Senin, 04 Juli 2016

FILOSOFI PENELITIAN KEPENDIDIKAN (35): Penelitian dalam Praktek-Penelitian Tindakan dan Penelitian Praktisi

Guru sebagai Peneliti

Praktek pendidikan terdiri dari berbagai transaksi antara guru dan peserta didik. Transaksi ini merupakan transaksi educational karena semua proses tersebut diarahkan dan dibatasai oleh tujuan serta nilai-nilai tertentu. Tujuannya adalah bahwa siswa harus belajar. Nilai-nilai berhubungan dengan cara dari transaksi-transaksi berlangsung dan nilai dari apa yang harus dipelajari. Nilai-nilai tersebut berhubungan dengan tata cara mengenai transaksi-transaksi untuk menempatkannya secara layak mengenai yang dipelajari. Penelitian kependidikan harus terpusat meskipun tidak berarti eksklusif, dan difokuskan pada transaksi tersebut -pada cara di mana pembelajaran didorong, dibina, direncanakan dan membawa kepada nilai-nilai yang tertanam dalam diri mereka. Transaksi tersebut memang rumit. Guru harus terus menerus menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak terduga, selalu siap menanggapi tingkat pemahaman peserta didik, dan selalu mencoba pendekatan baru. Guru adalah pengelola situasi yang cair, tak terduga, serta dinamis. Dan  hal ini sebaiknya menjadi kasus, karena  tidak terdapat hubungan sebab-akibat langsung antara intervensi guru dengan hasil pembelajaran. Alasannya adalah terdapat terlalu banyak elemen yang saling berinteraksi, termasuk keyakinan dan pemahaman peserta didik melalui intepretasi tindakan guru.

Oleh karena itu, hal yang pertama kali harus diperhatikan adalah rumitnya transaksi tersebut - dari nilai-nilai dan tujuan yang menginformasikan praktik pendidikan, penyesuaian guru yang terus-meneruss, dan keyakinan dan interpretasi dari pelajar. Dan semua ini harus dilihat dalam berbagai ketentuan fisik dan sosial yang khas di sekolah, kelas atau dalam proses transaksi tersebut. Mengingat kompleksitas ini, akan menjadi sulit bagi peneliti "luar" untuk melihatnya, karena perkenalan yang singkat atau kunjungan periodik, untuk mampu memahaminya. Data yang dikumpulkan pada satu kunjungan tidak akan sama dengan data yang dikumpulkan pada kunjungan berikutnya. Insiden kritis pada hari Kamis tidak akan sama dengan yang pada hari Jumat, ataupun kemiripan dangkal lainnya. Dan dalam hal apapun, suatu insiden tidak akan dapat dipahami tanpa mengacu pada aturan-aturan sosial di mana guru menjalankan rutinitas mengajar, serta memungkinkan aktivitas ini berlangsung terus-menerus dengan relatif lancar. Hal semacam ini juga tidak bisa dipahami tanpa mengacu pada niat guru dan keyakinan pelajar.

Untuk alasan tersebut Stenhouse (1975) berpendapat bahwa guru tidak bisa dijadikan objek penelitian oleh "orang luar", hanya guru itu sendiri yang dapat menjadi peneliti di kelasnya sendiri. Hanya mereka yang memiliki dasar dalam kesehariannya yang memiliki akses pada rumitnya data untuk dapat memahami kelasnya sendiri. Dan hal ini secara filosofis sama pentingnya dengan poin praktisnya. Pemahaman terhadap situasi membutuhkan acuan penerimaan aturan-aturan dan nilai-nilai sosial yang diterapkan oleh guru. Selain itu, perlu juga untuk mengacu intepretasi guru terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai yang selalu digunakan oleh guru pada setiap aktivitas kelas, mengenai pengambilan keputusan, dan bagaimana guru dalam dapat menyesuaikan situasi-situasi yang dapat berubah setiap saat, dan perlu juga melakukan intepretasi terhadap respon-respon peserta didik yang akan membuat panduan nilai-nilai secara konkret. Hanya guru yang dapat memiliki akses pada keputusan yang tepat.  Namun lebih dari itu keyakinan atau kesimpulan-kesimpulan sementara yang ditentukan oleh guru akan menjadi "hipotesis" dan kemudian diletakkan sebagai tes atau pengujian di dalam kelas tersebut. Hanya guru yang dapat melakukan hal tersebut.  

Penekanan terhadap posisi guru yang memiliki hak istimewa dalam kaitannya data penting penelitian, selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan dalam ranah penelitian kependidikan dan mengenenai seberapa besar validitasnya. Dan hal ini menjadi penting untuk melihat sejauh mana pertanyaan-tekanan pertanyaan-pertanyaan tersebut mengejar kita untuk membuat batasan-batasan yang memungkinkan, serta nilai dari guru sebagai peneliti.

Pertama, tantangan kelayakan riset yang baik, yang dapat mengabaikan sudut pandang dari guru dan peserta didik, data yang diakses dan tes aktif yang hanya dapat dilakukan oleh guru yang melakukan penerapan di dalam kelas, selain kesimpulan ataupun keputusan-keputusan.

Kedua, hal itu memancarkan keraguan pada upaya untuk menciptakan ilmu pengajaran, yang secara definitif  terbukti mengenai bagaimana kedua hal tersebut,dan setiap guru harus mengajar. Hal  ini juga  membuat pernyataan seperti itu mengabaikan relevansi dan keragaman 'logika subyek' , variabilitas realitas sosial, ketidakpastian interaksi elemen, dan perbedaan nilai, persepsi dan tujuan pendidikan yang guru bawa ke kelas. Musyawarah dan penilaian dalam bukti jelas, refleksi kritis dalam observasi dan analisis yang jelas, penilaian kembali dalam diskusi dan saran yang lebih tepat daripada penerapan untuk kasus-kasus tertentu  sebagaimana prinsip-prinsip umum. Dan, jika hal ini terjadi, maka ruang kelas harus dilihat sebagai laboratorium di mana guru, dengan maksud untuk meningkatkan pembelajaran siswa, terus menguji ide-ide, metode, nilai-nilai yang ia bawa ke  dalam transaksi. Memang, John Dewey telah mendirikan sekolah selayaknya seperti 'sekolah laboratorium' untuk menguji ide-ide pendidikan saat ia pindah ke Chicago pada tahun 1894 sebagai Profesor Pedagogi. Guru yang baik, melalui merenungkan bukti, selalu siap untuk beradaptasi dengan cara di mana transaksi tersebut dilakukan. Selain itu, sekolah - komunitas guru dan peserta didik - juga akan dilihat sebagai sebuah komunitas di mana pendekatan yang lebih berbasis penelitian ini untuk mengajar, akan diterima dan dipelihara. Tempat tersebut akan menerima kegagalan sebagai kesempatan untuk meningkatkan pengajaran dan untuk merumuskan pendekatan baru. Pengetahuan tumbuh melalui dorongan kritik, tidak melalui penindasan.

Ketiga, Status guru sebagai peneliti tampaknya akan menurunkan arti penting kajian penelitian skala besar, seperti keterkaitan umum yang antara struktur sosial dan kinerja pendidikan, atau kaitan kemapanan yang pernah ada akan cenderung di antara kondisi sosial ekonomi. Teori, sebagai panduan untuk praktek profesional yang dianjurkan oleh O'Connor akan memiliki sedikit atau tidak ada tempat.

Keempat, bagaimanapun, pengakuan terhadap posisi istimewa guru dalam penelitian pendidikan menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas, dan ketidakberpihakan peneliti. Objektivitas menunjukkan bahwa peneliti harus mengambil jarak dengan apa yang sedang diteliti. Prasangka, kepentingan, keakraban, defensif pasti akan mendistorsi penelitian guru. Siapa kemudian dapat memungkinan akan menjamin tidak terjadi usaha pemalsuan hal-hal sangat prinsip-prinsip yang mendasari pengajarannya?

Terakhir, apakah suatu penelitian tidak membutuhakn perspektif teoritis, serangkaian keyakinan yang saling terkait, di mana pengambilan data sesuatu yang pentingnya, tidak boleh dikumpulkan orang lain dengan fitur-fitur tertentu yang lebih penting yang lain? Selain itu juga membutuhkan para guru yang secara cerdas dapat menghubungkan berbagai kompleksitas dalam praktek kependidikan. Adakah teori mengenai apa yang mereka lakukan? Jika guru-guru dipertimbangkan sebagai peneliti, maka (sesorang boleh mempertanyakan secara teoritis) bagaimana guru-guru tersebut dalam memilih dan mengumpulkan dan melakukan intepretasi data tertentu dianggap lebih tepat dibanding alternatif yang lain selain guru?

Terdapat berbagai variasi jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas yang menjadi catatan penting untuk memperbaiki posisi guru sebagai seorang peneliti, dan hal ini merupakan  pendekatan-pendekatan terbaik melalui pengujian singkat dari  tradisi riset kurikulum dan evaluasi yang memiliki kaitan erat dengan Stenhouse, namun dikembangkan secara lebih jelas oleh Elliot (1991). Isu-isu kurikulum yang Stenhouse tangani, pada saat itu di Inggris, usia lulus sekolah (di Indonesia setara lulus SMA) ditetapkan pada 16, (sebelumnya penetapan usia lulus sekolah adalah usia 15 tahun).  Penambahan satu tahun tersebut digunakan untuk penyediaan pendidikan pengalaman terutama untuk yang lebih cocok pada pendidikan praktis, kejuruan, atau pelatihan kerja. Stenhouse dalam menentukan kebijakannya didasari pendapat bahwa, bagaimanapun, orang-orang muda banyak membutuhkan pengalaman dan pelatihan tersebut, disamping sebagai orang-orang yang telah dinilai sebagai akademis yang unggul. Dengan demikian yang sesungguhnya dibutuhkan adalah penilaian ulang dari kurikulum, terutama pedagogi, yang harus dianggap sebagai bagian dari kurikulum. Penilaian ulang diperlukan, pemeriksaan tujuan, dan nilai-nilai/aturan dalam pengajaran humaniora, cara di mana humaniora mungkin menginformasikan penilaian dari siswa dalam kehidupan praktis mereka, pemilihan materi untuk mendukung bahwa mengajar, gaya mengajar untuk diadopsi, dan hak-hak siswa untuk memiliki pandangan bahwa mereka dilindungi. Tidak ada resep sederhana atau formula yang akan dilakukan. Guru diharapkan tidak hanya mengajar humaniora; mereka penjelajah di wilayah pengetahuan baru yang tidak atau belum dikenal.

Memang, Stenhouse telah mendefinisikan kurikulum dalam istilah-istilah penelitian: 'Sebuah kurikulum merupakan upaya untuk mengkomunikasikan prinsip-prinsip penting dan fitur dari usulan bentuk kependidikan sehingga selalu terbuka untuk menerima pengawasan kritis dan mampu menjadi penerjemah efektif bagi hal-hal yang berkaitan dengan praktek' (Stenhouse 1975 , p. 4). Masalah yang Stenhouse lihat adalah begitu banyak ususlan kependidikan yang ditetapkan sebagai seperangkat niatan, belum teruji dan tidak pernah tunduk pada pengawasan kritis. Seolah-olah mereka yang diresepkan kurikulum (misalnya, pemerintah), jauh dari proses transaksi dalam setiap kelas, merasa mengetahui yang terbaik dan bahwa terjemahan dari kurikulum dianggap relatif tidak bermasalah dalam praktek. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan jarang dieksplorasi. Untuk mengeksplorasi diperlukan pertanyaan apa yang akan terjadi jika ..., yaitu, dapat berupa hipotesis mengenai efek dari niat tindakan yang didukung kurikulum tersebut. Sebagaimana eksplorasi tentu akan membutuhkan pembuktian pedagogi, sumber daya, konteks, nilai-nilai/aturan/norma, bahkan relevansi kerangka keputusan pemerintah secara lebih luas. Selain itu, sebagaimana eksplorasi pasti akan kembali mencerminkan asumsi dan nilai-nilai dari niat asalnya. Tindakan yang diterapkan dengan baik mungkin menciptakan situasi baru ataupun memunculkan hal yang tidak diinginkan mempengaruhi dunia sosial sebagaimana yang diharapkan oleh 'kurikulum' itu. Dengan demikian Putnam dan Borko (2000) menyebut 'kognisi terkondisi' (dan memang 'teori pengkondisian'). Mereka berpendapat bahwa: konteks fisik dan sosial di mana suatu kegiatan berlangsung merupakan bagian integral dari kegiatan, dan aktivitas merupakan bagian integral dari pembelajaran yang terjadi di dalamnya '(p 4.).

Secara ilustrasi, 'eksperimen Kurikulum Stenhouse' adalah sebagai berikut. Humaniora adalah penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pertanyaan khas manusia tentang praktek hidup. Pertanyaan-pertanyaan ini yang berkaitan mengenai isu-isu seperti hubungan antara jenis kelamin, keberadaan dan toleransi kemiskinan, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan sosial dan individual, kondisi setelah perang, hubungan dengan berbagai bentuk kekuasaan termasuk orang tua, hubungan ras dan etnis . Bidang-bidang seperti hidup praktis pada dasarnya kontroversial, yang artinya hal ini terlibat masalah nilai yang tidak memiliki konsensus dalam masyarakat kita. Menjadi kontroversial dalam pengertian ini, guru tidak memiliki kewenangan untuk mengatakan apa yang menjadi jawaban yang tepat untuk setiap pertanyaan spesifik. Sebaliknya harus merupakan jawaban dari proses berpikir, berpendapat, dan dibahas dengan bukti yang jelas dan tepat. Bukti tersebut dapat ditemukan dalam sastra, puisi, sejarah, teologi, seni, ataupun ilmu. Oleh karena itu, kurikulum terdiri dari banyak usulan mengenai penggunaan bukti tersebut dalam pembahasan tentang bidang kehidupan praktis pada masyarakat yang beraneka raga,. Para siswa, sebagaimana orang tua dan guru mereka, tidak bisa menghindari masalah tersebut. Bagaimana mungkin kemudian isu-isu tersebut ditangani di kelas? Untuk menjawab suatu pertanyaan penelitian itu perlu untuk merumuskan hipotesis tertentu mengenai penggunaan bukti-bukti, keterlibatan siswa dalam musyawarah, dorongan pemikiran reflektif, peran guru, perlindungan terhadap pandangan minoritas. Dan hipotesis ini perlu diuji dalam konteks masing-masing kelas. Hipotesis tertentu juga perlu dikonfirmasi dalam praktek guru; konfirmasi dari orang lain tergantung pada konteks, etos sekolah, atau kepribadian guru, kurikulum, oleh karena itu, lebih dari seperangkat misi tertulis. Itu seperangkat keputusan sementara mengenai cara belajar yang mungkin terjadi dan bagaimana nilai-nilai tertentu mungkin dibuat kongkret dalam pengajaran. Nilai-nilai tersebut, pada gilirannya, mencerminkan keyakinan tentang karakteristik pengetahuan, tentang tujuan pendidikan dan tentang nilai isi kurikulum dan juga prosedurnya. Memang, kurikulum dipandang sebagai sesuatu yang agung, meskipun dalam kehidupan sehari-hari, hal ini proyek penelitian dari para guru, dan harus, para peneliti utama.
Sebagaimana Elliott (1991) menunjukkan, selalu terdapat bahaya dari guru yang hanya dianggap sebagai kolektor data dari orang lain. Dan oleh karena itu berikutnya di Ford Teaching Project berikutnya, para guru lebih aktif dalam merumuskan hipotesis, dalam menempatkan hipotesis untuk diuji, dan menjelaskan nilai-nilai yang didukung pekerjaan tersebut. Mereka membentuk jaringan aktif peneliti guru -forum-forum yang digunakan untuk mengkritisi praktek. Hubungan antara teori dan praktek bergeser dari posisi di mana praktik dipandang aplikasi teori untuk seseorang menjadi refleksi melalui praktek mengungkapkan teori tertanam di dalamnya- dan dengan demikian teori menjadi sesuatu yang dapat diungkap. Pergeseran perspektif ini sangat penting jika kita ingin memahami bagaimana program penelitian pendidikan dipertahankan.
Misalnya, 'jam membaca', yang saat ini menjadi kebutuhan di sekolah dasar Inggris dan ditetapkan secara rinci mengenai isi dan proses untuk pengajaran kemampuan membaca, harus dipandang sebagai satu seperangkat hipotesis bukan sebagai ketentuan. Hal ini perlu terus-menerus diuji dalam hal gaya pengajaran, praktek pedagogis, sumber daya, kebijakan sekolah dan efek pada akhir kurikulum. Kemudian seseorang secara bertahap memperbaiki kebijakan dan praktek melalui pengawasan kritis bagi mereka yang melaksanakan tindakan dan yang mengalaminya. Selanjutnya, kurikulum harus dilihat sebagai seperangkat usulan yang terus-menerus dilaksanakan, diuji, penemuan harapan dalam berbagai hal, yang membawa pada perumusan usulan-usulan mutakhir. Sebagaimana Stenhouse katakan, yang mengacu pada Popper, bahwa 'perbaikan merupakan hal yang memungkinkan jika kita cukup merasa aman untuk menghadapi dan mempelajari kegagalan kita'. Hanya guru yang berada pada posisi layak menempatkan hipotesis yang akan diuji.

Referensi:

Elliott, J. (1991) Action Research for Educational Change. Milton Keynes: Open University Press.

Elliott, J. and MacDonald, B. (eds) (1975) People in Classrooms. Norwich: Centre for Applied Research in Education Occasional Publications, No. 2.

Putnam, R. T. and Borko, H. (2000) 'What do new views of knowledge and thinking have to say about research on teacher learning?'. Educational Researcher, 29 (1).


Stenhouse, L. (1975) An Introduction to Curriculum Research and Development.London: Heinemann.

Tidak ada komentar: