Senin, 08 Agustus 2016

FILOSOFI RISET KEPENDIDIKAN (43- PENUTUP): KESIMPULAN- MASA DEPAN DAN DUNIA PENELITIAN KEPENDIDIKAN

Kontribusi D. W. Miller pada jurnal ilmiah Chronicle of Higher Education, 6 Agustus 1999, yang berjudul 'The Black Hole of Educational Research' (Lubang Hitam Penelitian Kependidikan). Ia mengacu pada Diane Ravitch  sekeluarnya ia dari rumah sakit dan perenungan-perenungannya.

... apa bila, bukan peneliti medis, saya sedang dirawat oleh para peneliti kependidikan? ... Aku memiliki fantasi mengenai ketidaksetujuan seseorang terhadap cara diagnosis ... perdebatan tiada akhir tentang apakah aku bahkan sakit.

 Dengan demikian, Miller berpendapat, bahwa terdapat ketidakpercayaan secara umum terhadap penelitian kependidikan, yang ditujukan pada pengabaian segala bukti hasilk dari setiap hal tertentu, baik pada kebijakan ataupun praktek. Dunia luar melihat perselisihan tanpa ujung tentang validitas kesimpulan penelitian dan bahkan tentang 'bagaimana Anda membuat diagnosa'. Kecurigaan ini menembus benak para pembuat kebijakan dan praktisi di kedua kedua belah pihak, dari mulai Atlantik, dan Australia serta Selandia Baru. Hal ini dapat dilihat di bagian awal edisi artikel ini dalam pembahasan kritik penelitian. Kritik-kritik tersebut mungkin dapat diringkas sebagai berikut:

        i.            Skala penelitian terlalu kecil dan terfragmentasi, penelitian dibangun pada basis data yang berbeda, sehingga seringkali tidak memungkinkan untuk memperoleh 'gambaran besar';
      ii.            Hasil penelitian non-kumulatif, sehingga gagal untuk membuat kemajuan berdasarkan penelitian sebelumnya, sehingga untuk selama-lamanya menciptakan kembali perputaran yang berhenti di tempat;
    iii.            Kepentingan politik dan ideologis mendorong, beberapa peneliti terpancing untuk melayani 'tujuan politik' daripada penekanan pencarian "kebenaran";
    iv.            Secara metodologis seringkali 'lunak' atau 'cacat', tanpa ketegasan baik dalam pelaksanaan penelitian atau dalam pelaporan itu;
      v.            Kurang dapat diakses pada jurnal esoteris dan dalam bahasa kabur.
  

Bagaimanapun kritik seperti itu tentu saja berlaku untukberbagai penelitian. Di sisi lain, terdapat banyak sekali penelitian memberikan bukti cukup untuk menghadapi segala kritik. Suatu dorongan untuk mempublikasikan penelitian dengan bagaimana pun kualitasnya, hal itu akan membuat yakin. Namun, 'falsificationist/kritikus' dapat cukup mudah menunjukkan bagaimana kritik umum tersebut salah. Terdapat juga penelitian yang baik dan tidak mengkaji isu-isu pendidikan yang penting baik dari kebijakan maupun praktek profesional. Bias dan motif politik diterapkan oleh para kritikus, sedemikian pula banyaknya peneliti.

Namun, banyak pula kritik perlu dianggap serius. Kritik tersebut mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang sifat penelitian pendidikan yang  jarang direfleksikan secara sistematis oleh peneliti. Refleksi tersebut harus berada di tingkat filosofis - menunjukkan dengan jelas mengenai objek penelitian, yaitu, 'praktik pendidikan', menilai sifat-sifat klaim yang dibuat sebagaimana 'praktek' dan hal  yang akan dihitung sebagai bukti atau verifikasinya. Kritik ini juga akan  menunjukkan letak keterbatasan 'metode' dalam meneliti praktek-praktek tersebut. Cara pengumpulan datanya  ditentukan oleh sifat 'objek' yang dipertanyakan dalam penelitian tersebut.

Terdapat beberapa hal sebagai penggoda para peneliti yang tidak sabar dengan sifat penelitian pendidikan yang fragmentaris dan ber skala kecil, dengan kesimpulan sementara, untuk mencari tempat lain sebagai inspirasi. Ilmu-ilmu sosial -pada tradisi tertentu setidaknya dalam diri peneliti tersebut- hal tersebut tampaknya lebih menawarkan keamanan. Ilmu-ilmu sosial mengklaim yang merupakan-ilmu- '. Sebagaimana  inspirasi dan kekuatan pendorong, dan dengan demikian penerapan metode dan berharap ilmu fisika. Mengapa tidak ilmu masyarakat? Mengapa tidak, untuk lebih spesifik, ilmu pembelajaran atau ilmu mengajar? Mengapa, memang, harus bukan penelitian pendidikan dalam hal ini seperti penelitian medis?

Analogi ilmu kedokteran dalam  beberapa tahun terakhir, menjadi salah satu dorongan yang kuat, khususnya untuk penelitian skala besar secara acak terkontrol yang memungkinkan peneliti untuk menguji dengan seksama efek kausal dari  intervensi tertentu. Namun kejelian, dan ketelitian yang  hati-hati diperlukan,  bahkan  tentang pandangan agak selektif sebagaimana penelitian medis, apalagi mengenai hubungan antara penelitian dengan praktek profesional. The Cochrane Centre di Oxford didirikan justru karena sifat fragmentaris penelitian medis, dan karena terdapat hubungan antara penelitian tersebut dan praktek profesional memang renggang. Namun hal  yang lebih penting lagi, kita perlu mendekati secara lebih dekat dengan sifat yang sedang diteliti. Apakah 'praktik pendidikan' mirip dengan 'praktek medis'? Jelas mereka memiliki berbagai jenis praktek, namun terdapat kemiripan yang cukup,  sehingga pelajaran dari seseorang dapat dengan mudah ditransfer ke yang lain?

Tentu saja, 'praktek medis', dan penelitian yang mungkin (tetapi sering) tidak menginformasikan konsep secara jelas. Hal ini mencakup interaksi antara dokter umum dan pasien, serta intervensi bedah dan pemberian obat. Mungkin interaksi antara dokter dan pasien memiliki banyak kesamaan dengan interaksi antara guru dan murid, tetapi bahkan kemudian kesamaan tidak membawa kita jauh lebih baik .  'Praktek medis' memiliki tujuan peningkatan kesehatan - dan tentu saja, harus dilihat juga tertentu tentang 'kehidupan yang baik'. Kesehatan dapat dilihat sebagai hal yang evaluatif, serta konsep deskriptif. Namun 'praktik pendidikan' menekankan perhatian pada belajar yang yang dinilai menjadi nilai - mengingat apa yang kita percaya untuk menjadi nilai terdapat dalam sumber daya budaya yang dibawakan dan selalu diingat oleh guru sebagai bentuk keyakinan yang berharga dari hidup untuk diajarkan. Dengan demikian, maka penelitian 'praktik pendidikan' tidak dapat hanya dipandang sebagai cabang dari ilmu-ilmu sosial. Objek penelitian tentu akan dilihat berbeda oleh setiap praktisi secara berbeda (dan dari sudut pandang  tradisi yang berbeda dalam  praktek di tempat mereka bekerja). Oleh karena itu maka, selayaknya guru  memilih sumber dayadengan budaya yang berbeda sebagai inspirasi, dan berbagai bentuk kehidupan yang dicita-citakan. Penelitian pendidikan tidak dapat menghindari refleksi sistematis pada nilai-nilai yang kontroversial dengan memilih hal  yang signifikan untuk dipelajari, Hal yang merupakan hasil pendidikan, dan segala hal yang dianggap sebagai nilai tambah.

Terdapat tradisi filosofis signifikan yang terus membawa kita kembali pada arti dan makna dari suatu 'praktek pendidikan'. Tradisi yang menciptakan ketidaknyamanan bagi para pendukung dari ilmu sosial yang memiliki sedikit kesabaran dalam melaksanakan tugas konstan dan juga seringkali sulit mencapai kejelasan konseptual. Upaya untuk mencari kejelasan ini menyebabkan banyak perbedaan, yang menjadi halangan untuk melakukan generalisasi. Pring (2005) telah menggambarkan melalui konsep 'belajar' dan 'mengajar'. Kegagalan untuk mengenali pemilahan-pemilahan tersebut telah menyebabkan penggunaan teori pembelajaran yang berlebihan di masa lalu, yang tidak hanya diberlakukan dalam praktek dan sekarang masih menjadi ilmu pengajaran yang disederhanakan secara berlebihan juga. Hal yang sesungguhnya diperlukan adalah pengujian secara filosofis dengan pendekatan pada ide-ide kunci yang terletak di inti 'praktik pendidikan' (belajar, mengajar, pengembangan pribadi dan sosial, budaya). Penelitian yang mengabaikan pertimbangan filosofis tersebut mungkin juga penelitian dalam aspek-aspek lainnya juga. Namun demikian, pengabaian pertimbangan filosofois tidak akan ada yang disebut dengan penelitian 'praktik pendidikan'.

Bagian dari kompleksitas itu,tentu saja, terletak pada sifat dari realitas sosial, dan perhatian terhadap 'realitas sosial' dapat menunjukkan keterbatasan penelitian, hal ini berkaitan karena terlalu banyak hal pada idealitas ilmiah. Ilmu-ilmu sosial menyediakan alat bagi peneliti pendidikan; mereka menawarkan pengetahuan umum sebagaimana yang harus diketahui seorang peneliti; walaupun demikian hal tersebut tidak dapat menjadi model penelitian pendidikan begitu saja. Sama seperti (untuk mengacak frase dari Ayer) manusia bukan subjek ilmu pengetahuan, sehingga penelitian pendidikan pada intinya tidak dapat ilmiah.

Pring (2005) telah mencoba untuk menjelaskan dalam serangkaian artikel ini mengapa hal tersebut terjadi. Namun, karena terhadap penolakan ilmu-ilmu sosial, hal ini menyebabkan para peneliti pendidikan mempertanyakan relevansi gagasan-gagasan seperti 'kebenaran', 'pengetahuan', 'objektivitas', 'realitas', 'kausalitas'. Dalam hal ini Pring (2005) yakin bahwa mereka keliru dan telah menyebabkan banyak kerugian, sebagaimana mereka bermain-main dan ingin melukai tangan mereka sendiri. Setelah sekali seseorang kehilangan pegangan pada 'realitas', atau pertanyaan  mengenai gagasan 'objektivitas', atau menyangkal dasar pengetahuan pada kebijakan dan praktek, atau memperlakukan fakta sebagai sekedar penemuan atau konstruksi belaka, maka segala konsep penelitian tampaknya terlalu mudah dimengerti. Oleh karena terdapat kebutuhan, sekali lagi untuk menancapkan penelitian pendidikan pada keberlanjutan tradisi filsafat (pra-modern), dan tidak akan tergoda oleh pelukan postmodern.

Pring (2005) tidak mengatakan harus merusak relevansi yang dirasakan dari ilmu-ilmu sosial, kebutuhan untuk bidang kajian eksplanatoris skala besar tentang masyarakat dan bagaimana cara kerja manusia dan dipengaruhi oleh masyarakat. Hal tersebut harus menjadi alternatif cadangan pemikiran pendidikan. Profesional, berjuang dengan cara tertentu, sehingga akan mendapatkan keuntungan dari seorang kenalan secara umum - selama dia tidak melihat pada kesimpulan daripada sekedar bukti. Dalam  inti praktek pendidikan harus memperhitungkan pertimbangan profesional, dan penilaian perlu sampakan oleh segala hal yang relevan. Penelitian pendidikan -Pemahaman praktek pendidikan- mengacu pada penelitian ilmu sosial. Hal itu adalah suatu nilai lebih.

Pembahasan filosofis penelitian kependidikan ini mendukung posisi sentral guru sebagai peneliti. Justifikasi tidak hanya terletak pada fakta penelitian yang hanya sedikit dapat berguna, kecuali dipahami dan dihayati oleh orang-orang yang terlatih untuk hal tersebut. Hal tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleksitas praktik pendidikan hanya dapat sepenuhnya dipahami oleh mereka yang memiliki nilai-nilai, keyakinan dan pemahaman, kemudian menerapkan dengan cara tertentu. Suatu 'praktik pendidikan' merealisasikan cara berpikir tentang pembelajaran -tujuan, hal yang merupakan setelah belajar berhasil, keterampilan, pengetahuan, dan nilai-nilai yang merangkum hal-hal tersebut. Praktek-praktek (dan guru yang terlibat di dalamnya) baik yang memanfaatkan tradisi masyarakat pembentuk praktek dan pikiran mereka, yang turut mengambil bagian di dalamnya dan, pada saat yang sama, mencerminkan kekhasan dari para partisipan. Pengajaran sejarah di sekolah W oleh guru X akan sama dan dapat pula berbeda dengan pengajaran sejarah di sekolah Y oleh Z. Terdapat tradisi umum mengenai apa yang dianggap sejarah dan apa yang dianggap sebagai pengajaran sejarah, serta tradisi yang berbeda dan interpretasi yang berbeda dalam tradisi yang sama.

Untuk alasan tersebut, tidak mudah untuk melihat seberapa baik pengajaran dapat dipisahkan dari prinsip penelitian pengajaran sendiri -prinsip atau sikap di mana nilai-nilai (baik negeri maupun swasta) tentang pengajaran tersebut diuji dalam praktek dan masing-masing nilai-nilai serta praktek sebagai fokus yang selalu direfleksikan secara terus menerus dalam terang bukti sistematis yang diperoleh.

Catatan Akhir:
Keseluruhan dari 43 edisi artikel ini merupakan upaya untuk mengangkat kebutuhan bacaan sebagai latar belakang bagi mereka yang, meskipun tidak bertujuan untuk menjadi filsuf, namun lehih ingin berpikir lebih filosofis tentang tindakan penelitian pendidikan. Begitu banyak dan begitu sering terlibat dalam penelitian tanpa pengetahuan filosofis, atau perasaan, permasalahan-permasalahan yang sebenarnya hanya dapat digambarkan sebagai filsafat. Yang sering dipandang seakan-akan sebagai masalah empiris lurus namun akhirnya  penuh dengan masalah - kurangnya kejelasan konsep, asumsi yang  masih dapat dipertanyakan pada verifikasi kesimpulan, ide naif tentang fakta-fakta sosial dan realitas, dan segala hal yang diulas sebelumnya, gagasan yang tak diuji dalam  praktek pendidikan. Dalam kasus lain, filsafat digunakan dalam pembahasan tetapi sering tanpa diiringi pengakuan dari kompleksitas isu, sebagaimana ketika 'positivisme' menjadi 'boo-word' (kata-kata untuk menakut-nakuti), diperluas ke semua aspek dalam penelitian kuantitatif, atau 'postmodernisme' yang dianut sebagai tahap akhir dari evolusi filsafat (tidak ada pasca-postmodernisme).

Bagaimanapun masih terdapat beberapa bahaya. Filsafat kemudian dapat hampir menjadi teori dalam wacana teoritis -sesuatu yang harus dipelajari, untuk membuat semua itu masuk akal dan dapat diterapkan. Ketertarikan terhadap filsafat dapat dibuat, dan ini merupakan wewenang filsuf. Sebagaimana yang dikatakan oleh  Foucault, Habermas, Derrida, sebagai argumen terakhir mereka.

Filsafat sebaiknya dilihat sebagai bagian, yaitu:  bagian utama, guru sekaligus peneliti yang tercermin dari keseriusannya pada keterlibatan mereka dalam praktik. Filsafat beranjak ketika seseorang mulai merasa bingung, bimbang atau merasa terdapat hal yang kurang tentang arti tindakan yang kita lakukan - baik itu yang berkenaan dengan maksud dan tujuan, nilai-nilai implisit, asumsi yang dibuat tentang apa yang benar atau salah, tepat atau salah, ataupun berharga atau tidak. Ini semua adalah "suatu perjuangan untuk menjadi make a sense/ masuk akal" ketika yang orang lain tidak melihat suatu kontradiksi atau dasar untuk tindakan yang tak terlalu nampak. Dan di dalam 'memperjuangkan supaya masuk akal', seseorang mencoba untuk menjelaskan segala hal yang bermakna, dengan menemukan hal yang sebelumnya dianggap sederhana ternyata benar-benar sangat kompleks. Bahasa tersebut, ketika secara sistematis direnungkan, akan menyediakan peta yang kompleks mengenai dunia - baik fisik, sosial maupun moral - yang membentuk cara seseorang berpikir dan berperilaku.

Terdapat tiga aspek dalam 'berjuang untuk menjadi masuk akal', dalam hal ini antara lain adalah, sebagai berikut.

Aspek Pertama adalah kebutuhan untuk membuat siswa sadar bahwa pandangan mereka tentang dunia ini tidak sesederhana yang mereka pikirkan. Kata 'adil' atau 'keadilan' misalnya, hal ini digunakan dengan mudah, tetapi untuk mengungkapkan secara tepat, tidak begitu sederhana -sebagaimana Thrasymachus yang juga ditemukan kembali oleh Socrates. Dan untuk menggali lebih lanjut mengenai sesuatu  makna (upaya menemukan definisi melalui contoh dan contoh yang berlawanan), dapat secara terampil diterapkan menjadi awal dari 'berfilsafat'.

Aspek kedua adalah bahwa, dalam penggalian makna, seseorang pasti akan memunculkan pertanyaan tentang sifat pengetahuan, apa makna selanjutnya (dan menjadi lebih lengkap) dari seseorang, apa yang merupakan bentuk pantas dalam hidup, atau cara kerja aktivitas mental kita dalam kaitannya dengan dunia eksternal secara fisik dan sosial terhadap diri kita sendiri. Kita 'berjuang untuk dapat dan harus memahami', terterhubung pada ' dialog antar generasi umat manusia'. Kita sedapat mungkin mencari makna, pada level perseorangan, hal ini dilihat sebagai urusan pribadi, namun tetap butuh tempat pada dunia publik sebagai  eksplorasi dan argumen.

Aspek ketiga adalah tidak terdapat batasan untuk pencarian makna dan tidak ada konsensus atas kesimpulan yang mudah dicapai. Memang, pencarian pemahaman merupakan upaya untuk memahami dan terlibat dalam refleksi kritis yang jarang akan membawa kesepakatan secara total. Toleransi perbedaan pandangan, namun tetap harus mempertahankan untuk selalu menjadi diri sendiri. Kesimpulan hanya akan selalu tentatif, dan tunduk pada revisi lebih lanjut di bawah kritik, sebagai bangunan filosofis.

Dan ini adalah hal yang benar,  berfilsafat tentang pendidikan sebagaimana berfilsafat dalam hal lain. Refleksi atas 'pengajaran' atau 'mendidik' - yang merupakan tujuan sekaligus prosedur yang paling tepat untuk diadopsi -supaya tidak terjadi kekosongan. Telah terdapat banya orang yang melakukan praktik, bekerja sebagai guru, dan terlibat di dalamnya. Serta banyak juga yang membawanya sebagai praktik pendidikan. Mereka mampu, namun seringkali kurang atau tidak reflektif samasekali. Memang, banyak pembekalan dan pelatihan guru yang tidak lagi mendorong refleksi kritis tersebut. Namun demikian, seseorang yang memiliki semangat yang lebih filosofis akan merenungkan segala hal yang berkaitan dengan praktek, serta mempertanyakan nilai dan tujuan mereka sendiri. Sebagaimana refleksi , dan mempertanyakan sikap dan diri,  pasti akan menimbulkan pertanyaan tentang apa yang layak belajar atau mengejar - selain mempertanyakan alasan mengapa literatur tertentu dipilih pada silabus atau mengapa mata pelajaran tertentu menjadi mata pelajaran pilihan. Sebelum seseorang memasuki wilayah etika tradisional, sebagai salah satu cara untuk mencoba melakukan identifikasi prinsip-prinsip yang membenarkan kegiatan tertentu, atau cara hidup tertentu menjadi lebih yang lebih layak dibandingkan yang lain.

Oleh karena itu maka tujuan dari filsafat pendidikan adalah harus mendapatkan makna, asumsi, dan komitmen yang implisit, namun hal ini terlalu sering tidak diakui oleh mereka yang sudah terlibat dalam praktek pendidikan. Sebagaimana ketika terlibat dalam 'ketidakterungkapan makna', yang berkaitan erat jika dilihat secara kritis, secara pasti pengungkapan keyakinan tersebut tidak akan berkelanjutan atau akan membutuhkan pemurnian. Mereka menempatkan para praktisi pada tempat yang bersentuhan dengan tradisi intelektual, dan moral yang memberikan dasar komitmen profesionalisme dalam tindakan,  yang lebih besar dan mendalam, seringkali hal ini bertentangan dengan kebijakan pemerintah atau dengan berbagai bahasa politis yang miskin tujuan pendidikan

Demikian pula dengan penelitian pendidikan. Di sini, sebagaimana di tempat lain, terdapat bahaya yang terus menerus mengancam, yaitu inteljen dalam penggunaan bahasa tersebut. Sangat mudah untuk menetapkan sebuah pernyataan yang lugas dari suatu tujuan, namun dapat dipatahkan dengan berbagai keterbatasan tujuan atau target yang terukur.  Hal ini relatif mudah, maka dengan mengidentifikasi secara yang empiris akan dapat menunjukkan pencapaian target tersebut. Tampaknya untuk terjadi perlu kepastian mengenai efisiensi administratif untuk memastikannya, melalui berbagai 'penghargaan kinerja terkait' atau pendanaan yang relevan sebagai "pendorong dan pemicu", mengingat tenaga pengajar tunduk dan akan mengadopsi makna dari tujuan pendidikan secara sesuai untuk mencapai tujuan yang tepat.

Namun dengan berpikir secara lebih filosofis akan selalu memiliki keraguan yang secara terus-menerus akan dipertanyakan. Tujuan pendidikan mewujudkan nilai-nilai -pandangan tentang arti dari hidup. Dan nilai-nilai tersebut masih sering dianggap kontroversial dalam masyarakat kita. Selain itu, kontroversi seperti menambahkan materi mengenai pemahaman dari 'Praktik Pendidikan'. Dalam 'praktek pendidikan' seseorang terlibat dalam suatu korporasi moral sebagaimana dalam dikatakan dalam salah satu kuliah yang dibawakan oleh Pring (Pring, 2001b), dan seseorang tidak dapat lepas diskusi seluk-beluk moral yang berakar pada tradisi moral yang berbeda-beda.


Referensi:

Miller, D.W. (1999) 'The black hole of educational research7. Chronicle of Higher Education, 6 August.

Pring, R. (2001b) 'Education as a Moral Practice'. Journal of Moral Education,30 (2)

Pring, R. (2005) Philosophy of Educational Research: Second Edition.  London: Continuum



Tidak ada komentar: