Budaya memiliki makna yang lebih
dalam, sehingga lebih sulit untuk mengidentifikasi elemen-elemennya, seperti
norma-norma dan nilai-nilai/ pranata, serta fitur cenderung terlihat seperti
ritual dan upacara. Di sini kita akan memeriksa fitur kunci dari budaya
sekolah. Elemen inti budya sekolah dalam hal ini antara lain adalah:
• Rasa memiliki tujuan dan visi
• Norma, nilai-nilai, keyakinan, dan asumsi
• Ritual, tradisi, dan upacara
• Sejarah dan cerita
• Arsitektur, artefak, dan simbol
Sifat fitur-fitur tersebut,
dimaksudkan untuk menyediakan gambaran tentang
kegiatan-kegiatan kelompok sebagai bacaan dan dipahami dengan menampilkan contoh-contoh
dari kenyataan sebenarnya aktivitas di sekolah, dan mengajukan pertanyaan
reflektif individu atau Kelompok sebagai
bahan perenungan staf sekolah dan pemimpin dapat merenungkan.
Dapatkah Budaya dibentuk dengan Kepemimpinan?
Sebuah pertanyaan kunci, dapatkah
budaya dibentuk oleh kepemimpinan, ataukah itu begitu amorf/tanpa bentuk dan
dapat diubah sehingga terbentuk dengan sendirinya?
Meskipun budaya sekolah sangat tertanam dalam hati, pikiran staf, siswa, dan orang tua, dapat dibentuk oleh kepemimpinan. Sebagaiman pembahasan ini akan menunjukkan, salah satu tugas utama pemimpin adalah membentuk budaya (Schein, 1985) melalui berbagai interaksi harian, refleksi secara hati-hati, serta niat upaya sadar.
Meskipun budaya sekolah sangat tertanam dalam hati, pikiran staf, siswa, dan orang tua, dapat dibentuk oleh kepemimpinan. Sebagaiman pembahasan ini akan menunjukkan, salah satu tugas utama pemimpin adalah membentuk budaya (Schein, 1985) melalui berbagai interaksi harian, refleksi secara hati-hati, serta niat upaya sadar.
Gambaran kegiatan yang akan ditampilkan
ini pernah digunakan oleh kepala sekolah dan fakultas mereka untuk memahami
pola-pola budaya yang ada dan bagaimana ini bisa terbentuk atau berubah.
Tentu saja, pembahasan ini bukan obat
mujarab. Segala unsur dalam sekolah harus berpegang pada nilai-nilai bersama
untuk membentuk budaya menuju arah yang penting, bernilai, dan bermakna untuk
sekolah mereka. Secara terperinci contoh dari aktivitas mereka dalam membentuk budaya sekolah akan dibahas pada artikel berikutnya
Referensi :
Bower,
M.Will to Manage. New York:McGraw-Hill, 1996.
Clark,
B. “The Organizational Saga in Higher Education.” Administrative Science
Quarterly,
1972, 17,
178–184.
Deal,
T. E., and Kennedy, A. A. Corporate Cultures: The Rites and Rituals of Corporate
Life.
Reading,Mass.:
Addison-Wesley, 1982.
Deal,
T. E., and Key, M. K. Corporate Celebration: Play, Purpose, and Profit at
Work. San
Francisco:
Berrett-Koehler, 1998.
Deal,
T. E., and Peterson, K. D. The Leadership Paradox: Balancing Logic and Artistry
in
Schools.
San Francisco: Jossey-Bass, 1994.
Deal,
T. E., and Peterson, K. D. Shaping School Culture: The Heart of Leadership. San
Francisco:
Jossey-Bass, 1999.
Gordon,W.
J. Synectics: The Development of Creative Capacity. New York: Collier
Books,
1961.
Kouzes,
J. M., and Posner, B. Z. Encouraging the Heart: A Leader’s Guide to
Rewarding and
Recognizing
Others. San Francisco: Jossey-Bass, 1999.
Kübler-Ross,
E. On Death and Dying. New York:Macmillan, 1969.
Ott, J.
S. The Organizational Perspective. Pacific Grove, Calif.: Brooks/Cole,
1989.
Schein,
E. H. Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey-Bass,
1985.
Waller,W.
The Sociology of Teaching. New York:Wiley, 1932.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar