Kontribusi
D. W. Miller pada jurnal ilmiah Chronicle of Higher Education, 6 Agustus 1999, yang berjudul 'The Black Hole
of Educational Research' (Lubang Hitam Penelitian Kependidikan). Ia mengacu
pada Diane Ravitch sekeluarnya ia dari
rumah sakit dan perenungan-perenungannya.
... apa bila, bukan peneliti medis, saya
sedang dirawat oleh para peneliti kependidikan? ... Aku memiliki fantasi
mengenai ketidaksetujuan seseorang terhadap cara diagnosis ... perdebatan tiada
akhir tentang apakah aku bahkan sakit.
Dengan
demikian, Miller berpendapat, bahwa terdapat ketidakpercayaan secara umum
terhadap penelitian kependidikan, yang ditujukan pada pengabaian segala bukti
hasilk dari setiap hal tertentu, baik pada kebijakan ataupun praktek. Dunia
luar melihat perselisihan tanpa ujung tentang validitas kesimpulan penelitian
dan bahkan tentang 'bagaimana Anda membuat diagnosa'. Kecurigaan ini menembus
benak para pembuat kebijakan dan praktisi di kedua kedua belah pihak, dari
mulai Atlantik, dan Australia serta Selandia Baru. Hal ini dapat dilihat di
bagian awal edisi artikel ini dalam pembahasan kritik penelitian. Kritik-kritik
tersebut mungkin dapat diringkas sebagai berikut:
i.
Skala penelitian terlalu kecil dan
terfragmentasi, penelitian dibangun pada basis data yang berbeda, sehingga
seringkali tidak memungkinkan untuk memperoleh 'gambaran besar';
ii.
Hasil penelitian non-kumulatif, sehingga
gagal untuk membuat kemajuan berdasarkan penelitian sebelumnya, sehingga untuk
selama-lamanya menciptakan kembali perputaran yang berhenti di tempat;
iii.
Kepentingan politik dan ideologis mendorong,
beberapa peneliti terpancing untuk melayani 'tujuan politik' daripada penekanan
pencarian "kebenaran";
iv.
Secara metodologis seringkali 'lunak' atau
'cacat', tanpa ketegasan baik dalam pelaksanaan penelitian atau dalam pelaporan
itu;
v.
Kurang dapat diakses pada jurnal esoteris dan
dalam bahasa kabur.
Bagaimanapun
kritik seperti itu tentu saja berlaku untukberbagai penelitian. Di sisi lain, terdapat
banyak sekali penelitian memberikan bukti cukup untuk menghadapi segala kritik.
Suatu dorongan untuk mempublikasikan penelitian dengan bagaimana pun kualitasnya,
hal itu akan membuat yakin. Namun, 'falsificationist/kritikus' dapat cukup
mudah menunjukkan bagaimana kritik umum tersebut salah. Terdapat juga penelitian
yang baik dan tidak mengkaji isu-isu pendidikan yang penting baik dari
kebijakan maupun praktek profesional. Bias dan motif politik diterapkan oleh
para kritikus, sedemikian pula banyaknya peneliti.
Namun,
banyak pula kritik perlu dianggap serius. Kritik tersebut mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang sifat penelitian pendidikan yang jarang direfleksikan secara sistematis oleh
peneliti. Refleksi tersebut harus berada di tingkat filosofis - menunjukkan
dengan jelas mengenai objek penelitian, yaitu, 'praktik pendidikan', menilai
sifat-sifat klaim yang dibuat sebagaimana 'praktek' dan hal yang akan dihitung sebagai bukti atau
verifikasinya. Kritik ini juga akan menunjukkan letak keterbatasan 'metode' dalam
meneliti praktek-praktek tersebut. Cara pengumpulan datanya ditentukan oleh sifat 'objek' yang dipertanyakan
dalam penelitian tersebut.
Terdapat
beberapa hal sebagai penggoda para peneliti yang tidak sabar dengan sifat penelitian
pendidikan yang fragmentaris dan ber skala kecil, dengan kesimpulan sementara,
untuk mencari tempat lain sebagai inspirasi. Ilmu-ilmu sosial -pada tradisi
tertentu setidaknya dalam diri peneliti tersebut- hal tersebut tampaknya lebih menawarkan
keamanan. Ilmu-ilmu sosial mengklaim yang merupakan-ilmu- '. Sebagaimana inspirasi dan kekuatan pendorong, dan dengan
demikian penerapan metode dan berharap ilmu fisika. Mengapa tidak ilmu
masyarakat? Mengapa tidak, untuk lebih spesifik, ilmu pembelajaran atau ilmu
mengajar? Mengapa, memang, harus bukan penelitian pendidikan dalam hal ini
seperti penelitian medis?
Analogi
ilmu kedokteran dalam beberapa tahun
terakhir, menjadi salah satu dorongan yang kuat, khususnya untuk penelitian skala
besar secara acak terkontrol yang memungkinkan peneliti untuk menguji dengan
seksama efek kausal dari intervensi
tertentu. Namun kejelian, dan ketelitian yang hati-hati diperlukan, bahkan tentang
pandangan agak selektif sebagaimana penelitian medis, apalagi mengenai hubungan
antara penelitian dengan praktek profesional. The Cochrane Centre di Oxford
didirikan justru karena sifat fragmentaris penelitian medis, dan karena terdapat
hubungan antara penelitian tersebut dan praktek profesional memang renggang. Namun
hal yang lebih penting lagi, kita perlu mendekati
secara lebih dekat dengan sifat yang sedang diteliti. Apakah 'praktik
pendidikan' mirip dengan 'praktek medis'? Jelas mereka memiliki berbagai jenis praktek,
namun terdapat kemiripan yang cukup, sehingga pelajaran dari seseorang dapat dengan
mudah ditransfer ke yang lain?
Tentu
saja, 'praktek medis', dan penelitian yang mungkin (tetapi sering) tidak
menginformasikan konsep secara jelas. Hal ini mencakup interaksi antara dokter
umum dan pasien, serta intervensi bedah dan pemberian obat. Mungkin interaksi
antara dokter dan pasien memiliki banyak kesamaan dengan interaksi antara guru
dan murid, tetapi bahkan kemudian kesamaan tidak membawa kita jauh lebih baik .
'Praktek medis' memiliki tujuan peningkatan
kesehatan - dan tentu saja, harus dilihat juga tertentu tentang 'kehidupan yang
baik'. Kesehatan dapat dilihat sebagai hal yang evaluatif, serta konsep
deskriptif. Namun 'praktik pendidikan' menekankan perhatian pada belajar yang
yang dinilai menjadi nilai - mengingat apa yang kita percaya untuk menjadi
nilai terdapat dalam sumber daya budaya yang dibawakan dan selalu diingat oleh
guru sebagai bentuk keyakinan yang berharga dari hidup untuk diajarkan. Dengan
demikian, maka penelitian 'praktik pendidikan' tidak dapat hanya dipandang
sebagai cabang dari ilmu-ilmu sosial. Objek penelitian tentu akan dilihat
berbeda oleh setiap praktisi secara berbeda (dan dari sudut pandang tradisi yang berbeda dalam praktek di tempat mereka bekerja). Oleh karena
itu maka, selayaknya guru memilih sumber
dayadengan budaya yang berbeda sebagai inspirasi, dan berbagai bentuk kehidupan
yang dicita-citakan. Penelitian pendidikan tidak dapat menghindari refleksi
sistematis pada nilai-nilai yang kontroversial dengan memilih hal yang signifikan untuk dipelajari, Hal yang
merupakan hasil pendidikan, dan segala hal yang dianggap sebagai nilai tambah.
Terdapat
tradisi filosofis signifikan yang terus membawa kita kembali pada arti dan
makna dari suatu 'praktek pendidikan'. Tradisi yang menciptakan ketidaknyamanan
bagi para pendukung dari ilmu sosial yang memiliki sedikit kesabaran dalam
melaksanakan tugas konstan dan juga seringkali sulit mencapai kejelasan
konseptual. Upaya untuk mencari kejelasan ini menyebabkan banyak perbedaan, yang
menjadi halangan untuk melakukan generalisasi. Pring (2005) telah menggambarkan
melalui konsep 'belajar' dan 'mengajar'. Kegagalan untuk mengenali pemilahan-pemilahan
tersebut telah menyebabkan penggunaan teori pembelajaran yang berlebihan di
masa lalu, yang tidak hanya diberlakukan dalam praktek dan sekarang masih
menjadi ilmu pengajaran yang disederhanakan secara berlebihan juga. Hal yang sesungguhnya
diperlukan adalah pengujian secara filosofis dengan pendekatan pada ide-ide
kunci yang terletak di inti 'praktik pendidikan' (belajar, mengajar,
pengembangan pribadi dan sosial, budaya). Penelitian yang mengabaikan
pertimbangan filosofis tersebut mungkin juga penelitian dalam aspek-aspek
lainnya juga. Namun demikian, pengabaian pertimbangan filosofois tidak akan ada
yang disebut dengan penelitian 'praktik pendidikan'.
Bagian
dari kompleksitas itu,tentu saja, terletak pada sifat dari realitas sosial, dan
perhatian terhadap 'realitas sosial' dapat menunjukkan keterbatasan penelitian,
hal ini berkaitan karena terlalu banyak hal pada idealitas ilmiah. Ilmu-ilmu
sosial menyediakan alat bagi peneliti pendidikan; mereka menawarkan pengetahuan
umum sebagaimana yang harus diketahui seorang peneliti; walaupun demikian hal
tersebut tidak dapat menjadi model penelitian pendidikan begitu saja. Sama
seperti (untuk mengacak frase dari Ayer) manusia bukan subjek ilmu pengetahuan,
sehingga penelitian pendidikan pada intinya tidak dapat ilmiah.
Pring
(2005) telah mencoba untuk menjelaskan dalam serangkaian artikel ini mengapa hal
tersebut terjadi. Namun, karena terhadap penolakan ilmu-ilmu sosial, hal ini
menyebabkan para peneliti pendidikan mempertanyakan relevansi gagasan-gagasan
seperti 'kebenaran', 'pengetahuan', 'objektivitas', 'realitas', 'kausalitas'.
Dalam hal ini Pring (2005) yakin bahwa mereka keliru dan telah menyebabkan
banyak kerugian, sebagaimana mereka bermain-main dan ingin melukai tangan
mereka sendiri. Setelah sekali seseorang kehilangan pegangan pada 'realitas',
atau pertanyaan mengenai gagasan
'objektivitas', atau menyangkal dasar pengetahuan pada kebijakan dan praktek,
atau memperlakukan fakta sebagai sekedar penemuan atau konstruksi belaka, maka segala
konsep penelitian tampaknya terlalu mudah dimengerti. Oleh karena terdapat
kebutuhan, sekali lagi untuk menancapkan penelitian pendidikan pada
keberlanjutan tradisi filsafat (pra-modern), dan tidak akan tergoda oleh
pelukan postmodern.
Pring
(2005) tidak mengatakan harus merusak relevansi yang dirasakan dari ilmu-ilmu
sosial, kebutuhan untuk bidang kajian eksplanatoris skala besar tentang masyarakat
dan bagaimana cara kerja manusia dan dipengaruhi oleh masyarakat. Hal tersebut
harus menjadi alternatif cadangan pemikiran pendidikan. Profesional, berjuang
dengan cara tertentu, sehingga akan mendapatkan keuntungan dari seorang kenalan
secara umum - selama dia tidak melihat pada kesimpulan daripada sekedar bukti.
Dalam inti praktek pendidikan harus memperhitungkan
pertimbangan profesional, dan penilaian perlu sampakan oleh segala hal yang
relevan. Penelitian pendidikan -Pemahaman praktek pendidikan- mengacu pada
penelitian ilmu sosial. Hal itu adalah suatu nilai lebih.
Pembahasan
filosofis penelitian kependidikan ini mendukung posisi sentral guru sebagai
peneliti. Justifikasi tidak hanya terletak pada fakta penelitian yang hanya sedikit
dapat berguna, kecuali dipahami dan dihayati oleh orang-orang yang terlatih untuk
hal tersebut. Hal tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleksitas
praktik pendidikan hanya dapat sepenuhnya dipahami oleh mereka yang memiliki nilai-nilai,
keyakinan dan pemahaman, kemudian menerapkan dengan cara tertentu. Suatu
'praktik pendidikan' merealisasikan cara berpikir tentang pembelajaran -tujuan,
hal yang merupakan setelah belajar berhasil, keterampilan, pengetahuan, dan
nilai-nilai yang merangkum hal-hal tersebut. Praktek-praktek (dan guru yang
terlibat di dalamnya) baik yang memanfaatkan tradisi masyarakat pembentuk
praktek dan pikiran mereka, yang turut mengambil bagian di dalamnya dan, pada
saat yang sama, mencerminkan kekhasan dari para partisipan. Pengajaran sejarah
di sekolah W oleh guru X akan sama dan dapat pula berbeda dengan pengajaran
sejarah di sekolah Y oleh Z. Terdapat tradisi umum mengenai apa yang dianggap sejarah
dan apa yang dianggap sebagai pengajaran sejarah, serta tradisi yang berbeda
dan interpretasi yang berbeda dalam tradisi yang sama.
Untuk
alasan tersebut, tidak mudah untuk melihat seberapa baik pengajaran dapat
dipisahkan dari prinsip penelitian pengajaran sendiri -prinsip atau sikap di mana
nilai-nilai (baik negeri maupun swasta) tentang pengajaran tersebut diuji dalam
praktek dan masing-masing nilai-nilai serta praktek sebagai fokus yang selalu direfleksikan
secara terus menerus dalam terang bukti sistematis yang diperoleh.
Catatan
Akhir:
Keseluruhan
dari 43 edisi artikel ini merupakan upaya untuk mengangkat kebutuhan bacaan sebagai
latar belakang bagi mereka yang, meskipun tidak bertujuan untuk menjadi filsuf,
namun lehih ingin berpikir lebih filosofis tentang tindakan penelitian
pendidikan. Begitu banyak dan begitu sering terlibat dalam penelitian tanpa
pengetahuan filosofis, atau perasaan, permasalahan-permasalahan yang sebenarnya
hanya dapat digambarkan sebagai filsafat. Yang sering dipandang seakan-akan sebagai
masalah empiris lurus namun akhirnya penuh dengan masalah - kurangnya kejelasan konsep,
asumsi yang masih dapat dipertanyakan pada
verifikasi kesimpulan, ide naif tentang fakta-fakta sosial dan realitas, dan segala
hal yang diulas sebelumnya, gagasan yang tak diuji dalam praktek pendidikan. Dalam kasus lain, filsafat
digunakan dalam pembahasan tetapi sering tanpa diiringi pengakuan dari
kompleksitas isu, sebagaimana ketika 'positivisme' menjadi 'boo-word'
(kata-kata untuk menakut-nakuti), diperluas ke semua aspek dalam penelitian kuantitatif,
atau 'postmodernisme' yang dianut sebagai tahap akhir dari evolusi filsafat
(tidak ada pasca-postmodernisme).
Bagaimanapun
masih terdapat beberapa bahaya. Filsafat kemudian dapat hampir menjadi teori
dalam wacana teoritis -sesuatu yang harus dipelajari, untuk membuat semua itu masuk
akal dan dapat diterapkan. Ketertarikan terhadap filsafat dapat dibuat, dan ini
merupakan wewenang filsuf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault, Habermas, Derrida, sebagai argumen
terakhir mereka.
Filsafat
sebaiknya dilihat sebagai bagian, yaitu: bagian utama, guru sekaligus peneliti yang
tercermin dari keseriusannya pada keterlibatan mereka dalam praktik. Filsafat beranjak
ketika seseorang mulai merasa bingung, bimbang atau merasa terdapat hal yang
kurang tentang arti tindakan yang kita lakukan - baik itu yang berkenaan dengan
maksud dan tujuan, nilai-nilai implisit, asumsi yang dibuat tentang apa yang
benar atau salah, tepat atau salah, ataupun berharga atau tidak. Ini semua adalah
"suatu perjuangan untuk menjadi make
a sense/ masuk akal" ketika yang orang lain tidak melihat suatu kontradiksi
atau dasar untuk tindakan yang tak terlalu nampak. Dan di dalam 'memperjuangkan
supaya masuk akal', seseorang mencoba untuk menjelaskan segala hal yang bermakna,
dengan menemukan hal yang sebelumnya dianggap sederhana ternyata benar-benar
sangat kompleks. Bahasa tersebut, ketika secara sistematis direnungkan, akan
menyediakan peta yang kompleks mengenai dunia - baik fisik, sosial maupun moral
- yang membentuk cara seseorang berpikir dan berperilaku.
Terdapat
tiga aspek dalam 'berjuang untuk menjadi masuk akal', dalam hal ini antara lain
adalah, sebagai berikut.
Aspek
Pertama adalah kebutuhan untuk membuat siswa sadar bahwa pandangan mereka
tentang dunia ini tidak sesederhana yang mereka pikirkan. Kata 'adil' atau
'keadilan' misalnya, hal ini digunakan dengan mudah, tetapi untuk mengungkapkan
secara tepat, tidak begitu sederhana -sebagaimana Thrasymachus yang juga
ditemukan kembali oleh Socrates. Dan untuk menggali lebih lanjut mengenai
sesuatu makna (upaya menemukan definisi
melalui contoh dan contoh yang berlawanan), dapat secara terampil diterapkan menjadi
awal dari 'berfilsafat'.
Aspek
kedua adalah bahwa, dalam penggalian makna, seseorang pasti akan memunculkan
pertanyaan tentang sifat pengetahuan, apa makna selanjutnya (dan menjadi lebih
lengkap) dari seseorang, apa yang merupakan bentuk pantas dalam hidup, atau cara
kerja aktivitas mental kita dalam kaitannya dengan dunia eksternal secara fisik
dan sosial terhadap diri kita sendiri. Kita 'berjuang untuk dapat dan harus
memahami', terterhubung pada ' dialog antar generasi umat manusia'. Kita sedapat
mungkin mencari makna, pada level perseorangan, hal ini dilihat sebagai urusan
pribadi, namun tetap butuh tempat pada dunia publik sebagai eksplorasi dan argumen.
Aspek
ketiga adalah tidak terdapat batasan untuk pencarian makna dan tidak ada
konsensus atas kesimpulan yang mudah dicapai. Memang, pencarian pemahaman
merupakan upaya untuk memahami dan terlibat dalam refleksi kritis yang jarang
akan membawa kesepakatan secara total. Toleransi perbedaan pandangan, namun
tetap harus mempertahankan untuk selalu menjadi diri sendiri. Kesimpulan hanya akan
selalu tentatif, dan tunduk pada revisi lebih lanjut di bawah kritik, sebagai bangunan
filosofis.
Dan
ini adalah hal yang benar, berfilsafat
tentang pendidikan sebagaimana berfilsafat dalam hal lain. Refleksi atas 'pengajaran'
atau 'mendidik' - yang merupakan tujuan sekaligus prosedur yang paling tepat
untuk diadopsi -supaya tidak terjadi kekosongan. Telah terdapat banya orang
yang melakukan praktik, bekerja sebagai guru, dan terlibat di dalamnya. Serta
banyak juga yang membawanya sebagai praktik pendidikan. Mereka mampu, namun
seringkali kurang atau tidak reflektif samasekali. Memang, banyak pembekalan
dan pelatihan guru yang tidak lagi mendorong refleksi kritis tersebut. Namun
demikian, seseorang yang memiliki semangat yang lebih filosofis akan
merenungkan segala hal yang berkaitan dengan praktek, serta mempertanyakan
nilai dan tujuan mereka sendiri. Sebagaimana refleksi , dan mempertanyakan
sikap dan diri, pasti akan menimbulkan
pertanyaan tentang apa yang layak belajar atau mengejar - selain mempertanyakan
alasan mengapa literatur tertentu dipilih pada silabus atau mengapa mata
pelajaran tertentu menjadi mata pelajaran pilihan. Sebelum seseorang memasuki
wilayah etika tradisional, sebagai salah satu cara untuk mencoba melakukan identifikasi
prinsip-prinsip yang membenarkan kegiatan tertentu, atau cara hidup tertentu
menjadi lebih yang lebih layak dibandingkan yang lain.
Oleh
karena itu maka tujuan dari filsafat pendidikan adalah harus mendapatkan makna,
asumsi, dan komitmen yang implisit, namun hal ini terlalu sering tidak diakui
oleh mereka yang sudah terlibat dalam praktek pendidikan. Sebagaimana ketika
terlibat dalam 'ketidakterungkapan makna', yang berkaitan erat jika dilihat
secara kritis, secara pasti pengungkapan keyakinan tersebut tidak akan berkelanjutan
atau akan membutuhkan pemurnian. Mereka menempatkan para praktisi pada tempat
yang bersentuhan dengan tradisi intelektual, dan moral yang memberikan dasar
komitmen profesionalisme dalam tindakan, yang lebih besar dan mendalam, seringkali hal
ini bertentangan dengan kebijakan pemerintah atau dengan berbagai bahasa politis
yang miskin tujuan pendidikan
Demikian
pula dengan penelitian pendidikan. Di sini, sebagaimana di tempat lain, terdapat
bahaya yang terus menerus mengancam, yaitu inteljen dalam penggunaan bahasa
tersebut. Sangat mudah untuk menetapkan sebuah pernyataan yang lugas dari suatu
tujuan, namun dapat dipatahkan dengan berbagai keterbatasan tujuan atau target yang
terukur. Hal ini relatif mudah, maka dengan
mengidentifikasi secara yang empiris akan dapat menunjukkan pencapaian target
tersebut. Tampaknya untuk terjadi perlu kepastian mengenai efisiensi
administratif untuk memastikannya, melalui berbagai 'penghargaan kinerja
terkait' atau pendanaan yang relevan sebagai "pendorong dan pemicu", mengingat
tenaga pengajar tunduk dan akan mengadopsi makna dari tujuan pendidikan secara sesuai
untuk mencapai tujuan yang tepat.
Namun
dengan berpikir secara lebih filosofis akan selalu memiliki keraguan yang
secara terus-menerus akan dipertanyakan. Tujuan pendidikan mewujudkan
nilai-nilai -pandangan tentang arti dari hidup. Dan nilai-nilai tersebut masih
sering dianggap kontroversial dalam masyarakat kita. Selain itu, kontroversi
seperti menambahkan materi mengenai pemahaman dari 'Praktik Pendidikan'. Dalam 'praktek
pendidikan' seseorang terlibat dalam suatu korporasi moral sebagaimana dalam dikatakan
dalam salah satu kuliah yang dibawakan oleh Pring (Pring, 2001b), dan seseorang
tidak dapat lepas diskusi seluk-beluk moral yang berakar pada tradisi moral
yang berbeda-beda.
Referensi:
Miller, D.W. (1999)
'The black hole of educational research7. Chronicle of Higher Education, 6 August.
Pring, R. (2001b)
'Education as a Moral Practice'. Journal of Moral Education,30 (2)
Pring, R. (2005)
Philosophy of Educational Research: Second Edition. London: Continuum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar