
Di
sisi lain, masing-masing bahasa tubuh dan kata-kata yang diucapkan dapat
menjadi ambigu. Dan ambiguitas seringkali meninggalkan ruangan untuk
misinterpretasi. Selanjutnya, realitas sosial dapat terubah jika bentuk
misintepretasi mengenai bentuk-bentuk hubungan. Mungkin guru bukan orang yang
sarkastik, namun hal ini tergantung bagaimana kata-kata terebut diterima.
Karena dengan penerimahan atau penafsiran yang berbeda maka hubungan antara
guru dan siswa akan berubah. Dan mungkin hal ini akan menjadi elemen yang
signifikan dalam pemahaman mengenai apa yang terjadi di kelas.
Pring
(2005) selanjutnya juga telah menerangkan mengenai pemaknaan gerak tubuh atau
suatu pernyataan selalu tergantung pada aturan-aturan sosial, apakah sesuai dengan
bahasa ataupun tidak sebagaimana yang diwujudkan oleh gerak tubuh ataupun
pernyataan yang diintepretasikan. Perintah untuk diam memiliki makna hanya
karena adanya kesepakatan persetujuan yang diyakini hal tersebut akan dipahami
oleh para siswa. Untuk memahami beberapa kelompok apakah itu masyarakat yang
lebih luas atau apakah hal tersebut akan dikelompokkan secara sosial seperti
sekolah di dalam suatu masyarakat, perlu diungkapkan bagaimana aturan-aturan
sosialnya. Beberaoa di antaranya sangat jelas dan nyata bagi semua orang yang
hidup dalam masyarakat tersebut. Beberapa di antaranya sangat eksplisit dan
didukung oleh sanksi-sanksi yang legal. Bagi seseorang mungkin hal tersebut
nampak jelas sebagai bagian dari suatu budaya, seperti misalnya dalam kasus
antrian di halte bus. Tetapi bagi orang lain tidak begitu jelas. Hal tersebut
perlu untuk diungkap. Memang, hal itu mungkin begitu sopan bahkan mereka yang
terdaftar dalam praktek tersebut mungkin tidak mengakui aturan ini secara
eksplisit. Guru mungkin tidak mengakui aturan yang memberikan makna pada
gerakan tertentu, tindakan dan kata-kata dalam budaya siswa yang mereka
ajarkan. Hal ini dapat menyebabkan tidak hanya kesalahpahaman sangat jelas,
tetapi juga para guru tidak akan dapat menangkap dinamika ruang kelas di mana
mereka bertugas. Terdapat hal yang berbahaya, seperti dalam kasus yang
dipaparkan oleh Schutz, orang asing menafsirkan aturan sosial dan dengan
pemahaman tersebut akan menentukan dan mempertahankan realitas sosial dengan
cara tertentu, tanpa mengacu pada interpretasi yang diberikan oleh mereka yang
bermakna bagi yang terlibat dalam kegiatan yang berbeda. Orang asing itu hanya
tidak mengerti.
Terdapat
bagian yang paling penting dalam penelitian dan perlu diperiksa secara detail
dan dekat dengan situasi realitas sosial seperti "realitas
keseharian" di sekolah ataupun ruang kelas, (lihat, contoh,
karya Woods yang berjud Divided School, 1979, atau Ball, Beachside
Comprehensive, 1981, atau
Peshkin's Growing Up American, 1978) dari kelompok-kelompok yang
diambil dari pemaknaan "dengan arti apa adanya" dari budaya
dominan tidak diterapkan pada/oleh budaya minoritas (lihat contoh, Mac an
Ghaill's Young, Gifted and
Black: Student-Teacher Relations in the Schooling of Black Youth, 1988). Sebagaimana kajian-kajian
memperlihatkan mengenai apa yang terjadi dalam praktek dan aktivitas yang tidak
seperti bagaimana yang seharusnya. Seperti kajian-kajian dalam kontek
"pencerahan" di mana guru-guru dan yang lainnya mengerjakan, dan
membuat beberapa kebijakan dan praktek-praktek yang tidak tepat. Retorika
pendukung program kependidikan mungkin memperluas pikiran atau mengembangkan
sudut pandang kritis; realitas mungkin akan menjadi sesuatu yang berbeda.
Etnografi
mengacu pada jenis-jenis penelitian secara serius menempatkan perspektif dan
interaksi-interaksi antar anggota kelompok sosial yang akan dipelajari.
Hal ini didasari premis bahwa realitas sosial tanpa melalui aturan-aturan yang
merupakan struktur hubungan antara anggota kelompok dan yang membuat hal ini
memungkinkan untuk melakukan interpretasi tindakan, gestur ataupun kata-kata
mereka. Hal ini mempertegas tradisi-tradisi tertentu dalam ilmu sosial,
termasuk antropologi. Selalu dianjurkan untuk mengkaji dunia sosial sebagaimana
cara di atas, dan mengungkap penampakan tersebut dari dalam melalui partisipasi.
Hanya dengan cara ini mungkin seseorang akan menjadi mengerti mengenai realitas
tersebut. Namun hal ini mensyaratkan tidak adanya relativisme sebagaimana yang
kerapkali diasumsikan. Dunia sosial yang diteliti adalah sebagai sesuatu yang nyata
dan objektif dunia fisik. Realitas ada secara independen, bebas dari tidak
tergantung pada pemikiran ataupun asumsi peneliti. Namun demikian, terdapat
kesulitan tertentu yang perlu diatasi. Hal itu antara lain adalah sebagai
berikut.
Pertama,
bukankah peneliti pada partisipasi dalam dunia sosial atau “Budaya asing” telah
melihat dunia atau budaya tersebut dalam sudut pandang masyarakat tersebut,
bukan dalam sudut pandang peneliti? Dalam menterjemahkan apa yang telah
dipelajari dari sudutpandangnya sendiri untuk dikomunikasikan secara lebih
luas, para penelti tidak lagi berbicara mengenai realitas sosial tersebut
sebagaimana realitas sosial yang diartikan oleh para pelaku budaya. Bukankah hal
ini ganjil secara logis ketika orang luar berperan juga orang dalam pada waktu
yang sama? Sebagai contoh, peneliti yang sedang melakukan penelitian pada budaya pemuda kelas pekerja di suatu perumahan
terkenal, harus membiarkan para pemuda tersebut berbicara sendiri di 'latar
belakang alami' mereka. Memang, penelitian mungkin hanya berhenti di situ -
paparan tentang apa yang terjadi dan tidak lebih. Namun hal itu tidak akan
memuaskan bagi mereka yang ingin menjelaskan lebih lanjut alasan atau penyebab
untuk apa orang-orang muda lakukan dan katakan. Penjelasan lebih lanjut seperti
timbul dari kebutuhan untuk meningkatkan lingkungan dan keselamatan mereka yang
bukan merupakan budaya tersebut, atau dari kebutuhan untuk membantu fungsi
lingkungan sekolah lebih efektif terhadap latar belakang tersebut. Pernyataan
mengenai pemahaman sosial dan keyakinan yang memberikan informasi mengenai
hubungan dan perilaku pemuda, menjadi data untuk berikutnya disusun analisis
dan penjelasan. Dan hal tersebut bukan merupakan sudut pandang dari orang-orang
yang sedang diteliti.
Isu
tersebut sesuai dengan Winch dalam karya tulisnya yang berjudul The Idea of
a Social Science (1958) dan
yang terakhir dengan judul makalahnya 'Understanding
a Primitive Society' (1972). Winch menekankan permasalahan mengenai
bagaimana para peneliti dapat memahami suatu masyarakat yang sangat berbeda
dengan kebudayaan para peneliti tersebut –sangat berbeda dalam arti terdapat
sesuatu yang terlihat tidak ada satupun yang pahami sesuai dengan kehidupan
sosial mereka. Terdapat ketidakpahaman juga dalam bahasa. Tidak ada satupun
cara yang terang untuk menjelaskan tindakan-tindakan mereka. Dunia sosial yang
akan diteliti, ditegakkan dengan pemahaman yang sangat berbeda dan
aturan-aturan sosial tidak dapat diperoleh dengan pemahaman dari pemahaman
peneliti yang berada dalam masyarakat yang sangat berbeda.
Winch
berpendapat bahwa pada kasus yang ekstriom ini terdapat praktek-praktek umum
tertentu yang dapat ditemukan oleh peneliti mengenai beberapa aktivitas yang dapat
secara terang dijelaskan. Terdapat berbagai aktivitas yang berkaitan dengan
mendapatkan dan mencari makanan, mencari kehangatan di musim dingin, pengasuhan
anak dan orang lanjut usia, legitimasi jenis-jenis hubungan sosial antara satu
dengan yang lain, perlindungan keselamatan dan lain sebagainya. Hal tersebut
merupakan hal yang selalu ada apapun itu di antara kebudayaan dan masyarakat
yang berbeda, terdapat elemen yang memang diakui atau milik bersama dalam
berbagai pembedaan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Dengan demikian, hal
tersebut dapat menjadi kasus untuk
menjelaskan sub-kultur dalam suatu masyarakat itu sendiri. Untuk memahami makna
yang merupakan atribut bagi tindakan-tindakan, gestur, dan gaya bicara tertentu
berdasarkan pemilahan kelompok kebudayaan (sebagai contoh, etnis minoritas,
atau sekte keagamaan) membutuhkan pemahaman yang berasal dari sudut pandang
mereka. Tetapi mengingat fakta-fakta tertentu tentang manusia –bahwa mereka
memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis tertentu, tipe emosi
manusia seperti rasa takut, loyalitas, ambisi, dan lain- lain - kemudian hal-hal
apa saya yang membuat tindakan mereka dipahami oleh mereka melakukan
tindakan-tindakan yang sama dan berpotensi dimengerti orang luar. Setelah
memahami pentingnya ritual tertentu dalam masyarakat primitif tersebut, Winch
menyatakan bahwa, bagaimanapun berbeda yang
didapatkan, peneliti
berpengalaman, akan membuat mereka menjadi lebih mudah dimengerti sebagai suatu
kerangka penjelasan yang dapat diterapkan dalam masyarakat peneliti sendiri. Pring
menekankan 'dapat diterapkan, karena masyarakat peneliti, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Winch, mungkin dominasi kerangka penjelasan tersebut dengan sendirinya, tidak akan membuat
tindakan masyarakat lain dimengerti. Misalnya, asumsi bahwa suatu tindakan
adalah dimengerti hanya dalam arti penting - sebagai alat untuk mencapai tujuan
- dapat menyebabkan kesalahpahaman dari tindakan yang dijelaskan oleh peneliti. Namun dari
bentuk-bentuk penjelasan lain yang sesuai dengan peneliti –tindakan sebagai
ekspresi emosi, gestur sebagai tanda penghormatan, dan kisah-kisah sebagai
sebagai pembentukan nuansa mitologis- yang dapat diterapkan pada masyarakat
yang dikaji. Tidak ada alasan mengapa penjelasan yang ingin disajikan oleh peneliti,
meskipun pada akhirnya istilah yang digunakan oleh orang-orang yang diteliti,
tidak harus berhubungan dengan mereka, namun membuat aktivitas kelompok yang
diteliti dapat dipahami oleh mereka yang bukan anggota kelompok tersebut. Sebagaimana
Winch berpendapat,
Meskipun
siswa mencerminkan masyarakat, atau terdapat mode-mode tertentu dalam kehidupan
sosial tersebut, mungkin dirasa perlu untuk menggunakan konsep-konsep yang tidak
diambil dari bentuk kegiatan yang dipelajari, tetapi konsep yang diambil dari
konteks kajian itu sendiri, konsep teknisnya akan menyiratkan pemahaman
sebelumnya, yaitu konsep-konsep lain yang termasuk dalam aktivitas yang
diinvestigasi. (1958, p. 89)
Kedua,
jenis kesulitan yang tidak berhubungan. Ketika aturan-aturan sosial dari suatu
kelompok yang akan diteliti tidak dapat diungkap oleh orang luar (dan aktivitas
mereka dibuat terjelaskan) mengenai apa yang harus dipahami akan menjadi unik.
Realitas sosial dari investigasi tidak sama sebagaimana realitas-realitas soal
lainnya sejak masing-masing telah ditentukan oleh pemilahan dalam interaksi,
persepsi dan intepretasi dari anggota kelompok sosial tersebut. Masing-masing
kelompokakan dijelaskan dalam istilah-istilah dan sudut pandang masarakat
tersebut dengan makna yang telah dinegosiasikan. Apa yang dapat dikatakan salah
satu kelompok tidak dapat diberlakukan pada kelompok lainnya. Hal ini akan
terlihat seakan meninggalkan penelitian kependidikan dan nampak lebih seperti halnya
paroki, untuk masing-masing setting sosial, akan membutuhkan pemahaman kajian
etnografi. Seseorang tidak dapat melakukan transfer kesimpulan-kesimpulan dari
satu kajian untuk memahami setting sosial lainnya, karena masing-masing setting
sosial diartikan oleh berbagai persepsi dan interaksi dengan cara partisipasi
pada realitas sosial tertentu. Sebagaimana
penampakannya akan terlihat mendukung kritik dari mereka yang memiliki keluhan
dalam ranah yang tak terkumpul dalam penelitian kependidikan. Banyak
kajian-kajian unik, walaupun dalam membawakan secara pintar dan menarik,
terlihat tidak menambahkan apapun. Tidak ada generalisasi yang dapat ditentukan
dari hal tersebut, serta hal tersebut tidak dapat digunakan untuk membantu
penyusunan kebijakan atau berkaitan dengan praktek profesional dalam setting
sosial yang sejauh ini tidak memiliki keuntungan yang diperoleh dari hasil
studi etnografi.
Kritik
ini, berhenti pada ‘keunikan dari kesalahan'. 'Keunikan kekeliruan ' ini adalah
untuk mendebat kritik. Merupakan fakta bahwa setiap orang atau setiap kelompok
adalah unik, dalam beberapa hal terdapat klaim bahwa setiap orang dan setiap
kelompok adalah unik dalam segala hal. Misal Jadi saya unik karena hanya aku
menempati ruang khusus ini pada saat ini dan hanya saya memiliki sejarah hidup
saya. Tapi saya tidak unik karena seorang Inggris, atau bekerja di Universitas
Oxford , atau menikah dengan tiga anak perempuan . Kami semua unik dalam
beberapa hal dan tidak pada orang lain.
Objek-objek
kajian etnografi merupakan salah satu yang terasa berkarakteristik unik,
sehingga mengecilkan kemungkinan untuk terlalu terburu-buru membuat
generalisasi dari hasil kajian tersebut. Dalam beberapa cara penyajian yang lainnya hal
tersebut tidak unik; para anggota kelompok di bawah pengawasan sesama manusia
lain melalui proses interaksi emosi dan perasaan, aspirasi dan harapan,
kebutuhan dan keinginan tertentu yang khas, dan digunakan serta milik secara
bersama. Dalam menunjukan keunikan tersebut kita tidak boleh lupa apa yang khas
dari orang di situasi tertentu. Itulah sebabnya orang-orang yang mengakui
keunikan studi etnografi tidak melakukan atau kurang merasa 'mencerahkan'.
Mereka mengakui terdapat hal yang sama dengan situasi yang sama. Dan itu secara
pasti merupakan tujuan penelitian untuk mengidentifikasi kesamaan yang relevan.
Arti
penting yang kemudian menjadi mendesak adalah karena terdapat pergeseran ke
arah tinjauan sistematis penelitian yang sejalan model Cochrane pada bidang perawatan
kesehatan berbasis bukti. Model tersebut memiliki ciri, difokuskan pada skala
besar, sampel diambil secara acak, menggunakan tes terkontrol, serta dengan
intervensi yang sangat ketat, diamati – merupakan model penelitian yang kaku
dalam kerangka positivis. Dalam kerangka pemikiran positivis tersebut
menjadikan posisi keunikan studi etnografi akan menjadi perkecualian atau tidak
dibenarkan, sehebat apa pun wawasan dan 'iluminasi/pencerahan' yang mereka
bawa. Kegagalan untuk mengakui “kegagalpahaman mengenai keunikan tersebut” akan
memiskinkan penelitian berbasis bukti yang akan dilakukan untuk kepentingan
kebijakan dan praktis.
Kesulitan
ketiga yang kemudian dihadapi oleh peneliti etnografi adalah klaim peneliti pada
partisipasi dalam berbagai interaksi sosial suatu kelompok yang perlunya
mengubah situasi menjadi sesuatu yang lain. Aktivitas peneliti merubah apa yang
akan diteliti. Berbagai pertanyaan dan pernyataan dari peneliti akan mengubah berbagai
persepsi yang kemudian mengubah definisi mengenai situasi sosial oleh
anggota-anggota group tersebut.
Dampak
yang tidak dapat ditolak oleh peneliti adalah kesimpulan dari riset tidak dapat
menjadikan situasi tersebut sebagai sesuatu yang asli untuk dilakukan
investigasi. Tidak ada objektivitas dalam hasil penginderaan pada rekaman para
peneliti dalam kasus ini. Namun seseorang dapat saja membesar-besarkan
permasalahan. Setting sosial yang akan diinvestigasi, jika sangat mapan, berakar pada tradisi yang tidak mudah untuk
diubah oleh orang asing yang berada ditengah setting sosial tersebut.
Peran-peran sosial dan berbagai pemahaman akan terus semakin mendalam untuk
diinternalisasikan. Dampak dari peneliti dapat menjadi signifikan dalam
kelompok yang lebih kecil, dan setting sosial yang lebih singkat - seperti
kelas. Namun peneliti tidak perlu mengambil tindakan pencegahan yang tepat.
Salah satu hal yang dibutuhkan untuk mencerminkan sifat dari realitas sosial.
Meskipun dibentuk dan dikelola oleh interpretasi dan kesepakatan dari para
peserta, mengubah realitas yang lebih, seperti membangun kembali kapal di laut
daripada seperti sedikit menata furnitur. Seseorang dapat setuju untuk
melakukan yang terakhir dan menyelesaikan tugas dengan cepat. Salah satunya dari
mereka tidak mungkin untuk ditukar. Namun perancang perlu sangat berhati-hati,
dengan pendekatan sedikit demi pendekatan sedikit yang dapat membuat kapal dibentuk
sesuai dengan yang dari yang telah dikembangkan. Bicara tentang konstruksi
realitas bagi masing-masing orang, realitas sering muncul seolah-olah itu
adalah masalah bertukar furnitur. Seseorang memilih untuk membangun sesuatu cara
yang berbeda dengan yang lain. Dan hal ini cukup jelas membingungkan.
Praktek
merupakan ‘sekumpulan berbagaimacam aktivitas yang disatukan dengan beberapa
kehendak bersama, mewujud dalam nilai-nilai tertentu, dan membuat masing-masing
komponen tersebut menjadi jelas’. Suatu praktek kependidikan merupakan salah
satu aktivitas yang disatukan dalam tujuan belajar –dan untuk belajar dan untuk
belajar mengenai apa yang dipikirkan oleh pengajar dan sistem kependidikan akan
menjadi suatu nilai. Untuk memahami praktek kependidikan seseorang adalah
dengan memahami bagaimana aktor-aktor tersebut menafsirkan agenda secara lebih
luas. Seseorang dapat membayangkan dengan berbagai cara yang berbeda untuk
menafsirkan hubungan timbal-balik antara guru dan siswa.
Guru
yang menganut filosofi pendidikan berpusat pada siswa, akan mencoba untuk
menetapkan aturan interaksi secara serius, dalam menempatkan persepsi dan
kepentingan peserta didik. Para siswa, yang datang dengan agenda mereka
sendiri, akan memberikan kontribusi pemahaman mereka tentang hubungan yang
sedang dicoba untuk dibangun oleh guru. Dan kontribusi tersebut akan
dipengaruhi oleh pengalaman siswa sebelumnya yang diperoleh dari guru. Transaksi
tersebut, memang, akan terus berlangsung
lebih sering daripada tidak, dalam suatu perangkat sosial yang lebih luas tentang
pemahaman mengenai arti pendidikan dan cara hal itu harus dilakukan. Pemahaman praktik
pendidikan akan diperoleh dengan memahami pemahaman interaksi, keyakinan dan
nilai-nilai. Ada perbedaan yang jelas antara praktek di mana guru sedang bermaksud
mengejar nilai intrinsik dari subyek yang diajarkan, dan guru yang melihat
nilai dalam hal murni utilitarian. Tidak hanya nilai yang berbeda yang
terkandung dalam praktek, tetapi juga kriteria yang berbeda untuk memilih muatan
dan metode pengajaran. Sebagai contoh, sebuah diskusi yang mengangkat isu-isu kontroversial harus dipahami sebagai
suatu niat dan nilai-nilai yang terdapat di balik pemilihan pendekatan dan cara
menafsirkan. Proyek Kurikulum Humaniora diwujudkan dalam praktik pendidikan
yang khas, meskipun penelitian akan perlu dicermati bagaimana hal ini
ditafsirkan dalam suatu kasus yang berbeda itu. Dalam hal ini kita harus
perhatikan cara evaluasi proyek yang dimunculkan oleh tradisi penelitian studi
etnografi diterima sebagai hal yang esensial.
Pertimbangan
ini menunjukkan ketidaktepatan jenis penelitian, dalam kerangka kerja dan
semangat positivistik yang memperlakukan 'kelompok-kelompok diskusi' atau
'pengajaran dengan isu-isu kontroversial' atau 'ukuran kelompok' atau
'referensi bukti tekstual dalam diskusi' sebagaimana data fisik untuk penelitian
empiris dan pemapanan secara umun, dengan prinsip-prinsip terverifikasi. Praktek
tersebut dapat dipahami hanya dalam menerangkan bagaimana guru dan peserta
didik memahami apa yang mereka lakukan. Dalam kasus Proyek Kurikulum Humaniora,
seperti persepsi-persepsi diinformasikan oleh seperagkat kesepakatan
nilai-nilai dan prosedur yang dipelajari dan diinternalisasikan oleh guru dan
siswa, meskipun pasti memiliki berbagai variasi. Tidak ada yang kurang, dari
studi kasus praktek tertentu, gambaran mengenai kondisi yang tepat tentanf
suatu pelatihan, ataupun praktek-pratek
pendidikan yang sebagaimana dilakukan dapat
disusun.
Referensi:
Pring,
Richard. (2005) Philosophy of Educational
Research, Second Edition. London: Continuum
Winch,
P. (1958) The Idea of a Social Science. London: Routledge & Kegan Paul.
Winch, P.
(1972) 'Understanding a Primitive Society', in P. Winch (ed.) Ethics and
Action. London: Routledge & Kegan Paul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar