Ketertarikan “Berangkat
Ke Korea” menjadi semakin meluas di kalangan Penduduk Yan Bian. Hal ini bukan
hanya sebagai aspirasi secara personal namun berakar dari kecepatan perubahan struktural
yang dipicu oleh reformasi ekonomi Cina sejak awal 1990-an. Sebagaimana di
wilayah lain di Negara Cina, reformasi ekonomi dipercepat melalui privatisasi
bidang pekerjaan (danwei) yang
sebelumnya bidang-bidang ekonomi dikelola oleh pemerintah. Kondisi semacam ini
berdampak sejumlah besar pekerja yang diberhentikan dan mulai berangkat ke
kota-kota besar dalam rangka memburu lapangan pekerjaan. Para petani sekalipun
akhirnya mencari peluang untuk mengembangkan kondisi financial mereka dengan
cara migrasi meninggalkan desa dan menuju pusat-pusat kota, sehingga terjadi
kondisi “populasi yang mengambang” (kondisi komunitas yang cair, dan mudah
berpindah-pindah, menetap sementara) bagi mereka yang telah terserap di sektor
manufaktur ataupun pada sektor jasa (Mackenzie 2002; Pun 2005; Yan 2008; Zhang
2002; Zheng 2009). Hal menari yang spesfik dari migrasi Cina Korea dapat dibedakan
dengan Cina Han, Yanbian merupakan adalah persimpangan jalur migrasi perkotaan
dan migrasi transnasional ke Korea Selatan, negara tersebut digambarkan sebagai
wilayah musuh selama Perang Dingin. Hal ini kemudian dapat memulihkan hakikat hubungan
kekerabatan berdasarkan kesamaan bahasa dan budaya di mana selama terabaikan
karena konflik politis perang dingin. Pertimbangan melakukan migrasi ke Korea
Selatan merupakan perubahan yang sangat cepat sebagai dampak dari kebijakan
Pemerintah Cina di awal 1990an. Banyak orang Korea Cina yang memiliki gagasan
untuk pergi ke Korea Selatan, dan telah menjadi pendapat umum bahwa “untuk
dapat meraih kehidupan yang lebih baik secara cepat, adalah bermigrasi ke Korea
Selatan”. Hal tersebut begitu aspiratif dan diyakini, sehingga migrasi mereka
seakan dihembuskan bersama “Angin Korea.
Sinkronitas
tercipta, bersamaan dengan kondisi mendesak untuk melarikan diri kebijakan
privatisasi pada sektor Ekonomi di Cina, dan permintaan pasar tenaga kerja di Korea
Selatan langsung dijawab oleh Tenaga kerja Cina Korea mulai 1990 dan seterusnya,
sebagai sumber tenaga kerja murah, dalam sektor pelayanan, pembantu rumah
tangga, dan buruh bangunan serta Industri (Lim dan Hwang 2002). Dalam konteks
ini, Korea Cina dan pasar tenaga kerja Korea telah saling melakukan promosi
identitas yang unik antara Korea Cina sebagai “hampir Korea”, tetapi “tidak
cukup Korea”, berdasarkan kesamaan etnis mereka sebagai Korea dan perbedaan Negara
mereka sebagai Warga Negara Cina. Hal Ini menjadi hubungan antar etnis yang hamper
sama dan unik, ketika kelompok etnik Cina Korea memiliki kemungkinan hubungan
dengan jenis pekerjaan tertentu sebagaimana yang ditentukan kebijakan oleh
pemerintah Korea Selatan (mereka sebagai pekerja restoran, pembantu rumah
tangga, dan buruh bangunan). Hal ini semakin memperkuat penanda bahwa “Korea
Cina” merupakan etnis kelas bawah selalu menghadapi diskriminasi di Korea
Selatan. Meskipun masing-masing etnis dikelompokkan berdasarkan pada kebutuhan
pasar, namun bagaimanapun juga, Korea Selatan merupakan tanah air yang tidak
dapat diakses, dan kini menjadi suatu “tanah yang dijanjikan” bagi orang-orang
Korea Cina. Dalam hubungan antar Negara (Korea dan Cina) yang tarik-ulur, Angin Korea
telah membawa hampir 600.000 warga China untuk tinggal dan bekerja hingga pada
akhir 2014, dari total populasi di China yang berjumlah sekitar dua juta orang
Nona Kang
adalah salah seorang pendatang Cina Korea. Dia bekerja di Yanbian sebagai pekerja
pabrik yang membuat meja dan kursi kayu, namun pada saat pabrik tersebut
bangkrut ia kehilangan pekerjaannya pada
pertengahan 1990-an. Peneliti pertama kali bertemu dengannya di Korea pada
tahun 2004 di sekertariat gereja yang menganjurkannya untuk menjadi tenaga
kerja Cina Korea dan mendapatkan hak tinggal serta perumahan di Korea; dia
cemas tentang resiko yang sering terjadi yaitu dideportasi karena kelengkapan dokumen
imigrasi sebagai juru masak berbakat yang berpengalaman pada beberapa restoran
di sekitar Seoul. Meskipun Nona. Kang ingin kembali ke suatu saat nanti, pada
saat itu.
Waktu dia
masih diperlukan untuk memperoleh penghasilan lebih banyak di Korea karena
semua uang dia telah mengakuisisi dalam dirinya tiga tahun pertama di negara
itu telah pergi untuk melunasi utang ke broker ilegal yang difasilitasi migrasi
nya. Ms. Kang merindukan keluarga-nya nya anak-dan suami dan dua berkomunikasi
dengan mereka menggunakan internasional kartu telepon sekali setiap minggu atau
dua. Dia bisa mencoba menggunakan utusan Internet atau chatting web-camera
untuk lebih bersilaturahmi, tapi dia tidak akrab dengan teknologi. Suatu hari,
dia bertanya apakah aku bisa membantunya dengan instant messaging Program
dengan kemampuan webcam sehingga dia benar-benar bisa melihat keluarganya. saya
bilang ya dan dia menelepon untuk mengatur keluarganya untuk duduk di depan
anaknya komputer pada waktu yang telah ditentukan. Melalui MSN Messenger, yang
biasa digunakan tapi media sebelumnya tidak dapat diakses kepadanya, ia
akhirnya bisa melihat suaminya dan dua putra. Aku ingat jelas bagaimana
emosional pertemuan itu; dia tersenyum luas, matanya basah dengan air mata,
melalui seluruh percakapan. Bungsunya anak bertanya, "Ibu, kapan kau akan
kembali?" "Begitu saya cukup membuat uang, "jawabnya. Namun tak
seorang pun tampaknya tahu berapa banyak uang yang akan cukup, atau berapa lama
waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan jumlah ini tidak diketahuiNya. Suami
tidak menunjukkan banyak kasih sayang dan mengatakan sedikit di kamera. Tapi
itu jelas bahwa semua anggota keluarga yang diinginkan untuk melihat satu sama
lain tidak hampir tapi secara pribadi, dlm waktu dekat.
Hingga tahun
2005, jenis penantian dialami oleh keluarga Nona. Kang cukup berhasil
dibandingkan keluarga-keluarga antara Cina Korea. Status hukum mereka sering
kali illegal atau tidak memiliki dokumen-dokumen ijin migrasi, selain itu
mereka tidak bebas pulang-pergi Korea-China. Nona Kang dan lebih dari 200.000 orang
Cina Korea takberdokumen lainnya tertahan di kamp penampungan imigran gelap,
sambil menunggu pemerintah Korea memberi amnesti melalui revisi dokumen
kegiatan di luar negeri, untuk menetapkan status hukum warga Korea Cina yang
berada di Korea Selatan. Pemerintah Korea melakukan pendataan dan identifikasi
kategori orang luar Korea Selatan, dan diseleksi untuk dapat diterima di Korea
Selatan berdasarkan kemampuan, keterampilan dan manfaatnya bagi Negara Korea
Selatan. Dengan penetapan hak yang hampir sama dengan warga negara Korea (Park
and Chang 2005), aktivitas mereka ber status setengah warga negara untuk orang
luar Korea. Walaupun China Korea tidak termasuk kategori “Korean Overseas”,
atau dibedakan dengan warga luar negeri lainnya, karena asosiasi sosialis
mereka dan konflik politik yang akan mungkin terjadi kembali sehingga tidak
memungkinkan untuk memiliki kewarganegaraan ganda. Pengecualian ini ternyata juga
karena sebagian besar Cina Korea melakukan migrasi dengan melalui broker
imigrasi ilegal dan dikenakan biaya tinggi, sama dengan satu atau dua tahun pendapatan
dari rata-rata $ 10.000 sampai $ 20.000. Karena biaya yang melambung tersebut, pasangan
hidup biasanya harus memutuskan siapa yang akan pergi dan siapa yang akan tetap
di belakang untuk mengurus anak-anak dan harta keluarga. Bagian yang dibentuk
oleh hukum immigrasi Korea dan rezim tenaga kerja ilegal itu menimbulkan, semakin
terpisahnya pasangan sehingga mereka bisa mengirim satu dari pasangan ke Korea.
Dalam konfigurasi ini mereka yang berada pada bagian “penantian” mereka menjadi
bagi bagian penting dari migrasi Cina Korea yang merupakan bentuk baru dari
hubungan dekat dan manajemen keuangan erat dan bergantung pada aliran remitan.
Sejak Mahkamah
Konstitusi Korea menyatakan UU “Korea Overseas” melanggar konstitusi pada tahun
1999 yang disebabkan terindikasi diskriminatif, maka sampai 2004 hukum itu
tertunda direvisi untuk memasukkan kembali orang-orang itu sebelumnya telah
dikeluarkan. Hal tersebut merupakan kebijakan baru yaitu diberikannya hak yang
sama untuk semua orang luar negeri Korea -kecuali mereka yang terlibat dalam
pekerjaan fisik/kasar, jenis pekerjaan yang paling mencirikan Korean Chinese. Akibatnya,
revisi perundangan tersebut tidak bermanfaat dan menguntungkan Korea Cina yang sudah
bekerja pada sektor jasa dan konstruksi. Sebaliknya, Pemerintah Korea mengeluarkan
H-2 visa, visa kerja kunjungan luar negeri Korea, untuk ini pekerja,
mengharuskan mereka untuk bermigrasi antara Korea dan China dalam waktu yang
ditetapkan baik di Korea dan Cina ataupun untuk mempertahankan visa kerja
mereka. Sistem visa yang aneh ini dirancang untuk mencegah Korea Cina menetap
di Korea, dan saat ini pemerintahan melakukan kontrol baik untuk “kerja” dan “penanti
“ Cina Korea, untuk mengatur struktur aliran dan ritme gerakan remitan ke Cina.
Di bawah berlakukan
visa temporal (berbatas waktu), Nona Kang akhirnya kembali ke Yanbian dan
tinggal di sana bersama keluarganya selama satu tahun. Dia segera menyadari,
bagaimanapun juga, dia tidak mampu menjaga dengan melonjaknya biaya hidup dengan
hanya menggantungkan penghasilannya dari Korea. Sebagaimana ia katakan di
Yanbian di tahun 2008, "Saya tidak bisa membeli apa-apa dengan 100 Yuan -tidak
seperti tujuh tahun yang lalu, sebelum aku pergi ke Korea. Semua orang
tampaknya jauh lebih baik dari saya karena mereka menghabiskan uang seperti
air. "Setelah bertahun-tahun kerja melelahkan di Korea, ia merasa mengalami
penurunan pendapatan dan relative miskin di rumah, dan hal ini menyebabkan untuk
kembali ke Korea. Ketika peneliti bertemu sekali lagi setahun kemudian di
negara itu, Nona Kang terus mengkhawatirkan suaminya: "Kami tidak lagi
terlalu dekat dan kita tidak berbicara banyak melalui telepon. "Selain
karena dengan visa H-2, dia selalu sering bolak-balik antara Yanbian dan Korea,
dan dengan setia mengirimkan uang. Suami, yang memperoleh pendapatan tidak
sendiri, terus mencari apartemen lain yang lebih murah sehingga ia dapat menyisihkan
biaya sewa sebagai sumber penghasilan tambahan. Beberapa pasangan yang berusia lima
puluhan akhir, mantan buruh pabrik mantan mendapatkan uang pensiun dengan
jumlah yang kecil, mereka harus menabung mempersiapkan untuk pensiun: seorang
dengan mencari uang, yang lain dengan menanti uang di dua negara yang berbeda,
keduanya bersama-sama dan terpisah oleh jarak- "namun tetap bersama
"(Baldassar dan Merla 2013).
Adam,
Barbara
1991
Time and Social Theory. Philadelphia: Temple University Press.
Ahmed,
Sara
2010
The Promise of Happiness. Durham, N.C.: Duke University Press.
Bhabha,
Homi
1994
The Location of Culture. London: Routledge.
Baldassar,
Loretta, and Laura Merla
2013
“Locating Transnational Care Circulation
in Migration and Family Studies.” In Transnational Families, Migration, and
the Circulation of Care: Understanding Mobility and Absence in Family Life,
edited by Loretta Baldassar and Laura Merla, 25–58. London: Routledge.
Boris,
Eileen, and Rhacel Salazar Parren˜as, eds.
2010
Intimate Labors: Culture, Technologies,
and the Politics of Care. Stanford,
California: Stanford University Press.
Brennan,
Denise
2004
What’s Love Got To Do With It:
Transnational Desires and Sex Tourism in the Dominican Republic. Durham, N.C.: Duke University Press.
Chu,
Julie
2009
Cosmologies of Credit: Transnational
Mobility and the Politics of Destination in China. Durham, N.C.: Duke University Press.
Chua,
Jocelyn Lin
2011
“Making Time for the Children:
Self-Temporalization and the Cultivation of the Anti-suicidal Subject in South
India.” Cultural Anthropology 26, no. 1: 112–37. http://dx.doi.org/10.1111/j.1548-1360.2010.01082.x.
Clifford,
James
1997
Routes: Travel and Translation in the Late
Twentieth Century. Cambridge, Massachusette.: Harvard
University Press.
Constable,
Nicole
2007
Maid to Order in Hong Kong: Stories of
Migrant Workers. 2nd edition. Ithaca, N.Y.: Cornell
University Press.
2009
“The Commodification of Intimacy:
Marriage, Sex, and Reproductive Labor.”Annual Review of Anthropology 38:
49–64. http://dx.doi.org/10.1146/annurev.anthro.37.081407.085133.
Crapanzano,
Vincent
1986
Waiting: The Whites of South Africa. New York: Random House.Deleuze, Gilles
1988
Spinoza: Practical Philosophy. San Francisco: City Lights.
Derrida,
Jacques
1994
Given Time I: Counterfeit Money. Chicago: University of Chicago Press.
Ehrenreich,
Barbara, and Arlie Russell Hochschild, eds.
2004
Global Woman: Nannies, Maids, and Sex
Workers in the New Economy. New York:Holt.
Faier,
Lieba
2007
“Filipina Migrants in Rural Japan and
Their Professions of Love.” American Ethnologist 34, no. 1: 148–62. http://dx.doi.org/10.1525/ae.2007.34.1.148.
Felski,
Rita
2000
Doing Time: Feminist Theory and Postmodern
Culture. New York: New York University Press.
Freeman,
Caren
2011
Making and Faking Kinships: Marriage and
Labor Migration Between China and South Korea.
Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
Gasparini,
Giovanni
1995
“On Waiting.” Time and Society 4,
no. 1: 29–45. http://dx.doi.org/10.1177/0961463X95004001002.
Gregory,
Christopher
1982
Gifts and Commodities. London: Academic Press.
Gu,
Edward X.
2002
“The State Socialist Welfare System and the Political Economy of Public Housing
Reform in Urban China.” Review of Research Policy 19, no. 2: 179–211. http://dx.doi.org/10.1111/j.1541-1338.2002.tb00270.x.
Hage,
Ghassan
2009
“Waiting Out the Crisis: On Stuckness and
Governmentality.” In Waiting, edited by Ghassan Hage, 97–106. Carlton,
Vic.: University of Melbourne Press.
Han,
Clara
2011
“Symptoms of Another Life: Time,
Possibility and Domestic Relations in Chile’s Credit Economy.” Cultural
Anthropology 26, no. 1: 7–32. http://dx.doi.org/10.1111/j.1548-1360.2010.01078.x
Hardt,
Michael, and Antonio Negri
2000
Empire.
Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Harms,
Erik
2013
“Eviction Time in the New Saigon:
Temporalities of Displacement in the Rubble of Development.” Cultural
Anthropology 28, no. 2: 344–68. http://dx.doi.org/10.1111/cuan.12007.
Hung,
Eva P. W., and Stephen W. K. Chiu
2003
“The Lost Generation: Life Course Dynamics
and Xiagang in China.” Modern China 29, no. 2: 204–36. http://dx.doi.org/10.1177/0097700402250740.
Jeffery,
Craig
2010
“Timepass: Youth, Class, and Time among
Unemployed Young Men in India.”American Ethnologist 37, no. 3: 465–81. http://dx.doi.org/10.1111/j.1548-
1425.2010.01266.x.
Kim,
Hyun Mee
2008
“The Korean Chinese Migration Experience
in England: The Case of Residents in Korea Town.” Korean Anthropology 41,
no. 2: 39–77.
Lazzarato,
Maurizio
1996
“Immaterial Labor.” In Radical Thought
in Italy: A Potential Politics, edited by Paul Virno and Michael Hardt,
133–50. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Lee,
Jinyoung, Hyekyung Lee, and Hyunmee Kim
2008
The Effect of Satisfaction on the Visit
and Employment System. Korean Immigration Service.
Lee,
Ching Kwan
2007
Against the Law: Labor Protests in China’s
Rustbelt and Sunbelt. Berkeley: University of California
Press.
Lim,
Hyun-Chin, and Suk-Man Hwang
2002
“The Political Economy of South Korean
Structural Adjustment: Reality and Fac¸ade.” African and Asian Studies 1,
no. 2: 87–112. http://dx.doi.org/10.1163/156921002x00086.
Mackenzie,
Peter W.
2002
“Strangers in the City: The Hukou and
Urban Citizenship in China.” Journal of International Affairs 56, no. 1:
305–19.
Mains,
Daniel
2007
“Neoliberal Times: Progress, Boredom, and
Shame among Young Men in Urban Ethiopia.” American Ethnologist 34, no.
4: 659–73. http://dx.doi.org/10.1525/ae.2007.34.4.659.
Marx,
Karl
1998
The Economic and Philosophic Manuscripts
of 1844. Translated by Martin Milligan.Amherst,
N.Y.: Prometheus Books.
Mauss,
Marcel
2000
The Gift: The Form and Reason of Exchange
in Archaic Societies. New York: W. W. Norton.
Minnegal,
Monica
2009
“The Time is Right: Waiting, Reciprocity,
and Sociality.” In Waiting, edited by Ghassan Hage, 89–96. Carlton,
Vic.: University of Melbourne Press.
Noh,
Gowoon
2011
“Life on the Border: Korean Chinese
Negotiating National Belonging in Transnational Space.” PhD dissertation,
University of California, Davis. O’Neill, Bruce
2014
“Cast Aside: Boredom, Downward Mobility,
and Homelessness in Post- Communist Bucharest.” Cultural Anthropology 29,
no. 1: 8–31. http://dx.doi.org/10.14506/ca29.1.03.
Park,
Gwang Sung
2006
“The Movement of Korean Chinese Labor and
Social Change in the Age of Globalization.” PhD Dissertation, Seoul National
University.
Park,
Jung-Sun, and Chang, Paul
2005
“Contention in the Construction of a
Global Korean Community: The Case of the Overseas Korean Act.” Journal of
Korean Studies 10, no. 1: 1–27. http://www.jstor.org/stable/41490207.
Parren˜as,
Rhacel Salazar
2001
Servants of Globalization: Women,
Migration, and Domestic Work. Stanford, Calif.: Stanford
University Press.
Pun,
Ngai
2005
Made in China: Women Factory Workers in a
Global Work Place. Durham, N.C.: Duke University Press.
Richard,
Analiese, and Rudnyckyj, Daromir
2009
“Economies of Affect.” Journal of the
Royal Anthropological Institute 15, no. 1: 57–77. http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-9655.2008.01530.x.
Rundell,
John
2009
“Temporal Horizons of Modernity and
Modalities of Waiting.” In Waiting, edited by Ghassan Hage, 89–96.
Carlton, Vic.: University of Melbourne Press.
Seol,
Dong-Hoon
2002
“Korean Chinese Working in Korea—Are They
Overseas Koreans or Foreigners?” Trend and Perspective, no. 52: 200–23.
Spinoza,
Benedict de
1994
Ethics. Translated
by Edwin Curley. New York: Penguin Classics.
Walder,
Andrew
1986
Communist Neo-Traditionalism: Work and
Authority in Chinese Industry.
Berkeley: University of California Press.
Yan,
Hairong
2008
New Masters, New Servants: Migration,
Development, and Women Workers in China. Durham,
N.C.: Duke University Press.
Zhang,
Li
2002
Strangers in the City: Reconfiguration of
Space, Power, and Social Networks within China’s Floating Population. Stanford, Calif.: Stanford University Press.
Zheng,
Tiantian
2009
Red Lights: The Lives of Sex Workers in
Postsocialist China. Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar