Kamis, 18 Februari 2016

Filosofi Riset Kependidikan (16): Variasi Penelitian Kependidikan (Studi Kasus)


Kajian Kasus (Case studying)
Studi kasus merupakan kajian yang menekankan kejadian ataupun tindakan, aktivitas, dan mungkin juga perilaku, yang unik yang muncul dari gejala-gejala dibentuk oleh pemaknaan dari para partisipan dalam situasi. Hal ini merupakan kajian mengenai kasus yang unik atau kejadian khusus/ istimewa. Hal ini mencerminkan hal yang sedikit paradoks, sebagaimana dalam buku mengenai studi kasus yang disunting Helen Simon, “Toward a Science of Singular”(Simons, 1981). Kebanyakan kajian akan dimulai dari suatu premis yang merupakan unit-unit perangkat investigasi, di mana pribadi-pribadi hanya akan dimengerti dengan keterlibatan langsung (dan interaksi dari sudut pandang dari peneliti dan subjek) sangat diperhitungkan. Memang, ini akan menjadi pusat suatu perhatian pada penelitian. Namun, tentu saja, hal inilah subjek atau objek yang sedang diteliti akan menjadi unik dan tidak dimaksudkan untuk  melakukan generalisasi.
Unit kajian mungkin personal, institusi atau lembaga secara kolektif (sebagaima satuan unit atau divisi lembaga  pendidikan setempat).  Dengan demikian, semakin besar unit semakin lebih kompleks menjadi tersingkap jelas pola interaksi dan perspektif. Tidak salah, jika terdapat klaim bahwa, hal ini mendalam seperti pekerjaan detektif,  salah satu keistimewaannya akan benar-benar memahami apa yang sedang terjadi. Contoh 'studi tunggal/ singular study' dalam pendidikan secara menyeluruh, sebagaimana Peshkin (1978) ”Growing Up of America”, dan Hargreaves (1967) dalam kajian “Hargreaves's (1967) Social Relations in a Secondary School.  Studi ini mengungkapkan berbagai metode - observasi, survei, wawancara, dll- sulit untuk menggeneralisasi. Hal itu cenderungan memiliki kesamaan (walaupun ada pengecualian) sebagai berikut.

Pertama, Terdapat intensitas dalam pemeriksaan tertentu. Data selalu divalidasi dengan melakukan berbagai konfirmasi, atau pun triangulasi, dan beberapa di antaranya dengan teknik-teknik perhitungan statistik.
Kedua, diyakini bahwa unit diteliti tidak dapat dipahami, kecuali dalam konteks yang lebih luas dari pemahaman bersama dan tidak dimiliki oleh para subjek.
Ketiga, terdapat keengganan untuk mennyerap bahasa asing (istilah lokal) dan istilah teoritis tidak digunakan oleh para pelaku (yang diteliti).
Keempat,hanya tanggap ataupun tertarik pada pengalaman 'kasus'.
Kelima, jarak antara peneliti dan diteliti menyempit sehingga studi yang dihasilkan lebih merupakan'Negosiasi' dari penemuan apa yang terjadi. Dengan demikian, dalam studi kasus, meskipun terdapat perbedaan di antara metode lainnya, tetapi terdapat kecenderungan yang sama yaitu,  membuat asumsi yang menimbulkan pertanyaan filosofis.

Pertama, sering diasumsikan bahwa peneliti, turun lapangan dengan pikiran terbuka, supaya memungkinkan data 'berbicara sendiri'. Oleh karena itu, popularitas Glaser dan Strauss (1967) 'grounded theory' - secara bertahap  mencoba untuk memahami pengalaman seseorang, seseorang mengembangkan posisi teoritis (konsep dari sudut pandang  subjek yang diterjemahkan menjadi teoritis oleh peneliti) , dan kemudian 'muncul teori' yang terus diuji dibandingkan, dan dilengkapi oleh pengalaman selanjutnya, yaitu pertanyaan, dan data.  Selanjutnya, posisi teoritis tetap dekat dengan konsep dan bahasa bersama dengan orang-orang yang diteliti dalam. Tidak ada posisi teoritis khusus yang diimpor dari luar melainkan melalui data yang dicari atau dipilih.
Kedua, dari studi tertentu yang intens, tidak mungkin untuk melakukan generalisasi dengan situasi lainnya, meskipun deskripsi grafis dapat mengingatkan peneliti untuk kemungkinan yang sama dalam situasi yang  berbeda. Hal ini adalah peringatan yang harus diwaspadai. Walaupun secara  umum hubungan antara peristiwa/ kondisi tertentu dengan kejadian selanjutnya tidak dapat dikaitkan, karena tidak masuk akal.

Ketiga, pertanyaan muncul tentang kesanksian objektivitas penelitian, realitas yang terjadi dan kebenaranklaim yang dibuat. Memang, konsep-konsep ini, seperti yang akan kita lihat dalam bab berikut, yang masih saling terkait. Objektivitas ditantang karena para peneliti tidak dapat seolah-olah kehadirannya tidak berpengaruh  pada situasi. Selanjutnya, situasi seharusnya dijelaskan dalam bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang sedang diteliti. Jika tidak, argumen itu tidak akan sesuai dengan situasi yang diteliti. Realitas yang diteliti harus kenyataannya seperti yang didefinisikan oleh pelaku (orang atau kelompok orang yang diteliti).

Dengan demikian, terdapat pembicaraan dari 'beberapa realitas'. Hal ini mencerminkan berbagai definisi realitas dari semua orang yang terlibat dalam penelitian - yaitu, 'realitas' "dari individu yang berbeda, merupakan 'definisi' situasi berbeda dari yang satu sama lain. 'Objektivitas' di sini diartikan mendapatkan segala sesuatu ada 'di luar sana', secara tanpa terpengaruh oleh peneliti dan diteliti, dan hal ini dapat dikatakan hal yang tidak mungkin atau tidak masuk akal. Konsep yang saling terkait antara 'objektivitas', realitas 'dan' kebenaran 'memerlukan pertimbangan cermat yang akan dipaparkan  berikan dalam artikel-artikel berikutnya (“Konsep-Konsep Kunci dan Meredakan Konflik dalam Penelitian Kependikan” direncanakan mulai edisi 18) .

Memang, bagaimana penggunaan  konsep ini menjadi masuk akal atau menerapkan hal ini dalam penelitian pendidikan dapat memiliki pengaruh yang mendalam dalam makna-makna yang termuat dalam penelitian. Interpretasi tertentu dari pemaknaan ini akan muncul dan diperhitungkan dalam studi kasus. Pring (2005: 42) percaya bahwa banyak hal tersebut mengalami kesalahan secara filosofis. Namun, meskipun demikian, Pring masih mempertahankan pada wawasan yang studi kasus, studi tentang personal – yang membawa studi tentang fitur tematik dari situasi tertentu yang belum sepenuhnya dapat dipahami. (Di sisi lain, ada sesuatu yang aneh terdapat dalam kalimat yang 'sepenuhnya dipahami'. Kejadian dipahami untuk tujuan yang berbeda, dan tingkat pemahaman yang diperlukan tergantung pada tujuan mereka). Tetapi tingkat dari 'studi tunggal' seharusnya tidak membutakan kita untuk fitur-fitur dari penelitian yang membatasi singularitas. Semua situasi yang unik dalam beberapa aspek, yang kadang  terdapat/dimiliki pada orang lain. Terdapat  sesuatu yang khas pada setiap individu, namun di sisi lain terdapat kesamaan antara individu satu dengan lainnya. Singularitas (tunggal/individu) digambarkan dengan bahasa yang sama mengenai suatu situasi tertentu, kepada singularitas yang lain. (Peneliti menterjemahkan salah satu sudut padan, dan sudut pandang lain dalam interpretasi kejadian yang sama. Sebagaimana konsep bersifat umum, namun secara operasional akan selalu berbeda. Dengan demikian maka peneliti harus hati-hati, dalam mempelajari 'singularitas/personal/ individu', tidak untuk menarik kesimpulan filosofis cukup keliru, karena kajian ini bukan untuk mendapatkan generalisasi.

Referensi:
 
Pring, Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum

Peshkin, A. (1978)
            Growing Up American: Schooling and the Survival of Community. Chicago: University of Chicago Press.

Simons, H. (1981)
            Towards a Science of the Singular. Norwich: University of East Anglia.

Hargreaves, D. (1967)
Social Relations in a Secondary School. London: Routledge & Kegan Paul.

Glaser, B. and Strauss, S. S. (1967)
 The Discovery of Grounded Theory . Chicago: Aldine.

Tidak ada komentar: