Kamis, 23 Juni 2016

FILOSOFI PENELITIAN KEPENDIDIKAN (33): Jeratan Posmodernisme

Tantangan bagi jenis penelitian kritis muncul dari  'jeratan post-modern'. Seseorang yang tergolong paling dekat untuk diasosiasikan dengan pemikiran ini ialah Jean-Francois Lyotard, dengan bukunya, The Postmodern Condition: a Report on Knowledge (1984), memiliki pengaruh besar. Secara singkat, buku ini mencerminkan perubahan besar dan dampak bahwa perubahan tersebut telah dan akan terus memiliki segala hal yang dianggap sebagai pengetahuan dan bagaimana memperlakukannya. Implikasi pada bidang pendidikan – yang mempertanyakan kembali apa dimaksud praktek pendidikan dan bagaimana praktek-praktek tersebut harus dipahami dan diorganisasikan-. Pada satu tingkat, buku tersebut dapat digunakan sebagai acuan kepada rincian konsensus dalam masyarakat plural dan multikultural hari ini, beserta implikasinya. Namun  pada tingkat yang lebih mendalam, hal ini akan membwa kita pada pertanyaan lebih lanjut mengenai makna pengetahuan dan kebenaran, serta makna yang dilampirkan sebagai pelengkap untuk menyusun cara verifikasi supaya dapat diklaim sebagai realitas. Hal ini sangat masuk akal untuk memahami apa yang dimaksud dengan postmodernisme, merenungkan apa yang sedang dibandingkan secara kontras, yaitu, 'modernisme'. 'Modernisme' lebih mengacu pada tradisi budaya dalam sejarah yang panjang dan dominan. Modernisme  memiliki karakteristik sebagai berikut:

Pertama, seperti yang tercermin dalam tradisi positivis, terdapat penjelasan ideal yang lengkap dan ilmiah tentang realitas fisik dan sosial. Meskipun ini mungkin tidak seperti itu dalam praktek, tetap ideal secara jelas.
Kedua, Perkembangan pengetahuan terjadi secara progresif dalam meraih idealisme ini, hal ini dapat dibagi menjadi beberapa disiplin intelektual berdasarkan konsep khusus, prosedur verifikasi dan mode-mode pencarian. Melalui kajian dan penelitian yang beragam dan disiplin tersebut, kerangka pengetahuan tersebut dibangun dari posisi yang tak terbantahkan.
Ketiga, kerangka-kerangka pengetahuan menyediakan basis pengetahuan yang aman untuk tindakan dan perbaikan sosial.
Keempat, terdapat 'narasi besar/ grand naration' yang selama ini kita ikuti untuk jadi panduan baku selama ini, yaitu, 'pencerahan', untuk bertindak dalam terang bukti sistematis diteliti, dan memberikan solusi untuk berbagai masalah yang kita dihadapi selama ini.
Kelima, sistem pendidikan sangat penting untuk inisiasi orang-orang muda ke dalam kerangka pengetahuan dan bentuk rasionalitas yang berbeda. Hal ini dicapai oleh guru melalui proses pendidikan dan pelatihan, sehingga telah menjadi 'penguasa' dalam bentuk-bentuk pengetahuan yang berbeda.

Tipe Premis-premis Posmodern menggambarkan berbagai pertanyaan dalam dunianya. Dengan demikian, pertanyaan dan permasalahan yang selalu diajukan adalah adakah dominasi dalam masyarakat yang beragam budaya oleh salah satu pandangan kelompok tentang dunia. Terdapat perspektif yang berbeda dan yang dianggap sebagai layak didefinisikan secara berbeda dalam masing perspektif. Hal yang dimaksud dengan perspektif yang berbeda berbagai sudut pandang yang berbeda adalah hal seperti- feminis, minoritas etnis, agama, dan sebagainya - yang sebelumnya diabaikan, dan seolah-olah mereka tidak penting di sebagai topik pembahasan kita di dunia ini. Sebagaimana seperti Kuhn berpendapat dalam The Structure of Scientific Revolutions (1970) yang menyatakan bahwa
rasionalitas ilmiah didefinisikan dalam paradigma tertentu dan oleh karena itu, pergeseran dari satu paradigma ke yang lain tidak dapat dengan sendirinya menjadi masalah rasionalitas ilmiah. Demikian juga dengan rasionalitas yang lebih umum dalam dunia postmodern. Perselisihan rival tentang apa yang dianggap sebagai pandangan rasional dunia tidak dapat diselesaikan oleh kesepakatan alasan. Tidak ada 'meta-narasi' rasionalitas yang dapat sepakati dan akan membawa kesatuan tertentu pada keanekaragaman ini keragaman ini.
Konsekuensi adanya ketidak jelasan batas-batas antara disiplin ilmu atau subjek-subjek yang sepertinya bersifat mandiri dari subjek tertentu yang dipertanyakan - baik secara logika ataupun pengorganisasiannya. Terdapat pertanyaan apakah perspektif tradisional telah termasuk dalam kategori perpektif tersebut. Subjek baru bersaing dengan disiplin ilmu lama untuk mengambil tempat pada kurikulum - misalnya studi perempuan, studi tentang masyarakat kulit hitam, studi tentang media, budaya populer, dan masih banyak lagi. Tidak terdapat narasi besar yang melegitimasi seperangkat aturan atau nilai-nilai untuk mengatur hal tersebut, sebagai cara untuk mengorganisasikan sistem pengetahuan. Oleh karena itu, kita perlu berdamai dengan pluralisme, tidak hanya dalam mengakui bahwa ada keragaman budaya, tetapi juga dalam mengenali mode keanekaragaman rasionalitas dan perspektif. Bukankah konstruksi sosial sangat beralasan?
Selain itu, jika alasan itu sendiri merupakan suatu konstruksi sosial (dan terdapat banyak konstruksi itu) maka terdapat juga konsekuensi tertentu untuk diikuti. Pertama, apa yang dianggap sebagai sesuatu yang rasional tergantung pada kesepakatan antara orang-orang, dan kesepakatan tersebut dicapai melalui 'negosiasi'.  Namun, sebagaimana yang kita semua tahu, negosiasi dapat condong sesuai dengan yang paling berkuasa. Bentuk pengetahuan - statemen diterima di dalamnya, merupakan mode verifikasi yang merupakan benar, dan mode validitas- dilegitimasikan lebih sering oleh mereka yang berada di posisi untuk mendefinisikan segala hal yang dianggap sebagai pengetahuan. Mereka adalah yang berada dalam pikiran para profesor universitas, para editor jurnal yang memutuskan penerbitan, penerbit dan pengulas buku. Pengetahuan dan rasionalitas dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki posisi dalam kekuasaan. Misalnya, mereka adalah laki-laki, maka perspektif feminis akan diabaikan. Postmodernisme, ditandai oleh budaya dan intelektual pemberontakan terhadap kontrol kekuasaan, dan pernyataan ini merupakan modus yang berbeda dari suatu ekspresi budaya. Dan, tentu saja, perkembangan evolusi teknologi komunikasi memungkinkan hal ini terjadi. Membebaskan orang dari praktek pengekangan yang merupakan tututanl rasionalitas. Perdebatan dalam dunia kependidikan –penelitian, mahasiswa dan argumen – merupakan wahana yang beragam, dibanding merupakan legitimasi. Dan siapa, memiliki hak untuk menyensor itu, pada pandangan ini? Konsekuensi kedua adalah pemutusan hubungan antara pengetahuan dan kepastian. Hal ini merupakan bagian dari pembangunan 'proyek pencerahan' sedikit demi sedikit, dari fondasi tertentu secara mendasar, dan dengan melakukan verifikasi secara menyeluruh dari setiap kesimpulan sementara tubuh pengetahuan yang kita yakini secara penuh. Namun pengakuan, sifat pertama, keragaman perspektif, kedua, dari teori-sarat atau perspektif-dipengaruhi pengamatan dasar, dan, ketiga,  mode persaingan prosedur rasional dari suatu tempat menuju ke kesimpulan, merusak rasa ini kepastian. Kita hidup dengan harapan, bukan dengan iman, dan dengan sangat sedikit amal.
Foundasionalisme 'tampaknya pusat untuk' proyek pencerahan ', karena jika ketidakpastian beranjak dari suatu tempat pencarian pengetahuan,  maka seluruh struktur akan tidak sehat. Oleh karena itu, Descartes, di Discourse on the Method of Rightly Directing One's  Reason and of Seeking Truth in Science (1637), mencoba melalui keragu-raguan keyakinan secara sistematis, untuk sampai pada sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi. Seperti "menemukan sendiri penjelasan" proposisi mengenai kebenaran yang akan memberikan landasan tertentu yang digunakan untuk membangun tubuh pengetahuan. Tetapi dengan kegagalan suatu proyek tersebut seperti kita dibiarkan sebagaimana apa yang oleh Wittgenstein disebut sebagai berbagai permainan bahasa, masing-masing dengan aturan wacana sendiri. Terdapat permainan bahasa tidak lebih tinggi untuk penanaman tatanan dalam berbagai variasi.

Konsekuensi-konsekuensi untuk dunia kependidikan dari kritik-kritik posmodern memiliki jangkauan yang cukup jauh. Pertama, terdapat pertanyaan mengenai organisasi yang berbasis otoritas dan mengantar "pengetahuan" sebagai pemikiran yang ditetapkan sebagai "pemberian" yang dilegitimasi oleh prosedur-prosedur rasional yang telah disepakati. Asumsi ini disanksikan, karena otoritas kependidikan telah mapan dan hal ini menunjukkan bahwa kependidikan telah dilemahkan. Otoritas yang ditunjukkan adalah cara transaksi antara guru dengan murid; "percakapan" dan "negosiasi" lebih pada metafora daripada "inisiasi" dan "instruksi". Kedua, pengaturan pengajaran dalam subjek-subjek tradisional dipertanyakan. Apakah tidak pada area-area ketertarikan intelektual dan budaya di luar atau melintas batas-batas subjek- media, lingkungan, kebudayaan, feminis, atau kajian-kajian Eropa? Dan terdapat pertumbuhan suatu ketidakterhubungan antara penataan subjek dari pendidikan tinggi dan sekolah tersebut, setinggi meningkatnya penerimaan tantangan kepada cara-cara hegemoni tradisional dalam mengorganisasikan pengetahuan. Ke tiga, lokasi dari pengetahuan (perlengkapan dan transmisi) dalam sekolah dasar, menengah dan universitas, dipersembahkan untuk kepentingan-kepentingan penguasa, nampak berbagai pertanyaan yang kemudian berkembang. Keterbukaan teknologi komunikasi dan informasi menjadi jalan untuk mengikat keterlibatan hubungan dengan orang lain dalam kepentingan akan pengetahuan. Para pemangku kepentingan lain (pelaku bisnis, jasa pelayanan umum, penyelenggaraan jasa kependidikan tanpa akreditasi) yang menyediakan tempat untuk belajar dan penelitian. Terdapat pelemahan secara bertingkat yang merupakan ciptaan institusional dan distribusi pengetahuan sebagaimana yang telah kita ketahui mengenai hal ini. Ke empat,  terdapat pelawanan kepada satu "grand narrative" yang ingin mengganti "pencerahan" tersebut.  Hal ini sebagaimana yang diacu oleh Lyotard sebagai "performativitas". Lyotard berpendapat bahwa letak dari satu "grand narrative" tersebut, merupakan semacam perlawanan yang dilakukan oleh semangat posmoderenisme, atau secara sederhana dapat dikatakan akan digantikan oleh yang lainnya. Mungkin kita telah kehilangan keyakinan dalam mimpi pencerahan- suatu pertumbuhan pengetahuan, yang merupakan nilai dari pengetahuan itu sendiri. Namun kita telah mengubahnya dengan jenis pengetahuan tersebut- yang melayani pertumbuhan kemakmuran dan ekonomi. Namun penetrasi yang terjadi dalam bahasa istilah kependidikan digantikan oleh istilah baru yaitu "performativitas".  Hal ini mencoba untuk menjadi "grand narrative", dengan melakukan penetrasi bentuk-bentuk wacana yang berbeda. Nilai-nilai yang dominan yang melegitimasi bahwa apa yang diajarkan lebih mementingkan efektivitas dalam mencapai tujuan kegunaan akhir, bukan pada pada "tujuan nilai-nilai kebajikan" dari kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Hal ini mendorong bentuk-bentuk lain dari wacana pendidikan menjadi tidak lagi signifikan.
Pring memiliki simpati terhadap analisi posmodern ini.  Keanekaragaman kebudayaan sebagai pengalaman kita saat yang kita jadikan sebagai pertanyaan mengenai berbagai kepastian yang sebelumnya hanya kita gunakan begitu saja tanpa pernah kita pertanyakan. Berangkat dari titik ini kemudian mengantarkan kita pada silsilah dan tatanan pengorganisasian pengetahuan yang merupakan bagian dari bidang-bidang dalam berbagai faktor dan latihan kontrol sosial dimana hal ini memiliki posisi yang kuat. Hal ini memunculkan pertanyaan pertanyan kritis mengenai mode pembelajaran (transmisi pengetahuan) yang didorong oleh kepastian-kepastian dari modernisme. Pada poin ini ketidak hadiran berbagai sudut pandang tanpa kekuasaan yang didasari pengajaran. Namun beberapa kesimpulan filosofis menegaskan dari analisis kebudayaan ini terlihat akan dianggap kurang tepat.
Hal ini cukup banyak diilustrasikan dalam buku yang ditulis oleh Stronach and MacLure yang berjudul Educational Research Undone: the post-modern embrace (1997). Tema umum dari buku ini kebanyakan merupakan penelitian kependidik yang telah dimulai dan sedang berlangsung, serta masih meninggalkan kekeliruan karena ketidakjelasan yang diakibatkan oleh wawasan-wawasan posmodernisme dan ketahanan pada pelukannya. Seperti wawasan mendasar secara filososif mempertanyakan asumsi-asumsi tentang bidang dan pengorganisasian pengetahuan, objektivitas mengenai perbedaan ranah wacana, dasar pengetahuan kita, serta klaim dan verifikasi dari semua itu. Dampanya Stronach and MacLure mengaitkan  pada hal yang mungkin diacunya pada "metafisik deskriptif" - yang diartikan sebagai konsep-konsep sentral yang dipahami melalui kapasitas kita untuk memikirkan segala pengalaman. Konsep-konsep yang (dibawah pengaruh modernisme) yang sebelumnya dipikir sangat diperlukan, sebagai alasan dan kebenaran, menjadi tidak dipelukan lagi. Terdapat pengabaian perbedaan antara kondisi kebenaran dan verifikasi, antara pengetahuan dan kepastian, antara interpretasi realitas dan realitas itu sendiri, antara teks dan pemahaman teks, antara alasan dan bukti.
Namun sebagaimana kekaburan tersebut seakan pemilahan ini tidak disyaratkan oleh wawasan postmodern. Pencarian kebenaran yang masuk akal tanpa jaminan sebagaimana pernah telah tercapainya hal tersebut. Kepercayaan pada rasionalitas sesuai dengan sifat sementara dan dapat juga kesimpulan seseorang menjadi salah. Penerimaan bahwa realitas tidak ditentukan oleh peneliti, tidak bertentangan dengan kemungkinan banyaknya interpretasi dari kenyataan tersebut. Sebagaimana Carr (1997) menunjukkan dalam kuliah perdana 'Professing Education in Postmodern Age', sebagai tradisi sentral dalam filsafat yang telah dan selalu mempertanyakan argumen yang diterima dan untuk mencari kebenaran sementara, dan sebagaimana diketahui bahwa kesimpulan akan selalu tetap sementara, untuk menghormati teks-teks yang merangkum posisi mereka yang berpendapat tanpa menganggap mereka tidak memerlukan kritik atau perbaikan, selain itu untuk menghormati pemberian alasan sementara, dan mengakui bahwa kanon penalaran yang baik dapat berkembang meskipun banyak kritik atau variasi sesuai dengan jenis wacana. Hidup dengan ketidakpastian bukanlah cabang dari postmodernisme. Ini adalah inti dari tradisi filsafat keabadian.

Referensi:

Carr, W. (1997)
 'Professing Education in a Postmodern Age'. Journal of Philosophy of Education, 31 (2).

Kuhn, T. (1970)
The Structure of Scientific Revolutions. 2nd edn. Chicago: Chicago University Press.

Lyotard, J.-F. (1984)
The Post-modern Condition: a Report on Knowledge.Minneapolis: University of Minneapolis
Press.

Pring, Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum

Stronach, L and MacLure, P. (1997)

Educational Research Undone: the postmodernembrace. Buckingham: Open University                       Press.

Tidak ada komentar: