Selasa, 16 Februari 2016

Filosofi Riset Kependidikan (15): Variasi Penelitian Kependidikan (Wawancara)

Interviewing/Wawancara
Richard Pring kali ini, mengulas tentang wawancara, Hal ini merupakan jawaban  masalah yang mengacu pada masalah-masalah sebelumnya dalam penelitian kependidikan, berkaitan dengan observasi yang sistematis mengenai perilaku, atau permasalahan survey dengan skala yang lebih luas, tentang apa yang dilakukan ataupun dipercaya oleh orang-orang, akan tampak diletakan dalam pembiaran objek riset, Sebagai contoh guru-guru atau siswa-siswa berbicara pada dirinya sendiri. Apa makna yang melekat pada tindakan diamati atau kegiatan dikehendaki? Peneliti secara khusus dalam pencarian jawaban-jawaban pasti akan menyusun interview yang terstruktur, kemudian berharap akan mendapatkan jawaban yang relevan dengan ketertarikan peneliti. Walaupun demikian wawancara biasannya semi-terstruktur, karena jika tidak, maka peneliti tidak akan sempat memberikan kesempatan menjelaskan keinginan dan tujuan yang dilakukan oleh peneliti. Jika anda percaya bahwa arti atau makna mengenai apa yang dilakukan dalam gagasan, perhatian, nilai-nilay ataupun keyakinan dari “agen”, maka ide tersebut akan cukup diperhitungkan.
 Pewawancara yang baik akan dapat menarik membawa seseorang hingga dapat diwawancarai secara mendalam pada suatu waktu, hal ini akan sebanding dengan kesulitan seorang pewancara untuk melakukan generalisasi- untuk melihat sesuatau atau individu sesederhana suatu turunan dari generalisasi.
Kesadaran individu dan kepentingan merupakan faktor-faktor yang signifikan dalam penjelasan mengenai mengapa sesuatu terjadi sebagaimana yang mereka alami. Hal ini tampaknya sangat masuk akal, dan hasilnya terus berkembang seiring dengan perolehan pemahaman melalui sudut pandang partisipan. Tetapi banyak sekali kesulitan di sini, antara lain.
Pertama, banyak sekali kajian yang hanya akan menarik jika hal tersebut merupakan keadaan yang unik –unik karena dipahami melalui gagasan dan kepercayaan milik pelaku yang berada dalam situasi tersebut. Tetapi akan sangat jelas jika hal ini terus dicari untuk mengembangkan praktek kependidikan atau mereka yang bertanggungjawab terhadap kebijakan pengembagan kependidikan yang ingin mengumpulkan hasil kajian, bagaimanapun menariknya, jika tidak akan dapat mengatakan apa-apa melampaui peristiwa dan konteks kajian.   Oleh karena itu, kritik itu dapat dibenarkan bahwa penelitian kependidikan seringkali memiliki skala ang sempit dan terpisah-pisah sehingga tidak mampu menyumbangkan sesuatu yang dibutuhkan untuk pengambil kebijakan dan tidak menarik secara profesional.
Kedua, bagaimanapun kaitannya dengan kesulitan dan kritik yang nampak secara jelas, ini merupakan jenis kesulitan yang sangat filosofis. Pemberian klaim unik pada setiap masing-masing individu dipahami dalam proses kegiatan ataupun pada suatu situasi tertentu, hal ini akan nampak mustahil bagi seorang pewawancara mengungkap makna dari apa yang dikatakan. Pewawancara berada di dunia unik dari keyakinan dan pemahaman sendiri. Tanggapan akan perlu disaring melalui pewawancara, dan dengan demikian, maka menjadi berbeda dari keyakinan dan pemahaman dari orang yang diwawancarai. Kesulitan ini dan jawaban untuk itu kemudian dikembangkan. Segala macam perangkat digunkan oleh para peneliti yang ingin mengabadikan subjektivitas keunikan yang penting dalam dunia pribadi milik orang yang diteliti. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa pemaknaan tersebut 'dinegosiasikan' antara peneliti dan diteliti, karena memang hal ini adalah klaim antara setiap orang yang terlibat dalam percakapan. Namun metafora tersebut tidaklah benar-benar membuat kita keluar dari lubang yang sudah digali antara dunia objektif yang didukung oleh orang-orang dalam 'paradigma ilmiah' dan dunia subjektif dari niat, keyakinan dan makna yang dianut oleh orang-orang yang menolak paradigma seperti itu.
Mari kita abaikan yang di sana untuk saat ini. Kita telah melihat pentingnya menyatu pada cara tertentu yang terlibat dalam penelitian (wawancara semi-terstruktur) yang memenuhi beberapa kritik, sebagian kritik filosofis, yang timbul dari ketergantungan pada observasi, survei dan eksperimen. Tapi, kecuali satu hati, penangkal ini sama bermasalah. Pring (2015: 47) berpendapat panjang lebar nanti, dikotomi antara publik dan pribadi, antara obyektif dan subyektif, telah menciptakan dualisme yang tidak bisa dibenarkan.

Sumber :
Pring, Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum




Tidak ada komentar: