Guru
sebagai Peneliti

Oleh
karena itu, hal yang pertama kali harus diperhatikan adalah rumitnya transaksi
tersebut - dari nilai-nilai dan tujuan yang menginformasikan praktik
pendidikan, penyesuaian guru yang terus-meneruss, dan keyakinan dan
interpretasi dari pelajar. Dan semua ini harus dilihat dalam berbagai ketentuan
fisik dan sosial yang khas di sekolah, kelas atau dalam proses transaksi
tersebut. Mengingat kompleksitas ini, akan menjadi sulit bagi peneliti
"luar" untuk melihatnya, karena perkenalan yang singkat atau
kunjungan periodik, untuk mampu memahaminya. Data yang dikumpulkan pada satu
kunjungan tidak akan sama dengan data yang dikumpulkan pada kunjungan
berikutnya. Insiden kritis pada hari Kamis tidak akan sama dengan yang pada
hari Jumat, ataupun kemiripan dangkal lainnya. Dan dalam hal apapun, suatu insiden
tidak akan dapat dipahami tanpa mengacu pada aturan-aturan sosial di mana guru menjalankan
rutinitas mengajar, serta memungkinkan aktivitas ini berlangsung terus-menerus
dengan relatif lancar. Hal semacam ini juga tidak bisa dipahami tanpa mengacu
pada niat guru dan keyakinan pelajar.
Untuk
alasan tersebut Stenhouse (1975) berpendapat bahwa guru tidak bisa dijadikan
objek penelitian oleh "orang luar", hanya guru itu sendiri yang dapat
menjadi peneliti di kelasnya sendiri. Hanya mereka yang memiliki dasar dalam
kesehariannya yang memiliki akses pada rumitnya data untuk dapat memahami
kelasnya sendiri. Dan hal ini secara filosofis sama pentingnya dengan poin
praktisnya. Pemahaman terhadap situasi membutuhkan acuan penerimaan
aturan-aturan dan nilai-nilai sosial yang diterapkan oleh guru. Selain itu,
perlu juga untuk mengacu intepretasi guru terhadap aturan-aturan dan
nilai-nilai yang selalu digunakan oleh guru pada setiap aktivitas kelas,
mengenai pengambilan keputusan, dan bagaimana guru dalam dapat menyesuaikan
situasi-situasi yang dapat berubah setiap saat, dan perlu juga melakukan
intepretasi terhadap respon-respon peserta didik yang akan membuat panduan
nilai-nilai secara konkret. Hanya guru yang dapat memiliki akses pada keputusan
yang tepat. Namun lebih dari itu
keyakinan atau kesimpulan-kesimpulan sementara yang ditentukan oleh guru akan
menjadi "hipotesis" dan kemudian diletakkan sebagai tes atau
pengujian di dalam kelas tersebut. Hanya guru yang dapat melakukan hal
tersebut.
Penekanan
terhadap posisi guru yang memiliki hak istimewa dalam kaitannya data penting
penelitian, selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan dalam ranah penelitian
kependidikan dan mengenenai seberapa besar validitasnya. Dan hal ini menjadi
penting untuk melihat sejauh mana pertanyaan-tekanan pertanyaan-pertanyaan
tersebut mengejar kita untuk membuat batasan-batasan yang memungkinkan, serta
nilai dari guru sebagai peneliti.
Pertama,
tantangan kelayakan riset yang baik, yang dapat mengabaikan sudut pandang dari
guru dan peserta didik, data yang diakses dan tes aktif yang hanya dapat
dilakukan oleh guru yang melakukan penerapan di dalam kelas, selain kesimpulan ataupun
keputusan-keputusan.
Kedua,
hal itu memancarkan keraguan pada upaya untuk menciptakan ilmu pengajaran, yang
secara definitif terbukti mengenai
bagaimana kedua hal tersebut,dan setiap guru harus mengajar. Hal ini juga
membuat pernyataan seperti itu mengabaikan relevansi dan keragaman
'logika subyek' , variabilitas realitas sosial, ketidakpastian interaksi
elemen, dan perbedaan nilai, persepsi dan tujuan pendidikan yang guru bawa ke
kelas. Musyawarah dan penilaian dalam bukti jelas, refleksi kritis dalam
observasi dan analisis yang jelas, penilaian kembali dalam diskusi dan saran
yang lebih tepat daripada penerapan untuk kasus-kasus tertentu sebagaimana prinsip-prinsip umum. Dan, jika
hal ini terjadi, maka ruang kelas harus dilihat sebagai laboratorium di mana
guru, dengan maksud untuk meningkatkan pembelajaran siswa, terus menguji
ide-ide, metode, nilai-nilai yang ia bawa ke
dalam transaksi. Memang, John Dewey telah mendirikan sekolah selayaknya
seperti 'sekolah laboratorium' untuk menguji ide-ide pendidikan saat ia pindah
ke Chicago pada tahun 1894 sebagai Profesor Pedagogi. Guru yang baik, melalui
merenungkan bukti, selalu siap untuk beradaptasi dengan cara di mana transaksi
tersebut dilakukan. Selain itu, sekolah - komunitas guru dan peserta didik -
juga akan dilihat sebagai sebuah komunitas di mana pendekatan yang lebih
berbasis penelitian ini untuk mengajar, akan diterima dan dipelihara. Tempat
tersebut akan menerima kegagalan sebagai kesempatan untuk meningkatkan
pengajaran dan untuk merumuskan pendekatan baru. Pengetahuan tumbuh melalui
dorongan kritik, tidak melalui penindasan.
Ketiga,
Status guru sebagai peneliti tampaknya akan menurunkan arti penting kajian
penelitian skala besar, seperti keterkaitan umum yang antara struktur sosial
dan kinerja pendidikan, atau kaitan kemapanan yang pernah ada akan cenderung di
antara kondisi sosial ekonomi. Teori, sebagai panduan untuk praktek profesional
yang dianjurkan oleh O'Connor akan memiliki sedikit atau tidak ada tempat.
Keempat,
bagaimanapun, pengakuan terhadap posisi istimewa guru dalam penelitian
pendidikan menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas, dan ketidakberpihakan
peneliti. Objektivitas menunjukkan bahwa peneliti harus mengambil jarak dengan
apa yang sedang diteliti. Prasangka, kepentingan, keakraban, defensif pasti
akan mendistorsi penelitian guru. Siapa kemudian dapat memungkinan akan
menjamin tidak terjadi usaha pemalsuan hal-hal sangat prinsip-prinsip yang mendasari
pengajarannya?
Terakhir,
apakah suatu penelitian tidak membutuhakn perspektif teoritis, serangkaian
keyakinan yang saling terkait, di mana pengambilan data sesuatu yang pentingnya,
tidak boleh dikumpulkan orang lain dengan fitur-fitur tertentu yang lebih penting
yang lain? Selain itu juga membutuhkan para guru yang secara cerdas dapat
menghubungkan berbagai kompleksitas dalam praktek kependidikan. Adakah teori
mengenai apa yang mereka lakukan? Jika guru-guru dipertimbangkan sebagai
peneliti, maka (sesorang boleh mempertanyakan secara teoritis) bagaimana
guru-guru tersebut dalam memilih dan mengumpulkan dan melakukan intepretasi data
tertentu dianggap lebih tepat dibanding alternatif yang lain selain guru?
Terdapat
berbagai variasi jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas yang menjadi
catatan penting untuk memperbaiki posisi guru sebagai seorang peneliti, dan hal
ini merupakan pendekatan-pendekatan
terbaik melalui pengujian singkat dari
tradisi riset kurikulum dan evaluasi yang memiliki kaitan erat dengan
Stenhouse, namun dikembangkan secara lebih jelas oleh Elliot (1991). Isu-isu
kurikulum yang Stenhouse tangani, pada saat itu di Inggris, usia lulus sekolah (di
Indonesia setara lulus SMA) ditetapkan pada 16, (sebelumnya penetapan usia
lulus sekolah adalah usia 15 tahun). Penambahan satu tahun tersebut digunakan untuk
penyediaan pendidikan pengalaman terutama untuk yang lebih cocok pada
pendidikan praktis, kejuruan, atau pelatihan kerja. Stenhouse dalam menentukan
kebijakannya didasari pendapat bahwa, bagaimanapun, orang-orang muda banyak
membutuhkan pengalaman dan pelatihan tersebut, disamping sebagai orang-orang
yang telah dinilai sebagai akademis yang unggul. Dengan demikian yang
sesungguhnya dibutuhkan adalah penilaian ulang dari kurikulum, terutama
pedagogi, yang harus dianggap sebagai bagian dari kurikulum. Penilaian ulang
diperlukan, pemeriksaan tujuan, dan nilai-nilai/aturan dalam pengajaran humaniora,
cara di mana humaniora mungkin menginformasikan penilaian dari siswa dalam
kehidupan praktis mereka, pemilihan materi untuk mendukung bahwa mengajar, gaya
mengajar untuk diadopsi, dan hak-hak siswa untuk memiliki pandangan bahwa mereka
dilindungi. Tidak ada resep sederhana atau formula yang akan dilakukan. Guru
diharapkan tidak hanya mengajar humaniora; mereka penjelajah di wilayah pengetahuan
baru yang tidak atau belum dikenal.
Memang,
Stenhouse telah mendefinisikan kurikulum dalam istilah-istilah penelitian:
'Sebuah kurikulum merupakan upaya untuk mengkomunikasikan prinsip-prinsip
penting dan fitur dari usulan bentuk kependidikan sehingga selalu terbuka untuk
menerima pengawasan kritis dan mampu menjadi penerjemah efektif bagi hal-hal
yang berkaitan dengan praktek' (Stenhouse 1975 , p. 4). Masalah yang Stenhouse
lihat adalah begitu banyak ususlan kependidikan yang ditetapkan sebagai
seperangkat niatan, belum teruji dan tidak pernah tunduk pada pengawasan
kritis. Seolah-olah mereka yang diresepkan kurikulum (misalnya, pemerintah),
jauh dari proses transaksi dalam setiap kelas, merasa mengetahui yang terbaik
dan bahwa terjemahan dari kurikulum dianggap relatif tidak bermasalah dalam
praktek. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan jarang dieksplorasi. Untuk
mengeksplorasi diperlukan pertanyaan apa yang akan terjadi jika ..., yaitu,
dapat berupa hipotesis mengenai efek dari niat tindakan yang didukung kurikulum
tersebut. Sebagaimana eksplorasi tentu akan membutuhkan pembuktian pedagogi,
sumber daya, konteks, nilai-nilai/aturan/norma, bahkan relevansi kerangka
keputusan pemerintah secara lebih luas. Selain itu, sebagaimana eksplorasi
pasti akan kembali mencerminkan asumsi dan nilai-nilai dari niat asalnya.
Tindakan yang diterapkan dengan baik mungkin menciptakan situasi baru ataupun
memunculkan hal yang tidak diinginkan mempengaruhi dunia sosial sebagaimana
yang diharapkan oleh 'kurikulum' itu. Dengan demikian Putnam dan Borko (2000) menyebut
'kognisi terkondisi' (dan memang 'teori pengkondisian'). Mereka berpendapat
bahwa: konteks fisik dan sosial di mana suatu kegiatan berlangsung merupakan
bagian integral dari kegiatan, dan aktivitas merupakan bagian integral dari
pembelajaran yang terjadi di dalamnya '(p 4.).
Secara
ilustrasi, 'eksperimen Kurikulum Stenhouse' adalah sebagai berikut. Humaniora
adalah penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pertanyaan khas manusia
tentang praktek hidup. Pertanyaan-pertanyaan ini yang berkaitan mengenai
isu-isu seperti hubungan antara jenis kelamin, keberadaan dan toleransi
kemiskinan, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan sosial dan individual,
kondisi setelah perang, hubungan dengan berbagai bentuk kekuasaan termasuk
orang tua, hubungan ras dan etnis . Bidang-bidang seperti hidup praktis pada
dasarnya kontroversial, yang artinya hal ini terlibat masalah nilai yang tidak
memiliki konsensus dalam masyarakat kita. Menjadi kontroversial dalam
pengertian ini, guru tidak memiliki kewenangan untuk mengatakan apa yang
menjadi jawaban yang tepat untuk setiap pertanyaan spesifik. Sebaliknya harus
merupakan jawaban dari proses berpikir, berpendapat, dan dibahas dengan bukti
yang jelas dan tepat. Bukti tersebut dapat ditemukan dalam sastra, puisi,
sejarah, teologi, seni, ataupun ilmu. Oleh karena itu, kurikulum terdiri dari
banyak usulan mengenai penggunaan bukti tersebut dalam pembahasan tentang
bidang kehidupan praktis pada masyarakat yang beraneka raga,. Para siswa,
sebagaimana orang tua dan guru mereka, tidak bisa menghindari masalah tersebut.
Bagaimana mungkin kemudian isu-isu tersebut ditangani di kelas? Untuk menjawab
suatu pertanyaan penelitian itu perlu untuk merumuskan hipotesis tertentu
mengenai penggunaan bukti-bukti, keterlibatan siswa dalam musyawarah, dorongan
pemikiran reflektif, peran guru, perlindungan terhadap pandangan minoritas. Dan
hipotesis ini perlu diuji dalam konteks masing-masing kelas. Hipotesis tertentu
juga perlu dikonfirmasi dalam praktek guru; konfirmasi dari orang lain tergantung
pada konteks, etos sekolah, atau kepribadian guru, kurikulum, oleh karena itu,
lebih dari seperangkat misi tertulis. Itu seperangkat keputusan sementara
mengenai cara belajar yang mungkin terjadi dan bagaimana nilai-nilai tertentu
mungkin dibuat kongkret dalam pengajaran. Nilai-nilai tersebut, pada
gilirannya, mencerminkan keyakinan tentang karakteristik pengetahuan, tentang
tujuan pendidikan dan tentang nilai isi kurikulum dan juga prosedurnya. Memang,
kurikulum dipandang sebagai sesuatu yang agung, meskipun dalam kehidupan
sehari-hari, hal ini proyek penelitian dari para guru, dan harus, para peneliti
utama.
Sebagaimana
Elliott (1991) menunjukkan, selalu terdapat bahaya dari guru yang hanya
dianggap sebagai kolektor data dari orang lain. Dan oleh karena itu berikutnya
di Ford Teaching Project berikutnya, para guru lebih aktif dalam merumuskan
hipotesis, dalam menempatkan hipotesis untuk diuji, dan menjelaskan nilai-nilai
yang didukung pekerjaan tersebut. Mereka membentuk jaringan aktif peneliti guru
-forum-forum yang digunakan untuk mengkritisi praktek. Hubungan antara teori
dan praktek bergeser dari posisi di mana praktik dipandang aplikasi teori untuk
seseorang menjadi refleksi melalui praktek mengungkapkan teori tertanam di
dalamnya- dan dengan demikian teori menjadi sesuatu yang dapat diungkap.
Pergeseran perspektif ini sangat penting jika kita ingin memahami bagaimana
program penelitian pendidikan dipertahankan.
Misalnya,
'jam membaca', yang saat ini menjadi kebutuhan di sekolah dasar Inggris dan
ditetapkan secara rinci mengenai isi dan proses untuk pengajaran kemampuan
membaca, harus dipandang sebagai satu seperangkat hipotesis bukan sebagai
ketentuan. Hal ini perlu terus-menerus diuji dalam hal gaya pengajaran, praktek
pedagogis, sumber daya, kebijakan sekolah dan efek pada akhir kurikulum.
Kemudian seseorang secara bertahap memperbaiki kebijakan dan praktek melalui
pengawasan kritis bagi mereka yang melaksanakan tindakan dan yang mengalaminya.
Selanjutnya, kurikulum harus dilihat sebagai seperangkat usulan yang
terus-menerus dilaksanakan, diuji, penemuan harapan dalam berbagai hal, yang
membawa pada perumusan usulan-usulan mutakhir. Sebagaimana Stenhouse katakan,
yang mengacu pada Popper, bahwa 'perbaikan merupakan hal yang memungkinkan jika
kita cukup merasa aman untuk menghadapi dan mempelajari kegagalan kita'. Hanya
guru yang berada pada posisi layak menempatkan hipotesis yang akan diuji.
Referensi:
Elliott,
J. (1991) Action Research for Educational Change. Milton Keynes: Open University Press.
Elliott,
J. and MacDonald, B. (eds) (1975) People in
Classrooms. Norwich: Centre for Applied Research in
Education Occasional Publications, No. 2.
Putnam,
R. T. and Borko, H. (2000) 'What do new views of knowledge and thinking have to
say about research on teacher learning?'. Educational
Researcher, 29 (1).
Stenhouse,
L. (1975) An Introduction to Curriculum Research and
Development.London: Heinemann.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar