu pada jenis-jenis penelitian secara serius menempatkan perspektif dan interaksi-interaksi antar anggota kelompok sosial yang akan dipelajari. Hal ini didasari premis bahwa realitas sosial tanpa melalui aturan-aturan yang merupakan struktur hubungan antara anggota kelompok dan yang membuat hal ini memungkinkan untuk melakukan interpretasi tindakan, gestur ataupun kata-kata mereka. Hal ini mempertegas tradisi-tradisi tertentu dalam ilmu sosial, termasuk antropologi. Selalu dianjurkan untuk mengkaji dunia sosial sebagaimana cara di atas, dan mengungkap penampakan tersebut dari dalam melalui partisipasi. Hanya dengan cara ini mungkin seseorang akan menjadi mengerti mengenai realitas tersebut. Namun hal ini mensyaratkan tidak adanya relativisme sebagaimana yang kerapkali diasumsikan. Dunia sosial yang diteliti adalah sebagai sesuatu yang nyata dan objektif dunia fisik. Realitas ada secara independen, bebas dari tidak tergantung pada pemikiran ataupun asumsi peneliti. Namun demikian, terdapat kesulitan tertentu yang perlu diatasi. Hal itu antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, bukankah peneliti pada partisipasi dalam dunia sosial atau “Budaya asing” telah melihat dunia atau budaya tersebut dalam sudut pandang masyarakat tersebut, bukan dalam sudut pandang peneliti? Dalam menterjemahkan apa yang telah dipelajari dari sudutpandangnya sendiri untuk dikomunikasikan secara lebih luas, para penelti tidak lagi berbicara mengenai realitas sosial tersebut sebagaimana realitas sosial yang diartikan oleh para pelaku budaya. Bukankah hal ini ganjil secara logis ketika orang luar berperan juga orang dalam pada waktu yang sama? Sebagai contoh, peneliti yang sedang melakukan penelitian pada  budaya pemuda kelas pekerja di suatu perumahan terkenal, harus membiarkan para pemuda tersebut berbicara sendiri di 'latar belakang alami' mereka. Memang, penelitian mungkin hanya berhenti di situ - paparan tentang apa yang terjadi dan tidak lebih. Namun hal itu tidak akan memuaskan bagi mereka yang ingin menjelaskan lebih lanjut alasan atau penyebab untuk apa orang-orang muda lakukan dan katakan. Penjelasan lebih lanjut seperti timbul dari kebutuhan untuk meningkatkan lingkungan dan keselamatan mereka yang bukan merupakan budaya tersebut, atau dari kebutuhan untuk membantu fungsi lingkungan sekolah lebih efektif terhadap latar belakang tersebut. Pernyataan mengenai pemahaman sosial dan keyakinan yang memberikan informasi mengenai hubungan dan perilaku pemuda, menjadi data untuk berikutnya disusun analisis dan penjelasan. Dan hal tersebut bukan merupakan sudut pandang dari orang-orang yang sedang diteliti.
Isu tersebut sesuai dengan Winch dalam karya tulisnya yang berjudul The Idea of a Social Science (1958) dan yang terakhir dengan judul makalahnya 'Understanding a Primitive Society' (1972). Winch menekankan permasalahan mengenai bagaimana para peneliti dapat memahami suatu masyarakat yang sangat berbeda dengan kebudayaan para peneliti tersebut –sangat berbeda dalam arti terdapat sesuatu yang terlihat tidak ada satupun yang pahami sesuai dengan kehidupan sosial mereka. Terdapat ketidakpahaman juga dalam bahasa. Tidak ada satupun cara yang terang untuk menjelaskan tindakan-tindakan mereka. Dunia sosial yang akan diteliti, ditegakkan dengan pemahaman yang sangat berbeda dan aturan-aturan sosial tidak dapat diperoleh dengan pemahaman dari pemahaman peneliti yang berada dalam masyarakat yang sangat berbeda.
Winch berpendapat bahwa pada kasus yang ekstriom ini terdapat praktek-praktek umum tertentu yang dapat ditemukan oleh peneliti mengenai beberapa aktivitas yang dapat secara terang dijelaskan. Terdapat berbagai aktivitas yang berkaitan dengan mendapatkan dan mencari makanan, mencari kehangatan di musim dingin, pengasuhan anak dan orang lanjut usia, legitimasi jenis-jenis hubungan sosial antara satu dengan yang lain, perlindungan keselamatan dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan hal yang selalu ada apapun itu di antara kebudayaan dan masyarakat yang berbeda, terdapat elemen yang memang diakui atau milik bersama dalam berbagai pembedaan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjadi  kasus untuk menjelaskan sub-kultur dalam suatu masyarakat itu sendiri. Untuk memahami makna yang merupakan atribut bagi tindakan-tindakan, gestur, dan gaya bicara tertentu berdasarkan pemilahan kelompok kebudayaan (sebagai contoh, etnis minoritas, atau sekte keagamaan) membutuhkan pemahaman yang berasal dari sudut pandang mereka. Tetapi mengingat fakta-fakta tertentu tentang manusia –bahwa mereka memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis tertentu, tipe emosi manusia seperti rasa takut, loyalitas, ambisi, dan lain- lain - kemudian hal-hal apa saya yang membuat tindakan mereka dipahami oleh mereka melakukan tindakan-tindakan yang sama dan berpotensi dimengerti orang luar. Setelah memahami pentingnya ritual tertentu dalam masyarakat primitif tersebut, Winch menyatakan bahwa, bagaimanapun berbeda yang  didapatkan,  peneliti berpengalaman, akan membuat mereka menjadi lebih mudah dimengerti sebagai suatu kerangka penjelasan yang dapat diterapkan dalam masyarakat peneliti sendiri. Pring menekankan 'dapat diterapkan, karena masyarakat peneliti, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Winch, mungkin dominasi kerangka penjelasan  tersebut dengan sendirinya, tidak akan membuat tindakan masyarakat lain dimengerti. Misalnya, asumsi bahwa suatu tindakan adalah dimengerti hanya dalam arti penting - sebagai alat untuk mencapai tujuan - dapat menyebabkan kesalahpahaman dari tindakan yang  dijelaskan oleh peneliti. Namun dari bentuk-bentuk penjelasan lain yang sesuai dengan peneliti –tindakan sebagai ekspresi emosi, gestur sebagai tanda penghormatan, dan kisah-kisah sebagai sebagai pembentukan nuansa mitologis- yang dapat diterapkan pada masyarakat yang dikaji. Tidak ada alasan mengapa penjelasan yang ingin disajikan oleh peneliti, meskipun pada akhirnya istilah yang digunakan oleh orang-orang yang diteliti, tidak harus berhubungan dengan mereka, namun membuat aktivitas kelompok yang diteliti dapat dipahami oleh mereka yang bukan anggota kelompok tersebut. Sebagaimana Winch berpendapat,

Meskipun siswa mencerminkan masyarakat, atau terdapat mode-mode tertentu dalam kehidupan sosial tersebut, mungkin dirasa perlu untuk menggunakan konsep-konsep yang tidak diambil dari bentuk kegiatan yang dipelajari, tetapi konsep yang diambil dari konteks kajian itu sendiri, konsep teknisnya akan menyiratkan pemahaman sebelumnya, yaitu konsep-konsep lain yang termasuk dalam aktivitas yang diinvestigasi. (1958, p. 89)

Kedua, jenis kesulitan yang tidak berhubungan. Ketika aturan-aturan sosial dari suatu kelompok yang akan diteliti tidak dapat diungkap oleh orang luar (dan aktivitas mereka dibuat terjelaskan) mengenai apa yang harus dipahami akan menjadi unik. Realitas sosial dari investigasi tidak sama sebagaimana realitas-realitas soal lainnya sejak masing-masing telah ditentukan oleh pemilahan dalam interaksi, persepsi dan intepretasi dari anggota kelompok sosial tersebut. Masing-masing kelompokakan dijelaskan dalam istilah-istilah dan sudut pandang masarakat tersebut dengan makna yang telah dinegosiasikan. Apa yang dapat dikatakan salah satu kelompok tidak dapat diberlakukan pada kelompok lainnya. Hal ini akan terlihat seakan meninggalkan penelitian kependidikan dan nampak lebih seperti halnya paroki, untuk masing-masing setting sosial, akan membutuhkan pemahaman kajian etnografi. Seseorang tidak dapat melakukan transfer kesimpulan-kesimpulan dari satu kajian untuk memahami setting sosial lainnya, karena masing-masing setting sosial diartikan oleh berbagai persepsi dan interaksi dengan cara partisipasi pada realitas sosial tertentu.  Sebagaimana penampakannya akan terlihat mendukung kritik dari mereka yang memiliki keluhan dalam ranah yang tak terkumpul dalam penelitian kependidikan. Banyak kajian-kajian unik, walaupun dalam membawakan secara pintar dan menarik, terlihat tidak menambahkan apapun. Tidak ada generalisasi yang dapat ditentukan dari hal tersebut, serta hal tersebut tidak dapat digunakan untuk membantu penyusunan kebijakan atau berkaitan dengan praktek profesional dalam setting sosial yang sejauh ini tidak memiliki keuntungan yang diperoleh dari hasil studi etnografi.
Kritik ini, berhenti pada ‘keunikan dari kesalahan'. 'Keunikan kekeliruan ' ini adalah untuk mendebat kritik. Merupakan fakta bahwa setiap orang atau setiap kelompok adalah unik, dalam beberapa hal terdapat klaim bahwa setiap orang dan setiap kelompok adalah unik dalam segala hal. Misal Jadi saya unik karena hanya aku menempati ruang khusus ini pada saat ini dan hanya saya memiliki sejarah hidup saya. Tapi saya tidak unik karena seorang Inggris, atau bekerja di Universitas Oxford , atau menikah dengan tiga anak perempuan . Kami semua unik dalam beberapa hal dan tidak pada orang lain.
Objek-objek kajian etnografi merupakan salah satu yang terasa berkarakteristik unik, sehingga mengecilkan kemungkinan untuk terlalu terburu-buru membuat generalisasi dari hasil kajian tersebut.  Dalam beberapa cara penyajian yang lainnya hal tersebut tidak unik; para anggota kelompok di bawah pengawasan sesama manusia lain melalui proses interaksi emosi dan perasaan, aspirasi dan harapan, kebutuhan dan keinginan tertentu yang khas, dan digunakan serta milik secara bersama. Dalam menunjukan keunikan tersebut kita tidak boleh lupa apa yang khas dari orang di situasi tertentu. Itulah sebabnya orang-orang yang mengakui keunikan studi etnografi tidak melakukan atau kurang merasa 'mencerahkan'. Mereka mengakui terdapat hal yang sama dengan situasi yang sama. Dan itu secara pasti merupakan tujuan penelitian untuk mengidentifikasi kesamaan yang relevan.
Arti penting yang kemudian menjadi mendesak adalah karena terdapat pergeseran ke arah tinjauan sistematis penelitian yang sejalan model Cochrane pada bidang perawatan kesehatan berbasis bukti. Model tersebut memiliki ciri, difokuskan pada skala besar, sampel diambil secara acak, menggunakan tes terkontrol, serta dengan intervensi yang sangat ketat, diamati – merupakan model penelitian yang kaku dalam kerangka positivis. Dalam kerangka pemikiran positivis tersebut menjadikan posisi keunikan studi etnografi akan menjadi perkecualian atau tidak dibenarkan, sehebat apa pun wawasan dan 'iluminasi/pencerahan' yang mereka bawa. Kegagalan untuk mengakui “kegagalpahaman mengenai keunikan tersebut” akan memiskinkan penelitian berbasis bukti yang akan dilakukan untuk kepentingan kebijakan dan praktis.
Kesulitan ketiga yang kemudian dihadapi oleh peneliti etnografi adalah klaim peneliti pada partisipasi dalam berbagai interaksi sosial suatu kelompok yang perlunya mengubah situasi menjadi sesuatu yang lain. Aktivitas peneliti merubah apa yang akan diteliti. Berbagai pertanyaan dan pernyataan dari peneliti akan mengubah berbagai persepsi yang kemudian mengubah definisi mengenai situasi sosial oleh anggota-anggota group tersebut.
Dampak yang tidak dapat ditolak oleh peneliti adalah kesimpulan dari riset tidak dapat menjadikan situasi tersebut sebagai sesuatu yang asli untuk dilakukan investigasi. Tidak ada objektivitas dalam hasil penginderaan pada rekaman para peneliti dalam kasus ini. Namun seseorang dapat saja membesar-besarkan permasalahan. Setting sosial yang akan diinvestigasi, jika sangat mapan,  berakar pada tradisi yang tidak mudah untuk diubah oleh orang asing yang berada ditengah setting sosial tersebut. Peran-peran sosial dan berbagai pemahaman akan terus semakin mendalam untuk diinternalisasikan. Dampak dari peneliti dapat menjadi signifikan dalam kelompok yang lebih kecil, dan setting sosial yang lebih singkat - seperti kelas. Namun peneliti tidak perlu mengambil tindakan pencegahan yang tepat. Salah satu hal yang dibutuhkan untuk mencerminkan sifat dari realitas sosial. Meskipun dibentuk dan dikelola oleh interpretasi dan kesepakatan dari para peserta, mengubah realitas yang lebih, seperti membangun kembali kapal di laut daripada seperti sedikit menata furnitur. Seseorang dapat setuju untuk melakukan yang terakhir dan menyelesaikan tugas dengan cepat. Salah satunya dari mereka tidak mungkin untuk ditukar. Namun perancang perlu sangat berhati-hati, dengan pendekatan sedikit demi pendekatan sedikit yang dapat membuat kapal dibentuk sesuai dengan yang dari yang telah dikembangkan. Bicara tentang konstruksi realitas bagi masing-masing orang, realitas sering muncul seolah-olah itu adalah masalah bertukar furnitur. Seseorang memilih untuk membangun sesuatu cara yang berbeda dengan yang lain. Dan hal  ini cukup jelas membingungkan.
Praktek merupakan ‘sekumpulan berbagaimacam aktivitas yang disatukan dengan beberapa kehendak bersama, mewujud dalam nilai-nilai tertentu, dan membuat masing-masing komponen tersebut menjadi jelas’. Suatu praktek kependidikan merupakan salah satu aktivitas yang disatukan dalam tujuan belajar –dan untuk belajar dan untuk belajar mengenai apa yang dipikirkan oleh pengajar dan sistem kependidikan akan menjadi suatu nilai. Untuk memahami praktek kependidikan seseorang adalah dengan memahami bagaimana aktor-aktor tersebut menafsirkan agenda secara lebih luas. Seseorang dapat membayangkan dengan berbagai cara yang berbeda untuk menafsirkan hubungan timbal-balik antara guru dan siswa.
Guru yang menganut filosofi pendidikan berpusat pada siswa, akan mencoba untuk menetapkan aturan interaksi secara serius, dalam menempatkan persepsi dan kepentingan peserta didik. Para siswa, yang datang dengan agenda mereka sendiri, akan memberikan kontribusi pemahaman mereka tentang hubungan yang sedang dicoba untuk dibangun oleh guru. Dan kontribusi tersebut akan dipengaruhi oleh pengalaman siswa sebelumnya yang diperoleh dari guru. Transaksi tersebut, memang, akan  terus berlangsung lebih sering daripada tidak, dalam suatu perangkat sosial yang lebih luas tentang pemahaman mengenai arti pendidikan dan cara hal itu harus dilakukan. Pemahaman praktik pendidikan akan diperoleh dengan memahami pemahaman interaksi, keyakinan dan nilai-nilai. Ada perbedaan yang jelas antara praktek di mana guru sedang bermaksud mengejar nilai intrinsik dari subyek yang diajarkan, dan guru yang melihat nilai dalam hal murni utilitarian. Tidak hanya nilai yang berbeda yang terkandung dalam praktek, tetapi juga kriteria yang berbeda untuk memilih muatan dan metode pengajaran. Sebagai contoh, sebuah diskusi yang mengangkat  isu-isu kontroversial harus dipahami sebagai suatu niat dan nilai-nilai yang terdapat di balik pemilihan pendekatan dan cara menafsirkan. Proyek Kurikulum Humaniora diwujudkan dalam praktik pendidikan yang khas, meskipun penelitian akan perlu dicermati bagaimana hal ini ditafsirkan dalam suatu kasus yang berbeda itu. Dalam hal ini kita harus perhatikan cara evaluasi proyek yang dimunculkan oleh tradisi penelitian studi etnografi diterima sebagai hal yang esensial.
Pertimbangan ini menunjukkan ketidaktepatan jenis penelitian, dalam kerangka kerja dan semangat positivistik yang memperlakukan 'kelompok-kelompok diskusi' atau 'pengajaran dengan isu-isu kontroversial' atau 'ukuran kelompok' atau 'referensi bukti tekstual dalam diskusi' sebagaimana data fisik untuk penelitian empiris dan pemapanan secara umun, dengan prinsip-prinsip terverifikasi. Praktek tersebut dapat dipahami hanya dalam menerangkan bagaimana guru dan peserta didik memahami apa yang mereka lakukan. Dalam kasus Proyek Kurikulum Humaniora, seperti persepsi-persepsi diinformasikan oleh seperagkat kesepakatan nilai-nilai dan prosedur yang dipelajari dan diinternalisasikan oleh guru dan siswa, meskipun pasti memiliki berbagai variasi. Tidak ada yang kurang, dari studi kasus praktek tertentu, gambaran mengenai kondisi yang tepat tentanf suatu  pelatihan, ataupun praktek-pratek pendidikan  yang sebagaimana dilakukan dapat disusun.

Referensi:

Pring, Richard. (2005) Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum
Winch, P. (1958) The Idea of a Social Science. London: Routledge & Kegan Paul.

Winch, P. (1972) 'Understanding a Primitive Society', in P. Winch (ed.) Ethics and Action. London: Routledge & Kegan Paul.

Tidak ada komentar: