
Secara
kontras apa yang dikatakan pada artikel sebelumnya (Filosofi Riset
Pendidikan-35), di mana para guru yang dibawa untuk "menteorikan"
mengenai prosedur-prosedur kurikulum dan memfor-mulasikan prosedur-prosedur yang
sesuai dan layak, hal ini yang seringkali terpikirkan melalui riset, seseorang
sebaiknya membangung teori yang layak dan efektif untuk dipraktekan.
Praktek
akan mengikuti dan diturunkan bersumber dari teori. Seseorang harus mempelajari
teori dan menerapkannya dalam praktek. Secara implisit di antara teori dan
praktek diharapkan dapat dintuk menjadi ilmu mengajar. Seseorang yang berbasis
riset, selalu berharap untuk menemukan formula yang baik untuk praktek yang
efektif- apa hal yang dapat membuat sekolah ataupun koordinator guru menjadi
efektif, bagaimana seseorang dapat mengelola kelas
secara efektif, dan bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan bagian-bagian
tersebut dan lain sebagainya?
Teori
akan terlihat memiliki fitur-fitur sebagai berikut. Hal ini mengacu pada
seperangkat proposisi yang dinyatakan secara umum namun belum cukup memenuhi
ketepatan untuk menjelaskan dan memprediksi 'perilaku' berbagai fenomena dan
apa yang akan terjadi di masa depan. Pemahaman tentang proposisi-proposisi
meliputi pemahaman tentang apa yang akan membantah proposisi tersebut - atau
setidaknya mengenai apa yang akan diperhitungkan sebagai bukti supaya tetap menjadi
benar. Dengan cara tersebut, maka jangkauan proposisi akan menghasilkan
berbagai argumen, percobaan, dan kritik. Dengan demikian, hal ini akan bertahan
secara terus-menerus menghadapi kritikan dan bantahan. Namun tetap saja hal ini
akan selalu relatif sementara. Sebuah teori atau seperangkat saling keterkaitan
proposisi dan jelas akan tetap menjadi hipotesis yang selalu perlu diuji. Oleh
karena itu, posisi teoritis selalu terbuka untuk pengembangan lebih lanjut
melalui refleksi, pengujian terhadap pengalaman dan kritik. Semakin banyak
merangkul teori (yang lebih besar isinya) maka, tentu saja, hal tersebut akan
lebih berguna. Namun hal yang sangat berguna tersebut justru membuatnya lebih
rentan terhadap kritik. Dan mungkin terjadi akan terjadi variabilitas konteks
praktik pendidikan yang membuat hal tersebut kurang terbuka bagian penjelasan
dalam skala besar.
Klaim
untuk 'teori', terutama di bidang pendidikan, seringkali agak palsu karena teori
tersebut disajikan sedemikian samar-samar, atau sekenanya, dalam arti sama
sekali tidak jelas mengenai apa yang akan dianggap sebagai bukti pada teori
tersebut. Memang, banyak pernyataan dalam pendidikan yang semacam ini. Pernyataan
teoritis akan memerlukan tingkat general tertentu, namun kontennya harus
'signifikan'; yaitu, penerimaan isi pernyataan juga perlu membuat suatu pembedaan
tentang cara seseorang dalam memandang dunia, memahami pengalaman atau terlibat
dalam praktek.
Selanjutnya,
teori dapat lebih ataupun kurang layak. Hal ini memberikan gambaran mengenai
dunia yang tampaknya berlaku dalam banyak kasus. Namun pengecualian seringkali menyebabkan
masalah -anak yang kurang rasa keingintahuannya, tampaknya menyangkal pandangan
bahwa semua anak secara alami ingin tahu, hasil penelitian dan pengujian baik
di sekolah-sekolah yang selalu menggunakan sudut pandang hubungan sebab akibat
antara kemiskinan dan nilai yang rendah. Terdapat pengecualian dari berbagai
cara untuk menangani hal yang berkaitan dengan penyimpangan tersebut. Seseorang
dapt saja mengabaikan atau mencoba untuk menjelaskan hal tersebut, menolak atau
menerima posisi teoritis seseorang hanya dengan merujuk probabilitas- keterbatasan
pengetahuan kita saat ini untuk merangkul posisi teoritis bagi semua kasus. Namun
seseorang mungkin sebagai hasil dari pengecualian, meninggalkan teori atau
membatasinya untuk berbagai kasus yang lebih kecil atau menyesuaikan.
Oleh
karena itu, terdapat perkembangan pemahaman dan kekuatan penjelas secara
bertahap melalui berbagai tes terhadap pengalaman, serta melalui
rekonseptualisasi masalah dan melalui berbagai kritik. Fitur tertentu dari
'teori' perlu diingat karena selalu dilakukan pengujian ulang secara terus
menerus hubungan teori untuk sebagai latihan, atau seperti yang kita
pertanyakan apakah ada tempat untuk teori dalam pemahaman dan peningkatan
'praktik pendidikan'. Pertama, teori seharusnya merupakan ekspresikan yang
bersifat proposisional dari suatu pemahaman seseorang yang akan diteliti.
Kedua, proposisi tersebut disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga
mereka dapat kembali dijadikan hipotesis dan diuji kesesuaiannya melalui
pengalaman. Ketiga, penafsiran dari tes dan pengalaman yang dapat diuji kembali
secara kritis oleh orang lain dengan menggunakan data yang jelas. Keempat,
meskipun dapat juga berkeinginkan untuk membangun teori namun harus merangkul sebanyak
mungkin teori, oleh karena itu sebaiknya perlu untuk merasa puas dengan cakupan
skala kecil dan posisi teoritis yang relatif tentatif atau sementara. Kelima,
oleh karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan terletak pada perumusan konstan berbagai
asumsi dan keyakinan serta terdapat bukti yang jelas pada kritik tersebut atau
bukti berdasarkan implikasinya. Bagaimanapun juga, terdapat sesuatu yang salah
mengenai komitmen untuk teori pedidikan dalam skala besar karena alasan yang
telah diberikan pada artikel sebelumnya yang berkaitan dengan penyelesaian
konflik konsep dualitas palsu yang terjadi. Lebih jauh lagi, terdapat sesuatu
yang intuitif dan salah tentang teori yang dirumuskan sebelum praktek dan
sebagai panduan yang baik untuk praktek. Dan hal ini memiliki implikasi yang
mendalam bagi penelitian pendidikan. Teori dan praktek yang tidak selalu
berhubungan dengan cara ini. Praktek pendidikan, seperti berpendapat Pring,
mencakup berbagai kegiatan yang tak terbatas. Berbagai hal yang membuat
kegiatan tersebut menjadi wujud praktek
pendidikan adalah maksud dan keseluruhan tujuan, yang dilaksanakan untuk mempromosikan
pembelajaran yang berkualitas. Oleh karena itu, praktek sebagian didefinisikan sebagai
proses menyeluruh dari maksud dan tujuan, keyakinan, dan nilai-nilai/moralitas/visi/misi
dari guru yang diadopsi dari konteks kelembagaan dan sosial, di mana para guru
memahami tugas mereka. Keyakinan dan nilai-nilai/aturan/tata tertib dari guru,
dan keyakinan beserta nilai-nilai yang dibangun dalam kerangka institusional/lembaga
pendidikan di mana guru bekerja dan dari mana guru menerima otoritas nya,
mungkin hal seperti ini merupakan teori atau mungkin juga tidak disebut teori,
tergantung pada tingkat refleksi atau artikulasinya. Sebuah sekolah progresif
seperti A. S. Neill Summerhill atau Sekolah Laboratorium Dewey cukup jelas
memiliki banyak dasar teori di balik proses aktivitas praktis itu - teoritis
tentang perkembangan anak, tentang bagaimana orang-orang muda terbaik berproses
dan belajar, tentang pembelajaran seperti apa yang benar-benar layak.
Namun,
sesungguhnya kurang lebih sama yang dapat dikatakan dari berbagai sekolah yang
dijalankan oleh guru yang penuh perhatian. Demikian pula, guru tersebut secara individu
dapat dikatakan memiliki kekayaan teori implisit dalam praktek mereka. Mereka
datang untuk mengajar dengan berbagai keyakinan tentang apa yang dapat memotivasi
orang-orang muda, apa yang mungkin menguntungkan mereka dalam belajar,
bagaimana perilaku mereka di dalam kelas yang dikelola, apa ide-ide kunci dan
konsep dalam materi pelajaran yang harus diajarkan dan siap diterima. Memang,
dalam hal ini, apa yang dikatakan seorang ekonom dan filsuf politik, Keynes dapat
dapat diterapkan untuk teori pendidikan:
Ide-ide
ekonom dan filsuf politik ... lebih kuat dibanding segala hal yang umum dan
dapat dipahami. Sesungguhnya, dunia dikuasai oleh sedikit orang. Mereka adalah
seorang praktisi yang percaya diri untuk menjadi cukup terbebaskan dari
pengaruh dogma intelektual, dan biasanya "mereka adalah budak ekonom yang
telah mati/ merdeka". ( The General
Theory, oleh Keynes, dikutip oleh Sekretaris Negara, Maret 2000)
Oleh
karena itu, untuk mencoba untuk berpikir tentang praktek, termasuk praktek
pendidikan, seolah-olah hal tersebut merupakan sesuatu yang tanpa teori, dan
tampak akan membuat dualisme nyata. Tidak ada praktek berdiri di luar kerangka
teoritis - yaitu, kerangka keyakinan yang saling berhubungan tentang dunia,
manusia dan nilai-nilai layak mengejar, yang dapat diekspresikan
propositionally dan sasaran analisis kritis. Untuk memeriksa praktik
membutuhkan mengartikulasikan keyakinan-keyakinan dan pemahaman dan mengekspos demi
untuk memperoleh kritik. Kritik seperti itu dapat diperoleh dalam bukti terang,
atau klarifikasi konseptual, atau nilai-nilai yang mendasari.
Pring
(2005) menempatkan titik ini dalam cara yang sedikit berbeda. Untuk memilih peristiwa
tertentu sebagai tindakan logis yang menyiratkan acuan dari misi dari agen/lembaga,
dan, melalui klarifikasi kerangka teoritis ide sebagaimana komitmen guru.
Perbedaan yang penting di sini adalah bahwa yang memberikan dua alasan untuk
pertanyaan 'Mengapa Anda melakukannya?'. Diambil di satu sisi, pertanyaan ini dapat
diartikan meminta penjelasan kausal. 'Apa yang membuat Anda melakukannya?' atau
'Apakah yang terjadi padamu?'. Diambil dalam arti lain, bagaimanapun, penanya
akan meminta alasan mengapa seseorang melakukannya. Penanya dapat meminta guru
untuk menyusun penjelasan tujuan perilakunya, keyakinan, dan nilai-nilai, dapat
dipahami. Untuk meminta alasan dalam pengertian ini tidak meminta penyebab.
Sebaliknya, hal tersebut akan dianalogikan pada suatu kerangka aturan dan
norma, dari maksud dan tujuan dalam dan sesuai dengan arahan perilaku- dan
membuat dipahami orang luar. Penanya berusaha untuk mencari tahu teori di balik
praktek.
Pring
(2005) tidak mengatakan bahwa, dalam praktek, guru atau agen apapun, sebelum
membuat keputusan, secara eksplisit menjalaninya melalui berbagai pertimbangan
mental seperti merenungkan tujuan keseluruhan, menerjemahkannya ke dalam tujuan
dan memperkirakan cara yang paling mungkin mencapai tujuan tersebut. Untuk
bertindak secara sengaja tidak memerlukan faktor kesadaran entertainmen atau
memang dari fakta bahwa seseorang berniat untuk melakukan apa pun sebelum atau
selama aktivitas tersebut disengaja. Sebaliknya, hal itu mewajibkan, dalam
menanggapi pertanyaan 'Apa yang kamu lakukan? ", Salah seorang akan mampu
memberikan jawaban dalam hal tersebut, dan jika salah satu dari mereka tidak
bisa, akan mengatakan tidak dapat melakukan apa-apa (meskipun salah satunya
mungkin berbicara tentang sesuatu yang terjadi pada seseorang sebagaimana dalam
kasus tindakan refleks atau sedang diatasi oleh emosi). Jika hal ini merupakan
analisis yang tepat tentang berbagai hal yang terlibat dalam praktek, apakah
pendidikan atau sebaliknya, maka hal tersebut akan menjadi titik masuk ke dalam
keterkaitan antara teori terhadap praktek. Hal ini juga akan menunjukkan peran
filsafat dalam penentuan kegiatan praktis. Karena jika partisipasi dalam beberapa
praktis memiliki referensi implisit pada posisi teoritis atau dengan cara
tertentu untuk melakukan konseptualisasi,maka tindakan seseorang dibatasi oleh
keterbatasan yang kerangka teoritis yang mungkin masih terlalu terburu-buru dan
kurang reflektif. (Seorang guru, misalnya, yang yakin bahwa para siswa memiliki
bawaan rasa ingin tahu, bahkan jika ia tidak pernah secara sadar berpikir
tentang hal itu, akan mengidentifikasi dan mengejar sekedar melaksanakan 'praktik
pendidikan' dengan cara yang berbeda daripada tidak sama sekali)
Selain
itu, sejauh cara seseorang dalam mengklasifikasikan atau mengkonseptualisasikan
realitas yang dibangun ke dalam bahasa yang selalu digunakan seseorang,
demikian terdapat keterbatasan bahasa dan
istilah yang akan digunakan. Elaborasi dari bahasa, perbaikan dan diferensiasi,
merupakan cara yang kita gunakan untuk menyusun konsep dan menggambarkan
pengalaman, pada saat yang sama kemungkinan perluasan tujuan dan kehendak
mungkin akan terjadi. Membaca dan mendiskusikan cara orang lain melihat hal-hal
yang membuat pengkayaan ini dan pengembang adalah mungkin dan memungkinkan.
Membaca 'teori' dengan mata terbuka untuk berbagai kemungkinan lain salah satu
alasan kebanyakkan yang melaksanakan sistem pendidikan begitu sangat tidak percaya
kepada teori.
Praktek
kependidikan, dan juga kepentingan kebijakan-kebijakan pendidikan tidak dapat
dipahami kecuali dengan cara melihat sistem pemikiran -kerangka teoritis- yang
membuat mereka diakui sebagai praktek dan kebijakan pendidikan. Refleksi
diperlukan untuk dapat bertindak secara cerdas melalui kerangka ide-ide
tersbut. Sebagaimana refleksi merupakan bagian dari analisis logis mengenai implikasi
yang diturunkan dari berbagai keyakinan dan asumsi di dalam praktek seseorang. Filosofi
dalam kaitannya dengan implikasi-implikasi dari apa yang dikatakan dan diyakini
oleh seseorang, dengan kondisi-kondisi tertentu untuk penyusunan pernyataan
pernyataan tertentu yang telah dipilih, serta bagaimana seseorang secara tegas
menetapkan benar/salah, terbukti atau tidak terbuktinya suatu keyakinan.
Filosofi
merupakan titik pusat untuk mendapatkan pemahaman tentang praktek-praktek
kependidikan - memberikan kejelasan tentang hal tersebut. Kegagalan untuk
menguji kerangka logis dalam praktek seseorang dapat diartikan bahwa ia gagal
cenderung dalam membuat formulasi asumsi-asumsi melalui tujuan tertentu dibandingkan
karena kegagalan mengadopsi nilai-nilai yang diterapkan.
Ilustrasi
poin ini adalah sebagai berikut.
Seseorang mungkin berpikir sekitar jawaban-jawaban yang sebaiknya
diberikan untuk pertanyaan "apa yang kamu lakukan?" Sering kali guru
telah menerangkan mengenai apa yang sedang dilakukan namun masih belum
memuaskan pertanyaan tersebut -bukan karena jawaban tersebut salah, tetapi
karena jawaban tersebut terlalu sederhana untuk suatu pertanyaan terbuka- mungkin
dalam keadaan putus asa guru akan mengatakan bahwa hal itu adalah yang dimaksud
dengan pendidikan. Maka percakapan akan baik berhenti atau menjadi percakapan
filosofis.
Untuk
memusatkan perhatian pada analisis dapat kita lihat perbandingan secara kontras
melalui makna dari teori kependidikan, dan kemudian menyusur dari analisis
tersebut kaitan antara praktek kependidikan. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh
para peneliti yang telah melakukannya secara tradisional, yaitu dengan tidak
menuduh hubungan konseptual antara pemikiran dan tindakan, sebagaimana analisis
dari praktek yang diminta tersebut. Untuk bertindak dengan segala komitmen
secara implisit pada suatu skema konseptual dengan dasar aturan-aturan acuan
serta klasifikasi dan penilaian; untuk menjelaskan tindakan seseorang yang berkomitmen
untuk mengartikulasikan alasan-alasan dalam skema supaya dapat dengan mudah
dipahami. Dengan kata lain seorang berkomitmen, untuk menjadi 'praktis', dengan
tetap menggunakan berbagaimacam asumsi teoritis; dan seseorang yang berkomitmen
(dalam ranah praktek) dengan masih tetap memiliki kadar aktivitas teoritis,
jika ditekan cukup jauh oleh si penanya atau oleh praktisi kritik diri, maka
kemudian akan melibatkan pertanyaan dasar yang filosofis mengenai kejelasan komitmen
tersebut sedemikian rupa pada tindakan seseorang.
Elliot
mengilustrasikan proses pembentukan teori tentang praktek ini dari Ford Teaching Project yang pernah ia
pimpin bersama lebh dari 40 guru di 12 sekolah. Perhatian isu-isu yang diangkat
adalah metode pengajaran yang mendorong pencarian (inquiry) dan penemuan (discovery)
para murid. Hal ini menjadi suatu alternatif cara pembelajaran yang paling
banyak disukai dalam kelas-kelas. Hal yang dimulai dengan sebuah aspirasi, ataupun
ide yang lebih umum, perlu diterjemahkan ke dalam seperangkat praktek. Dan
praktek-praktek ini perlu pembuktian. Apakah praktek-praktek tersebut pada
kenyataannya, mewujudkan atau memahami aspirasi asli? Seberapa jauh mereka
bergantung pada pengorganisasian kelas atau pengalaman sebelumnya? Apakah
praktek ini telah memberikan efek yang tidak diinginkan dan tidak diakui di
seluruh kurikulum? Dengan berbagi masalah, pertanyaan-pertanyaan, dan
kesimpulan sementara, para guru mungkin mampu membangun tubuh pengetahuan
sementara profesional, sementara mungkin, tetapi pengetahuan yang telah tetap bertahan
dari pertanyaan kritis. Pengetahuan profesional ini dikembangkan melalui
pengumpulan data yang relevan (observasi oleh orang luar, rekaman audio, atau
video), interpretasi ini oleh para pengamat dan peserta (termasuk mahasiswa)
dan mengkritisi penafsiran dalam bukti yang jelas (dengan 'triangulasi').
Dengan demikian, terdapat interpretasi konstan, pengujian, reinterpretasi,
pengawasan kritis - dalam proses yang berkelanjutan dengan umpan yang terus diuji
dalam proses pengajaran.
Konsekuensi
dari hal tersebut, dijelaskan oleh Elliott (1991, p. 32) sebagai berikut.
Guru menjadi semakin
diamati kelas masing-masing, dan semakin sering diminta untuk terlibat dalam
triangulasi. Sekitar sepertiga dari para guru memulai studi kasus beranjak dari
beberapa aspek pengajaran mereka dengan kelas tertentu. Pada pertemuan
(konferensi/rapat) akhir sekelompok guru melakukan tugas penyaringan daftar
hipotesis umum tentang masalah pelaksanaan penyelidikan/ penemuan metode dari
pengalaman kolektif ... Mereka mampu menggambarkan wawasan baru yang muncul
dari refleksi dan diskusi tentang pengalaman dalam kelas...
Selain
itu, diskusi lebih lanjut mengasilkan pendapat-pendapat dan kritik, serta hipotesis tentang perubahan
pendidikan, yang kemudian diuji dalam tindakan praktek -terutama hipotesis
mengenai potensi yang kehilangan harga diri dalam praktek yang disebabkan oleh
pengawasan kritis. Pring (2005) kembali menjelaskan poin-poin pada artikel yang
akan datang (dengan judul 'Penelitian?') - Terutama pada pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan
sebelum mengenai, pertama, objektivitas dan ketidakberpihakan, dan, kedua,
isu-isu tentang generalisasi.
Apakah
'pengetahuan profesional', tidak seperti pengetahuan ilmiah, yang telah
diciptakan kembali atau ditemukan kembali selama ini? Apakah tidak ada 'beban
di bahu mereka yang telah pergi hilang'? Dalam banyak hal, tampaknya tidak. Apa
pengaruh memiliki proyek-proyek yang layak untuk diteliti dari tahun 1960-an
dan 1970-an untuk kurikulum atau berpikir profesional atau pembuatan kebijakan
sekarang? Mungkin pengetahuan profesional berdasarkan penelitian guru sendiri, akan
tetap penting hanya untuk kelompok guru itu sendiri. Hal ini adalah jenis
pengetahuan yang perlu secara terus-menerus harus diciptakan kembali atau
ditemukan kembali. Mungkin tidak ada cara lain.
Referensi:
Elliott,
J. (1991) Action Research for Educational Change. Milton Keynes: Open University Press.
Pring, R. (2005)
Philosophy of Educatinal Research: Second Edition. London: Continuum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar