Rabu, 19 Oktober 2016

Penantian sebagai Pekerjaan: Keadaan dalam Penantian (3)


Ketertarikan “Berangkat Ke Korea” menjadi semakin meluas di kalangan Penduduk Yan Bian. Hal ini bukan hanya sebagai aspirasi secara personal namun berakar dari kecepatan perubahan struktural yang dipicu oleh reformasi ekonomi Cina sejak awal 1990-an. Sebagaimana di wilayah lain di Negara Cina, reformasi ekonomi dipercepat melalui privatisasi bidang pekerjaan (danwei) yang sebelumnya bidang-bidang ekonomi dikelola oleh pemerintah. Kondisi semacam ini berdampak sejumlah besar pekerja yang diberhentikan dan mulai berangkat ke kota-kota besar dalam rangka memburu lapangan pekerjaan. Para petani sekalipun akhirnya mencari peluang untuk mengembangkan kondisi financial mereka dengan cara migrasi meninggalkan desa dan menuju pusat-pusat kota, sehingga terjadi kondisi “populasi yang mengambang” (kondisi komunitas yang cair, dan mudah berpindah-pindah, menetap sementara) bagi mereka yang telah terserap di sektor manufaktur ataupun pada sektor jasa  (Mackenzie 2002; Pun 2005; Yan 2008; Zhang 2002; Zheng 2009). Hal menari yang spesfik dari migrasi Cina Korea dapat dibedakan dengan Cina Han, Yanbian merupakan adalah persimpangan jalur migrasi perkotaan dan migrasi transnasional ke Korea Selatan, negara tersebut digambarkan sebagai wilayah musuh selama Perang Dingin. Hal ini kemudian dapat memulihkan hakikat hubungan kekerabatan berdasarkan kesamaan bahasa dan budaya di mana selama terabaikan karena konflik politis perang dingin. Pertimbangan melakukan migrasi ke Korea Selatan merupakan perubahan yang sangat cepat sebagai dampak dari kebijakan Pemerintah Cina di awal 1990an. Banyak orang Korea Cina yang memiliki gagasan untuk pergi ke Korea Selatan, dan telah menjadi pendapat umum bahwa “untuk dapat meraih kehidupan yang lebih baik secara cepat, adalah bermigrasi ke Korea Selatan”. Hal tersebut begitu aspiratif dan diyakini, sehingga migrasi mereka seakan dihembuskan bersama “Angin Korea.
Sinkronitas tercipta, bersamaan dengan kondisi mendesak untuk melarikan diri kebijakan privatisasi pada sektor Ekonomi di Cina, dan permintaan pasar tenaga kerja di Korea Selatan langsung dijawab oleh Tenaga kerja Cina Korea mulai 1990 dan seterusnya, sebagai sumber tenaga kerja murah, dalam sektor pelayanan, pembantu rumah tangga, dan buruh bangunan serta Industri (Lim dan Hwang 2002). Dalam konteks ini, Korea Cina dan pasar tenaga kerja Korea telah saling melakukan promosi identitas yang unik antara Korea Cina sebagai “hampir Korea”, tetapi “tidak cukup Korea”, berdasarkan kesamaan etnis mereka sebagai Korea dan perbedaan Negara mereka sebagai Warga Negara Cina. Hal Ini menjadi hubungan antar etnis yang hamper sama dan unik, ketika kelompok etnik Cina Korea memiliki kemungkinan hubungan dengan jenis pekerjaan tertentu sebagaimana yang ditentukan kebijakan oleh pemerintah Korea Selatan (mereka sebagai pekerja restoran, pembantu rumah tangga, dan buruh bangunan). Hal ini semakin memperkuat penanda bahwa “Korea Cina” merupakan etnis kelas bawah selalu menghadapi diskriminasi di Korea Selatan. Meskipun masing-masing etnis dikelompokkan berdasarkan pada kebutuhan pasar, namun bagaimanapun juga, Korea Selatan merupakan tanah air yang tidak dapat diakses, dan kini menjadi suatu “tanah yang dijanjikan” bagi orang-orang Korea Cina. Dalam hubungan antar Negara  (Korea dan Cina) yang tarik-ulur, Angin Korea telah membawa hampir 600.000 warga China untuk tinggal dan bekerja hingga pada akhir 2014, dari total populasi di China yang berjumlah sekitar dua juta orang
Nona Kang adalah salah seorang pendatang Cina Korea. Dia bekerja di Yanbian sebagai pekerja pabrik yang membuat meja dan kursi kayu, namun pada saat pabrik tersebut bangkrut  ia kehilangan pekerjaannya pada pertengahan 1990-an. Peneliti pertama kali bertemu dengannya di Korea pada tahun 2004 di sekertariat gereja yang menganjurkannya untuk menjadi tenaga kerja Cina Korea dan mendapatkan hak tinggal serta perumahan di Korea; dia cemas tentang resiko yang sering terjadi yaitu dideportasi karena kelengkapan dokumen imigrasi sebagai juru masak berbakat yang berpengalaman pada beberapa restoran di sekitar Seoul. Meskipun Nona. Kang ingin kembali ke suatu saat nanti, pada saat itu.
Waktu dia masih diperlukan untuk memperoleh penghasilan lebih banyak di Korea karena semua uang dia telah mengakuisisi dalam dirinya tiga tahun pertama di negara itu telah pergi untuk melunasi utang ke broker ilegal yang difasilitasi migrasi nya. Ms. Kang merindukan keluarga-nya nya anak-dan suami dan dua berkomunikasi dengan mereka menggunakan internasional kartu telepon sekali setiap minggu atau dua. Dia bisa mencoba menggunakan utusan Internet atau chatting web-camera untuk lebih bersilaturahmi, tapi dia tidak akrab dengan teknologi. Suatu hari, dia bertanya apakah aku bisa membantunya dengan instant messaging Program dengan kemampuan webcam sehingga dia benar-benar bisa melihat keluarganya. saya bilang ya dan dia menelepon untuk mengatur keluarganya untuk duduk di depan anaknya komputer pada waktu yang telah ditentukan. Melalui MSN Messenger, yang biasa digunakan tapi media sebelumnya tidak dapat diakses kepadanya, ia akhirnya bisa melihat suaminya dan dua putra. Aku ingat jelas bagaimana emosional pertemuan itu; dia tersenyum luas, matanya basah dengan air mata, melalui seluruh percakapan. Bungsunya anak bertanya, "Ibu, kapan kau akan kembali?" "Begitu saya cukup membuat uang, "jawabnya. Namun tak seorang pun tampaknya tahu berapa banyak uang yang akan cukup, atau berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan jumlah ini tidak diketahuiNya. Suami tidak menunjukkan banyak kasih sayang dan mengatakan sedikit di kamera. Tapi itu jelas bahwa semua anggota keluarga yang diinginkan untuk melihat satu sama lain tidak hampir tapi secara pribadi, dlm waktu dekat.
Hingga tahun 2005, jenis penantian dialami oleh keluarga Nona. Kang cukup berhasil dibandingkan keluarga-keluarga antara Cina Korea. Status hukum mereka sering kali illegal atau tidak memiliki dokumen-dokumen ijin migrasi, selain itu mereka tidak bebas pulang-pergi Korea-China. Nona Kang dan lebih dari 200.000 orang Cina Korea takberdokumen lainnya tertahan di kamp penampungan imigran gelap, sambil menunggu pemerintah Korea memberi amnesti melalui revisi dokumen kegiatan di luar negeri, untuk menetapkan status hukum warga Korea Cina yang berada di Korea Selatan. Pemerintah Korea melakukan pendataan dan identifikasi kategori orang luar Korea Selatan, dan diseleksi untuk dapat diterima di Korea Selatan berdasarkan kemampuan, keterampilan dan manfaatnya bagi Negara Korea Selatan. Dengan penetapan hak yang hampir sama dengan warga negara Korea (Park and Chang 2005), aktivitas mereka ber status setengah warga negara untuk orang luar Korea. Walaupun China Korea tidak termasuk kategori “Korean Overseas”, atau dibedakan dengan warga luar negeri lainnya, karena asosiasi sosialis mereka dan konflik politik yang akan mungkin terjadi kembali sehingga tidak memungkinkan untuk memiliki kewarganegaraan ganda. Pengecualian ini ternyata juga karena sebagian besar Cina Korea melakukan migrasi dengan melalui broker imigrasi ilegal dan dikenakan biaya tinggi, sama dengan satu atau dua tahun pendapatan dari rata-rata $ 10.000 sampai $ 20.000. Karena biaya yang melambung tersebut, pasangan hidup biasanya harus memutuskan siapa yang akan pergi dan siapa yang akan tetap di belakang untuk mengurus anak-anak dan harta keluarga. Bagian yang dibentuk oleh hukum immigrasi Korea dan rezim tenaga kerja ilegal itu menimbulkan, semakin terpisahnya pasangan sehingga mereka bisa mengirim satu dari pasangan ke Korea. Dalam konfigurasi ini mereka yang berada pada bagian “penantian” mereka menjadi bagi bagian penting dari migrasi Cina Korea yang merupakan bentuk baru dari hubungan dekat dan manajemen keuangan erat dan bergantung pada aliran remitan.

Sejak Mahkamah Konstitusi Korea menyatakan UU “Korea Overseas” melanggar konstitusi pada tahun 1999 yang disebabkan terindikasi diskriminatif, maka sampai 2004 hukum itu tertunda direvisi untuk memasukkan kembali orang-orang itu sebelumnya telah dikeluarkan. Hal tersebut merupakan kebijakan baru yaitu diberikannya hak yang sama untuk semua orang luar negeri Korea -kecuali mereka yang terlibat dalam pekerjaan fisik/kasar, jenis pekerjaan yang paling mencirikan Korean Chinese. Akibatnya, revisi perundangan tersebut tidak bermanfaat dan menguntungkan Korea Cina yang sudah bekerja pada sektor jasa dan konstruksi. Sebaliknya, Pemerintah Korea mengeluarkan H-2 visa, visa kerja kunjungan luar negeri Korea, untuk ini pekerja, mengharuskan mereka untuk bermigrasi antara Korea dan China dalam waktu yang ditetapkan baik di Korea dan Cina ataupun untuk mempertahankan visa kerja mereka. Sistem visa yang aneh ini dirancang untuk mencegah Korea Cina menetap di Korea, dan saat ini pemerintahan melakukan kontrol baik untuk “kerja” dan “penanti “ Cina Korea, untuk mengatur struktur aliran dan ritme gerakan remitan ke Cina.
Di bawah berlakukan visa temporal (berbatas waktu), Nona Kang akhirnya kembali ke Yanbian dan tinggal di sana bersama keluarganya selama satu tahun. Dia segera menyadari, bagaimanapun juga, dia tidak mampu menjaga dengan melonjaknya biaya hidup dengan hanya menggantungkan penghasilannya dari Korea. Sebagaimana ia katakan di Yanbian di tahun 2008, "Saya tidak bisa membeli apa-apa dengan 100 Yuan -tidak seperti tujuh tahun yang lalu, sebelum aku pergi ke Korea. Semua orang tampaknya jauh lebih baik dari saya karena mereka menghabiskan uang seperti air. "Setelah bertahun-tahun kerja melelahkan di Korea, ia merasa mengalami penurunan pendapatan dan relative miskin di rumah, dan hal ini menyebabkan untuk kembali ke Korea. Ketika peneliti bertemu sekali lagi setahun kemudian di negara itu, Nona Kang terus mengkhawatirkan suaminya: "Kami tidak lagi terlalu dekat dan kita tidak berbicara banyak melalui telepon. "Selain karena dengan visa H-2, dia selalu sering bolak-balik antara Yanbian dan Korea, dan dengan setia mengirimkan uang. Suami, yang memperoleh pendapatan tidak sendiri, terus mencari apartemen lain yang lebih murah sehingga ia dapat menyisihkan biaya sewa sebagai sumber penghasilan tambahan. Beberapa pasangan yang berusia lima puluhan akhir, mantan buruh pabrik mantan mendapatkan uang pensiun dengan jumlah yang kecil, mereka harus menabung mempersiapkan untuk pensiun: seorang dengan mencari uang, yang lain dengan menanti uang di dua negara yang berbeda, keduanya bersama-sama dan terpisah oleh jarak- "namun tetap bersama "(Baldassar dan Merla 2013).
Adam, Barbara
1991 Time and Social Theory. Philadelphia: Temple University Press.

Ahmed, Sara
2010 The Promise of Happiness. Durham, N.C.: Duke University Press.

Bhabha, Homi
1994 The Location of Culture. London: Routledge.

Baldassar, Loretta, and Laura Merla
2013 “Locating Transnational Care Circulation in Migration and Family Studies.” In Transnational Families, Migration, and the Circulation of Care: Understanding Mobility and Absence in Family Life, edited by Loretta Baldassar and Laura Merla, 25–58. London: Routledge.

Boris, Eileen, and Rhacel Salazar Parren˜as, eds.
2010 Intimate Labors: Culture, Technologies, and the Politics of Care. Stanford, California: Stanford University Press.

Brennan, Denise
2004 What’s Love Got To Do With It: Transnational Desires and Sex Tourism in the Dominican Republic. Durham, N.C.: Duke University Press.

Chu, Julie
2009 Cosmologies of Credit: Transnational Mobility and the Politics of Destination in China. Durham, N.C.: Duke University Press.

Chua, Jocelyn Lin
2011 “Making Time for the Children: Self-Temporalization and the Cultivation of the Anti-suicidal Subject in South India.” Cultural Anthropology 26, no. 1: 112–37. http://dx.doi.org/10.1111/j.1548-1360.2010.01082.x.

Clifford, James
1997 Routes: Travel and Translation in the Late Twentieth Century. Cambridge, Massachusette.: Harvard University Press.

Constable, Nicole
2007 Maid to Order in Hong Kong: Stories of Migrant Workers. 2nd edition. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
2009 “The Commodification of Intimacy: Marriage, Sex, and Reproductive Labor.”Annual Review of Anthropology 38: 49–64. http://dx.doi.org/10.1146/annurev.anthro.37.081407.085133.

Crapanzano, Vincent
1986 Waiting: The Whites of South Africa. New York: Random House.Deleuze, Gilles
1988 Spinoza: Practical Philosophy. San Francisco: City Lights.

Derrida, Jacques
1994 Given Time I: Counterfeit Money. Chicago: University of Chicago Press.

Ehrenreich, Barbara, and Arlie Russell Hochschild, eds.
2004 Global Woman: Nannies, Maids, and Sex Workers in the New Economy. New York:Holt.

Faier, Lieba
2007 “Filipina Migrants in Rural Japan and Their Professions of Love.” American Ethnologist 34, no. 1: 148–62. http://dx.doi.org/10.1525/ae.2007.34.1.148.

Felski, Rita
2000 Doing Time: Feminist Theory and Postmodern Culture. New York: New York University Press.

Freeman, Caren
2011 Making and Faking Kinships: Marriage and Labor Migration Between China and South Korea. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.

Gasparini, Giovanni
1995 “On Waiting.” Time and Society 4, no. 1: 29–45. http://dx.doi.org/10.1177/0961463X95004001002.

Gregory, Christopher
1982 Gifts and Commodities. London: Academic Press.

Gu, Edward X.
2002 “The State Socialist Welfare System and the Political Economy of Public Housing Reform in Urban China.” Review of Research Policy 19, no. 2: 179–211. http://dx.doi.org/10.1111/j.1541-1338.2002.tb00270.x.

Hage, Ghassan
2009 “Waiting Out the Crisis: On Stuckness and Governmentality.” In Waiting, edited by Ghassan Hage, 97–106. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.

Han, Clara
2011 “Symptoms of Another Life: Time, Possibility and Domestic Relations in Chile’s Credit Economy.” Cultural Anthropology 26, no. 1: 7–32. http://dx.doi.org/10.1111/j.1548-1360.2010.01078.x

Hardt, Michael, and Antonio Negri
2000 Empire. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

Harms, Erik
2013 “Eviction Time in the New Saigon: Temporalities of Displacement in the Rubble of Development.” Cultural Anthropology 28, no. 2: 344–68. http://dx.doi.org/10.1111/cuan.12007.

Hung, Eva P. W., and Stephen W. K. Chiu
2003 “The Lost Generation: Life Course Dynamics and Xiagang in China.” Modern China 29, no. 2: 204–36. http://dx.doi.org/10.1177/0097700402250740.

Jeffery, Craig
2010 “Timepass: Youth, Class, and Time among Unemployed Young Men in India.”American Ethnologist 37, no. 3: 465–81. http://dx.doi.org/10.1111/j.1548-
1425.2010.01266.x.

Kim, Hyun Mee
2008 “The Korean Chinese Migration Experience in England: The Case of Residents in Korea Town.” Korean Anthropology 41, no. 2: 39–77.

Lazzarato, Maurizio
1996 “Immaterial Labor.” In Radical Thought in Italy: A Potential Politics, edited by Paul Virno and Michael Hardt, 133–50. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Lee, Jinyoung, Hyekyung Lee, and Hyunmee Kim
2008 The Effect of Satisfaction on the Visit and Employment System. Korean Immigration Service.

Lee, Ching Kwan
2007 Against the Law: Labor Protests in China’s Rustbelt and Sunbelt. Berkeley: University of California Press.

Lim, Hyun-Chin, and Suk-Man Hwang
2002 “The Political Economy of South Korean Structural Adjustment: Reality and Fac¸ade.” African and Asian Studies 1, no. 2: 87–112. http://dx.doi.org/10.1163/156921002x00086.

Mackenzie, Peter W.
2002 “Strangers in the City: The Hukou and Urban Citizenship in China.” Journal of International Affairs 56, no. 1: 305–19.

Mains, Daniel
2007 “Neoliberal Times: Progress, Boredom, and Shame among Young Men in Urban Ethiopia.” American Ethnologist 34, no. 4: 659–73. http://dx.doi.org/10.1525/ae.2007.34.4.659.

Marx, Karl
1998 The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Translated by Martin Milligan.Amherst, N.Y.: Prometheus Books.

Mauss, Marcel
2000 The Gift: The Form and Reason of Exchange in Archaic Societies. New York: W. W. Norton.

Minnegal, Monica
2009 “The Time is Right: Waiting, Reciprocity, and Sociality.” In Waiting, edited by Ghassan Hage, 89–96. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.

Noh, Gowoon
2011 “Life on the Border: Korean Chinese Negotiating National Belonging in Transnational Space.” PhD dissertation, University of California, Davis. O’Neill, Bruce 
2014 “Cast Aside: Boredom, Downward Mobility, and Homelessness in Post- Communist Bucharest.” Cultural Anthropology 29, no. 1: 8–31. http://dx.doi.org/10.14506/ca29.1.03.

Park, Gwang Sung
2006 “The Movement of Korean Chinese Labor and Social Change in the Age of Globalization.” PhD Dissertation, Seoul National University.

Park, Jung-Sun, and Chang, Paul
2005 “Contention in the Construction of a Global Korean Community: The Case of the Overseas Korean Act.” Journal of Korean Studies 10, no. 1: 1–27. http://www.jstor.org/stable/41490207.

Parren˜as, Rhacel Salazar
2001 Servants of Globalization: Women, Migration, and Domestic Work. Stanford, Calif.: Stanford University Press.

Pun, Ngai
2005 Made in China: Women Factory Workers in a Global Work Place. Durham, N.C.: Duke University Press.

Richard, Analiese, and Rudnyckyj, Daromir
2009 “Economies of Affect.” Journal of the Royal Anthropological Institute 15, no. 1: 57–77. http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-9655.2008.01530.x.

Rundell, John
2009 “Temporal Horizons of Modernity and Modalities of Waiting.” In Waiting, edited by Ghassan Hage, 89–96. Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.

Seol, Dong-Hoon
2002 “Korean Chinese Working in Korea—Are They Overseas Koreans or Foreigners?” Trend and Perspective, no. 52: 200–23.

Spinoza, Benedict de
1994 Ethics. Translated by Edwin Curley. New York: Penguin Classics.

Walder, Andrew
1986 Communist Neo-Traditionalism: Work and Authority in Chinese Industry. Berkeley: University of California Press.

Yan, Hairong
2008 New Masters, New Servants: Migration, Development, and Women Workers in China. Durham, N.C.: Duke University Press.

Zhang, Li
2002 Strangers in the City: Reconfiguration of Space, Power, and Social Networks within China’s Floating Population. Stanford, Calif.: Stanford University Press.

Zheng, Tiantian

2009 Red Lights: The Lives of Sex Workers in Postsocialist China. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Tidak ada komentar: