Kamis, 20 Oktober 2016

Penantian sebagai Suatu Pekerjaan: Menanti Cinta (4)

Yanbian bagaikan “penginapan wisata, sebagai kota dengan suasana dirundung berbagai wujud dan masa-masa penantian (Clifford 1997, 2), dengan semua orang selalu di ambang gerak. Dalam kisah penantian yang dikumpulkan oleh June Hee Kwon menemukan berbagai pertanyaan yang paling umum di antara pasangan migran Korea Cina yang menanti pasangan mereka adalah, "Bagaimana jika pasangan saya berselingkuh?" (Paramnada di Korea), baik dengan orang Korea atau sesama migran Korean Chinese. Dalam banyak kasus migran Cina Korea yang berhenti mengirimkan uang dan kehilangan kontak setelah memulai kehidupan lain dengan pasangan baru di Korea. Dalam konteks ini, perpisahan dapan menjadi rentan, menjadi masa-masa ancaman kehidupan bagi pasangan yang menanti, sebagaimana akibatnya bukan hanya kehilangan pasangan namun kerentanan kondisi ekonomi.
Selain kecemasan yang berasal dari status tanpa dokumen di Korea, kecemasan moral dan seksual dapat berkembang, terutama ketika cinta menjadi sarana bertransaksi dan mentransfer uang. Kenyamanan pernikahan, terutama antara pria Korea dan wanita Cina Korea, adalah salah satu metode yang umum digunakan broker migrasi ilegal untuk menyalurkan wanita Cina paruh baya Korea mencari peluang untuk memasuki Korea. Caren Freeman (2011) menangkap iklim moral baru yang mengingkari pembatasan hukum dengan menggambarkan sifat tak terduga dan tidak dapat diandalkan dalam proses masuk ke Korea Selatan. Petugas imigrasi sering merasa kesulitan untuk mengenali dokumen palsu yang berdasarkan kekerabatan palsu biasa disebut pernikahan kertas, dan hal ini memungkinkan pemegang visa palsu untuk memotong bea cukai. Pada saat yang sama, kadan mereka yang memegang visa asli berdasarkan hubungan kekerabatan yang kadang-kadang ditolak masuk. Alih-alih hal ini hanya menjadi subordinasi dengan peraturan visa berubah-ubah yang terus menggantung, migran Cina Korea terus menghadapi kebijakan negara yang dirancang untuk membatasi masuknya mereka dan tinggal dalam jangka waktu yang panjang. Mereka mampu menggoncang norma-norma moral dan hukum dengan membuat dan memalsukan kekerabatan.

Harapan untuk melakukan perkawinan transnasional telah ditandai oleh antropolog lain sebagai proses "globalisasi diri" yang memperkuat ikatan transnasional melalui pernikahan internasional dan pengiriman uang (Faier 2007) atau, secara bergantian, sebagai "hypergamy global" (Constable 2009). Pernikahan transnasional ini telah menjadi perdebatan, baik di Cina ataupun Korea, hal ini tidak hanya alas an kemudahan masuk ke Korea tetapi juga karena stigma bahwa menggunakan tubuh perempuan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan moneter. Pernikahan terlihat "sebagai transaksi" yang berfungsi baik sebagai kelangsungan hidup atau strategi meningkatkan taraf hidup, dan sebagai cara yang memungkinkan untuk melarikan diri dari kerawanan ekonomi (Brennan 2004). Meskipun variasi, pernikahan internasional Korea Cina digambarkan memiliki kecenderungan yang kuat, terutama pada periode awal migrasi Cina Korea dari pertengahan 1990-an sampai pertengahan 2000-an: pernikahan yang seringkali terjadi antara pria Korea-kelas bawah (petani pedesaan dan perkotaan rendah kerja kelas) yang tidak dapat mendapatkan jodoh Korea, dan perempuan Cina Korea yang mencari cara untuk masuk dan bekerja di Korea. Dalam pernikahan ini, cinta adalah istilah kunci yang digunakan untuk menilai sifat pernikahan- apakah itu nyata atau palsu-dalam ataupun di luar definisi hukum di China dan Korea. Cinta menjadi "emas baru" (Constable 2007; Ehrenreich dan Hochschild 2004; Parrenas 2001), sarana untuk produksi nilai dan kondisi baru kemungkinan.

Pernikahan internasional secara ambivalen diterima sebagai "globalisasi diri" atau "global hypergamy". Hal ini didasarkan pada kemampuan "untuk makan dan hidup," sebagai salah satu ekspresi warga Yanbian menempatkan diri. Terutama bagi mereka yang telah melakukan pernikahan demi kenyamanan dengan menceraikan suami Cina Korea nyata mereka dan untuk menikah suami Korea palsu, kecemasan tentang tingkat perceraian yang tinggi dan akhir hubungan yang tidak baik semakin meningkat dan hal ini dibentuk oleh Angin Korea. Namun, fokus pembahasan ini tidak terbatas pada tangisan moral yang sering terdengar di Yanbian tentang komodifikasi cinta. Sebaliknya, fokus pembahasan meluas, dan menekankan penggabungan uang dan cinta dalam memperbaharui pasangan transnasional. Bagaimana pasangan Cina Korea yang terpisah tersebut mengembangkan cara untuk mengelola kecemasan mereka tentang potensi kehilangan pasangan saat melakukan migrasi transnasional? Apa jenis transaksi telah dilakukan antara pihak-pihak yang terpisah? Dan apa diperoleh untuk pasangan yang telah berhasil bertahan dalam penantian yang panjang, penundaan, dan isolasi, selain pemeliharaan hubungan rentan tersebut?

Suatu hari di bulan Maret 2009, Peneliti makan siang dengan sejumlah "para Penanti" pasangan yang bekerja di Korea selama beberapa tahun. Di tengah percakapan yang sangat hidup, Peneliti melihat Li tampak sedih. Ia adalah seorang di usia akhir empat puluhan, ia adalah seorang petani sebelum pernikahannya dengan seorang pria Cina Korea. Dia pada waktu itu bekerja di sebuah pabrik kantong plastik Jepang di Yanbian, ia tidak menyukai pekerjaan karena jam kerja yang panjang dan upah rendah. Tidak ada cara baginya untuk melarikan diri dari pabrik -kecuali dia berangkat ke Korea, dia memungkinkan untuk berharap terjadi sedikit perbaikan dalam hidupnya. Suami Li pergi ke Korea tujuh tahun sebelumnya, menjanjikan bahwa ia akan kembali dalam tiga tahun dan menjanjikan mereka akan memiliki kehidupan yang bahagia bersama-sama sesudahnya. Dia berutang finansial kepada broker illegal, seseorang yang diandalkan untuk sampai ke Korea. Li dan suaminya percaya bahwa utang  tersebut menjadi investasi yang berharga untuk masa depan yang lebih baik bagi mereka berdua. Broker dapat membantu suami mengamankan sementara, dua minggu visa perjalanan bisnis ke Korea. Jadi segera setelah ia tiba di Korea, Li menjadi orang yang tak tercatat. Status ilegal mencegahnya bergerak bolak-balik antara China dan Korea, sehingga ia bertekad untuk tinggal di Korea sampai ia telah mendapatkan sejumlah pendapatan memuaskan. Hal itu menjadi tampak sulit. Tapi Li bersedia menanggung perjuangan ini sampai suaminya kembali ke China dengan uang yang ia janjikan padanya.

Selama dua tahun pertama ia tinggal, suaminya mengirim uang ke Li setiap bulan. Dia mengelola kiriman tersebut baik-baik itu, menyimpan semua won (uang) di rekening bank-nya untuk membeli sebuah apartemen modern di kota Yanji, ibukota Yanbian ini, suatu tempat di mana banyak orang Yanbian memiliki harapan Cina Korea menghabiskan sisa hidup. Remitan pasti membantu, dan dia merasa seolah-olah mereka membuat kemajuan keuangan. Pada tahun ketiga suaminya masih di luar negeri, namun, pengiriman uang mulai berdatangan kemudian dan kurang sering, dan jumlah menjadi lebih kecil dan lebih kecil. Akhirnya, berhenti sama sekali. Suaminya tidak lagi menelepon atau mengirim kata untuk Li. Dia tidak bisa menghubunginya. Dia telah benar-benar menghilang dari hidupnya. Ada rumor tentang suami Li, yang memberitahukan bahwa suaminya telah bertemu dengan seorang wanita yang baru atau sudah bangkrut. Dia telah menunggu tujuh tahun untuk kepulangan suaminya dan ia merasa suaminya telah mengkhianati, hal ini membuatnya merasa seolah-olah dia telah diterlantarkan seluruh hal dalam hidupnya. Tidak seperti kerabat dan teman-teman dengan mimpi Korea menjadi kenyataan, sementar Li ternyata tidak memiliki rumah maupun sumber daya keuangan, sebagaimana bukti terlihat sebagai buah dari penantian. Dia sangat ingin meninggalkan Yanbian dan pergi ke Korea, bahkan walaupun melalui pernikahan palsu jika diperlukan. Li mengatakan kepada Kwon (peneliti) bahwa dia akan menggunakan cara apapun supaya dapat berangkat ke Korea. Namun dia masih berstatus menikah dengan suami hilang dan tidak mungkin menceraikan, yang berarti bahwa pernikahan palsu denan seorang pria Korea itu bukan pilihan. "Aku sudah tua dan sakit karena penantian ini," katanya. "Aku benar-benar terjebak. Tidak ada jalan keluar bagi saya. "

Jika kita menganggap janji sebagai jaminan masa depan untuk membuatnya prediksi  bahwa hal tersebut  dapat diandalkan (Ahmed 2010), janji dan impian Li telah berantakan. Ia tidak hanya kehilangan suaminya semua tetapi hidupnya juga hancur. Li mengatakan.
"Aku sudah setengah mati untuk pergi ke Korea- tidak hanya untuk uang, tetapi juga untuk menemukan suami saya. Pada awalnya saya memiliki begitu banyak kekhawatiran tentang ketika dia tidak menelepon saya. Tapi ketika saya mengerti bahwa ia telah sengaja memutuskan kontak, saya ingin membunuhnya! Sekarang aku hanya begitu lelah untuk menunggunya, dan kemudian aku membencinya. Aku hanya salah satu dari banyak orang yang tersapu oleh angin Korea. Apa gunanya balas dendam? Namun, saya harus menceraikan dia secara resmi, sehingga saya bisa memulai hidup saya lagi. Saya benar-benar terjebak.

Dalam jangka panjang, Li dan hubungan jarak jauh dengan suaminya dimulai dengan janji bersama, dengan batas waktu tertentu: ". Aku akan kembali dalam tiga tahun". Namun, setelah suaminya berhenti mengirim uang dan menghilang, ikatan mereka berdua dan komitmen mereka bersama untuk masa depan kini telah dibubarkan. Sejak itu, penantiannya telah berubah menjadi, kehancuran harapan yang kronis. Semakin lama berlangsung, semakin Li menjadi rentan. Namun demikian, Li masih mampu memenuhi kebutuhannya di Cina tanpa bergantung pada pengiriman uang yang dikirim oleh suaminya. Meskipun upah yang tidak sesuai tetap dijalani karena ia harus menabung dengan harapan suatu saat ia bisa berada di Korea, dengan demikian ia masih mampu menghidupi dirinya dan putrinya dengan pengelolaan anggaran yang ketat. Hal yang membuatnya lebih menyedihkan adalah, bagaimanapun, upaya tak henti-hentinya dia mempersiapkan untuk melakukan perjalanan ke Korea dan harapan yang tiada henti untuk membuat lebih banyak uang di sana. "Jika saya pergi ke Korea, saya bisa dibayar sepuluh kali lipat lebih dari upah sekarang." Tapi, sebagai permintaan visanya berulang kali ditolak, hidupnya tampak menggantung, ia berada tidak ada dalam dirinya, tapi berada di masa depan membayangkan tempat lain-mungkin Korea. Antisipasi tampaknya cukup meracuninya, membuatnya merasa putus asa untuk melarikan diri dari kemiskinannya saat ini. Selain itu, perbedaan antara kehidupan sekarang dan antisipasi untuk masa depannya mengakibatkan kehidupan ditangguhkan kehidupannya hari ini, hal yang jauh lebih menyakitkan, terutama ketika dia dibandingkan dengan seseorang yang telah menyadari mimpi tentanh Korea.

Begitu dia berhenti berharap untuk masa depan yang cerah bersama dengan suaminya, kesehatan mental dan fisiknya sangat memburuk. Dia sakit namun harus bekerja. Dia lemah tapi masih ingin pergi ke Korea. Sampai ia berhasil, putus asa dan kecemasan nya tidak akan pergi. Pada saat yang sama, ia percaya bahwa tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk kecuali menunggu datangnya hari di mana ia bisa pergi ke Korea. Sekarang, Li mengatakan kepada saya "Saya tidak lagi cemas karena aku sudah kehilangan harapan." Pada saat itu, dia masih sangat ingin pergi ke Korea bukan untuk membalas dendam pada suaminya, tetapi hanya akan menuntut harus dihargainya waktu yang hilang. Dalam perjuangan internal ini, Li merasa sengsara secara ekonomi dan perasaannya, waktu dan kemungkinan yang tak pasti.
Dia menjadi penonton belaka dalam dirinya sendiri. Dia melihat dirinya semakin tertinggal dengan cepat oleh peberubahan Yanbian. Bahkan, Li menjadi sangat memahami bahwa dia tidak mencerminkan Yanbian makmur, yang menikmati buah dari mimpi Korea. Dia tidak bisa membual kepada teman-teman dan kerabat yang telah merampas kesempatan mereka, dan mereka yang suaminya tidak masih layak untuk dinanti. Penantian yang lama telah menjadi tugas yang berat, namun, yang lebih buruk, ketika hal itu ternyata menjadi sia-sia, mengkhianati hatinya, serta membuat hidupnya terpuruk semacam mati suri. Penantian -yang lama dijanjikan atas nama cinta- tidak menghasilkan apapun, dan dia meninggalkan harapankosong.

Li terus dalam penantian, saat ini bukanlah penantian untuk suaminya, namun untuk keberangkatannya Korea yang ia impikan.

Adam, Barbara
1991 Time and Social Theory. Philadelphia: Temple University Press.

Ahmed, Sara
2010 The Promise of Happiness. Durham, N.C.: Duke University Press.

Bhabha, Homi
1994 The Location of Culture. London: Routledge.

Baldassar, Loretta, and Laura Merla
2013 “Locating Transnational Care Circulation in Migration and Family Studies.” In
Transnational Families, Migration, and the Circulation of Care: Understanding Mobility
and Absence in Family Life, edited by Loretta Baldassar and Laura Merla, 25–58.
London: Routledge.

Boris, Eileen, and Rhacel Salazar Parren˜as, eds.
2010 Intimate Labors: Culture, Technologies, and the Politics of Care. Stanford, Calif.:
Stanford University Press.

Brennan, Denise
2004 What’s Love Got To Do With It: Transnational Desires and Sex Tourism in the Dominican
Republic. Durham, N.C.: Duke University Press.

Chu, Julie
2009 Cosmologies of Credit: Transnational Mobility and the Politics of Destination in China.
Durham, N.C.: Duke University Press.

Chua, Jocelyn Lin
2011 “Making Time for the Children: Self-Temporalization and the Cultivation of the
Anti-suicidal Subject in South India.” Cultural Anthropology 26, no. 1: 112–37.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1548-1360.2010.01082.x.

Clifford, James
1997 Routes: Travel and Translation in the Late Twentieth Century. Cambridge, Mass.:
Harvard University Press.

Constable, Nicole
2007 Maid to Order in Hong Kong: Stories of Migrant Workers. 2nd edition. Ithaca, N.Y.:
Cornell University Press.
2009 “The Commodification of Intimacy: Marriage, Sex, and Reproductive Labor.”
Annual Review of Anthropology 38: 49–64. http://dx.doi.org/10.1146/
annurev.anthro.37.081407.085133.

Crapanzano, Vincent
1986 Waiting: The Whites of South Africa. New York: Random House.
Deleuze, Gilles
1988 Spinoza: Practical Philosophy. San Francisco: City Lights.

Derrida, Jacques
1994 Given Time I: Counterfeit Money. Chicago: University of Chicago Press.
Ehrenreich, Barbara, and Arlie Russell Hochschild, eds.
2004 Global Woman: Nannies, Maids, and Sex Workers in the New Economy. New York:
Holt.

Faier, Lieba
2007 “Filipina Migrants in Rural Japan and Their Professions of Love.” American
Ethnologist 34, no. 1: 148–62. http://dx.doi.org/10.1525/ae.2007.34.1.148.

Felski, Rita
2000 Doing Time: Feminist Theory and Postmodern Culture. New York: New York
University Press.

Freeman, Caren
2011 Making and Faking Kinships: Marriage and Labor Migration Between China and South
Korea. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.

Gasparini, Giovanni
1995 “On Waiting.” Time and Society 4, no. 1: 29–45. http://dx.doi.org/10.1177/
0961463X95004001002.

Gregory, Christopher
1982 Gifts and Commodities. London: Academic Press.

Gu, Edward X.
2002 “The State Socialist Welfare System and the Political Economy of Public Housing
Reform in Urban China.” Review of Research Policy 19, no. 2: 179–211. http://
dx.doi.org/10.1111/j.1541-1338.2002.tb00270.x.

Hage, Ghassan
2009 “Waiting Out the Crisis: On Stuckness and Governmentality.” In Waiting, edited
by Ghassan Hage, 97–106. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.
Han, Clara
2011 “Symptoms of Another Life: Time, Possibility and Domestic Relations in Chile’s
Credit Economy.” Cultural Anthropology 26, no. 1: 7–32. http://dx.doi.org/
10.1111/j.1548-1360.2010.01078.x

Hardt, Michael, and Antonio Negri
2000 Empire. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

Harms, Erik
2013 “Eviction Time in the New Saigon: Temporalities of Displacement in the Rubble
of Development.” Cultural Anthropology 28, no. 2: 344–68. http://dx.doi.org/
10.1111/cuan.12007.

Hung, Eva P. W., and Stephen W. K. Chiu
2003 “The Lost Generation: Life Course Dynamics and Xiagang in China.” Modern
China 29, no. 2: 204–36. http://dx.doi.org/10.1177/0097700402250740.

Jeffery, Craig
2010 “Timepass: Youth, Class, and Time among Unemployed Young Men in India.”
American Ethnologist 37, no. 3: 465–81. http://dx.doi.org/10.1111/j.1548-
1425.2010.01266.x.

Kim, Hyun Mee
2008 “The Korean Chinese Migration Experience in England: The Case of Residents
in Korea Town.” Korean Anthropology 41, no. 2: 39–77.
Lazzarato, Maurizio
1996 “Immaterial Labor.” In Radical Thought in Italy: A Potential Politics, edited by Paul
Virno and Michael Hardt, 133–50. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Lee, Jinyoung, Hyekyung Lee, and Hyunmee Kim
2008 The Effect of Satisfaction on the Visit and Employment System. Korean Immigration
Service.

Lee, Ching Kwan
2007 Against the Law: Labor Protests in China’s Rustbelt and Sunbelt. Berkeley: University
of California Press.

Lim, Hyun-Chin, and Suk-Man Hwang
2002 “The Political Economy of South Korean Structural Adjustment: Reality and
Fac¸ade.” African and Asian Studies 1, no. 2: 87–112. http://dx.doi.org/10.1163
/156921002x00086.

Mackenzie, Peter W.
2002 “Strangers in the City: The Hukou and Urban Citizenship in China.” Journal of
International Affairs 56, no. 1: 305–19.

Mains, Daniel
2007 “Neoliberal Times: Progress, Boredom, and Shame among Young Men in Urban
Ethiopia.” American Ethnologist 34, no. 4: 659–73. http://dx.doi.org/10.1525/
ae.2007.34.4.659.

Marx, Karl
1998 The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Translated by Martin Milligan.
Amherst, N.Y.: Prometheus Books.

Mauss, Marcel
2000 The Gift: The Form and Reason of Exchange in Archaic Societies. New York: W. W.
Norton.

Minnegal, Monica
2009 “The Time is Right: Waiting, Reciprocity, and Sociality.” In Waiting, edited by
Ghassan Hage, 89–96. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.

Noh, Gowoon
2011 “Life on the Border: Korean Chinese Negotiating National Belonging in
Transnational Space.” PhD dissertation, University of California, Davis. O’Neill, Bruce
2014 “Cast Aside: Boredom, Downward Mobility, and Homelessness in Post-
Communist Bucharest.” Cultural Anthropology 29, no. 1: 8–31. http://dx.doi.
org/10.14506/ca29.1.03.

Park, Gwang Sung
2006 “The Movement of Korean Chinese Labor and Social Change in the Age of
Globalization.” PhD dissertation, Seoul National University.

Park, Jung-Sun, and Chang, Paul
2005 “Contention in the Construction of a Global Korean Community: The Case of
the Overseas Korean Act.” Journal of Korean Studies 10, no. 1: 1–27. http://
www.jstor.org/stable/41490207.

Parren˜as, Rhacel Salazar
2001 Servants of Globalization: Women, Migration, and Domestic Work. Stanford, Calif.:
Stanford University Press.

Pun, Ngai
2005 Made in China: Women Factory Workers in a Global Work Place. Durham, N.C.: Duke
University Press.

Richard, Analiese, and Rudnyckyj, Daromir
2009 “Economies of Affect.” Journal of the Royal Anthropological Institute 15, no. 1: 57–
77. http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-9655.2008.01530.x.

Rundell, John
2009 “Temporal Horizons of Modernity and Modalities of Waiting.” In Waiting, edited
by Ghassan Hage, 89–96. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.

Seol, Dong-Hoon
2002 “Korean Chinese Working in Korea—Are They Overseas Koreans or
Foreigners?” Trend and Perspective, no. 52: 200–23.

Spinoza, Benedict de
1994 Ethics. Translated by Edwin Curley. New York: Penguin Classics.

Walder, Andrew
1986 Communist Neo-Traditionalism: Work and Authority in Chinese Industry. Berkeley:
University of California Press.

Yan, Hairong
2008 New Masters, New Servants: Migration, Development, and Women Workers in China.
Durham, N.C.: Duke University Press.

Zhang, Li
2002 Strangers in the City: Reconfiguration of Space, Power, and Social Networks within
China’s Floating Population. Stanford, Calif.: Stanford University Press.

Zheng, Tiantian
2009 Red Lights: The Lives of Sex Workers in Postsocialist China. Minneapolis: University
of Minnesota Press.

Tidak ada komentar: