Tantangan bagi jenis penelitian kritis muncul dari 'jeratan post-modern'. Seseorang yang tergolong
paling dekat untuk diasosiasikan dengan pemikiran ini ialah Jean-Francois
Lyotard, dengan bukunya, The Postmodern Condition: a Report on
Knowledge (1984), memiliki pengaruh besar. Secara singkat, buku ini mencerminkan
perubahan besar dan dampak bahwa perubahan tersebut telah dan akan terus
memiliki segala hal yang dianggap sebagai pengetahuan dan bagaimana memperlakukannya.
Implikasi pada bidang pendidikan – yang mempertanyakan kembali apa dimaksud
praktek pendidikan dan bagaimana praktek-praktek tersebut harus dipahami dan diorganisasikan-.
Pada satu tingkat, buku tersebut dapat digunakan sebagai acuan kepada rincian
konsensus dalam masyarakat plural dan multikultural hari ini, beserta
implikasinya. Namun pada tingkat yang
lebih mendalam, hal ini akan membwa kita pada pertanyaan lebih lanjut mengenai
makna pengetahuan dan kebenaran, serta makna yang dilampirkan sebagai pelengkap
untuk menyusun cara verifikasi supaya dapat diklaim sebagai realitas. Hal ini
sangat masuk akal untuk memahami apa yang dimaksud dengan postmodernisme,
merenungkan apa yang sedang dibandingkan secara kontras, yaitu, 'modernisme'.
'Modernisme' lebih mengacu pada tradisi budaya dalam sejarah yang panjang dan
dominan. Modernisme memiliki
karakteristik sebagai berikut:
Pertama,
seperti yang tercermin dalam tradisi positivis, terdapat penjelasan ideal yang
lengkap dan ilmiah tentang realitas fisik dan sosial. Meskipun ini mungkin
tidak seperti itu dalam praktek, tetap ideal secara jelas.
Kedua,
Perkembangan pengetahuan terjadi secara progresif dalam meraih idealisme ini, hal
ini dapat dibagi menjadi beberapa disiplin intelektual berdasarkan konsep
khusus, prosedur verifikasi dan mode-mode pencarian. Melalui kajian dan
penelitian yang beragam dan disiplin tersebut, kerangka pengetahuan tersebut dibangun
dari posisi yang tak terbantahkan.
Ketiga,
kerangka-kerangka pengetahuan menyediakan basis pengetahuan yang aman untuk tindakan
dan perbaikan sosial.
Keempat,
terdapat 'narasi besar/ grand naration'
yang selama ini kita ikuti untuk jadi panduan baku selama ini, yaitu,
'pencerahan', untuk bertindak dalam terang bukti sistematis diteliti, dan
memberikan solusi untuk berbagai masalah yang kita dihadapi selama ini.
Kelima,
sistem pendidikan sangat penting untuk inisiasi orang-orang muda ke dalam kerangka
pengetahuan dan bentuk rasionalitas yang berbeda. Hal ini dicapai oleh guru
melalui proses pendidikan dan pelatihan, sehingga telah menjadi 'penguasa'
dalam bentuk-bentuk pengetahuan yang berbeda.
Tipe
Premis-premis Posmodern menggambarkan berbagai pertanyaan dalam dunianya.
Dengan demikian, pertanyaan dan permasalahan yang selalu diajukan adalah adakah
dominasi dalam masyarakat yang beragam budaya oleh salah satu pandangan
kelompok tentang dunia. Terdapat perspektif yang berbeda dan yang dianggap
sebagai layak didefinisikan secara berbeda dalam masing perspektif. Hal yang
dimaksud dengan perspektif yang berbeda berbagai sudut pandang yang berbeda adalah
hal seperti- feminis, minoritas etnis, agama, dan sebagainya - yang sebelumnya
diabaikan, dan seolah-olah mereka tidak penting di sebagai topik pembahasan
kita di dunia ini. Sebagaimana seperti Kuhn berpendapat dalam The Structure of Scientific Revolutions
(1970) yang menyatakan bahwa
rasionalitas ilmiah didefinisikan dalam paradigma
tertentu dan oleh karena itu, pergeseran dari satu paradigma ke yang lain tidak
dapat dengan sendirinya menjadi masalah rasionalitas ilmiah. Demikian juga
dengan rasionalitas yang lebih umum dalam dunia postmodern. Perselisihan rival
tentang apa yang dianggap sebagai pandangan rasional dunia tidak dapat
diselesaikan oleh kesepakatan alasan. Tidak ada 'meta-narasi' rasionalitas yang
dapat sepakati dan akan membawa kesatuan tertentu pada keanekaragaman ini
keragaman ini.
Konsekuensi
adanya ketidak jelasan batas-batas antara disiplin ilmu atau subjek-subjek yang
sepertinya bersifat mandiri dari subjek tertentu yang dipertanyakan - baik
secara logika ataupun pengorganisasiannya. Terdapat pertanyaan apakah
perspektif tradisional telah termasuk dalam kategori perpektif tersebut. Subjek
baru bersaing dengan disiplin ilmu lama untuk mengambil tempat pada kurikulum -
misalnya studi perempuan, studi tentang masyarakat kulit hitam, studi tentang media,
budaya populer, dan masih banyak lagi. Tidak terdapat narasi besar yang
melegitimasi seperangkat aturan atau nilai-nilai untuk mengatur hal tersebut,
sebagai cara untuk mengorganisasikan sistem pengetahuan. Oleh karena itu, kita
perlu berdamai dengan pluralisme, tidak hanya dalam mengakui bahwa ada
keragaman budaya, tetapi juga dalam mengenali mode keanekaragaman rasionalitas
dan perspektif. Bukankah konstruksi sosial sangat beralasan?
Selain
itu, jika alasan itu sendiri merupakan suatu konstruksi sosial (dan terdapat
banyak konstruksi itu) maka terdapat juga konsekuensi tertentu untuk diikuti. Pertama, apa yang dianggap sebagai sesuatu
yang rasional tergantung pada kesepakatan antara orang-orang, dan kesepakatan tersebut
dicapai melalui 'negosiasi'. Namun, sebagaimana
yang kita semua tahu, negosiasi dapat condong sesuai dengan yang paling
berkuasa. Bentuk pengetahuan - statemen diterima di dalamnya, merupakan mode
verifikasi yang merupakan benar, dan mode validitas- dilegitimasikan lebih
sering oleh mereka yang berada di posisi untuk mendefinisikan segala hal yang
dianggap sebagai pengetahuan. Mereka adalah yang berada dalam pikiran para
profesor universitas, para editor jurnal yang memutuskan penerbitan, penerbit
dan pengulas buku. Pengetahuan dan rasionalitas dikendalikan oleh orang-orang
yang memiliki posisi dalam kekuasaan. Misalnya, mereka adalah laki-laki, maka
perspektif feminis akan diabaikan. Postmodernisme, ditandai oleh budaya dan
intelektual pemberontakan terhadap kontrol kekuasaan, dan pernyataan ini
merupakan modus yang berbeda dari suatu ekspresi budaya. Dan, tentu saja,
perkembangan evolusi teknologi komunikasi memungkinkan hal ini terjadi.
Membebaskan orang dari praktek pengekangan yang merupakan tututanl
rasionalitas. Perdebatan dalam dunia kependidikan –penelitian, mahasiswa dan
argumen – merupakan wahana yang beragam, dibanding merupakan legitimasi. Dan siapa,
memiliki hak untuk menyensor itu, pada pandangan ini? Konsekuensi kedua adalah
pemutusan hubungan antara pengetahuan dan kepastian. Hal ini merupakan bagian
dari pembangunan 'proyek pencerahan' sedikit demi sedikit, dari fondasi tertentu
secara mendasar, dan dengan melakukan verifikasi secara menyeluruh dari setiap kesimpulan
sementara tubuh pengetahuan yang kita yakini secara penuh. Namun pengakuan,
sifat pertama, keragaman perspektif, kedua, dari teori-sarat atau
perspektif-dipengaruhi pengamatan dasar, dan, ketiga, mode persaingan prosedur rasional dari suatu tempat
menuju ke kesimpulan, merusak rasa ini kepastian. Kita hidup dengan harapan,
bukan dengan iman, dan dengan sangat sedikit amal.
Foundasionalisme
'tampaknya pusat untuk' proyek pencerahan ', karena jika ketidakpastian beranjak
dari suatu tempat pencarian pengetahuan, maka seluruh struktur akan tidak sehat. Oleh
karena itu, Descartes, di Discourse on the
Method of Rightly Directing One's Reason
and of Seeking Truth in Science (1637), mencoba melalui keragu-raguan keyakinan
secara sistematis, untuk sampai pada sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi.
Seperti "menemukan sendiri penjelasan" proposisi mengenai kebenaran
yang akan memberikan landasan tertentu yang digunakan untuk membangun tubuh
pengetahuan. Tetapi dengan kegagalan suatu proyek tersebut seperti kita
dibiarkan sebagaimana apa yang oleh Wittgenstein disebut sebagai berbagai
permainan bahasa, masing-masing dengan aturan wacana sendiri. Terdapat
permainan bahasa tidak lebih tinggi untuk penanaman tatanan dalam berbagai
variasi.
Konsekuensi-konsekuensi
untuk dunia kependidikan dari kritik-kritik posmodern memiliki jangkauan yang
cukup jauh. Pertama, terdapat pertanyaan mengenai organisasi yang berbasis
otoritas dan mengantar "pengetahuan" sebagai pemikiran yang
ditetapkan sebagai "pemberian" yang dilegitimasi oleh
prosedur-prosedur rasional yang telah disepakati. Asumsi ini disanksikan,
karena otoritas kependidikan telah mapan dan hal ini menunjukkan bahwa
kependidikan telah dilemahkan. Otoritas yang ditunjukkan adalah cara transaksi
antara guru dengan murid; "percakapan" dan "negosiasi"
lebih pada metafora daripada "inisiasi" dan "instruksi".
Kedua, pengaturan pengajaran dalam subjek-subjek tradisional dipertanyakan.
Apakah tidak pada area-area ketertarikan intelektual dan budaya di luar atau
melintas batas-batas subjek- media, lingkungan, kebudayaan, feminis, atau
kajian-kajian Eropa? Dan terdapat pertumbuhan suatu ketidakterhubungan antara
penataan subjek dari pendidikan tinggi dan sekolah tersebut, setinggi
meningkatnya penerimaan tantangan kepada cara-cara hegemoni tradisional dalam
mengorganisasikan pengetahuan. Ke tiga, lokasi dari pengetahuan (perlengkapan
dan transmisi) dalam sekolah dasar, menengah dan universitas, dipersembahkan
untuk kepentingan-kepentingan penguasa, nampak berbagai pertanyaan yang
kemudian berkembang. Keterbukaan teknologi komunikasi dan informasi menjadi
jalan untuk mengikat keterlibatan hubungan dengan orang lain dalam kepentingan
akan pengetahuan. Para pemangku kepentingan lain (pelaku bisnis, jasa pelayanan
umum, penyelenggaraan jasa kependidikan tanpa akreditasi) yang menyediakan
tempat untuk belajar dan penelitian. Terdapat pelemahan secara bertingkat yang
merupakan ciptaan institusional dan distribusi pengetahuan sebagaimana yang
telah kita ketahui mengenai hal ini. Ke empat,
terdapat pelawanan kepada satu "grand narrative" yang ingin
mengganti "pencerahan" tersebut.
Hal ini sebagaimana yang diacu oleh Lyotard sebagai
"performativitas". Lyotard berpendapat bahwa letak dari satu
"grand narrative" tersebut, merupakan semacam perlawanan yang
dilakukan oleh semangat posmoderenisme, atau secara sederhana dapat dikatakan
akan digantikan oleh yang lainnya. Mungkin kita telah kehilangan keyakinan
dalam mimpi pencerahan- suatu pertumbuhan pengetahuan, yang merupakan nilai
dari pengetahuan itu sendiri. Namun kita telah mengubahnya dengan jenis
pengetahuan tersebut- yang melayani pertumbuhan kemakmuran dan ekonomi. Namun
penetrasi yang terjadi dalam bahasa istilah kependidikan digantikan oleh
istilah baru yaitu "performativitas".
Hal ini mencoba untuk menjadi "grand narrative", dengan
melakukan penetrasi bentuk-bentuk wacana yang berbeda. Nilai-nilai yang dominan
yang melegitimasi bahwa apa yang diajarkan lebih mementingkan efektivitas dalam
mencapai tujuan kegunaan akhir, bukan pada pada "tujuan nilai-nilai kebajikan"
dari kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Hal ini mendorong bentuk-bentuk lain
dari wacana pendidikan menjadi tidak lagi signifikan.
Pring
memiliki simpati terhadap analisi posmodern ini. Keanekaragaman kebudayaan sebagai pengalaman
kita saat yang kita jadikan sebagai pertanyaan mengenai berbagai kepastian yang
sebelumnya hanya kita gunakan begitu saja tanpa pernah kita pertanyakan. Berangkat
dari titik ini kemudian mengantarkan kita pada silsilah dan tatanan
pengorganisasian pengetahuan yang merupakan bagian dari bidang-bidang dalam
berbagai faktor dan latihan kontrol sosial dimana hal ini memiliki posisi yang
kuat. Hal ini memunculkan pertanyaan pertanyan kritis mengenai mode
pembelajaran (transmisi pengetahuan) yang didorong oleh kepastian-kepastian
dari modernisme. Pada poin ini ketidak hadiran berbagai sudut pandang tanpa
kekuasaan yang didasari pengajaran. Namun beberapa kesimpulan filosofis
menegaskan dari analisis kebudayaan ini terlihat akan dianggap kurang tepat.
Hal
ini cukup banyak diilustrasikan dalam buku yang ditulis oleh Stronach and MacLure
yang berjudul Educational Research Undone: the post-modern
embrace (1997). Tema umum dari buku ini kebanyakan merupakan penelitian
kependidik yang telah dimulai dan sedang berlangsung, serta masih meninggalkan
kekeliruan karena ketidakjelasan yang diakibatkan oleh wawasan-wawasan
posmodernisme dan ketahanan pada pelukannya. Seperti wawasan mendasar secara
filososif mempertanyakan asumsi-asumsi tentang bidang dan pengorganisasian
pengetahuan, objektivitas mengenai perbedaan ranah wacana, dasar pengetahuan
kita, serta klaim dan verifikasi dari semua itu. Dampanya Stronach and MacLure mengaitkan pada hal yang mungkin diacunya pada
"metafisik deskriptif" - yang diartikan sebagai konsep-konsep sentral
yang dipahami melalui kapasitas kita untuk memikirkan segala pengalaman.
Konsep-konsep yang (dibawah pengaruh modernisme) yang sebelumnya dipikir sangat
diperlukan, sebagai alasan dan kebenaran, menjadi tidak dipelukan lagi. Terdapat
pengabaian perbedaan antara kondisi kebenaran dan verifikasi, antara
pengetahuan dan kepastian, antara interpretasi realitas dan realitas itu
sendiri, antara teks dan pemahaman teks, antara alasan dan bukti.
Namun
sebagaimana kekaburan tersebut seakan pemilahan ini tidak disyaratkan oleh
wawasan postmodern. Pencarian kebenaran yang masuk akal tanpa jaminan
sebagaimana pernah telah tercapainya hal tersebut. Kepercayaan pada
rasionalitas sesuai dengan sifat sementara dan dapat juga kesimpulan seseorang
menjadi salah. Penerimaan bahwa realitas tidak ditentukan oleh peneliti, tidak
bertentangan dengan kemungkinan banyaknya interpretasi dari kenyataan tersebut.
Sebagaimana Carr (1997) menunjukkan dalam kuliah perdana 'Professing Education in Postmodern Age', sebagai tradisi sentral
dalam filsafat yang telah dan selalu mempertanyakan argumen yang diterima dan
untuk mencari kebenaran sementara, dan sebagaimana diketahui bahwa kesimpulan
akan selalu tetap sementara, untuk menghormati teks-teks yang merangkum posisi
mereka yang berpendapat tanpa menganggap mereka tidak memerlukan kritik atau
perbaikan, selain itu untuk menghormati pemberian alasan sementara, dan
mengakui bahwa kanon penalaran yang baik dapat berkembang meskipun banyak
kritik atau variasi sesuai dengan jenis wacana. Hidup dengan ketidakpastian
bukanlah cabang dari postmodernisme. Ini adalah inti dari tradisi filsafat keabadian.
Referensi:
Carr,
W. (1997)
'Professing Education in a
Postmodern Age'. Journal of Philosophy of Education, 31 (2).
Kuhn,
T. (1970)
The Structure of Scientific Revolutions. 2nd
edn. Chicago: Chicago University Press.
Lyotard,
J.-F. (1984)
The Post-modern Condition: a Report on
Knowledge.Minneapolis: University of Minneapolis
Press.
Pring,
Richard. (2005)
Philosophy
of Educational Research, Second Edition. London: Continuum
Stronach,
L and MacLure, P. (1997)
Educational Research Undone: the postmodernembrace.
Buckingham: Open University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar