Sabtu, 26 November 2016

Panduan Lapangan Pembentukan Budaya Sekolah (9): Melakukan Assesmen dan Merubah Budaya Beracun

Budaya-budaya beracun atau subkultur negatif dapat menjadi sangat merusak suatu sekolah –hal ini berkaitan dengan moral staf atau pembelajaran siswa. Untuk memahami seluk-beluk mengenai budaya beracun, penting untuk dipahami bagaimana hal tersebut dibedakan dengan yang positif.
Pada budaya-budaya positif, seseorang dapat melihat dari seperangkat norma dan pranata, sejarah dan kisah-kisah, harapan dan mimpi yang produktif, kerja keras, dan rasa optimis. Hubungan positif akan melimpahkan kekuatan rasa sehingga terhubung dengan inti misi utama. Budaya positif ini memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut  (Deal and Peterson, 1999):
  • Misi difokuskan pada pembelajaran siswa dan guru
  • Memiliki kekayaan rasa pada sejarah dan cita-cita
  • Nilai-nilai kemitraan, performa, dan mengembangan yang memicu peningkatan kualitas prestasi dan pembelajaran.
  • Keyakinan yang positif dan asumsi bahwa siswa dan juga staf memiliki potensi untuk tumbuh dan belajar.
  • Komunitas profesional yang kuat, dengan mengacu pada penggunaan pengetahuan, pengalaman dan riset untuk selalu mengembangkan praktek.
  • Rasa untuk berbagi tanggungjawab bersama akan keluaran siswa
  • Jejaring kebudayaan yang memberikan dukungan positif pada arus komunikasi
  • Kepemimpinan staf dan administrator yang melebur secara berkelanjutan serta keberlanjutan pengembangan
  • Ritual dan seremoni yang memperkuat nilai-nilai budaya inti
  • Kisah-kisah untuk memperingati dan menghargai para pahlawan dan kepahlawanannya
  • Hubungan interpersonal secara menyeluruh, cita-cita yang penuh makna dan keyakinan pada masa depan.
  • Lingkungan fisik yang melambangkan kebanggaan dan kejayaan
  • Berbagi rasa seluas-luasnya, terutama perhatian, dan penghargaan pada semua orang dalam institusi tersebut.
Budaya positif mengenai sekolah tidak mungkin dibahas tanpa menghadirkan kemungkinan-kemungkinan adanya kultur negatif atau beracun. Banyak sekolah yang memiliki dan menikmati kultur positif, namun beberapa di antaranya masih terjerat pada seperangkat norma dan nilai-nilai negatif. Pola ebudayaan sekolah yang yang negatif terbangun dari waktu ke waktu seiring dengan perselisihan staf, dan berbagai kasus, dan pada beberapa kasus mereka mendapatkan kegagalan bersama.
Pada kultur positif, tantangan alami yang harus ditangani dan dihadapi secara terbuka adalah kultur negatif. Tantangan tersebut dapat tumbuh dan selalu menyelimuti, serta dapat berkembang menjadi sesuatu yang mengganggu fungsi sekolah. Budaya ataupun subkultur beracun mengurangi rasa antusias, profesionalisme, dan efektifitas koordinasi menjadi sangat rendah. Pemimpin harus benar-benar memperhatikan dan segera menangani elemen-elemen negatif, jika ingin sekolah masih tetap tegak berdiri. Budaya beracun memiliki karakteristik sebagai berikut (Deal and Peterson, 1999):
  • Kurangnya tujuan bersama atau misi terpecah-belah berdasarkan kepentingan anggota staf 
  • Staf lebih banyak melakukan aktivitas kerja di luar, negatif, atau sentimen yang tidak mendukung pembelajaran siswa 
  • Melihat masa lalu sebagai kisah kekalahan dan kegagalan
  • Norma bersifat individualisme secara radikal, rasa penghargaan yang biasa-biasa saja, dan menghindari inovasi 
  • Kurangnya rasa kebersamaan komunitas oleh keyakinan negatif tentang rekan dan siswa. 
  • Kurangnya tradisi positif atau seremoni untuk mengembangkan dan memperkuat rasa komunitas
  • Terdapat jaringan budaya penentang, pemboikot, penyebar rumor/isu/gosip, dan anti-hero, yang lebih sering hanya mengkomunikasi hal negatif
  • Kelangkaan peran kepemimpinan yang baik di kantor kepala sekolah, ataupun di antara staf model atau teladan yang memiliki peran positif tidak dihargai di sekolah dan masyarakat, sehingga hubungan sosial telah menjadi terfragmentasi dan secara terbuka antagonis.
  • Dibandingkan harapan, impian, dan visi yang jelas, rasa putus asa, kekecewaan, dan keputusasaan jauh lebih besar.
Pengaturan yang dapat dilakukan untuk menciptakan kondisi tempat-tempat supaya menjadi lebih menyenangkan untuk bekerja, karena jika tidak, anggota staf akan cenderung menjadi terbiasa dengan hal negatif dengan melakukan penyesuaian dengan pada lingkungan beracun. Selain itu, kultur negatif diperkuat oleh adanya jaringan budaya penentang, dan pemboikot. Hal ini kadang sulit untuk melihat patologi mereka sendiri, apalagi mengubahnya.
Tindakan yang dapat dilakukan oleh pemimpin dibentuk oleh konteks. Dengan demikian, Pemimpin perlu bertanya pada diri sendiri: Bagaimana mungkin sekolah dengan budaya beracun dijadikan tempat kerja? Apakah ada calon pemimpin yang dapat membawa sekolah maju secara bersama-sama? Apakah pernah ada suatu waktu ketika masyarakat dapat dibawa bersama-sama  maju dengan cara yang positif?
Biasanya, setidaknya terdapat sebagian kecil orang optimis yang ingin mengubah budaya di sekitar. Bekerja dengan budaya dan subkultur beracun benar-benar penting untuk melakukan transformasi dengan cara membangun sekolah menjadi lebih kuat dan produktif. Sejumlah kepala sekolah dan guru telah menunjukkan kepada kita bahwa membutuhkan beberapa orang kuat dengan karakter negatif yang kuat untuk menggerogoti sekolah sehingga menjadi lemah, sekarat, atau runtuh dan mati.

Referensi:
 
Bower, M.Will to Manage. New York:McGraw-Hill, 1996.
Clark, B. “The Organizational Saga in Higher Education.” Administrative Science Quarterly,
1972, 17, 178–184.
Deal, T. E., and Kennedy, A. A. Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate Life.
Reading,Mass.: Addison-Wesley, 1982.
Deal, T. E., and Key, M. K. Corporate Celebration: Play, Purpose, and Profit at Work. San
Francisco: Berrett-Koehler, 1998.
Deal, T. E., and Peterson, K. D. The Leadership Paradox: Balancing Logic and Artistry in
Schools. San Francisco: Jossey-Bass, 1994.
Deal, T. E., and Peterson, K. D. Shaping School Culture: The Heart of Leadership. San
Francisco: Jossey-Bass, 1999.
Gordon,W. J. Synectics: The Development of Creative Capacity. New York: Collier Books,
1961.
Kouzes, J. M., and Posner, B. Z. Encouraging the Heart: A Leader’s Guide to Rewarding and
Recognizing Others. San Francisco: Jossey-Bass, 1999.
Kübler-Ross, E. On Death and Dying. New York:Macmillan, 1969.
Ott, J. S. The Organizational Perspective. Pacific Grove, Calif.: Brooks/Cole, 1989.
Schein, E. H. Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey-Bass, 1985.
Waller,W. The Sociology of Teaching. New York:Wiley, 1932.

Tidak ada komentar: