Minggu, 14 Februari 2016

Filosofi Riset Kependidikan (14): Variasi Penelitian Kependidikan (Survey Kasus)

Melakukan survey mengenai suatu kasus
Pengamatan dan pengumpulan data pada suatu riset atau penelitian hampir selalu terdapat kesulitan karena tidak ketidaksesuaian di dalam prosedur penelitian (sering disebut “metodologi penelitian”: Problem studi, data, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data). Salah satu cara menghindari beberapa kesulitan ini maka munculah survei (baik sebagai teknik pengumpulan data ataupu metode penelitian. Hal ini diserukan oleh Pring (2005: 45) kepada pandangan orang-orang yang peduli  melakukannya melakukan penelitian  dengan suatu cara yang dapat memunculkan generalisasi.

Richard Pring
Survei ini tidak tergantung pada seorang pengamat dari luar yang merekam apa yang diamati, gagal untuk memasuki ranah pandangan mereka yang diamati - pandangan pengamatan- yang mungkin mempengaruhi kesimpulan. Ide-ide, dan bukan hanya perilaku diamati, dari guru atau peserta didik mungkin diinginkan. Menyusun survei tampaknya akan menjadi cara yang jelas ke depan. Artinya, satu hanya menanyakan pada orang melalui kuesioner.

Selain itu, ketika, misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui lebih banyak beberapa beberapa sekolah, maka mungkin observasi tidak akan tampak praktis. Seseorang dapat mempekerjakan sejumlah besar pengamat. Tapi, pertama, ini akan menjadi mahal; kedua, akan ada masalah lebih ketrampilan pengamat dari begitu banyak pengamat.  Dalam beberapa kasus, itu mungkin tidak menjadi masalah observasi.

Survei, bagaimanapun tidak luput sepenuhnya  dari masalah yang diangkat oleh pengamatan langsung. Seringkali peneliti berusaha untuk membuat bukti supaya kemudian dapat menjadi terukur  - X% mengatakan ini, Y% mengatakan itu, dan sebagainya-. Ada cara-cara canggih untuk mendapatkan informasi ini dan memeriksa keandalan jawaban. Namun terdapat keterbatasan untuk membangun suatu pendekatan. Dengan demikian, seperti para peneliti memiliki cara tersendiri untuk melihat dunia dari sudut pandang  pengamatan mereka, begitu dengan orang-orang yang diteliti  memiliki pemahaman sendiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Dua orang tua mungkin akan menjawab 'ya' untuk “pertanyaan apakah sekolah anak Anda yang sukses?”,  namun  mungkin mereka mengartikan sebagai hal yang berbeda. Salah satu mungkin sukses dalam pergaulan dengan prestasi terhadap norma-norma nasional dalam umum, keberhasilan yang lain mungkin ditafsirkan  sebagai hal kecakapan di olahraga. Atau, bahkan jika mereka berdua sepakat dengan apa yang dimaksud, mereka mungkin tidak tahu dengan cara yang berbeda dari implikasi dari apa yang mereka setujui. Jika mereka tahu implikasi, mereka mungkin akan memberikan jawaban yang berbeda. Dari contoh di atas, dapat terjadi keganjilan secara logis, dengan mudahnya memasukkan secara bersama-sama suatu jawaban pada kuesioner, melakukan survey, dan memberinya skor/nilai numerik/ kuantifikasi.
 
Hal ini Seolah-olah semua jawaban (data dari kuesioner) dimasukkan bersama-sama adalah semua jenis logis yang sama. Namun, jika nilai  yang sama di atas kertas merupakan pemahaman yang berbeda, maka data/nilai tersebut tidak boleh dimasukkan seolah-olah nilai-nilai tersebut berarti sama. Kecenderungan ini banyak kritik dan penelitian tersebut banyak ditolak. Hal ini terlihat 'senada' (yaitu, semua pemikiran, pendapat responden dianggap sama) bahwa yang signifikan hanya dalam kaitannya dengan pikiran, perasaan, niat dari orang yang bersangkutan. Tindakan semacam ini telah mengkuantifikasi bahwa pikiran responden, yang tidak terbuka, serta dapat digunakan dalam fungsi matematis untuk menambah dan mengurangi dan mengalikan. Dengan kata lain, hal ini merupakan perluasan pemaksaan secara 'ilmiah / matematis' paradigma yang dipaksakan berlaku untuk mengukur pemahaman manusia.

Setiap peneneliti harus sangat berhati-hati dan cermat dalam harapannya untuk menggunakan paradigma ini secara lebih jauh, terutama dalam penelitian pendidikan, di mana manusia dan pemahamannya terlibat untuk diukur. Pring (2005: 46) merasa bahwa terdapat banyak hal untuk dikritisi, karena terlalu banyak wacana dalam penelitian kependidikan yang tidak didasari oleh pengetahuan, serta pertimbangan filosofis yang mendasar. Hal ini terlihat dari polarisasi (pemisahan menjadi dua kubu/kutub) antara paradigma ilmiah dengan paradigma humanisme, antara metodologi kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian, ada banyak pertanyaan yang cukup jelas untuk pengguna bahasa Inggris yang sudah fasih. Pemaknaan yang ditafsirkan responden  terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dianggap sebagai sesuatu yang bukan bersifat pribadi dan subjektif, namun makna yang siapa pun fasih dengan bahasa akan atribut kepada mereka. Atas dasar setiap kata dianggap memiliki makna yang sama, seorang peneliti memaksakan untuk meyakini bahwa jawaban responden objektif dan umum (umum). Hal ini mungkin masuk akal namun penggunaan tersebut tidak akan dapat diandalkan sepenuhnya, karena begitu banyak pertanyaan melakukan mengangkat isu-isu yang terdapat ketidaksepakatan atas interpretasi mengenai suatu  fakta-fakta. Karena hal ini wajar maka untuk bertanya lebih lanjut harus dilakukan probing (penggalian lebih lanjut untuk konfirmasi respon/ jawaban dari responden, tanpa mengarahkan responden untuk memilih salah satu jawaban).

Sumber :
Pring, Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum


Tidak ada komentar: