Artikel kali mungkin tampak sangat panjang dan berantakkan, namum paling tidak sedikit-sedikit, memahami perlaha-lahan, alasan mengapa pendekatan ini dibedakan, berikut ini merupakan pendapat Richard Pring mengenai dualitas palsu yang merupakan hasil perdebatan panjang secara filosofis (epistimologi dan ontologi), hingga hampir menyentuh perdebatan tentang "kebenaran".
Bahaya
yang terdapat dalam penelitian pendidikan, karena memang dalam segala hal, penggambarannya
terlalu mencolok antara berbagai jenis
kegiatan atau berbagai jenis penelitian yang berbeda. Dan kedua hal yang
dibedakan terlalu mencolok tersebut ”dibakukan menjadi dua pihak yang
berseberangan”, serta 'satu pihak' mengecam “pihak lain”. Dengan demikian,
dalam banyak karya ilmiah dan buku, perbedaan yang tajam tersebut terbentuk di
antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dan perbedaan ini dibuat atas
dasar bukan dari 'kesesuaian untuk bidang kerja' tetapi 'epistemologi' dan
bahkan 'ontologi'. Dengan demikian, para peneliti kuantitatif terlihat memiliki
pandangan khas pada sifat pengetahuan tentang fisik dan dunia sosial. Dan para
peneliti kualitatif mempertanyakan pandangan tersebut bahwa, dan sangat sering
menolak “pihak” kuantitatif sebagai suatu
'epistemologis cacat'. Para peneliti tersebut bekerja dalam paradigma yang berbeda.
Perbedaan
tersebut tercermin dari perbedaan “bahasa” masing-masing dan juga cara,
gagasan-gagasan ataupun konsep, yang membuat perbedaan karakter logikanya (cara
berpikirnya). Oleh karena itu Pring (2005:44) mengartikan konsep-konsep yang
sepertinya dihindari ketika kita bercermin secara filosofis dalam dunia
pencarian, kaitan perbedaan cara dan sedikit perbedaan pemaknaan. Seperti
istilah “objektivitas (dioposisikan dengan “subjektivitas), “realitas/tunggal”
(dengan “realitas jamak”), “kebenaran” dan “verifikasi/pembuktian/pengujian,
“pengetahuan” dengan ”pemaknaan” yang masing-masing memiliki saling
keterkaitan, tetapi terdapat perbedaan dalam mengartikannya.
Konsep-konsep
ini akan kita cermati secara hati-hati pada artikel-artikel berikutnya, di sini
Pring, akan menunjukkan perbedaan dalam penggunaan dan penerapan yang
seringkali memunculkan pertentangan cara-cara yang berkaitan dengan
penelitiannya. Hodkinson (1998), dalam kutukan
laporan penelitian di ranah penelitian kependidikan milik Tooley dan
Derby, mengacu pada
“permasalahan-permasalahan mendalam secara ontologis dan epistimologis
yang bersandar dari pendekatan Cartesian'. Hal ini tidak begitu jelas mengapa
Tooley dituduh sebagai pengikut Descartes. Hal ini tidak dijelaskan mengapa,
jika pada kasus ini dianggap salah. Namun ternyata Tooley dianggap yang
bertanggungjawab dalam membangkitkan kesenjangan yang jelas antara peneliti dan
yang diteliti, dia antara keberadaan dunia yang teramati secara independen oleh
yang berpengetahuan dan yang mengenal diri sendiri. Sebaliknya, para peneliti
kualitatif akan berusaha untuk mengaburkan perbedaan ini. Dunia yang diteliti
dipengaruhi oleh penelitian itu sendiri; pengetahuan kita adalah 'konstruksi'
yang mencerminkan dunia, bukan sebagai sesuatu yang independen dari yang
ditentukan oleh kita, tetapi sebagai sesuatu yang dibangun oleh mereka.
Singkatnya,
perbedaan yang mencolok akan terlihat
antara penelitian kuantitatif yang dipandang sesuai dengan penelitian dunia
fisik (dan salah diterapkan pada personal dan sosial) dan kualitatif yang
membahas apa yang spesifik dari pribadi dan sosial, yaitu ' makna 'di mana
realitas personal dan sosial dapat dipahami. Yang terakhir ini tidak mungkin
diukur; dan tidak ada hal semacam itu. Selanjutnya, mantan jenis penelitian ini
disebut sebagai 'positivis', sebuah kata yang telah memiliki konotasi yang
buruk di antara peneliti pendidikan (hanya
untuk yang sudah “move on”, red) dan hal ini banyak pertanda penolakan yang
kuat.
Pring
(2015) akan dikaji lebih dekat mengenai apa yang kita maksud dengan
'positivisme', karena hal ini
membutuhkan pemahaman yang lebih halus dan pemikiran/pemahaman yang bijak/terbuka
dari para kritikus. Pring menyatakan, hal ini sudah cukup untuk menunjukkan
bagaimana perbedaan yang jelas, antara penjelasan mengenai segala hal
berhubungan dengan dunia fisik, ditandai dengan generalisasi kuantitatif, dan
yang sering disebut positivis, dan penjelasan yang berkaitan dengan non-fisik,
dunia makna pribadi, dan sosial. Pembagian dua jenis penjelasan terlihat secara
'epistemologis'; Sehingga terdapat anggapan
bahwa hal tersebut merupakan teori yang mendasari penjelasan, kebenaran
dan verifikasi. Dan kesenjangan tersebut juga dilihat untuk menunjukkan
'perbedaan ontologis'; dengan demikian, Pring berpendapat, bahwa posisi
filosofis tertentu (yaitu, penelitian tersebut menganggap dunia merupakan sesuatu yang riil) hanya berlaku
untuk orang pertama dan tidak untuk yang kedua (yaitu, bahwa 'realitas'
diteliti tidak pernah bisa bebas dari seorang peneliti).
Di
sinilah kita melihat tanda-tanda dualisme yang sangat Cartesian, sebagaimana
Hodkinson, menuduh Tooley. Hal ini selalu menunjukkan kesulitan menghindari
dualisme abadi seperti - yaitu, perbedaan yang jelas sehingga sering digambarkan
seperti antara fisik dan mental, antara tubuh dan jiwa, antara dunia objektif (bebas
nilai, bebas dari tuduhan) dan dunia subjektif ( 'di kepala kita dan secara konstruksi
pribadi), antara' hal-hal 'dan' makna '. Dan dualisme Cartesian tersebut merupakan
salah satu 'dualisme palsu' , sebagaimana kritik Dewey (1916, bab 25). Dewey,
tentu saja, tidak akan pernah membantah telah terdapat perbedaan nyata antara
kuantitatif dan kualitatif - memang banyak perbedaan, hanya jika kita memahami
kompleksitas pertanyaan penelitian dan tanggapan yang sesuai. Namun Dewey akan
menyangkal 'epistemologis' dan apartheid 'ontologis' (pemisahan secara
ontologis) yang terlalu sering digunakan untuk mengelompokkan para peneliti
kualitatif dan kuantitatif. Ryle (1954)
menuliskan, Dunia kehidupan nyata 'atau' dunia common sense' tidak dapat diterima oleh satu atau yang lain, dan
memang harus terdapat integrasi dan menggabungkan dari dua hal tersebut. Oleh
karena itu, untuk mengeksplorasi pemisahan ini sedikit lebih jauh, dan untuk
menunjukkan bagaimana, penyangkalan tentang keseharian, level common sense, tersebut cukup dapat
diterima, atau dinyatakan tidak dapat diterima oleh para peneliti. Pring ingin
menambahkan distingsi yang penting untuk menjelaskan perhatian secara benar,
jangan sampai melakukan kesalahan dengan mengukur segala hal yang tidak mungkin
diukur.
Dualisme
palsu sebagaimana yang dibayangkan oleh Pring, digambarkan secara efektif dalam
buku Cuba dan Lincoln yang berjudul Fourth Generation Evaluation (1989).
Dalam buku ini secara tajam menjelaskan perbedaan generasi-generasi dalam
riset- Hal pertama dalam penerapan model ilmiah yang layak. Dengan ilmiah
penulis memiliki pemikiran yang akan muncul sebagaimana banyak ilmuwan sebagai
model yang agak miskin ilmu dan seorang yang tidak diragukan lagi akan ditandai
sebagai 'positivis'. Namun, kemiskinan model ilmiah yang dilakukan dari waktu ke waktu, menjadi lebih jelas, dan terdapat
kemajuan bertahap dengan paradigma keempat dan paradigma unggul yang didukung
oleh Kuba dan Lincoln dukung. Kontras antara paradigma pertama dan paradigma
keempat ini diisyaratkan dalam kutipan berikut:
"Hasil Evaluasi bukan merupakan deskripsi dari ' suatu cara sesungguhnya
atau 'benar-benar berfungsi', atau keadaan-keadaan yang 'benar', melainkan
merupakan konstruksi pemaknaan pelaku individu atau kelompok aktor membentuk 'pandangan
umum' dari situasi di mana mereka menemukan diri mereka. Temuan ini bukan
'fakta' akhir tetapi, sebaliknya, secara
harfiah dibuat melalui proses interaktif yang mencakup evaluator (terlalu
banyak untuk suatu objektivitas!) beserta banyak pihak ... Apa yang muncul dari
proses ini adalah satu atau serangkaian konstruksi yang merupakan realitas
kasus. (P. 8, cetak huruf miring)
Dengan demikian,
“keluaran dari evaluasi” bukanlah menggambarkan “suatu cara yang sesungguhnya”.
Namun hal tersebut merupakan “ontologi palsu” yang pertama dan paradigma
ilmiah. Tidak lagi masuk akal untuk berbicara dari pernyataan 'benar' dari suatu peristiwa. Hal yang patut
dipertanyakan, apa itu kebenaran?
Sebaliknya itu kasus kita masing-masing dalam penelitian dan evaluasi kita
sendiri, mencoba dan berusaha agar 'masuk akal' pada penjelasan suatu situasi di
mana kita menemukan diri kita sendiri dalamnya. Kita melakukan semua ini
melalui hubungan-hubungan rumit 'membangun konstruksi', makna, kerangka kerja
di mana pengalaman yang disaring rupa
supaya dapat dimengerti. 'Fakta' tidak ditemukan, tetapi diciptakan.
'Kreasi'
dan 'konstruksi' ini secara jelas dipengaruhi oleh nilai-nilai yang membawa para
peneliti pada suatu situasi - sesuatu yang tampaknya belum diakuioleh mereka
yang bekerja dalam paradigma ilmiah. Tidak kurang, meskipun pengaruh konstruksi
dan rekonstruksi secara pribadi, yang seakan-akan merupakan isi pikiran dan
nilai-nilai dari orang-orang yang diteliti, ini semua terbentuk melalui proses
'negosiasi', yang kemudian berbagi nilai-nilai yang sama tersebut dan kemudian
akan mencapai konsensus dengan cara supaya pengalaman menjadi dipahami - dan
dengan demikian maka penelitian dan temuan disebut valid.
Generasi ke empat evaluasi menyatakan bahwa “realitas” bukan
merupakan “sesuatu yang di luar” secara objektif, namun merupakan
"konstruksi” yang disusun oleh mereka untuk menjadi lebih “masuk akal” di
lingkungannya (lingkungan tersebut tidak eksis secara independen). Paradigma
baru telah muncul, yaitu paradigma
konstruktivis [yang] bersandar lebih pada pemikiran relativis dibanding para ontologis
realis, dan monistik, lebih subjektif dibandingkan epistemologis dualistik, epistimologis
objektif. [Paradigma ini] tidak, -berbeda dengan metodologi konvensional, satu
set kesimpulan, rekomendasi, atau pertimbangan nilai- melainkan merupakan agenda untuk negosiasi klaim
dari perhatian dan isu-isu yang memang belum terselesaikan di bursa dialektika
hermeneutik, ( p. 13)
Pandangan
dari penelitian ini adalah untuk dipertentangkan dengan 'generasi pertama',
yang dibangun berdasarkan 'ontologis' dan 'epistemologis' yang dijelaskan
dengan cara sebagai berikut:
Metodologi yang digunakan dalam evaluasi hampir ilmiah dan eksklusif,
yang didasarkan secara ontologis dalam asumsi positivis, bahwa ada realitas obyektif digerakkan oleh
perubahan hukum alam, dan secara epistemologi pada asumsi pasangan dari
dualitas antara pengamat dan yang diamati, bahwa memungkinkan pengamat untuk
berdiri di luar arena yang diamati (p. 12, huruf miring)
Perbedaan
yang jelas secara filosofis, telah diringkas dalam sebuah makalah dalam Journal of Philosophy of Education
(Pring, 2000) sebagai berikut:
Pertama,
'paradigma ilmiah' (paradigma A) percaya pada 'realitas obyektif'; 'paradigma
konstruktivis' (paradigma B), untuk menyangkal hal ini, Pring (2000) mengatakan
bahwa realitas adalah 'konstruksi sosial dari pikiran', dengan banyak
konstruksi dan dengan demikian banyak realitas karena ada individu. Dengan
demikian, sejak ilmu itu sendiri ada, dalam tesis ini, dalam konstruksi sosial,
tidak ada hukum yang berubah dari sebab dan akibat untuk ditemukan.
Kedua,
paradigma A percaya pada keterpisahan dari peneliti dan yang diteliti;
Paradigma B mengaburkan perbedaan - 'temuan' penelitian yang dibuat (tidak
ditemukan) melalui interaksi antara peneliti dan yang diteliti.
Ketiga,
oleh karena itu, sedangkan paradigma A, memisahkan peneliti dari diteliti,
memiliki gagasan mengenai kebenaran sebagai korespondensi antara perhitungan
penelitian dan apa yang terjadi secara independen dari peneliti, sementara paradigma
B 'kebenaran adalah 'konsensus 'antara sumber informasi dan pencipta konstruksi
yang canggih. 'Fakta' tidak ada secara independen sebagaimana peneliti
membangun realitas; tidak, seperti dalam paradigma A, yang yang membuat
proposisi kebenaran.
Dengan
demikian, sesuatu yang diteliti hanya untuk dipahami dalam konteks dan melalui pemahaman
mengenai konstruksi telah dibangun, sehingga hal ini menghalangi generalisasi.
Baik masalah maupun solusinya dapat digeneralisasi dari satu setting yang lain.
Para
kritikus telah menunjukkan terdapat bahaya dalam “memasang orang-orangan sawah”
untuk menggambarkan dan untuk membenarkan tuduhan bahwa para peneliti telah
menciptakan sebuah 'dualisme palsu' antara mode penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Terdapat banyak perbedaan harus dibuat dalam tradisi kualitatif,
masing-masing dengan cara yang khas terlibat dalam penelitian dan membuat
dimengerti dalam realitas personal dan sosial yang sedang digambarkan. Dan,
memang, paradigma ilmiah, juga bisa dilihat sebagai karikatur - sebagai
pandangan ilmu (sempit, miskin, 'positivis') yang tidak berarti tidak adil
terhadap perbedaan dan perspektif yang berbeda ditandai dalam filsafat ilmu .
Perbedaan yang disebut paradigma sering sama pentingnya dengan perbedaan antara
mereka. Penelitian kuantitatif akan mencakup pertanyaan yang berkisar
pertunjukan akrobat pengukuran rinci dan korelasi dalam tradisi behavioris ketat
untuk survei tren sosial berskala besar, atau tren sosial dalam tradisi
'aritmatika politik'. Penelitian kualitatif mencakup interaksionisme simbolik,
fenomenologi, etnografi, dan hermeneutika. Dan dalam salah satu bagian dari
penelitian sering terdapat kerja dengan pendekatan yang berbeda sebagai sebagaimana
perbedaan pertanyaan penelitian (permasalahan).
Namun,
kegagalan ini diakui sebagai kompleksitas penyelidikan, dan sifat alami dari sedang dicari dengan mendalam,
sebagai hal yang menyebabkan kaburnya perbedaan pada sesuatu yang disebut
paradigma dan merupakan hasil dalam dikotomi yang tajam antara keduanya, ditandai
dengan ciri sangat jelas konsepsi mengenai 'kebenaran', 'realitas' dan
objektivitas '. Konsekuensi untuk penelitian luas sekali, dengan keyakinan
melambung dalam penjelasan umum dalam satu kasus ('penyebab pembolosan', 'ilmu
pengajaran'), dan dengan ketidakpercayaan penuh pada setiap penjelasan umum di
sisi lain. Penliti dapat melihat mengapa orang-orang yang mencari dengan
penelitian sebagai panduan dengan perumusan kebijakan menjadi kecewa dengan
aktivitas yang penolakan sangat memungkinkan.
Permasalahan
filosofis yang sangat mudah untuk menggambarkan orang-orang dengan cara yang
implisit dan kontras yang keliru antara modus kuantitatif dan kualitatif
penelitian. Pihak di mana mereka yang berada dalam paradigma A tampaknya akan
menjadi sebagai berikut:
a) Terdapat
dunia yang eksis secara independen dari kita, terdiri dari 'objek' berinteraksi
secara kausal satu sama lain.
b) Ada
ilmu yang berbeda dari dunia itu, sebagian tergantung pada apa yang dianggap
sebagai obyek (suatu 'perilaku', sebuah 'benda fisik', bahkan 'even sosial').
c) Namun
setelah ada kesepakatan tentang apa yang dihitung sebagai 'objek' (misalnya
perilaku), maka benda-benda tersebut
dapat dipelajari, mencatat saling
keterkaitan, keteraturan ditemukan, penjelasan kausal diberikan dan diuji,
kemudian hasilnya dihitung.
d) Pengamat
lain dapat memeriksa kesimpulan melalui eksperimen diulang dalam kondisi yang
serupa.
e) Dengan
demikian, dari pengamatan dan eksperimen yang dilakukan dengan hati-hati, serta
pemeriksaan kritis dari peneliti lain, tubuh ilmiah berdasarkan pengetahuan
dapat dibangun.
f) Tubuh
pengetahuan tersebut dianggap mencerminkan dunia sebagaimana adanya; laporan di
dalamnya adalah benar atau salah tergantung pada korespondensi mereka ke dunia sebagaimana
adanya.
Premis-premis
paradigma B kurang mudah untuk wilayah tersebut, sebagian karena kebenaran yang diletakkan tidak begitu banyak dalam
korespondensi antara apa yang kita katakan dan bagaimana hal tersebut terbentuk.
Tetapi lebih dibentuk dengan 'konsensus' yang 'negosiasi'. Tetapi terdapat
paradoks di sini. Untuk kebenaran dari posisi ini sendiri akan menjadi masalah pada
konsensus. Dan orang-orang yang berbagi paradigma yang berbeda (katakanlah,
paradigma A) dengan kekuatan dan penuh kegembiraan (menggunakan bahasa paradigma B) bahwa mereka telah
membangun konstruksi sosial sebagai sesuatu yang berbeda - dan kebetulan lebih
memilih rekan mereka yang percaya pada anggapan terdapat suatu realitas 'di
luar sana 'dan yang percaya bahwa ranah dunia adalah hanya benar atau salah
(apakah dapat atau tidak diverifikasi secara pasti). Memang, bahkan Guba dan
Lincoln wajib memiliki jalan lain untuk kata-kata dan frase yang lebih jelas, untuk
menyiratkan hal yang sama. Dengan demikian, melalui proses dialektika
hermeneutika, konstruksi baru akan muncul yang tidak "lebih baik"
atau "lebih benar" dari pendahulunya, tetapi hanya yang lebih tepat
dan canggih dari sekedar baik '(hlm.
17). Hal Ini terjadi (perhatikan perpanjangan metafora 'negosiasi') di 'pasar
akademik dari berbagai gagasan'. Atau, sekali lagi, hermeneutik / dialektika menjadi
proses 'menciptakan realitas dibangun yaitu sebagai informasi dan canggih
karena dapat dibuat di titik waktu tertentu'(hal. 44). Dengan demikian, tidak ada
jenis negosiasi yang terjadi, hanya satu hal yang diinformasikan (sebagai perlawanan,
kemungkinan, atau salah informasi) dan
canggih (sebagai lawan naif atau kurang dalam kehalusan).
Hal
ini juga merupakan kesulitan meletakkannya dalam ranah filosofis pada tingkat
abstrak tanpa jatuhnya korban sebagai implikasi dari posisi tersebut. Dengan
demikian maka, hal ini merupakan pernyataan prinsip-prinsip para
verifikasionisme (Lihat Ayer, 1946). Namun terdapat sesuatu yang aneh mengenai argumen untuk penghapusan “kebenaran” (sebagaimana hal yang tersirat
dalam paradigma B). Hal ini secara implisit juga diakui oleh Cuba dan Lincoln,
secara eksplisit pemikiran tersebut ditolak, sebagai dalih, dengan kata-kata
seperti 'lebih baik diinformasikan', 'lebih canggih', 'lebih masuk akal' dan
'lebih tepat'. Dalam melihat implikasinya, seseorang seakan dipaksa untuk
mengakui 'realitas' sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya 'diciptakan' atau
'dibangun' atau 'dinegosiasikan', tetapi menghambat dan membatasi-sesuatu yang independen
dari kita, yang membentuk standar mengenai sesuatu yang kita benarkan sehingga dapat
mengatakan, dan yang membatasi kesimpulan yang dapat ditarik secara benar dari
bukti yang diberikan. Dan beberapa hal seperti 'realisme' harus meresap baik
penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Tidak
ada yang kurang, saya (Pring) tidak menempatkan diri di paradigma A. Memang,
banyak yang diberi label 'positivis' tidak akan 'realis' dalam arti perdebatan
(lihat, misalnya, Ayer, 1946). Kesulitan yang Guba dan Lincoln buat untuk diri
mereka sendiri muncul dari dikotomi 'dualisme palsu', oposisi didirikan antara
kuantitatif dan kualitatif, yang mengarah ke anti-realisme dalam kedua kubu.
Paradigma B memiliki
premis-premis sebagai:
(a) Masing-masing pribadi hidup “dunia gagasan/ide”, dan
melalui di gagasan dunia (baik fisik maupun sosial) dibangun. Tidak ada cara
yang dapat dilakukan seseorang untuk melangkah keluar dari dunia ide untuk
memeriksa secara akurat apakah dunia ini dapat atau tidak merepresentasikan
keberadaan dunia secara independen
dengan ide-idenya sendiri.
(b) Komunikasi
dengan orang lain, dengan demikian, bersandar pada “negosiasi” perhatian mereka
pada dunia-dunia gagasan (ide), seringkali digunaka sebagai alasan-alasan
praktis ( yang mereka butuhkan untuk tetap tinggal dan bekerja bersama),
kemudian mereka berbagi ide-ide yang sama. Dan Akhirnya suatu kesepakatan
tercapai.
(c) Situasi
muncul, dan orang-orang baru yang telah terakomodasi dengan ide-ide yang
berbeda, kemudian melakukan negosiasi di dalam “pasar ide” tidak pernah
berhenti dan secara terus menerus secara konstan muncul konsesus baru untuk
dicapai.
(d) Sebagaimana
yang perlu dicatat, “kebenaran” kemudian perlu dikesampingkan, pembentukan
ulang definisi dalam istilah “konsensus”, karena pada poin (a) di atas, tidak
terdapat hubungan koresponsi antara konsep-konsep dari realitas, dan realitas
itu sendiri.
(e) Selanjutnya,
distingsi antara “objektif” dan “subjektif” perlu untuk didefinisikan ulang
sejak munculnya pernyataan tidak ada hal yang “objektif” menjadi masuk akal di
mana keberadaan bebas dunia ide, bersifat pribadi dan dalam konsensus berasama
orang lain merupakan suatu konstruksi.
(f) Pengembangan
pemikiran kita (dalam masalah dan solusi kependidikan) bersandar pada negosiasi
makna yang dilakukan secara konstan antara orang-orang yang hanya sebagaian
berbagi ide satu sama lain, tetapi untuk mereka yang ingin secara praktis atau
supaya ide-ide baru terakomodasi, menciptakan argumen- cara baru untuk memahami
realitas. Sejak tidak ada hal yang masuk akal mengenai ketidaktergantungan
realitas sebagai sebuah konsep tersebut- mengenai berbagai realitas.
Dualitas
palsu tergantung pada kepercayaan, ketika menolak paradigma A dengan terus maju
menyederhanakan “teori korespondesi kebenaran” para peneliti harus mengelakkan
rangkulan dari paradigma B. Hal ini, bagaimanapun juga bukanlah merupakan kasus
yang sederhana. Hal ini mungkin ditolak
sebagaimana yang diacu “positivisme” paradigma A tanpa membuang realisme
baik itu ilmu fisik ataupun sosial dan tanpa menyimpulkan realitas, tetapi
konstruksi sosial atau korespondensi antara bahasa dan realitas terbuang secara
keseluruhan.
Secara
pasti, bagaimana kita melihat dunia yang tergantung pada dunia ide yang
diwariskan. Dan ini bernar, bahwa perbedaan antara masyarakat dengan kelompok
sosial, dalam kepatuhan yang penting, untuk memahami dunia secara berbeda.
Dengan demikian maka perbedaan fakta antara jenis-jenis pohon, ini dapat
dipahami, namun kita tidak- perbedaan tanaman berdasarkan warna, atau, bentuk,
atau ukuran. Namun fakta bahwa kita juga berbeda, walaupun dalam suatu
pemikiran pada fenomena sosial, tergantung pada bentuk fitur-fitur dari
kebebasan keberdadaan dunia kita yang membuat berbagaimacam perbedaan itu ada. Fakta bahwa terdapat ketidakterbatasan jumlah
dari cara. Kita dapat membagi apapun dan mengklasifikasikan apapun selalu
membutuhkan perbedaan untuk membedakan, itu dimungkinkan. Bagaimana kita
memahami segala macam hal mirip sekali apa yang ada di dalam bahasa dan hal ini
diwariskan dengan cara melakukan proses belajar sebagaimana belajar bahasa.
Jauh dari pembentukan konstruksi dunia secara individual, kita memperoleh
konstruksi-konstruksi tersebut (walaupun berkembang secara sosial) adalah hal
yang memungkinkan karena fitur-fitur yang pasti dari realitas tersebut yang
membuat semua itu memungkinkan. Hal ini bukanlah multi realitas. Namun lebih
pada perbedaan cara untuk memahami dunia, dan mungkin juga perbedaan dari
ketertarikan secara praktis/tujuan/kegiatan, serta dapat juga karena perbedaan
tradisi. Para konstruktivisionis Sosial dalam pengertian paradigma B akan
jarang ditemukan pada ketinggian 30,000 kaki. Tentu saja, tidak semua kelompok
sosial dikonseptualisasi dunia dengan jalan yang sama antara teknisi penerbangan dan ilmuwan. Namun
kemungkinan pada konseptualisasi bukan merupakan konstruksi sosial itu sendiri –
hal ini secara pasti bukanlah suatu kemenangan , sebagaimana yang kita
harapkan. Terdapat penemuan-penemuan dalam matematika (dan penemuan-penemuan
tersebut yang memungkinkan ditemukannya teknologi penerbangan tersebut) sebaik
konstruksi.
Hal
itu harus diakui bahwa kebenaran dunia fisik- walaupun hal ini akan menjadi
pembenaran yang benar. Seseorang mungkin akan mengakui bahwa terdapat ilmu
tentang dunia fisik, namun bukan seseorang secara dunia personal ataupun
sosial. Bahasa kita secara emosi, hak, perhatian, watak, dan lembaga-lembaga
terlihat menjadi konstruksi sosial sejauh ini masuk akal. tidak seperti pada
kasus objek fisik, yang akan menunjukkan bahwa tidak ada realitas independen di
luar sana yang diciptakan. Lebih dari itu kreasi-kreasi tersebut secara konstan
direkonstruksi dalam interaksi antar individu. Kata-kata secara moral yang
sering kita gunakan, yaitu pendekatan yang kita buat, segala kelengkapan untuk
mempertanggunjawabkannya, deskripsi yang
kita paparkan dalam motif-motif dan
emosi-emosi historis, di mana kita juga akan melihat, penempatan sosial dan
tradisi budaya secara khusus yang tumbuh dalam interaksi antara individu dalam tradisi serta antar tradisi
itu sendiri di dalamnya. Hal ini secara konstan merupakan cara-cara yang juga
direkonstruksi secara terus menerus dengan intepretasi orang-orang dan
segalahal yang berkaitan dengan mereka, walaupun tidak memiliki acuan dari
luar, sebagai “proses dialektik hermeneutika”. Hal ini mungkin benar ataupun
salah, subjektif maupun objektif, sebagaimana kita pahami di dalam paradigma A.
Lagi,
bagaimanapun, kesimpulan tidak mengikut premis-premis. Premis-premis tersebut
merupakan cara sebagaimana
tanggungjawab kita dalam mengambarkan, menilai, dan menandai dalam
lingkup personal ataupun sosial, sementara mereka sendiri merupakan konstruksi
sosial dan suatu realitas yang beberapa dikreasi atau diciptakan ulang melalu
berbagai proses tindakan dalam membentuk konstruksi. Oleh karena itu, hal ini
merupakan makna untuk menjadi seorang pribadi (sebagai contoh, “menciptakan
pencitraan dan kemiripan dari Tuhan Hence,
what it means to be a person (Misalnya, 'dibuat untuk citra
dan serupa dengan Tuhan') diartikan dalam kelompok dan tradisi tertentu. Tidak
ada orang yang benar-benar independen dari konstruksi mereka terhadap bidang yang
mungkin dibandingkan. Tidak ada suatu bidang yang sungguh-sungguh benar.
Salah
satu kebutuhan, bagaimanapun juga, harus hadir untuk suatu kejelasan dalam
membuat klaim seperti itu. Sangat kemungkinan interaksi sosial, di mana
realitas sosial diartikan tergantung pada pemahaman bersama (bagaimanapun samar
dan umum) dari apa yang membentuk pribadi- pusat kesadaran mampu bertindak
disengaja, perilaku rasional, respons emosional dan potensial untuk
mengasumsikan beberapa tingkat tanggung jawab. Memang benar bahwa kerangka
konseptual melalui proses berpikir tentang 'pribadi', akan berbeda; cara,
misalnya, ketika kita mampu membedakan emosi (karena mereka tidak diragukan
lagi dilakukan di tradisi-tradisi lain) lebih mencermati beberapa fitur
dibandingkan yang lain. Tidak ada batas 'apriori' untuk jumlah cara kita yang
mungkin telah dikonseptualisasikan pada kehidupan sosial. Namun itu tidak
berarti bahwa tidak ada batas untuk diorganisasikan. Perbedaan,dibuat
tergantung pada fitur yang relatif jelas tentang perilaku manusia.
Hanya
ketika sebagai konstruksi sosial dari dunia fisik tergantung pada suatu dunia
nyata, bebas dari konstruksi dan memaksa terbentuknya konstruksi, kemudian
konstruksi sosial dari anggapan mengenai dunia personal dana sosial sebagai
keberadaan yang independens suatu objek (pribadi) yang dapat digambarkan dari
sisi kesadaran, rasionalitas, kepentingan, tanggunjawab dan apa yang
dirasakannya. Hal ini sangat tergantung
pada “negosiasi” dari pemaknaan yang dapat ditampilkan dalam batasan pemaknaan bersama, di mana pemaknaan
(dalam ranah umum/general) tidak terbuka untuk negosiasi. Hal tersebut
merupakan bagaimana dunia secara bebas dari penafsiran sejauh pemahaman kita
tetang hal ini- dan bagaimana hal ini seharusnya jika kita terlibat dalam
negosiasi dengan orang lain.
Sebagaimana
yang dilihat pada konsep-konsep yang tidak dapat dihindari mengenai “kebenaran”
dan “objektivitas, meskipun tidak dalam arti “realisme naif” yang dikaitkan
dengan paradigma A. Yang dimaksud dengan 'realisme naif', adalah semacam
memilih gambar untuk teori kebenaran di mana dunia seperti yang kita bayangkan
itu tercermin dalam bahasa melalui penjelasan tentang semua ini. Terdapat hubungan “satu lawan satu” antar objek di dunia, antara kata benda dan
kata ganti benda-benda, antara sifat benda-benda dan deskriptor dalam bahasa.
Ini kesalahan dari mereka yang mengkritik paradigma A yang dengan ciri seperti
teori korespondensi kebenaran, pada posisi lainnya ditemukan dalam paradigma B.
Hal ini secara keliru menyimpulkan bahwasejak 'naif realisme' tidak dapat
diterima, orang wajib menerapkan paradigma B di mana gagasan 'realitas' adalah
ditiadakan bersamaan dengan 'realisme naif'.
Bridges
(1999) menunjukkan kemiskinan langkah tersebut Konsep kebenaran, karena memang
konsep realitas, adalah baik terlalu kompleks dan terlalu diperlukan untuk
dengan mudah ditolak. Argumen saya adalah bahwa, dalam cara di mana realitas
fisik dan sosial dikonseptualisasikan, sangat kemungkinan negosiasi makna
mengandaikan adanya hal-hal (termasuk 'pribadi hal') Hal-hal ini harus memiliki
ciri khas tertentu yang memungkinkan konstruksi kita yang berbeda dari dunia
Itu selalu mungkin untuk menolak konstruksi yang dibebankan pada seseorang,
dari ‘pikiran-berdarah’, bukan dari kurangnya minat, tetapi dari kenyataan
bahwa pembangunan tersebut tidak mungkin - mengingat bahwa realitas (fisik dan
pribadi) adalah hal yang tersebut.
Mengingat
bahwa ada 'person' yang secara objektif mengatakan, bahwa keberadaan suatu
konstruksi secara independen terhadap mereka sebagai person, dan mengingat
bahwa ada 'masyarakat' dari 'sekumpulan individu', berada dalam kondisi yang
relatif stabil, maka tampaknya tidak ada yang 'apriori' alasan mengapa orang
dan masyarakat tersebut tidak dapat dipelajari sebagai 'objek' sampai batas tertentu 'ditambahkan',
'dikalikan', 'dibagi' dan digeneralisasikan. Dan, memang, hal itu sering
dilakukan oleh para pembuat kebijakan yang secara sengaja ingin melihat tentang
kebijakan tersebut untuk di adopsi
ataumelakukan intervensi pada sanksi.
Namun,
mereka yang menekankan perbedaan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif
yang benar, dituntut kehati-hatian dalam perpanjangan kuantifikasi aspek-aspek
tertentu dari realitas personal dan sosial.
Bagaimana kita menjelaskan bahwa realitas, sangat tergantung pada tujuan
deskripsi. Selayaknya dalam melakukan ini semua harus memiliki tujuan pasti dan
bertanggungjawab dalam berbicara mengenai “X” orang-orang akan marah karena apa
yang terjadi atau ranah pemahaman permasalahan. Tetapi pada ranah kemarahan
atau pemahan, mencerminkan cara-cara yang berbeda ketika orang-orang memahami
situasi, atau kadang ini merupakan suatu kesalahpahaman sebagaimana yang
terjadi pada masing-masing kasus di atas. Survei yang jumlah total jawabannya
hampir serupa pada pertanyaan yang sama (seragam), mungkin sebenarnya
memberikan gambaran yang sangat terdistorsi, bagaimana tidak orang yang berbeda
semua menjawab pertanyaan dengan jawaban yang sama mengenai suatu pemahaman
terhadap satu situasi. Dan hal ini
menjadi lebih berbahaya di mana pemahaman, pengetahuan, dan pemahaman anak-anak
yang memberikan nilai numerik atau
nilai, dan ini kemudian dibandingkan dengan orang lain 'skor atau nilai,
seolah-olah itu membicarakan hal yang seragam. Dan terdapat beberapa alasan
aneh, bahwa masalah ini jarang diakui, dan dengan demikian, di bawah dorongan
untuk mengukur, peneliti mengurangi ke unit kompleksitas aritmatika supaya 'masuk
akal' atau dipahami. Suatu usaha untuk dipahami dengan cara kanak-kanak.
Di
balik kritik dari penelitian kuantitatif terdapat sebuah kecurigaan yang cukup
dapat dimengerti oleh sponsor penelitian dan pengguna hasil untuk kepentingan
manajemen. Perlu ditunjukkan dengan penuh semangat bahwa manajemen pendidikan
semakin terorganisir untuk melayani kepentingan ekonomi dan sosial karena ini
dipahami oleh para pemimpin politik, dan bahwa, dalam meraih tujuan ini, para
pemimpin seperti meminta kami untuk mengelola sekolah dengan suatu penelitian dan
kesimpulannya menjadi cara paling 'efektif' untuk mencapainya. Hal ini dapat
dikatakan benar dan layak, menunjukkan bahwa penelitian tersebut mengabaikan
transaksi yang kompleks yang terjadi antara guru dan pelajar, hal yang tidak
dapat ditangkap dalam manajemen. Dengan demikian, hal ini dapat diartikan/
bahasa akhir penelitian itu, telah mendistorsi transaksi proses pendidikan, dan
'tidak memberdayakan' dan 'menyingkirkan' guru (Guba dan Lincoln). Hal ini seolah-olah
'manajer' menjauhkan diri dari proses pendidikan, mencari solusi umum untuk konsepsi umum dari
masalah, dan kemudian, dengan bukti yang jelas, memberitahu guru apa yang harus
dilakukan. Hasil dari semua ini terletak pada kegagalan untuk mengenali
kekhasan dan kompleksitas konteks tertentu, cara di mana situasi harus dipahami
dari sudut pandang peserta, dan ini juga dapat dikatakan penolakan tanggung
jawab profesional guru.
Penerimaan
paradigma B, menyangkal kejelasan pemahaman seperti dalam penelitian (perbedaan
yang jelas antara peneliti dan diteliti menghilang di 'negosiasi' makna yang
berlangsung di 'pasar' ide). Hal ini terlihat untuk membebaskan guru dari
kontrol manajemen ini. Setiap konteks diciptakan melalui 'proses dialektika
hermeneutika', sebagai konsensus mencapai pemahaman tentang situasi. Namun,
pergeseran paradigma di mana 'realitas' (atau 'beberapa realitas') adalah
(atau) benar-benar dibuat atau dibangun melalui negosiasi pemaknaan membiarkan guru
rentan terhadap suatu pilihan berbeda dari kontrol. Terdapat kekuatan dan kelemahan
negosiator, yang dipraktekkan dalam seni dan keterampilan, dan hal tersebut
sering tidak muncul. Ada sebanyak bahaya 'realitas yang direkonstruksi'
mencerminkan dominasi peneliti yang berada di posisi negosiasi yang kuat,
karena ada peneliti dalam paradigma A melayani kepentingan para pengelola
pendidikan. Hubungan antara pengetahuan, di satu sisi, dan kekuasaan dan
kontrolnya, di sisi lain, sama-sama kuat dalam kedua paradigma, meskipun sifat
koneksi yang berbeda. Tetapi masalah ini timbul karena pemutusan pengetahuan
dan pemahaman dari beberapa pengertian realitas independen dari konstruksi. Seseorang
menjamin kebebasan bahwa terdapat kendala pada proses konstruksi kita tentang realitas, yaitu, realitas itu
sendiri, dan bahwa hal itu selalu mungkin untuk berlawanan dengan 'ide-ide dan' konstruksi orang lain mengenai apa
yang terjadi. Mata rantai yang menghubungkan antar pengetahuan, di sisi lain
terdapat kekuasaan dan kontrol, di satu sisi lagi terdapat kekuatan yang
seimbang pada masing-masing paradigma tersebut, walaupun ranah dari koneksi
tersebut berbeda. Namun masalah yang muncul karena pemotongan pengetahuan dan
pemahaman dari beberapa catatan mengenai realitas independen dari konstruksi
realitas ini. Jaminan kebebasan, yang terdapat pada pemaksaan dalam konstruksi
realitas, dinamai sebagai realitas itu sendiri dan selalu memungkinkan untuk
menghadapi “ ide-ide dan konstruksi yang dalam terangnya suatu kasus.
Argumen
mengenai oposisi (bukan perbedaan) antara penelitian kuantitatif dan kualitatif
adalah suatu kesalahan. “Realisme naif” dikaitkan pada siapa saja yang
mendukung metodologi kuantitatif tidak dibenarkan. Bagaimana pemahaman mengenai
dunia dapat berbeda dan memang, terdapat perbedaan dari kelompok sosial satu
dengena lainnya. Sebagaimana konstruksi-konstruksi sosial secara konstan selalu
direkonstruksi, sebagaimana daya pengalaman baru kita untuk membentuk kembali
pemahaman mengenai berbagai hal. Dengan demikian maka kebutuhan untuk menggunakan
tradisi interpretif dan hermeneutik diperlukan untuk memahami dunia dari sudut
pandang partisipan, atau memahami serangkaian ide-ide dari dalam tradisi
sebagaimana peneliti merupakan bagian dari mereka. Bagaimanapun, seperti
perbedaan-perbedaan mengenai bagaimana kita memahami realitas adalah mungkin,
karena terdapat fitur yang stabil dan abadi dalam suatu realitas, kita memiliki
kebebasan untuk membuat pembedaan atau kemungkinan adanya distingsi. Dan
penerapan ini tidak lah sederhana dalam duania fisik, begitu juga dalam aspek
personal ataupun sosial. Terdapat fitur-fitur mengenai dari apa yang bisa
menjadi manusia yang dapat digeneralisasikan, dapat dikuantitatifkan, dapat
ditambah, dikalikan ataupun dibagi (sebagaimana dalam logika matematik). Banyak
person yang emosi dan kapasitasnya dapat diprediksi, sehingga memungkinkan
untuk secara pasti dipertimbangkan memeiliki kesamaan dengan person yang lain.
–dan kemudian terbuka untuk melakukan kuantifikasi, investigasi kualitatif
dapat dengan jelas untuk menjadi dasar dari kuantitatif- dan kuantitatif akan menjadi saran tambahan yang berbeda
untuk dieksplorasi dalam cara yang lebih interpretif.
METODE PENELITIAN DAN
ASUMSI FILOSOFIS
Artikel-artikel
sebelumnya mengenai dualisme metode penelitian ini dimulai dengan mengacu pada cara di mana penelitian
pendidikan tampaknya terpecah menjadi ke dua kubu, sangat filosofis dan
bersaing sangat ketat. Satu sisi mencakup model ilmiah untuk memahami praktik
pendidikan yang lain menekankan bahwa manusia tidak dapat menjadi objek dari
ilmu pengetahuan dan penelitian yang harus fokus pada 'makna subjektif' dari
peserta didik. Namun, perhatian pada berbagai cara penelitian yang dilakukan, ternyata
mengungkapkan gambaran yang lebih rumit. Dalam beberapa hal, manusia merupakan
'objek ilmu' – yang kemudian dijelaskan dengan generalisasi dan penjelasan
kausal. Di sisi lain, semua ini seakan melarikan diri dari penjelasan tersebut
melalui penafsiran dunia dengan cara mereka sendiri pribadi. Belum lagi,
interpretasi pribadi seperti memanfaatkan tradisi, pada cara masyarakat
memahami dunia, pada kebiasaan dan praktik sosial. Metode yang akan
menghasilkan penjelasan yang berbeda. Memahami, dan meneliti manusia dengan cara masuk dan terlibat ke dalam segala
hal yang mereka lakukan, dan bagaimana mereka berperilaku, menyerukan kepada
banyak metode yang berbeda, masing-masing membuat asumsi yang kompleks, tentang
apa makna untuk menjelaskan perilaku dan aktivitas baik secara pribadi ataupun
sosial.
Dominasi
salah satu pendekatan metodologis penelitian pendidikan memberikan prioritas
(dalam beberapa kasus prioritas secara eksklusif), pada beberapa jenis
penjelasan, dan asumsi tertentu tentang manusia. Memang, orang dapat
berargumentasi bahwa beberapa 'teori sifat manusia' di balik setiap pendekatan
tertentu untuk penelitian pendidikan. 'Teori' yang dimaksud oleh Pring (2005:
57 ) adalah sekelompok keyakinan dan
nilai-nilai yang mendukung pemahaman kita tentang berbagai hal dan menempatkan
penjelasan (premis-premis) menggantung. Namun, peneliti lain mungkin membuat
pengandaian yang sangat berbeda - dan dengan mengadopsi metode yang berbeda.
Artikel-artikel
berikutnya akan dibahas mengenai bagaimana Richard Pring ingin mendeskripsikan prasangka
filosofis mengenai perbedaan-perbedaan metodologis.
Referensi:
Bridges, D. (1999) 'Educational research:
pursuit of truth or flight into fantasy?'. British Educational
Research Journal, 25 (5).
Cuba, E. G. and Lincoln, V. S. (1989) fourth
Generation Evaluation. London: Sage.
Hodkinson,
P. (1998) Research Intelligence, No. 65.
Tooley, J. and Darby, D. (1998) Educational
Research: an OFSTED Critique.London: OFSTED.