Sabtu, 16 Juli 2016

Filosofi Riset Pendidikan (36): Teori dan Praktek


Secara kontras apa yang dikatakan pada artikel sebelumnya (Filosofi Riset Pendidikan-35), di mana para guru yang dibawa untuk "menteorikan" mengenai prosedur-prosedur kurikulum dan  memfor-mulasikan  prosedur-prosedur yang sesuai dan layak, hal ini yang seringkali terpikirkan melalui riset, seseorang sebaiknya membangung teori yang layak dan efektif untuk dipraktekan.



Praktek akan mengikuti dan diturunkan bersumber dari teori. Seseorang harus mempelajari teori dan menerapkannya dalam praktek. Secara implisit di antara teori dan praktek diharapkan dapat dintuk menjadi ilmu mengajar. Seseorang yang berbasis riset, selalu berharap untuk menemukan formula yang baik untuk praktek yang efektif- apa hal yang dapat membuat sekolah ataupun koordinator guru menjadi efektif,   bagaimana seseorang dapat mengelola kelas secara efektif, dan bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan bagian-bagian tersebut dan lain sebagainya?

Teori akan terlihat memiliki fitur-fitur sebagai berikut. Hal ini mengacu pada seperangkat proposisi yang dinyatakan secara umum namun belum cukup memenuhi ketepatan untuk menjelaskan dan memprediksi 'perilaku' berbagai fenomena dan apa yang akan terjadi di masa depan. Pemahaman tentang proposisi-proposisi meliputi pemahaman tentang apa yang akan membantah proposisi tersebut - atau setidaknya mengenai apa yang akan diperhitungkan sebagai bukti supaya tetap menjadi benar. Dengan cara tersebut, maka jangkauan proposisi akan menghasilkan berbagai argumen, percobaan, dan kritik. Dengan demikian, hal ini akan bertahan secara terus-menerus menghadapi kritikan dan bantahan. Namun tetap saja hal ini akan selalu relatif sementara. Sebuah teori atau seperangkat saling keterkaitan proposisi dan jelas akan tetap menjadi hipotesis yang selalu perlu diuji. Oleh karena itu, posisi teoritis selalu terbuka untuk pengembangan lebih lanjut melalui refleksi, pengujian terhadap pengalaman dan kritik. Semakin banyak merangkul teori (yang lebih besar isinya) maka, tentu saja, hal tersebut akan lebih berguna. Namun hal yang sangat berguna tersebut justru membuatnya lebih rentan terhadap kritik. Dan mungkin terjadi akan terjadi variabilitas konteks praktik pendidikan yang membuat hal tersebut kurang terbuka bagian penjelasan dalam skala besar.

Klaim untuk 'teori', terutama di bidang pendidikan, seringkali agak palsu karena teori tersebut disajikan sedemikian samar-samar, atau sekenanya, dalam arti sama sekali tidak jelas mengenai apa yang akan dianggap sebagai bukti pada teori tersebut. Memang, banyak pernyataan dalam pendidikan yang semacam ini. Pernyataan teoritis akan memerlukan tingkat general tertentu, namun kontennya harus 'signifikan'; yaitu, penerimaan isi pernyataan juga perlu membuat suatu pembedaan tentang cara seseorang dalam memandang dunia, memahami pengalaman atau terlibat dalam praktek.

Selanjutnya, teori dapat lebih ataupun kurang layak. Hal ini memberikan gambaran mengenai dunia yang tampaknya berlaku dalam banyak kasus. Namun pengecualian seringkali menyebabkan masalah -anak yang kurang rasa keingintahuannya, tampaknya menyangkal pandangan bahwa semua anak secara alami ingin tahu, hasil penelitian dan pengujian baik di sekolah-sekolah yang selalu menggunakan sudut pandang hubungan sebab akibat antara kemiskinan dan nilai yang rendah. Terdapat pengecualian dari berbagai cara untuk menangani hal yang berkaitan dengan penyimpangan tersebut. Seseorang dapt saja mengabaikan atau mencoba untuk menjelaskan hal tersebut, menolak atau menerima posisi teoritis seseorang hanya dengan merujuk probabilitas- keterbatasan pengetahuan kita saat ini untuk merangkul posisi teoritis bagi semua kasus. Namun seseorang mungkin sebagai hasil dari pengecualian, meninggalkan teori atau membatasinya untuk berbagai kasus yang lebih kecil atau menyesuaikan.

Oleh karena itu, terdapat perkembangan pemahaman dan kekuatan penjelas secara bertahap melalui berbagai tes terhadap pengalaman, serta melalui rekonseptualisasi masalah dan melalui berbagai kritik. Fitur tertentu dari 'teori' perlu diingat karena selalu dilakukan pengujian ulang secara terus menerus hubungan teori untuk sebagai latihan, atau seperti yang kita pertanyakan apakah ada tempat untuk teori dalam pemahaman dan peningkatan 'praktik pendidikan'. Pertama, teori seharusnya merupakan ekspresikan yang bersifat proposisional dari suatu pemahaman seseorang yang akan diteliti. Kedua, proposisi tersebut disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga mereka dapat kembali dijadikan hipotesis dan diuji kesesuaiannya melalui pengalaman. Ketiga, penafsiran dari tes dan pengalaman yang dapat diuji kembali secara kritis oleh orang lain dengan menggunakan data yang jelas. Keempat, meskipun dapat juga berkeinginkan untuk membangun teori namun harus merangkul sebanyak mungkin teori, oleh karena itu sebaiknya perlu untuk merasa puas dengan cakupan skala kecil dan posisi teoritis yang relatif tentatif atau sementara. Kelima, oleh karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan terletak pada perumusan konstan berbagai asumsi dan keyakinan serta terdapat bukti yang jelas pada kritik tersebut atau bukti berdasarkan implikasinya. Bagaimanapun juga, terdapat sesuatu yang salah mengenai komitmen untuk teori pedidikan dalam skala besar karena alasan yang telah diberikan pada artikel sebelumnya yang berkaitan dengan penyelesaian konflik konsep dualitas palsu yang terjadi. Lebih jauh lagi, terdapat sesuatu yang intuitif dan salah tentang teori yang dirumuskan sebelum praktek dan sebagai panduan yang baik untuk praktek. Dan hal ini memiliki implikasi yang mendalam bagi penelitian pendidikan. Teori dan praktek yang tidak selalu berhubungan dengan cara ini. Praktek pendidikan, seperti berpendapat Pring, mencakup berbagai kegiatan yang tak terbatas. Berbagai hal yang membuat kegiatan tersebut menjadi  wujud praktek pendidikan adalah maksud dan keseluruhan tujuan, yang dilaksanakan untuk mempromosikan pembelajaran yang berkualitas. Oleh karena itu, praktek sebagian didefinisikan sebagai proses menyeluruh dari maksud dan tujuan, keyakinan, dan nilai-nilai/moralitas/visi/misi dari guru yang diadopsi dari konteks kelembagaan dan sosial, di mana para guru memahami tugas mereka. Keyakinan dan nilai-nilai/aturan/tata tertib dari guru, dan keyakinan beserta nilai-nilai yang dibangun dalam kerangka institusional/lembaga pendidikan di mana guru bekerja dan dari mana guru menerima otoritas nya, mungkin hal seperti ini merupakan teori atau mungkin juga tidak disebut teori, tergantung pada tingkat refleksi atau artikulasinya. Sebuah sekolah progresif seperti A. S. Neill Summerhill atau Sekolah Laboratorium Dewey cukup jelas memiliki banyak dasar teori di balik proses aktivitas praktis itu - teoritis tentang perkembangan anak, tentang bagaimana orang-orang muda terbaik berproses dan belajar, tentang pembelajaran seperti apa yang benar-benar layak.

Namun, sesungguhnya kurang lebih sama yang dapat dikatakan dari berbagai sekolah yang dijalankan oleh guru yang penuh perhatian. Demikian pula, guru tersebut secara individu dapat dikatakan memiliki kekayaan teori implisit dalam praktek mereka. Mereka datang untuk mengajar dengan berbagai keyakinan tentang apa yang dapat memotivasi orang-orang muda, apa yang mungkin menguntungkan mereka dalam belajar, bagaimana perilaku mereka di dalam kelas yang dikelola, apa ide-ide kunci dan konsep dalam materi pelajaran yang harus diajarkan dan siap diterima. Memang, dalam hal ini, apa yang dikatakan seorang ekonom dan filsuf politik, Keynes dapat dapat diterapkan untuk teori pendidikan:

Ide-ide ekonom dan filsuf politik ... lebih kuat dibanding segala hal yang umum dan dapat dipahami. Sesungguhnya, dunia dikuasai oleh sedikit orang. Mereka adalah seorang praktisi yang percaya diri untuk menjadi cukup terbebaskan dari pengaruh dogma intelektual, dan biasanya "mereka adalah budak ekonom yang telah mati/ merdeka". ( The General Theory, oleh Keynes, dikutip oleh Sekretaris Negara, Maret 2000)

Oleh karena itu, untuk mencoba untuk berpikir tentang praktek, termasuk praktek pendidikan, seolah-olah hal tersebut merupakan sesuatu yang tanpa teori, dan tampak akan membuat dualisme nyata. Tidak ada praktek berdiri di luar kerangka teoritis - yaitu, kerangka keyakinan yang saling berhubungan tentang dunia, manusia dan nilai-nilai layak mengejar, yang dapat diekspresikan propositionally dan sasaran analisis kritis. Untuk memeriksa praktik membutuhkan mengartikulasikan keyakinan-keyakinan dan pemahaman dan mengekspos demi untuk memperoleh kritik. Kritik seperti itu dapat diperoleh dalam bukti terang, atau klarifikasi konseptual, atau nilai-nilai yang mendasari.

Pring (2005) menempatkan titik ini dalam cara yang sedikit berbeda. Untuk memilih peristiwa tertentu sebagai tindakan logis yang menyiratkan acuan dari misi dari agen/lembaga, dan, melalui klarifikasi kerangka teoritis ide sebagaimana komitmen guru. Perbedaan yang penting di sini adalah bahwa yang memberikan dua alasan untuk pertanyaan 'Mengapa Anda melakukannya?'. Diambil di satu sisi, pertanyaan ini dapat diartikan meminta penjelasan kausal. 'Apa yang membuat Anda melakukannya?' atau 'Apakah yang terjadi padamu?'. Diambil dalam arti lain, bagaimanapun, penanya akan meminta alasan mengapa seseorang melakukannya. Penanya dapat meminta guru untuk menyusun penjelasan tujuan perilakunya, keyakinan, dan nilai-nilai, dapat dipahami. Untuk meminta alasan dalam pengertian ini tidak meminta penyebab. Sebaliknya, hal tersebut akan dianalogikan pada suatu kerangka aturan dan norma, dari maksud dan tujuan dalam dan sesuai dengan arahan perilaku- dan membuat dipahami orang luar. Penanya berusaha untuk mencari tahu teori di balik praktek.

Pring (2005) tidak mengatakan bahwa, dalam praktek, guru atau agen apapun, sebelum membuat keputusan, secara eksplisit menjalaninya melalui berbagai pertimbangan mental seperti merenungkan tujuan keseluruhan, menerjemahkannya ke dalam tujuan dan memperkirakan cara yang paling mungkin mencapai tujuan tersebut. Untuk bertindak secara sengaja tidak memerlukan faktor kesadaran entertainmen atau memang dari fakta bahwa seseorang berniat untuk melakukan apa pun sebelum atau selama aktivitas tersebut disengaja. Sebaliknya, hal itu mewajibkan, dalam menanggapi pertanyaan 'Apa yang kamu lakukan? ", Salah seorang akan mampu memberikan jawaban dalam hal tersebut, dan jika salah satu dari mereka tidak bisa, akan mengatakan tidak dapat melakukan apa-apa (meskipun salah satunya mungkin berbicara tentang sesuatu yang terjadi pada seseorang sebagaimana dalam kasus tindakan refleks atau sedang diatasi oleh emosi). Jika hal ini merupakan analisis yang tepat tentang berbagai hal yang terlibat dalam praktek, apakah pendidikan atau sebaliknya, maka hal tersebut akan menjadi titik masuk ke dalam keterkaitan antara teori terhadap praktek. Hal ini juga akan menunjukkan peran filsafat dalam penentuan kegiatan praktis. Karena jika partisipasi dalam beberapa praktis memiliki referensi implisit pada posisi teoritis atau dengan cara tertentu untuk melakukan konseptualisasi,maka tindakan seseorang dibatasi oleh keterbatasan yang kerangka teoritis yang mungkin masih terlalu terburu-buru dan kurang reflektif. (Seorang guru, misalnya, yang yakin bahwa para siswa memiliki bawaan rasa ingin tahu, bahkan jika ia tidak pernah secara sadar berpikir tentang hal itu, akan mengidentifikasi dan mengejar sekedar melaksanakan 'praktik pendidikan' dengan cara yang berbeda daripada tidak sama sekali)

Selain itu, sejauh cara seseorang dalam mengklasifikasikan atau mengkonseptualisasikan realitas yang dibangun ke dalam bahasa yang selalu digunakan seseorang, demikian terdapat keterbatasan bahasa  dan istilah yang akan digunakan. Elaborasi dari bahasa, perbaikan dan diferensiasi, merupakan cara yang kita gunakan untuk menyusun konsep dan menggambarkan pengalaman, pada saat yang sama kemungkinan perluasan tujuan dan kehendak mungkin akan terjadi. Membaca dan mendiskusikan cara orang lain melihat hal-hal yang membuat pengkayaan ini dan pengembang adalah mungkin dan memungkinkan. Membaca 'teori' dengan mata terbuka untuk berbagai kemungkinan lain salah satu alasan kebanyakkan yang melaksanakan sistem pendidikan begitu sangat tidak percaya kepada teori.

Praktek kependidikan, dan juga kepentingan kebijakan-kebijakan pendidikan tidak dapat dipahami kecuali dengan cara melihat sistem pemikiran -kerangka teoritis- yang membuat mereka diakui sebagai praktek dan kebijakan pendidikan. Refleksi diperlukan untuk dapat bertindak secara cerdas melalui kerangka ide-ide tersbut. Sebagaimana refleksi merupakan bagian dari analisis logis mengenai implikasi yang diturunkan dari berbagai keyakinan dan asumsi di dalam praktek seseorang. Filosofi dalam kaitannya dengan implikasi-implikasi dari apa yang dikatakan dan diyakini oleh seseorang, dengan kondisi-kondisi tertentu untuk penyusunan pernyataan pernyataan tertentu yang telah dipilih, serta bagaimana seseorang secara tegas menetapkan benar/salah, terbukti atau tidak terbuktinya suatu keyakinan.
Filosofi merupakan titik pusat untuk mendapatkan pemahaman tentang praktek-praktek kependidikan - memberikan kejelasan tentang hal tersebut. Kegagalan untuk menguji kerangka logis dalam praktek seseorang dapat diartikan bahwa ia gagal cenderung dalam membuat formulasi asumsi-asumsi melalui tujuan tertentu dibandingkan karena kegagalan mengadopsi nilai-nilai yang diterapkan.

Ilustrasi poin ini adalah sebagai berikut.  Seseorang mungkin berpikir sekitar jawaban-jawaban yang sebaiknya diberikan untuk pertanyaan "apa yang kamu lakukan?" Sering kali guru telah menerangkan mengenai apa yang sedang dilakukan namun masih belum memuaskan pertanyaan tersebut -bukan karena jawaban tersebut salah, tetapi karena jawaban tersebut terlalu sederhana untuk suatu pertanyaan terbuka- mungkin dalam keadaan putus asa guru akan mengatakan bahwa hal itu adalah yang dimaksud dengan pendidikan. Maka percakapan akan baik berhenti atau menjadi percakapan filosofis.
Untuk memusatkan perhatian pada analisis dapat kita lihat perbandingan secara kontras melalui makna dari teori kependidikan, dan kemudian menyusur dari analisis tersebut kaitan antara praktek kependidikan. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh para peneliti yang telah melakukannya secara tradisional, yaitu dengan tidak menuduh hubungan konseptual antara pemikiran dan tindakan, sebagaimana analisis dari praktek yang diminta tersebut. Untuk bertindak dengan segala komitmen secara implisit pada suatu skema konseptual dengan dasar aturan-aturan acuan serta klasifikasi dan penilaian; untuk menjelaskan tindakan seseorang yang berkomitmen untuk mengartikulasikan alasan-alasan dalam skema supaya dapat dengan mudah dipahami. Dengan kata lain seorang berkomitmen, untuk menjadi 'praktis', dengan tetap menggunakan berbagaimacam asumsi teoritis; dan seseorang yang berkomitmen (dalam ranah praktek) dengan masih tetap memiliki kadar aktivitas teoritis, jika ditekan cukup jauh oleh si penanya atau oleh praktisi kritik diri, maka kemudian akan melibatkan pertanyaan dasar yang filosofis mengenai kejelasan komitmen tersebut sedemikian rupa pada tindakan seseorang.
Elliot mengilustrasikan proses pembentukan teori tentang praktek ini dari Ford Teaching Project yang pernah ia pimpin bersama lebh dari 40 guru di 12 sekolah. Perhatian isu-isu yang diangkat adalah metode pengajaran yang mendorong pencarian (inquiry) dan penemuan (discovery) para murid. Hal ini menjadi suatu alternatif cara pembelajaran yang paling banyak disukai dalam kelas-kelas. Hal yang dimulai dengan sebuah aspirasi, ataupun ide yang lebih umum, perlu diterjemahkan ke dalam seperangkat praktek. Dan praktek-praktek ini perlu pembuktian. Apakah praktek-praktek tersebut pada kenyataannya, mewujudkan atau memahami aspirasi asli? Seberapa jauh mereka bergantung pada pengorganisasian kelas atau pengalaman sebelumnya? Apakah praktek ini telah memberikan efek yang tidak diinginkan dan tidak diakui di seluruh kurikulum? Dengan berbagi masalah, pertanyaan-pertanyaan, dan kesimpulan sementara, para guru mungkin mampu membangun tubuh pengetahuan sementara profesional, sementara mungkin, tetapi pengetahuan yang telah tetap bertahan dari pertanyaan kritis. Pengetahuan profesional ini dikembangkan melalui pengumpulan data yang relevan (observasi oleh orang luar, rekaman audio, atau video), interpretasi ini oleh para pengamat dan peserta (termasuk mahasiswa) dan mengkritisi penafsiran dalam bukti yang jelas (dengan 'triangulasi'). Dengan demikian, terdapat interpretasi konstan, pengujian, reinterpretasi, pengawasan kritis - dalam proses yang berkelanjutan dengan umpan yang terus diuji dalam proses pengajaran.

Konsekuensi dari hal tersebut, dijelaskan oleh Elliott (1991, p. 32) sebagai berikut.

Guru menjadi semakin diamati kelas masing-masing, dan semakin sering diminta untuk terlibat dalam triangulasi. Sekitar sepertiga dari para guru memulai studi kasus beranjak dari beberapa aspek pengajaran mereka dengan kelas tertentu. Pada pertemuan (konferensi/rapat) akhir sekelompok guru melakukan tugas penyaringan daftar hipotesis umum tentang masalah pelaksanaan penyelidikan/ penemuan metode dari pengalaman kolektif ... Mereka mampu menggambarkan wawasan baru yang muncul dari refleksi dan diskusi tentang pengalaman dalam kelas...

Selain itu, diskusi lebih lanjut mengasilkan pendapat-pendapat dan  kritik, serta hipotesis tentang perubahan pendidikan, yang kemudian diuji dalam tindakan praktek -terutama hipotesis mengenai potensi yang kehilangan harga diri dalam praktek yang disebabkan oleh pengawasan kritis. Pring (2005) kembali menjelaskan poin-poin pada artikel yang akan datang (dengan judul 'Penelitian?') - Terutama pada  pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan sebelum mengenai, pertama, objektivitas dan ketidakberpihakan, dan, kedua, isu-isu tentang generalisasi.

Apakah 'pengetahuan profesional', tidak seperti pengetahuan ilmiah, yang telah diciptakan kembali atau ditemukan kembali selama ini? Apakah tidak ada 'beban di bahu mereka yang telah pergi hilang'? Dalam banyak hal, tampaknya tidak. Apa pengaruh memiliki proyek-proyek yang layak untuk diteliti dari tahun 1960-an dan 1970-an untuk kurikulum atau berpikir profesional atau pembuatan kebijakan sekarang? Mungkin pengetahuan profesional berdasarkan penelitian guru sendiri, akan tetap penting hanya untuk kelompok guru itu sendiri. Hal ini adalah jenis pengetahuan yang perlu secara terus-menerus harus diciptakan kembali atau ditemukan kembali. Mungkin tidak ada cara lain.

Referensi:
Elliott, J. (1991) Action Research for Educational Change. Milton Keynes: Open University Press.


Pring, R. (2005) Philosophy of Educatinal Research: Second Edition.  London: Continuum

Tidak ada komentar: