Kajian
Kasus (Case studying)
Studi
kasus merupakan kajian yang menekankan kejadian ataupun tindakan, aktivitas,
dan mungkin juga perilaku, yang unik yang muncul dari gejala-gejala dibentuk
oleh pemaknaan dari para partisipan dalam situasi. Hal ini merupakan kajian
mengenai kasus yang unik atau kejadian khusus/ istimewa. Hal ini mencerminkan
hal yang sedikit paradoks, sebagaimana dalam buku mengenai studi kasus yang
disunting Helen Simon, “Toward a Science of Singular”(Simons, 1981). Kebanyakan
kajian akan dimulai dari suatu premis yang merupakan unit-unit perangkat
investigasi, di mana pribadi-pribadi hanya akan dimengerti dengan keterlibatan langsung
(dan interaksi dari sudut pandang dari peneliti dan subjek) sangat
diperhitungkan. Memang, ini akan menjadi pusat suatu perhatian pada penelitian.
Namun, tentu saja, hal inilah subjek atau objek yang sedang diteliti akan
menjadi unik dan tidak dimaksudkan untuk melakukan generalisasi.
Unit
kajian mungkin personal, institusi atau lembaga secara kolektif (sebagaima satuan
unit atau divisi lembaga pendidikan
setempat). Dengan demikian, semakin
besar unit semakin lebih kompleks menjadi tersingkap jelas pola interaksi dan
perspektif. Tidak salah, jika terdapat klaim bahwa, hal ini mendalam seperti pekerjaan
detektif, salah satu keistimewaannya akan
benar-benar memahami apa yang sedang terjadi. Contoh 'studi tunggal/ singular
study' dalam pendidikan secara menyeluruh, sebagaimana Peshkin (1978) ”Growing
Up of America”, dan Hargreaves (1967) dalam kajian “Hargreaves's (1967) Social
Relations in a Secondary School. Studi
ini mengungkapkan berbagai metode - observasi, survei, wawancara, dll- sulit
untuk menggeneralisasi. Hal itu cenderungan memiliki kesamaan (walaupun ada
pengecualian) sebagai berikut.
Pertama,
Terdapat intensitas dalam pemeriksaan tertentu. Data selalu divalidasi dengan
melakukan berbagai konfirmasi, atau pun triangulasi, dan beberapa di antaranya
dengan teknik-teknik perhitungan statistik.
Kedua,
diyakini bahwa unit diteliti tidak dapat dipahami, kecuali dalam konteks yang
lebih luas dari pemahaman bersama dan tidak dimiliki oleh para subjek.
Ketiga,
terdapat keengganan untuk mennyerap bahasa asing (istilah lokal) dan istilah teoritis
tidak digunakan oleh para pelaku (yang diteliti).
Keempat,hanya
tanggap ataupun tertarik pada pengalaman 'kasus'.
Kelima,
jarak antara peneliti dan diteliti menyempit sehingga studi yang dihasilkan
lebih merupakan'Negosiasi'
dari penemuan apa yang terjadi. Dengan
demikian, dalam studi kasus, meskipun terdapat perbedaan di antara metode
lainnya, tetapi terdapat kecenderungan
yang sama yaitu, membuat asumsi yang
menimbulkan pertanyaan filosofis.
Pertama,
sering diasumsikan bahwa peneliti, turun lapangan dengan pikiran terbuka,
supaya memungkinkan data 'berbicara sendiri'. Oleh karena itu, popularitas
Glaser dan Strauss (1967) 'grounded theory'
- secara bertahap mencoba untuk memahami
pengalaman seseorang, seseorang mengembangkan posisi teoritis (konsep dari
sudut pandang subjek yang diterjemahkan
menjadi teoritis oleh peneliti) , dan kemudian 'muncul teori' yang terus diuji dibandingkan,
dan dilengkapi oleh pengalaman selanjutnya, yaitu pertanyaan, dan data. Selanjutnya, posisi teoritis tetap dekat
dengan konsep dan bahasa bersama dengan orang-orang yang diteliti dalam. Tidak
ada posisi teoritis khusus yang diimpor dari luar melainkan melalui data yang dicari
atau dipilih.
Kedua,
dari studi tertentu yang intens, tidak mungkin untuk melakukan generalisasi dengan
situasi lainnya, meskipun deskripsi grafis dapat mengingatkan peneliti untuk
kemungkinan yang sama dalam situasi yang
berbeda. Hal ini adalah peringatan yang harus diwaspadai. Walaupun
secara umum hubungan antara peristiwa/
kondisi tertentu dengan kejadian selanjutnya tidak dapat dikaitkan, karena
tidak masuk akal.
Ketiga,
pertanyaan muncul tentang kesanksian objektivitas penelitian, realitas yang terjadi
dan kebenaranklaim
yang dibuat. Memang, konsep-konsep ini, seperti yang akan kita lihat dalam bab
berikut, yang masih saling terkait. Objektivitas ditantang karena para peneliti
tidak dapat seolah-olah kehadirannya tidak berpengaruh pada situasi. Selanjutnya, situasi seharusnya
dijelaskan dalam bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang sedang diteliti.
Jika tidak, argumen itu tidak akan sesuai dengan situasi yang diteliti.
Realitas yang diteliti harus kenyataannya seperti yang didefinisikan oleh pelaku
(orang atau kelompok orang yang diteliti).
Dengan
demikian, terdapat pembicaraan dari 'beberapa realitas'. Hal ini mencerminkan berbagai
definisi realitas dari semua orang yang terlibat dalam penelitian - yaitu,
'realitas' "dari individu yang berbeda, merupakan 'definisi' situasi
berbeda dari yang satu sama lain. 'Objektivitas' di sini diartikan mendapatkan segala
sesuatu ada 'di luar sana', secara tanpa terpengaruh oleh peneliti dan
diteliti, dan hal ini dapat dikatakan hal yang tidak mungkin atau tidak masuk
akal. Konsep yang saling terkait antara 'objektivitas', realitas 'dan'
kebenaran 'memerlukan pertimbangan cermat yang akan dipaparkan berikan dalam artikel-artikel berikutnya
(“Konsep-Konsep Kunci dan Meredakan Konflik dalam Penelitian Kependikan”
direncanakan mulai edisi 18) .
Memang,
bagaimana penggunaan konsep ini menjadi
masuk akal atau menerapkan hal ini dalam penelitian pendidikan dapat memiliki
pengaruh yang mendalam dalam makna-makna yang termuat dalam penelitian. Interpretasi
tertentu dari pemaknaan ini akan muncul dan diperhitungkan dalam studi kasus. Pring
(2005: 42) percaya bahwa banyak hal tersebut mengalami kesalahan secara filosofis.
Namun, meskipun demikian, Pring masih mempertahankan pada wawasan yang studi
kasus, studi tentang personal – yang membawa studi tentang fitur tematik dari
situasi tertentu yang belum sepenuhnya dapat dipahami. (Di sisi lain, ada
sesuatu yang aneh terdapat dalam kalimat yang 'sepenuhnya dipahami'. Kejadian dipahami
untuk tujuan yang berbeda, dan tingkat pemahaman yang diperlukan tergantung
pada tujuan mereka). Tetapi tingkat dari 'studi tunggal' seharusnya tidak
membutakan kita untuk fitur-fitur dari penelitian yang membatasi singularitas.
Semua situasi yang unik dalam beberapa aspek, yang kadang terdapat/dimiliki pada orang lain. Terdapat sesuatu yang khas pada setiap individu, namun
di sisi lain terdapat kesamaan antara individu satu dengan lainnya. Singularitas
(tunggal/individu) digambarkan dengan bahasa yang sama mengenai suatu situasi
tertentu, kepada singularitas yang lain. (Peneliti menterjemahkan salah satu
sudut padan, dan sudut pandang lain dalam interpretasi kejadian yang sama.
Sebagaimana konsep bersifat umum, namun secara operasional akan selalu berbeda.
Dengan demikian maka peneliti harus hati-hati, dalam mempelajari 'singularitas/personal/
individu', tidak untuk menarik kesimpulan filosofis cukup keliru, karena kajian
ini bukan untuk mendapatkan generalisasi.
Referensi:
Pring,
Richard. (2005)
Philosophy
of Educational Research, Second Edition. London: Continuum
Peshkin, A. (1978)
Growing
Up American: Schooling and the Survival of Community. Chicago:
University of Chicago Press.
Simons, H. (1981)
Towards
a Science of the Singular. Norwich: University of East Anglia.
Hargreaves, D. (1967)
Social
Relations in a Secondary School. London: Routledge & Kegan Paul.
Glaser, B. and Strauss,
S. S. (1967)
The Discovery of Grounded Theory . Chicago: Aldine.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar