Interviewing/Wawancara
Richard Pring kali ini, mengulas tentang wawancara, Hal ini merupakan jawaban
masalah yang mengacu pada
masalah-masalah sebelumnya dalam penelitian kependidikan, berkaitan dengan observasi
yang sistematis mengenai perilaku, atau permasalahan survey dengan skala yang
lebih luas, tentang apa yang dilakukan ataupun dipercaya oleh orang-orang, akan
tampak diletakan dalam pembiaran objek riset, Sebagai contoh guru-guru atau
siswa-siswa berbicara pada dirinya sendiri. Apa makna yang melekat pada
tindakan diamati atau kegiatan dikehendaki? Peneliti secara khusus dalam
pencarian jawaban-jawaban pasti akan menyusun interview yang terstruktur,
kemudian berharap akan mendapatkan jawaban yang relevan dengan ketertarikan
peneliti. Walaupun demikian wawancara biasannya semi-terstruktur, karena jika
tidak, maka peneliti tidak akan sempat memberikan kesempatan menjelaskan
keinginan dan tujuan yang dilakukan oleh peneliti. Jika anda percaya bahwa arti
atau makna mengenai apa yang dilakukan dalam gagasan, perhatian, nilai-nilay
ataupun keyakinan dari “agen”, maka ide tersebut akan cukup diperhitungkan.
Pewawancara
yang baik akan dapat menarik membawa seseorang hingga dapat diwawancarai secara
mendalam pada suatu waktu, hal ini akan sebanding dengan kesulitan seorang
pewancara untuk melakukan generalisasi- untuk melihat sesuatau atau individu
sesederhana suatu turunan dari generalisasi.
Kesadaran
individu dan kepentingan merupakan faktor-faktor yang signifikan dalam penjelasan
mengenai mengapa sesuatu terjadi sebagaimana yang mereka alami. Hal ini
tampaknya sangat masuk akal, dan hasilnya terus berkembang seiring dengan
perolehan pemahaman melalui sudut pandang partisipan. Tetapi banyak sekali
kesulitan di sini, antara lain.
Pertama,
banyak sekali kajian yang hanya akan menarik jika hal tersebut merupakan
keadaan yang unik –unik karena dipahami melalui gagasan dan kepercayaan milik
pelaku yang berada dalam situasi tersebut. Tetapi akan sangat jelas jika hal
ini terus dicari untuk mengembangkan praktek kependidikan atau mereka yang
bertanggungjawab terhadap kebijakan pengembagan kependidikan yang ingin
mengumpulkan hasil kajian, bagaimanapun menariknya, jika tidak akan dapat
mengatakan apa-apa melampaui peristiwa dan konteks kajian. Oleh
karena itu, kritik itu dapat dibenarkan bahwa penelitian kependidikan
seringkali memiliki skala ang sempit dan terpisah-pisah sehingga tidak mampu
menyumbangkan sesuatu yang dibutuhkan untuk pengambil kebijakan dan tidak
menarik secara profesional.
Kedua,
bagaimanapun kaitannya dengan kesulitan dan kritik yang nampak secara jelas,
ini merupakan jenis kesulitan yang sangat filosofis. Pemberian klaim unik pada
setiap masing-masing individu dipahami dalam proses kegiatan ataupun pada suatu
situasi tertentu, hal ini akan nampak mustahil bagi seorang pewawancara
mengungkap makna dari apa yang dikatakan. Pewawancara berada di dunia unik dari
keyakinan dan pemahaman sendiri. Tanggapan akan perlu disaring melalui pewawancara,
dan dengan demikian, maka menjadi berbeda dari keyakinan dan pemahaman dari
orang yang diwawancarai. Kesulitan ini dan jawaban untuk itu kemudian dikembangkan.
Segala macam perangkat digunkan oleh para peneliti yang ingin mengabadikan
subjektivitas keunikan yang penting dalam dunia pribadi milik orang yang
diteliti. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa pemaknaan tersebut
'dinegosiasikan' antara peneliti dan diteliti, karena memang hal ini adalah klaim
antara setiap orang yang terlibat dalam percakapan. Namun metafora tersebut
tidaklah benar-benar membuat kita keluar dari lubang yang sudah digali antara
dunia objektif yang didukung oleh orang-orang dalam 'paradigma ilmiah' dan
dunia subjektif dari niat, keyakinan dan makna yang dianut oleh orang-orang
yang menolak paradigma seperti itu.
Mari
kita abaikan yang di sana untuk saat ini. Kita telah melihat pentingnya menyatu
pada cara tertentu yang terlibat dalam penelitian (wawancara semi-terstruktur)
yang memenuhi beberapa kritik, sebagian kritik filosofis, yang timbul dari
ketergantungan pada observasi, survei dan eksperimen. Tapi, kecuali satu hati,
penangkal ini sama bermasalah. Pring (2015: 47) berpendapat panjang lebar
nanti, dikotomi antara publik dan pribadi, antara obyektif dan subyektif, telah
menciptakan dualisme yang tidak bisa dibenarkan.
Sumber
:
Pring,
Richard. (2005)
Philosophy of Educational Research, Second
Edition. London: Continuum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar