Translasi Bebas Oleh:
G. Bayuardi, S.Sos.,
M.Si
1 . Pengantar
Antropologi Kependudukan merupakan kajian secara khusus memuat
kajian demografi/ kependudukan dengan menggunakan teori, pendekatan, serta
metode antropologi sebagai ilmu yang menyediakan pemahaman yang lebih untuk
melihat fenomena demografis hari ini ataupun fenomena yang telah lalu. awal
mula dan pertumbuhan yang terus berlangsung didasarkan saling keterkaitan
antara demografi dan antropologi sosial-budaya sebagai upaya untuk memahami proses kependudukan, terutama fertilitas, migrasi,
dan kematian. Kedua disiplin ilmu dikombinasikan untuk mempelajari objek
penelitian, yaitu populasi manusia, dan kajian tersebut memusatkan kajian pada
aspek yang saling melengkapi dari objek penelitian tersebut: kajian
kependudukan berorientasi statistik dan terutama berkaitan dengan dinamika
ukuran populasi, dan struktur, serta variasi demografi, yang melintasi ruang
dan waktu, sementara secara antropologi sosial budaya bersifat interpretatif
dan berfokus pada organisasi sosial membentuk mode produksi dan reproduksi
populasi manusia. Konsep teoritis utama dalam demografi antropologi adalah
budaya, jenis kelamin, dan ekonomi politik; Pendekatan penelitian empiris meliputi
campuran metodologi kuantitatif dan kualitatif diterapkan untuk studi kasus.
Penelitian lapangan etnografi dan observasi partisipatif sering digunakan
sebagai pendekatan utama untuk membaca dan melakukan interpretatif data
sekunder dan data sejarah.
Pendekatan antropologi demografi
akhir-akhir ini berkembang secara pesat dan sering muncul dalam kajian-kajian
mengenai kependudukan. Perkembangan ini menghadapi tantangan utama secara
internal, yaitu karena perbedaan tradisi disiplin metodologis dan epistimologis.
Demografi lebih positivistik dan lebih berorientasi kuantitatif proses
kependudukan; di sisi lain antropologi sosial budaya lebih bersifat intepretif
dan berorientasi kualitatif lebih memperhatikan pada mekanisme perilaku dan
institusi/ lembaga untuk memaknai suatu proses. Dengan demikian, konsekuensi
dari hal ini seringkali menjadi kebingungan para demographer oleh aspek-aspek
dalam konsep-konsep sosio-antropologi., seperti misalnya (i) sebagian peran
demograf tentang pengujian teori yang banyak memainkan peranan utama, (ii) hal
ini merupakan pendekatan kritis yang dibawa pada kategori analitis universal,
sebagaimana konsep ruang dan waktu, dan (iii) Studi kasus yang
non-representatif. Hal inipun membuat para antropolog menjadi skeptic terhadap
fakta demografis yang menekakan pada representasi statistis dan perbandingan
data yang tidak seimbang dan ditekankan pada validitas data, model analisis,
dan intepretasi mereka. Meskipun tantangan yang melekat dalam upaya ini, para
akademisi di kedua disiplin telah bekerja sama dalam tim penelitian
multidisiplin untuk menciptakan desain penelitian yang kompleks dalam rangka
membangun kekuatan bersama, serta mengurangi keterbatasan masing-masing
disiplin, sehingga meluncurkan bidang demografi antropologi (antropologi
kependudukan).
Demografi
antropologis telah muncul secara bertahap dan definisi sebagai spesialisasi
dalam demografi ini masih dalam proses pengembangan. Sejarah demografi dan
antropologi selalu memberikan beberapa contoh dari akademisi beralih ke
disiplin ilmu lain, walaupun kelahiran demografi antropologi baru benar-benar
muncul kembali pada dua dekade terakhir di abad kedua puluh. Berbagai tulisan
teoritis dan empiris menggunakan pendekatan demografi antropologis telah muncul
dalam jurnal demografi dan antropologi secara jelas sejak tahun 1980-an, dan eksistensi
demografi antropologi di masyarakat demografi telah dikembangkan oleh kalangan konstitusi
interdisipliner spesifik dan komite internasional. Program Misi dari Komite
IUSSP (International Union for
the Scientific Study of Population)
dari Antropologi Demografi, aktif 1998-2002, yang
membina kerjasama interdisipliner dalam demografi dan antropologi. Sementara
Komite IUSSP memiliki fokus utama pada masyarakat non Barat, Kelompok Kerja pada
Antropologi Demografi Eropa dalam Asosiasi Eropa untuk Studi Kependudukan,
aktif sejak tahun 2005, bertujuan untuk menghasilkan kolaborasi teoritis dan
metodologis yang sebanding dalam konteks Eropa. Bagian dari Demografi
antropologis telah menyelenggarakan banyak pertemuan profesional sejak tahun
1990-an yang didedikasikan untuk isu-isu kependudukan, seperti pertemuan
Asosiasi Penduduk Amerika. Hibah khusus dan program pascasarjana, program
populasi Andrew Mellon Foundation dan program Antropologi Kependudukan di
Universitas Brown telah dibentuk dengan tujuan memberikan kesempatan para
sarjana junior untuk menerima pelatihan yang tepat untuk mempelajari
antropologi dan demografi serta organisasi-organisasi internasional, dan
lembaga donor telah menempatkan penekanan khusus pada pendekatan
interdisipliner.
Uraian berikut secara singkat
menggambarkan sejarah minat tentang demografi dan antropologi sosial budaya,
dan dengan menunjukkan beberapa kontribusi utama teori antropologi dan metode
penelitian demografis. Kami kemudian menggambarkan beberapa 3 pencapaian antropologi
demografi dan menyimpulkan berupa beberapa refleksi dari kemungkinan di masa depan sebagai sub-disiplin ilmu.
Teks semacam merupakan kepastian hasil dari
pilihan tentang penentuan batas demografi antropologi dan memastikan bahwa
pembaca menyadari pilihan ini. Pertama, mengikuti diskusi antropologi mengacu
semata-mata untuk antropologi sosial budaya (istilah yang digunakan secara
bergantian). Terdapat bidang kajian yang tumpang tindih antara demografi dan
antropologi, yaitu bidang besar yang terlingkupi antropologi evolusi,
arkeologi, dan paleodemography: cabang-cabang dari antropologi yang ditandai
dengan penggunaan metode demografi untuk memahami struktur bio-demografi
populasi masa lalu, atau kontemporer, seperti pemburu dan pengumpul ataupun
populasi terasing. Meskipun terdapat tumpang tindih secara parsial pada
demografi antropologi, konsep teori acuan kedua disiplin tersebut berbeda:
evolusi, adaptasi, kekerabatan, dan hubungan antara penduduk serta sumber daya.
Pembaca yang tertarik diarahkan ke literatur tertentu yang disebutkan dalam
daftar pustaka dan bab tentang demografi biologis dalam buku ini (Roth 2004,
Howell 1986, Hammel dan Howell 1987, Schacht 1981). Kedua, diskusi ini ditulis
dari perspektif demografi dan menekankan kontribusi demografi antropologi untuk
bidang kependudukan; tidak ada usaha untuk secara sistematis menguraikan
kontribusinya terhadap (sosial budaya) antropologi.
2. Demografi menuju Antropologi
Kertzer and Fricke (1997:1) menyatakan bahwa
keterkaitan antara antropologi dan demografi “sudah cukup lama, teruji,
seringkali ambivalen dan kadang menjadi penuh gairah” dan diketahui bahwa
antropologi demografi merupakan hasil utama dari keterbukaan komunitas
demographer kepada wawasan ilmu antropologi dalam mengkaji proses dinamika
populasi, sementara mayoritas antropolog masih ragu-ragu untuk mempelajari dan
menggunakan teknik-teknik demografi. Awal dekade abad duapuluh, keadaan mulai
berubah dan menjadi berbeda, antropologi di Inggris telah secara besar-besaran
menggunakan data populasi dengan focus utama pada kajian kekerabatan sebagai
suatu pilar dari organisasi sosial produksi dan reproduksi. Secara bersama-sama
dengan perluasan pengambilan data sensus pada populasi local sebagai salah satu dari alat yang mendasar
untuk memahami keluarga dan rumah tangga beserta proses-prosesnya seperti
struktur rumah tangga, perceraian, dan pengasuhan anak ( sebagaimana kajian
antropologi klasik, Redcliff Browan (1964), Raymond Firth (1968)[1936], dan
Fortes (1946). Hal ini berbeda sekali dengan pendekatan ini, di Amerika Serikat
yang menempatkan penekanan pada manifestasi budaya dan ritual daripada
organisasi sosial; dengan demikian maka di Amerika Serikat relative lebih kebal
terhadap pengaruh demografi untuk beberapa tahun lebih lama, dengan
perkecualian dalam penelitian-penelitian mengenai ekologi kebudayaan dan
materialisme cultural yang memiliki pusat perhatian pada isu-isu mengenai
kependudukan dan menekankan perhatian pada keseimbangan antara populasi dan
sumberdaya. (Harris dan Ross 1987).
Demografi mulai berubah menuju kearifan kepustakaan yang antropologis pada awal 1950 ketika beberapa
di antara sedikit ahli antropologi diundang untuk bergabung dengan Komite
Permasalahan Kependudukan Pada Masyarakat Non-Industri, PBB untuk Kajian Ilmiah
Kependudukan. Perlunya mengatasi pengaruh bentuk-bentuk organisasi sosial
budaya lokal memiliki pengaruh dinamika populasi menjadi lebih jelas antara
1960-an dan 1970-an: dalam periode ini dua proyek demografi utama dapat
menunjukkan batas-batas metodologis dan teoritis demografi. Salah satu proyek
program pengumpulan data yang cukup ambisius Survey Fertilitas Dunia, yang bertujuan
untuk menghasilkan perkiraan populasi pada negara-negara dengan data yang tidak
lengkap dan yang menyoroti perlunya informasi kontekstual dalam rangka mencapai
pengumpulan data yang valid dan interpretatif. Proyek lainnya berkembang pada
periode yang sama adalah Proyek Princeton Eropa, dengan tujuan untuk menguji
dan melakukan konfirmasi teori transisi demografi dengan melakukan dokumentasi perubahan
pola empiris tentang kesuburan, perkawinan, kematian bayi, urbanisasi,
industrialisasi, dan tingkat melek huruf pada sejarah populasi Eropa;
kesimpulan dari kajian ini menyatakan bahwa faktor budaya memainkan peran
penting dalam menentukan membentuk dan ritme transisi.
Survey-survey skala besar dengan sampel yang
representative tentang Tingkat Fertilitas di dunia digunakan sebagai alternatif
pencatatan dan sensus di Negara-negara Asia dan Afrika yang sebagian besar
cakupan dan akurasi sumber data lebih
tradisional untuk memperkirakan masih perlu dipertanyakan. John
Caldwell, seorang ahli demografi Australia, adalah yang pertama di bidangnya
untuk merasa prihatin dengan keterbatasan dalam penggunaan dan interpretasi
data tersebut, bergema untuk sebagian besar kritik umum dari pengumpulan data
kuantitatif dalam ilmu sosial empiris. Kritik adalah bahwa data semacam ini
hanya mencerminkan apa yang termasuk dalam pertanyaan, dan realitas sosial
mereka berusaha untuk mewakili terdistorsi jika pertanyaan yang dirumuskan oleh
seorang peneliti yang tidak terlibat dalam proses pengumpulan data atau terkena
sosial realitas dari mana data berasal. Perhatian untuk informasi standar di
pengaturan sosial dan budaya dapat, di satu sisi, dikatakan membenarkan kaku
protokol kuesioner dan pertanyaan Format tertutup. Di sisi lain, bagaimanapun,
itu sangat membahayakan validitas jawaban dikumpulkan. Caldwell adalah dirinya
terlibat dalam studi desa di Afrika Barat pada akhir 1970-an. pengalaman ini
dan membaca tentang literatur antropologi tentang daerah yang menyebabkan dia
untuk meninggalkan apa yang telah dianggap sebagai 'pendekatan kursi' analisis
demografi (a pelepasan besar analis dari lapangan) dan meluncurkan apa yang ia
didefinisikan sebagai tingkat mikro demografi atau pendekatan antropologis
untuk demografi (Caldwell dan Hill 1988).
Aspek-aspek
utama pendekatannya adalah: mengadopsi beberapa fitur dari kerja lapangan
antropologi ke dalam demografi untuk dengan tujuan untuk memiliki ikatan yang
intensif dan berlanjut dengan populasi yang dikaji; menerapkan batas yang
fleksibel untuk metode-metode; pengembangan peneliti secara langsung dalam
semua tahapan-tahapan, yang memungkinkan untuk membentuk tim peneliti yang
multidisipliner. Selain itu juga, untuk memperkenalkan demografi dengan kajian
demografi (Leibenstein, 1981). Pendekatan Caldwell dipengaruhi oleh penggunaan
kajian desa untuk mengumpulkan informasi yang kontekstual dan untuk memahami
perilaku demografis pada kompleksitas realitas sosial. Caldwell mengatakan
bahwa hanya dengan informasi yang dapat diinterpretasi hubungan antar variabel.
Demikian pula, kehadiran peneliti di lapangan dan kolaborasi setiap hari dengan
antropolog dalam proyek umum akan memungkinkan evaluasi yang lebih baik pada
validitas data karena penggunaan informasi yang jarang dikaji secara ilmiah
pada makna lokal, pada motivasi untuk tindakan, dan topik-topik sensitif. Beberapa tahun terakhir para demografer telah menggunakan
pendekatan demografi-mikro (Lesthaeghe 1980, Massey 1987), sebagian
terinspirasi oleh pioner riset yang dirintis oleh Caldwell dan sejumlah
kolega-koleganya pada waktu itu. Personel Komite IUSSP (International Union for the Scientific Study of Population) pada
antropologi kependudukan yang telah memberikan kemampuan melihat pendekatan dan
memiliki kontribusi dalam perluasan perdebatan mendasar antropologi
kependudukan.
Alasan
utama untuk menggunakan penelitian lapangan pada riset survey telah menambakan
eksplorasi untuk membuka komponen pada pengumpulan data supaya benar-benar
valid dan menemukan intepretasi yang benar. Dan rasanya, aliran utama demografi
telah menerima kontribusi antropologi kepada demografi sebagai salah satu
metodologinya: kepentingan utama yang masih tertinggal untuk penjelasan
kuanitatif berubah pada dinamika kependudukan dan bukan lagi hanya merupakan
penerapan teori antropologi pada dinamika kependudukan. Kegagalan untuk
menggunakan teori antropologi ini, sebagian selalu dikritik oleh para
antropolog yang juga mengkaji masalah kependudukan ini (Fricke, 1997).
Sumber
lain dari minat baru dalam antropologi antara demografi muncul pada waktu yang
hampir sama dari kelompok kerja pada Proyek Fertlitas Eropa dan upaya mereka
untuk secara empiris membuktikan teori transisi pada data historis dari Eropa.
Tujuan utama mereka adalah untuk melihat
keadaan sosial dan ekonomi yang berlangsung, pada saat terjadi penurunan fertilitas
mulai jaman modern, serta untuk memperjelas mekanisme kausal dari transisi fertilitas
di Eropa. Tim yang terlibat dalam proyek ini menciptakan rekor kuantitatif orisinil
dalam kajian perubahan demografi dan sosial ekonomi yang mendalam terjadi di benua
Eropa dalam XIX dan abad XX. Dua perangkat langkah-langkah dikumpulkan dan
dianalisis: indikator karakteristik demografi (terutama pernikahan dan fertilitas),
dan indikator keadaan sosial dan ekonomi. Proyek ini menunjukkan bahwa
formulasi klasik dari teori transisi adalah yang terbaik untuk akurasi
penggambaran proses sejarah perubahan demografi dan beberapa hal yang belum
lengkap dari faktor-faktor penentu perubahan demografi. Para peneliti utama
proyek tersebut menyimpulkan bahwa pengaturan budaya memiliki pengaruh terhadap
penurunan fertilitas yang independen dari faktor sosial ekonomi, dan mereka
merasa yakin bahwa teori transisi dapat menggabungkan budaya dan perubahan ide-ide
(Cleland dan Wilson 1987, Knodel dan van de Walle 1986, Watkins 1996).
3. Tantantangan Teoritis: Budaya dan Gender
Sebagai Institusi-Institusi
Dengan
minat baru terhadap budaya sebagai satu di antara banyak demensi-demensi
kontekstual dari dampak yang dicerminkan oleh gejala demografis, demografi
telah memulai sejak era 90 an menyambut antropologi sebagai disiplin ilmu
sosial yang memiliki konsep dan teori kemasyarakatannya dapat dipinjam, bukan
sekedar metodologinya. Bagaimanapun hal ini tidak terjadi secara lengkap dengan
cara yang mulus. Tantangan utama telah direpresentasikan oleh a)
operasionalisasi konsep budaya, gender, dan institusi; b) konsistensi
interpretasi data empiris yang dikumpulkan secara intensif dalam penelitian
lapangan, di sisi lain estimasi/prakiraan dihasilkan dari seperangkat data
dengan sampel yang besar; c) kombinasi pendekatan holistik telah berkembang
dalam analisis studi kasus dan analisis-analisis hubungan antar variabel.
3.1. Budaya
Peran dari
budaya dalam analisis proses demografi menjadi minat baru para demografer
dengan teori. Penjelasan secara kultural dari perilaku demografi nampaknya
menjadi cahaya baru pada variasi hal-hal eksplisit yang terobservasi.
Bagaimanapun juga, isu mengenai bagaimana mengartikan budaya, dan bagaimana
budaya dibwa dalam ranah riset empiris masih merupakan pertanyaan, dan masih
belum dan akan selalu diartikan jawabannya selalu bertemu dengan persetujuan
yang belum jelas. Perdebatan sengit selalu terjadi sejak waktu yang lama dalam
antropologi dan batas-batas definisi dari " secara historis, pola
ditularkan dari makna yang termuat dalam simbol-simbol", “organisasi
sistem pengetahuan, dan tindakan-tindakan
atau perilaku yang diditunjukkan sehari-hari oleh anggota kelompok
sosia"l, "penerapan nilai mengenai benar dan salah", serta
"sistem yang terorganisasi dari pemaknaan bersama". Hammel 1990,
menjabarkan bagaimana konsep kebudayaan dalam antropologi digunakan sebagai
alternatif untuk "pengidentifikasi kelompok-kelompok sosial, tubuh
tradisi-tradisi, perangkat pola-pola perilaku yang tampak, penentu tindakan
manusia, ekspresi seni dari pengalaman manusia, seperangka simbol-simbol yang
dinegosiasikan antara aktor-aktor sosial” (Hammel 1990: 457).
Terinspirasi
Clifford Geertz’s (1973) yang menyatakan terdapat pemilahan antara model untuk dan model dari, dalam kontek hubungan dialektika antara struktur dan tindakan,
Hammel mengajukan penekanan pemilahan secara paralel: "Kebudayaan untuk penduduk dan Kebudayaan oleh Penduduk". Di budaya rasa yang
sebelumnya, memiliki fungsi sebenarnya menentukan tindakan masyarakat dengan
menyediakan "cetak biru" tentang bagaimana kehidupan mereka menjalani
kehidupan sehari-hari. Individu belajar norma-norma yang terdapat pada
lingkungan sosial mereka dan baik yang mereka internalisasi dan sesuai, ataupun
yang menentang tradisi sebelumnya, telah diperhitungkan peluang kerugian
perilaku mereka. Hal ini merupakan "budaya untuk masyarakat" berguna
untuk membenarkan masuknya dimensi budaya menjadi model perilaku yang
memberikan penjelasan mengapa orang dalam konteks budaya yang sama, bertindak
seperti yang mereka lakukan. Namun, pandangan mengenai budaya ini dikritik oleh
aliran utama antropologi karena memperlakukan individu sebagai "penjelasan
budaya," mengesampingkan peran agen secara individual, dan hanya meninggalkan
sedikit ruang untuk menjelaskan perubahan budaya. Sebuah "budaya dari
orang-orang" merupakan cara di mana aktor sosial memandang dunia dan
atribut yang jelas dan makna simbolik terhadap perilaku sosial. Dalam
pengertian budaya, pengertian ini merupakan bingkai dari jalur yang mungkin
tersedia, sementara jalan yang sebenarnya diambil adalah masalah pilihan
individu. Dalam definisi ini setiap agen budaya dan praktek-praktek yang
sentral. Simbol budaya rentan untuk diubah dan diinterpretasikan oleh individu
untuk tujuan mereka sendiri dalam keadaan tertentu. Karena proses ini,
transformasi dan interpretasi terjadi dalam interaksi sosial, dalam percakapan
dan dalam praktek, lembaga individu tampaknya menjadi "terdistribusikan
secara sosial" (Carter, 1995) dan berlangsung dalam "hubungan
dialektis antara tindakan-tindakan masing-masing personal dan latar belakan
kegiatan mereka" . Visi budaya tersebut merupakan "percakapan
evaluatif" yang konsisten dengan fakta bahwa atribut subjektif individu
seperti nilai-nilai atau sikap perilaku tertentu yang mungkin ambigu dan bahkan
bertentangan dalam konteks budaya tertentu.
Menurut
Fricke: “Kajian populasi sensitif secara kultural memerlukan suatu asumsi bahwa
orang-orang terikat dunia mereka dalam istilah yang sangat beragam dalam sistem
pemaknaan lokal, dan kehendak untuk mengungkap sumber-sumber yang telah ada
dengan menggunakan mata untuk menghubungkan makna-makna dengan keluaran
demografis" (Fricke 1997 : 186). Antropologi Kependudukan selalu
dibutuhkan untuk menghadapi tiga tantangan dalam menambahkan budaya dalam
kajian demografi. Tantangan tersebut antara lain:
Pertama,
perlu untuk memastikan bahwa variabel demografis standar, seperti misalnya pendidikan
atau usia saat menikah dijelaskan dengan makna budaya bahwa variabel ini
memiliki asumsi dalam konteks tertentu. Misalnya Johnson-Hanks, ia menemukan
bahwa pendidikan berhubungan dengan usia yang lebih tua pada kelahiran pertama
di antara perempuan suku Beti di Kamerun. Terutama karena sekolah formal berhubungan
erat dengan tingginya motivasi untuk memiliki reputasi yang lebih baik dan
berperilaku ideal sesuai dengan Agen1[1]
lokal mengenai konsep kehormatan. Menempuh pendidikan (sekolah) berfungsi
sebagai faktor sosialisasi yang memperkuat karakteristik perilaku terhormat
melalui tindakan tertentu, salah satunya adalah- dominasi diri. Hal ini
menjelaskan mengapa pendidikan juga konsisten dengan meluasnya penggunaan
kontrasepsi non-Barat alami dalam konteks ini (Johnson-Hanks, 2006).
Ke dua,
ahli antropologi kependudukan harus memperhatikan sistem simbolik sebagai acuan
dalam kajian mereka tentang, dan dengan demikian maka terbuka kesempatan untuk
memodifikasi variabel standar, atau memperkenalkan variabel kontekstual baru ke
dalam model perilaku. Studi lapangan oleh tim Susan Short di Cina menunjukkan
definisi yang jauh lebih baik dan berlaku mengenai karakteristik bidang
pekerjaan perempuan daripada bidang pekerjaan klasik menjadi dibayar dan tidak
dibayar. Hal itu hanya dengan perhitunganan untuk tingkat yang berbeda dari
intensitas dan tingkat kesesuaian dengan pengasuhan anak dalam kegiatan
non-upah spesifik, bahwa hubungan antara alokasi waktu kerja dan waktu mengasuh
anak dapat dihargai secara penuh (Short
et al. 2002). Demikian pula, dalam penelitian bertujuan melakukan pendataan
tunawisma di Paris, fase kerja lapangan eksploratif desain penelitian yang
diperlukan untuk menjelaskan beberapa definisi atau konsep 'rumah/ tempat
tinggal' yang dibentuk oleh informan sehingga memungkinkan para peneliti untuk
mengumpulkan data valid dalam melakukan penghitungan (Marpsat 1999).
Ke tiga,
Para ahli Antropologi Pendudukan perlu untuk menafsirkan kompleksitas motivasi
secara individu, melalui pola-pola perilaku lokal. Kompleksitas ini tersebut,
sebagaimana yang ditemukan oleh Bledsoe beserta timnya di pendesaan Gambia.
Ditunjukkan bahwa di sana, alat kontrasepsi barat secara secara konsisten
digunakan oleh para wanita, karena motivasi dan ketertarikan yang tinggi,
sebagaimana keinginan memiliki anak sebanyak yang memungkinkan, dan hal ini
secara tidak langsung mengkondisikan tujuan pembatasan fertilitas. Organisasi
sosial dalam komunitas tersebut menyatakan bahwa memiliki anak-anak yang sudah
dewasa merupakan sumberdaya yang penting dan merupakan tanggungjawab sosial bagi
perempuan. Ide lokal mengenai reproduksi biologis melakukan identifikasi
kehidupan pengasuhan anak sebagai "tubuh yang menghasilkan
sumberdaya" (Bledsoe 2002) dan mengenai kapasitas reproduksi ini, sama
sekali terpikirkan untuk menguranginya seiring dengan pertambahan usia, tetapi
dengan tekanan yang diderita oleh tubuh wanita. Salah satu peristiwa paling
membebani wanita dalam pengertian ini dianggap hanya pengalaman sebuah
kecelakaan kecil (keguguran, bayi lahir atau kematian dini pada bayi). Seorang
wanita dalam masyarakat tersebut mempertimbangkan untuk beristirahat di antara
kehamilan sebagai cara yang paling efektif untuk memulihkan kapasitas
reproduksi sendiri (sendiri "sumberdaya tubuh" nya). Kombinasi dari suatu organisasi sosial
setempat dan konsep fertilitas lebih tergantung pada tekanan fisik dibandingkan
pada penuaan yang menyebabkan kehamilan para perempuan berakhir dengan
kegagalan untuk menggunakan kontrasepsi barat supaya dapat memaksimalkan kesempatan
untuk bertahan hidup anak-anak mereka berikut. Dalam contoh terakhir
antropologi kependudukan selalu meluruskan konseptualisasi bahwa organisasi
sosial dan budaya sebagai kekuatan yang terpisah dalam mempengaruhi keluaran
demografis.
Cara atau
prosedur yang sama untuk sejarah sosial, Antropologi kependudukan memberikan
banyak perhatian pada titik temu kekuatan lokal dan global dalam menghasilkan
agen dinamika struktur populasi. Fokus ini akan lebih menarik jika disajikan
dalam pendekatan politik ekonomi terhadap proses-proses demografi, di mana
tujuan dari analisis ini adalah dampak dari kekuatan ekonomi dengan muatan
konteks politik dan budaya, bukan sebaliknya (Kertzer, 1995, Greenhalgh 1990,
Schneider dan Schneider 1984).
Contoh
yang bagus dari pendekatan semacam ini adalah kajian yang dilakukan oleh
Kertzer dan Hogan mengenai perbedaan penentuan waktu menolak fertilitas menurut kategori bidang
pekerjaan di Casalecchio, Reno, Italia. Kebiasaan orang-orang pada tingkat
lokal terlihat jelas dipengaruhi oleh seperangkat kisaran dari pengenalan wajib
belajar, diberlakukannya undang-undang pekerja anak, serta jenis pengaturan
hidup kelas tertentu, yang mempengaruhi nilai ekonomis anak-anak bagi orang
tua. Hal ini memiliki cara yang berbeda
jika dibandingkan antara petani penggarap dibandingkan dengan semua kelas
sosial lainnya (Kertzer dan Hogan 1986). Demikian pula rekonstruksi penurunan
fertilitas di Sisilia, sebagaimana dikatakan oleh Schneider dan Schneider
(1984) dan juga yang dilakukan oleh Netting (1981) di Swiss Alps keduanya model
peran studi ekonomi politik diterapkan serta mengintervensi fertilitas.
Mereka
menggunakan ingatan lisan dan data arsip untuk menentukan kekuatan di balik
transisi fertilitas; penggunakan data historis tentang peristiwa penting juga
diuji untuk menentukan seberapa fertilitas mengalami transisi pada berbagai
kelompok sosial. Schneiders mengatakan bahwa:
"Pendekatan ekonomi politik
adalah di atas semua memperhatikan perbedaan kekuatan yang muncul, dan akan
terus muncul, dalam alur sejarah: perbedaan usia dan gender di dalam lingkungan
keluarga dan unit kekerabatan; antara lembaga resmi dan klien mereka, pelanggan
atau pengikut; antara kelas atau kelompok etnis; dan di garis-garis ini sebagai
hasil dari interaksi. Dan berorientasi terhadap penanaman berbagai jenis
perubahan, termasuk perubahan populasi dalam sejarah yang berbeda dari evolusi"
(Schneider dan Schneider, 1996: 8).
Secara
ideal, pendekatan-pendekatan tersebut terinspirasi oleh politik ekonomi yang di
dalamnya termasuk lima elemen kunci sebagai berikut: fokus pada
analisis-analisis multilevel (berbagai tingkatan); perspektif historis;
berorientasi praktis; memperhitungkan kekuatan-kekuatan aspek ekonomi, politik, dan kebudayaan; dan
menggunakan pendekatan-pendekatan riset metode campuran (mixed-methods). Pendekatan
ekonomi politik cenderung menantang
demografi untuk mengabadikan perbedaan yang sedikit artifisial di
antaranya sebagai efek pada perilaku organisasi budaya dan sosial, yang
seolah-olah ini diwakili oleh dua lembaga independen. Misalnya klaim bahwa
agama sebagai kekuatan budaya dan industrialisasi dan kekuatan ekonomi utama
bertindak secara terpisah pada transisi fertilitas. Hal ini harus
memperhitungkan peran politik Gereja Roma dalam mendefinisikan segalahal yang berkaitan
dengan registrasi kelahiran dan efek definisi tersebut untuk kematian bayi.
Inti dari hal ini adalah bahwa terdapat hubungan antara lembaga-lembaga sosial
dan budaya yang masih perlu dilakukan eksplorasi dalam konteks lokal. Jenis
pendekatan memiliki potensi untuk mengidentifikasi unit yang relevan tentang pengambil
keputusan perilaku (baik individu, pasangan, unit patrilineal, keluarga inti,
atau jaringan lain), dan definisi
keputusan dalam tingkat kerangka
situasional (definisi: lokal, regional, nasional, atau global). Tantangan bagi
antropologi kependudukan adalah untuk bergerak di luar studi kasus tunggal, dan
promosi desain penelitian komparatif, yang diharapkan dapat meningkatkan
pengujian teori dan generalisasi teori.
3.2 Gender
Setelah
'budaya', 'jenis kelamin' sebagai kategori analitis yang digunakan oleh para
ahli demografi menjadi paling banyak dikritik dalam antropologi; hal itu
kemudian menjadi salah satu tantangan teoritis utama dalam demografi
antropologi. Konseptualisasi dalam demografi antropologi dari hubungan antara
gender dan perilaku demografi telah diringkas oleh Susan Greenhalgh pada pengantar
untuk kumpulan esai 'Pengkondisian Fertilitas'. Dalam tulisannya, Susan
menyatakan mengenai cara bagaimana demografi menjelaskan gender dalam proses
reproduksi yang terbaik adalah "menunjukkan munculnya kajian demografi mengenai
perempuan". Hal ini ditekankan pada wilayah kajian khusus mengenai karakteristik
penting perempuan secara demografis dan
mengabaikan pemikiran ulang kategori analitis terkait dengan gender yang telah banyak
dilakukan dalam antropologi, sosiologi, dan sejarah sosial.
Dengan
berfokus pada indikator "peran perempuan", "status
perempuan," dan "otonomi perempuan" dan bukan pada dimensi
kontekstual gender, sebagian besar literatur demografi telah menganggap bahwa
gender lebih sebagai atribut individu daripada institusi. Sebagai perbandingan,
redefinisi konsep gender sebagai institusi sosial, berarti mengakui hal
tersebut sebagai prinsip penataan kehidupan sosial, dan distribusi kekuasaan.
Karena hal tersebut mempengaruhi reproduksi, serta domain lain dalam kehidupan,
serta memerlukan kajian laki-laki, dan perempuan serta pertimbangan, baik
sosial ekonomi ataupun dimensi ideologi gender. Kajian antropologi telah banyak
mengamati ketimpangan sosial-ekonomi yang menunjukkan bahwa kesetaraan antara
pria dan wanita dalam domain ini tidak selalu tumbuh sesuai dengan pemberdayaan
pemberdayaan perempuan. Gender tampaknya menjadi konsep multidimensional dengan
perubahan yang tidak selalu searah. Konseptualisasi gender sebagai variabel
makro (yaitu prinsip penataan sosial) membuat antropologi demografi sangat
dekat dengan demografi institusional dimaksud dalam rumusannya yang jelas sebagaimana
yang telah dinyatakan oleh Geoffrey Mcnicoll (1980).
Demografi Institusional
juga menekankan pentingnya melihat
lembaga lokal untuk menjelaskan perilaku
demografi. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan melihat
lembaga-lembaga sosial formal dan informal sebagai kerangka kerja bagi individu
dalam pengambilan keputusan pada setiap periode waktu tertentu. Dalam hal ini
lembaga sebagai konteks latar belakang perilaku demografi. Misalnya, untuk
kembali ke hubungan antara gender dan fertilitas, pendekatan kelembagaan akan
melihat cara di mana hubungan konsep-konsep struktural gender antara laki-laki
dan perempuan di pasar, di ranah hukum, dan dalam lingkup pribadi ataupun
keluarga. Peter McDonald (2000), seorang ahli demografi, menggunakan pendekatan
ini, pengujian tersebut pada tingkat makro, dan menyimpulkan bahwa dalam
konteks ini, kesetaraan gender dijamin pada ruang publik, tetapi tidak dalam
lingkup hubungan pribadi, fertilitas cenderung lebih rendah dalam konteks lain
di mana hubungan gender secara konsisten sama ataupun tidak sama. Cara kedua
untuk mempertimbangkan lembaga sebagai salah satu variabel, adalah untuk
mengambil pendekatan transaksional terhadap perubahan kelembagaan dan untuk
melihat bagaimana lembaga lokal sebagai agen perubahan sebagai konsekuensi dari
pola historis atau perubahan pada tingkat kelembagaan yang lebih tinggi
(nasional atau global). Karena fokus pada studi kasus dan perkembangan sejarahnya,
demografi institusional adalah salah satu jembatan yang lebih solid untuk
menghubungkan kesenjangan konsptual antara demografi dan antropologi, khususnya
bidang antropologi dengan pendekatan ekonomi politik.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Susan Greenhalgh (1990) , cara lengkap untuk melihat
masalah yang sama ataupun perbedaan antara keduanya hanya di titik awal hal
tersebut. Demografi institusional akan mengawali kajian dari pengambilan keputusan individu dan kemudian
meluas untuk menentukan konteks kajian lokal dan bagaimana hal tersebut
dimodifikasi oleh kekuatan global. Sebaliknya, "seorang ahli demografi
ekonomi politik lebih mungkin untuk bekerja dari atas ke bawah dimulai dengan
pemahaman tentang kekuatan global historis yang dikembangkan - pasar dunia,
sistem kenegaraan pada tingkat internasional, dan lain sebagainya - yang akhirnya
membentuk rezim demografi lokal. Langkah selanjutnya mengidentifikasi cara-cara
yang terjadi pada wilayah regional,
nasional, dan lokal, dan kemudian menelusuri dampaknya pada perilaku fertilitas
individu "(Greenhalgh 1990: 87). Dengan kata lain, sementara demografi
kelembagaan memasukkan lembaga sebagai konteks mendefinisikan struktur
kesempatan bagi para pengambil keputusan yang memiliki nilai-nilai dan tujuan
mereka sendiri, di sisi antropologi politik ekonomi melihat fenomena tersebut
sebagai konteks yang mendefinisikan nilai-nilai dan tujuan melalui definisi struktur
kekuasaan dan moral.
4. Tantangan
Metodologis: Mengkombinasikan Pendekatan Kajian Lapangan dan Pendekatan
Statistik
Penelitian empiris pada antropologi kependudukan umumnya dilakukan
melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, baik digunakan secara terpisah
atau digabung dalam desain penelitian yang koheren dan kompleks. Kombinasi dari
dua metodologi ini tidak mudah.
Pendekatan minimalis untuk antropologi kependudukan adalah dengan
menggunakan metode antropologi untuk menghasilkan data yang lebih baik, dan
menggunakan data tersebut untuk membuat model dinamika populasi. Secara
multidisiplin, metode antropologi yang 'hanya' diminta untuk berkontribusi pada
peningkatan validitas pengukuran dan interpretasi hasil dengan menyediakan
konteks lokal, dan mengklarifikasi
dimensi ideasional, serta budaya lokal (makna dan nilai-nilai). Pendekatan yang
terbuka untuk metodologi ini, misalnya, cara yang baik untuk menjelajahi
definisi yang berbeda dari istilah tampaknya sama, dan mendapatkan salah satu
masalah terbesar yang dihadapi kemudian dibandingkan secara lintas budaya. Ternyata
hal sederhana yang menunjukkan konsep-konsep seperti hubungan kerabat,
pengaturan hidup, status perkumpulan, atau migrasi, mungkin memiliki konsekuensi perilaku yang
sangat berbeda karena hal-hal tersebut dapat memiliki arti yang berbeda. Dalam
studinya tentang motivasi strategi di
luar kajian tentang rumah tangga di Sierra Leone, Bledsoe (1990) menunjukkan
cara di mana kewajiban intragenerational antara kerabat tidak kaku diatur dan
univocal, melainkan tersebar di jaringan ikatan yang selalu berubah. Dukungan
masa depan dari anak-anak biologis tidak dapat secara otomatis diasumsikan dipengaruhi
oleh bagaimana pola asuh atau tanggung jawab orang tua: melainkan harus
dinegosiasikan. Sifat kerja lapangan antropologis, yang melibatkan peneliti
dengan konteks empiris di bawah pengawasan dan dapat mengamati perilaku
masyarakat secara langsung, dengan menyusun strategi metodologis yang sangat
kuat untuk mendapatkan pembacaan kritis terhadap reportase perilaku dan untuk
melihat potensi bias secara sistematis. Karena bias, penelitian akan melemahkan
kualitas data. Antropologi kependudukan memiliki penekanan khusus pada metode
penelitian lapangan sebagai dasar dari kajian etnografi; namun ketika para
peneliti memiliki tujuan pada penekanan kedalaman sejarah, data lapangan perlu
dilengkapi dengan penggunaan arsip, registrasi, dan dokumentasi lainnya,
seperti yang disediakan oleh kajian sejarah lisan. Pendekatan terakhir ini pada
demografi antropologis, diterjemahkan dengan menggunakan interpretasi yang
cermat dari data statistik historis; dengan demikian hal dapat disejajarkan
dengan karya sejarah sosial, dan melengkapi bekerja di demografi sejarah
(Hammel 1995, Kertzer 1987).
Dalam rangka mencapai kedalaman kontekstual yang diperlukan, dan untuk menyuarakan
penelitian kualitatif, antropologi kependudukan cenderung memilih untuk melakukan
studi kasus. Sifat sample yang non-representative karena relatif kecil, kajian
yang didasarkan pada studi kasus masih menuai skeptisisme tentang karena hasil
dari pendekatan tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh penduduk.
Oleh karena itu, kegunaan hasil studi kasus ini, masih menjadi bahan diskusi di
antara beberapa ahli demografi. Meskipun demikian, hal tersebut sering kali
terjebak pada diskusi yang menembak target yang salah, karena diskusi tersebut
gagal untuk mengakui bahwa tujuan dan kontribusi yang unik dari studi kasus memang
tidak atau kurang menyediakan kuantifikasi fenomena yang diteliti, dan lebih
menekankan pada klarifikasi mekanisme yang terlibat dalam menghasilkan dan
untuk memperjelas interkoneksi yang kompleks fenomena kependudukan.
Di pihak antropologi terdapat ketidakpuasan terhadap pendekatan minimalis
ini, di mana kebijaksanaan antropologi hanya dianggap penyedia pelayanan
sebagai hamba untuk statistik demografi. Beberapa ahli menolak identifikasi
sederhana antropologi dengan metode kualitatif dan berpendapat untuk memperkuat
posisi metodologis, yang telah diberi label "interpretatif demografi
kritis" atau "demografi tanpa angka" (Sheper-Hughes 1997: 203).
Antropolog menganut pandangan ini berpendapat untuk dekonstruksi tujuan kategori
demografis analitis, dan metodenya dalam mendukung pemahaman tentang praktek-praktek
sosial lokal. Penelitian Sheper-Hughes (1992) sendiri tentang kematian bayi di "favela"
dari sebuah kota berukuran menengah di Brasil, dimulai dengan memeriksa standar
registrasi kematian anak balita. Ia menemukan bahwa sepertiga dari anak-anak
tersebut hilang dari catatan resmi; kemudian, catatan kematian yang ada sering kurang
informatif, terutama informasi sejauh penyebab anak kematian yang bersangkutan.
Daripada membatasi dirinya untuk mencatat bias bahwa rendahnya kualitas pencatataan
data dapat digunakan untuk menyiratkan memperkirakan kematian bayi dengan tepat,
dia terlibat dalam observasi partisipan dan wawancara terbuka. Melalui kerja
lapangan yang intensif tersebut, dia menyadari bahwa perempuan (dan orang
dewasa lainnya) memberikan perawatan dari ibu ke bayi mereka sangat bertahap,
dengan keyakinan bahwa sejumlah anak-anak tidak dimaksudkan untuk bertahan
hidup, dan ditakdirkan untuk menjadi "malaikat" tak lama setelah
lahir. Mengingat kematian bayi yang tinggi di daerah tersebeut, praktek ini
dapat diartikan sebagai cara untuk melindungi ibu dari kehamilan dini dalam
konteks di mana kemungkinan kehilangan anak tinggi.
Sebagaimana "orientasi praktis, orientasi kritis juga harus diterapkan,
dengan melihat antropologi politik", (Sheper-Hughes 1997: 219) mampu melihat
dan menjelaskan karakteristik sosial proses
kependudukan yang tersembunyi dari data resmi, sehingga perlu berdamai dengan
orientasi demografi untuk kajian silang budaya, generalisasi, dan pengujian
teori. Kesulitan yang timbul dari penggabungan metode kualitatif dan
kuantitatif menyebabkan pertanyaan, apakah penggabungan tersebut lebih baik dengan
mengerjakan proyek demografis secara tim
multidisiplin, yaitu demografer dan antropolog yang terlatih, atau alternatif
untuk berinvestasi dalam program pelatihan interdisipliner untuk membentuk
demografi antropologi sepenuhnya bulat. Opsi pertama menawarkan keunggulan
komparatif spesialisasi tetapi memiliki resiko menciptakan hambatan komunikasi
antara peneliti. Opsi kedua, sambil menanggulangi masalah yang akhir-akhir ini
oleh paparan kedua disiplin ilmu terserbut. Namun dalam tahun-tahun mahasiswa
menjalani perkuliahannya, mungkin meremehkan sejumlah investasi yang dibutuhkan
untuk membentuk demografi yang baik dan antropolog yang baik.
5.
Penelitian empiris di demografi antropologi
Bagian sebelumnya dari pembahasan ini telah menelisik masalah teoritis
dan metodologis yang dipertaruhkan dalam demografi antropologi; sekarang,
kontribusi ilmu tersebut terhadap studi populasi akan digambarkan dengan menggunakan
contoh yang dipilih dari beberapa keragaman jenis lingkup penelitian itu
mencakup. Tiga contoh yang dipilih diambil dari tempat dan waktu yang berbeda,
dan dilakukan oleh para sarjana dari latar belakang disiplin ilmu yang berbeda.
Mereka juga menangani aspek yang berbeda dari penelitian demografi, yaitu
fertilitas, migrasi, dan kematian. Namun, mereka memiliki tiga kualitas yang
sama, dan dipilih: mereka dengan jelas menggambarkan kontribusi teori dan
metode antropologi untuk memahami dinamika populasi; mereka memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap interpretasi mengenai pola demografis yang
ditertentu; dan mereka yang diterbitkan relatif baru.
5.1. Fertilitas
Dalam penelitiannya tentang makna ayah dan keterlibatan ayah pada
anak-anak di sebuah desa di Botswana, Nicholas Townsend (2002) mencermati model
budaya yang digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap perilaku laki-laki
dalam peran mereka sebagai ayah, baik itu oleh sang ayah sendiri, oleh orang
lain dan dari anggota kerabat dan rekan dalam kelompok mereka. Minat tersebut
semakin besar karena secara jelas peran pria ditemukan pada data resmi, yang
melaporkan sangat tingginya persentase kelahiran di luar nikah, persentase yang
tinggi juga terdapat pada data kepala rumah tangga perempuan, dan sekitar 70%
dari pria berusia 20-40 tinggal jauh di luar desa mereka (merantau) hal ini sebagai
akibat dari tenaga kerja migrasi keluar. Townsend menggunakan wawancara untuk
melakukan rekonstruksi hubungan sosial dan ekonomi dari sekelompok orang selama
menjalani kehidupan keseharian mereka dan mengamati hubungan ini selama di lapangan
selama 11-bulan.
Analisis dari sejarah kehidupan dengan data lapangan yang menghasilkan
unsur-unsur sulit untuk di temukan pada data resmi; Hal ini pada gilirannya
memungkinkan para peneliti untuk menarik kesimpulan tentang nilai-nilai yang
dominan yang berkaitan dengan ayah dan orangtua dalam konteks tersebut, dan hal
ini juga digunakan untuk menafsirkan letak fertilitas pria dalam reproduksi populasi ini. Terdapat banyak
penjelasan yang dapat dikaitkan dengan sistem perkawinan dan konsep tanggung
jawab orang tua di desa tersebut.
Pertama, dalam konteks ini hubungan antara pernikahan dan ayah biologis,
lemah. Status dan peran sebagai atribut ayah lebih bersifat sosial, bukan pada prinsip-prinsip biologis: di satu sisi memberikan
sejumlah pembayaran pada pengantin, memungkinkan seorang pria memperoleh
atribut ayah untuk dirinya sendiri bagi semua anak yang lahir dari istrinya; di
sisi lain tidak ada kewajiban hukum bagi seorang pria untuk memberikan
keturunan biologisnya, karena secara hukum lebih mewajibkan pembayaran satu
kali kompensasi kepada orang tua seorang wanita yang mengaku telah dihamili. Hal
ini memiliki konsekuensi, hanya sedikit pria yang belum menikah, menyatakan
diri untuk menjadi ayah; ini terjadi terlepas dari kenyataan bahwa sebagian
besar dari laki-laki tersebut tidak menyatakan dirinya sebagai ayah yang diketahui
telah memiliki anak biologis.
Kedua, fertilitas pria terkait lintas generasi dan persaudaraan. Kegiatan
dan pertukaran yang akan terjadi di tempat lain dianggap khas dalam
keterlibatan ayah yang sering diambil alih oleh kakek dan saudara ibu saudara
dengan anak-anak bukan secara biologis maupun secara sosial, anak mereka
sendiri. Salah satu contoh kasus: Townsend memberikan reportase bahwa ia pernah
bertemu dengan setiap anak sulung yang tidak lahir di rumah kakek-dari ibu
mereka. Dia juga mengamati bahwa bagi sebagian besar anak-anak, hubungan teman
sebaya pertama mereka adalah dengan
saudara kandung mereka sendiri dan anak-anak yang lahir dari saudara ibu
mereka. Kakek turut merawat cucu mereka sampai putri mereka, ibu anak-anak,
menikah dengan seorang pria yang dapat membayar mas kawin dan biaya pernikahan.
Dalam konteks ini laki-laki hanya menjadi kepala rumah tangga mereka sendiri di
bagian akhir hidup mereka dan pada saat itu rumah tangga mereka mengandung
jumlah anak yang mereka memiliki dengan hubungan biologis dan sosial yang
berbeda. Seorang pria mungkin tidak pernah tinggal atau merawat anak pertamanya
sendiri, sedangkan ia mungkin menghabiskan bertahun-tahun dengan hubungan yang
sangat dekat dengan satunya anak bungsunya.
Demikian pula, saudara ibu juga sangat banyak terlibat dengan keturunan saudara
mereka. Misalnya, pada kesempatan pengaturan perkawinan, paman ibu memiliki hak
dan kewajiban untuk berkontribusi pada negosiasi tentang mas kawin. Praktek
sosial tersebut sepertinya membuat daya
tarik pemuda di pasar pernikahan tergantung pada karakteristik rumah tangga dan
kerabat-kerabatnya. Misalnya, status persaudaraan dan sosial pasangan mereka
mempengaruhi kemampuannya untuk membayar mas kawin, seperti kekayaan saudara-saudara
ataupun ayahnya.
Dalam konteks ini, melahirkan anak dan ayah yang memiliki hubungan kekerabatan
yang membentang lebih dari satu generasi dan berbagai aspek pengasuhan, seperti
tinggal bersama, dukungan ekonomi, dan kedekatan emosional didistribusikan di
antara orang yang berbeda dalam periode yang berbeda dari perjalanan hidup.
Sebagai Townsend menempatkan "kesuburan pria, dalam arti biologis sempit,
dapat terus akhir waktu hidup. Lebih penting lagi, berbagai hubungan laki-laki
memiliki dengan anggota generasi berikutnya mempengaruhi reproduksi mereka
sendiri, reproduksi anak-anak mereka dan kemungkinan kehidupan cucu mereka
"(Townsend, 2000: 361).
Dalam sebuah makalah berikutnya, Townsend (2002) membandingkan data dari
studi kasus Botswana dengan orang-orang dari perkotaan di Northern California
(AS), di mana seperangkat harapan
orangtua dan ayah terkonsentrasi pada satu hubungan orangtua tunggal. Pesan
utama dalam penelitian ini adalah bahwa aspek paling relevan dari bagaimana
keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dirasakan oleh anak-anak. Persepsi
tersebut dimediasi oleh norma-norma budaya pengasuhan yang tepat dan sebagai
ayah dan "apakah anak-anak berpikir mereka mendapatkan hak untuk memiliki
harapan" (idem 2002: 254). Dalam rangka untuk membuat hipotesis tentang, bagaimana
keterlibatan ayah memiliki konsekuensi bagi fertilitas pria, perlu dipahami
dengan model budaya ayah dan segala hal yang terkait dengan hal tersebut. Di AS
mungkin terjadi bahwa ayah memiliki waktu dan kontak emosional dengan anak-anak.
Hal ini merupakan elemen penting untuk menjelaskan perkembangan anak dan
prestasi mereka dalam kehidupan mereka di masa dewasa. Namun, hal ini tidak
selalu begitu dalam budaya di mana ayah dikaitkan dengan perbedaan harapan.
5.2
Kematian
Contoh untuk pembahasan mengenai kematian ini akan membahas kematian yang
menyangkut dengan kematian anak akibat campak, karena hal ini merupakan salah
satu penyebab paling umum dari kematian anak di negara berkembang. Peter Aaby,
seorang ahli epidemiologi, telah melakukan penelitian perbedaan alasan kematian
akibat campak, pada anak laki-laki dan
perempuan; yang akhir-akhir ini muncul sebagai salah satu penderitaan. Aaby
memusatkan kajian pada interaksi antara pola perilaku dan penularan penyakit,
dan penelitian tersebut sepenuhnya memiliki roh yang sangat demografi
antropologi, karena pertanyaan ditujukan secara demografis yang khas (angka
kematian pada usia anak berdasarkan jenis kelamin dan usia), hal ini begitu
menari karena kedua hal ini memberikan
interpretasi pada kedua mekanisme epidemiologi dan budaya, serta teori Gender
(Aaby 1998).
Perbedaan gender dalam kematian anak-anak yang diakibatkan penyakit infeksi sebagaimana biasa nampak di
negara-negara berkembang, dan dari perbedaan tersebut nampak lebih menguntungkan
nasib anak laki-laki. Memang, pola tersebut bertentangan dengan keyakinan bahwa
perempuan memiliki keunggulan biologis karena secara hormonal dan genetik perempuan
memiliki sistem kekebalan yang lebih kuat dibandingkan dengan anak-anak
laki-laki. Interpretasi pola yang tak terduga tersebut adalah peluang
kelangsungan hidup terkait dengan perbedaan cara pengobatan laki-laki yang
sakit dan anak-anak perempuan, dibandingkan ditentukan oleh karakteristik
biologis mereka. Argumen dari interpretasi berikut: dalam konteks di mana terdapat
preferensi seks untuk pria (anak laki-laki lebih diutamakan untuk dibawa ke
fasilitas kesehatan) dan di mana sumber daya tenaga kesehatan yang langka,
seperti halnya di banyak negara berkembang, perlakuan jenis kelamin yang
berbeda (pada dasarnya makan dan perawatan) yang mendukung anak laki-laki. Hal
ini yang kemudian dapat digunakan menjelaskan mengapa kematian anak perempuan
karena penyakit campak menjadi lebih tinggi. Berikut pilihan kerangka teori
yang rasional dari kesimpulan ini. Kesimpulan ini akan cukup untuk menjelaskan
pola-pola yang teramati dan demografi dapat mempertimbangkan bahwa pertanyaan penelitian
tersebut telah terjawan, sehingga kemudian dapat memberikan saran kepada
langkah-langkah kebijakan untuk mengatasi preferensi seks di tingkat rumah
tangga dan masyarakat. Aaby mempertanyakan validitas penjelasan tunggal untuk
perbedaan gender ini. Di satu sisi, ia berpendapat, bahwa penjelasan alam mentakdirkan
perempuan dalam merespon kekebalan yang lebih baik, tidak akan cukup konsisten
untuk menjelaskan berbagai pola kematian secara umum, khususnya pada kematian
yang disebabkan oleh penyakit campak berdasarkan usia, dan jenis kelamin yang
diamati pada populasi secara historis dan kontemporer.
Abby menyajikan data historis yang dapat menunjukkan bahwa anak perempuan
dalam daftar kematian lebih tinggi disebabkan oleh campak, mulai dari perbedaan
usia dalam konteks sosial yang berbeda. Data menunjukkan bahwa perbedaan usia
dan jenis kelamin sangat tergantung pada karakteristik yang berhubungan dengan
jenis kelamin secara sosial. Aaby berpendapat bahwa penjelasan berdasarkan bias
preferensi seks, dengan menghubungkan penyebab efek sosial, semata-mata untuk
perlakuan istimewa orang tua secara sadar orang tua 'terdapat anak-anak
laki-laki, mengabaikan peran lembaga dalam menciptakan kesenjangan di tingkat
struktural.
Aaby menyarankan menggabungkan dua argumen ini, dan mempertimbangkan hal
lain selain bagaimana mekanisme genetik, infeksi, dan interaksi lembaga-lembaga
sosial dalam peranannya memproduksi kematian secara diferensialini. Penjelasannya
terdiri dari dua bagian utama: Pertama yang berkaitan dengan cara campak
ditularkan, dan yang kedua dengan cara membedakan secara jenis kelamin, hal ini
mungkin akan memiliki pengaruh yang
secara berbeda dalam mengalami campak tersebut. Bagian pertama dari argumen menjadi
dasar dari dua fakta mengenai mekanisme penularan campak diambil dari literatur
epidemiologi. Pertama, campak (seperti penyakit menular lainnya) lebih
cenderung ditularkan oleh kontak dekat dan lebih mungkin untuk menjadi fatal
jika kontak dengan seseorang bertempat tinggal serumah, daripada jika kontak
tempat lain. Kedua, meskipun daya tahan dari anak-anak yang masih terlalu
kecil/muda lebih kecil dibandingkan anak-anak usia tertentu, dan dalam hal tingkat respon respon
terhadap imunitas, serta tingkat keparahan berkaitan dengan intensitas. Bagian
kedua dari argumen Aaby ini, mengenai penjelasan dari perbedaan anak perempuan
dan anak laki-laki, menggabungkan literatur antropologi sekunder, dan
pengalaman kerja lapangan tersebut. Hipotesisnya menyatakan bahwa perbedaan
jenis kelamin yang diamati mungkin berhubungan dengan anak-anak perempuan yang
lebih sering berada di rumah daripada anak laki-laki dan memiliki kontak lebih
dekat dengan orang lain. Selain itu, anak-anak perempuan beberapa memiliki
kewajiban untuk menjaga adik-adik mereka yang sakit, bahkan anak-anak perempuan
sering mengorbankan aktivitas sekolah
untuk membantu pekerjaan rumah tangga, dan oleh karena itu mereka lebih rentan
terkena infeksi pada usia yang lebih tua
dari teman laki-laki sepantaran mereka.
Jika terdapat peranan dalam
perbedaan perawatan secara sadar terhadap anak-anak oleh orang tua, kita juga
harus memperhitungkan perbedaan kematian kematian diferensial karena
lembaga-lembaga sosial yang mengatur perbedaan secara jenis kelamin tersebut.
"Kerangka kelembagaan serta keyakinan budaya memiliki efek besar pada
perbedaan angka kematian melalui cara mereka membangun perbedaan gender dalam
perilaku, yang pada gilirannya mempengaruhi penularan penyakit, misalnya dengan
membatasi perempuan di rumah dan mengirim anak-anak ke sekolah" (Aaby
1998: 224 -225).
5.3
Migrasi
'Penemuan' terakhir tentang migrasi oleh antropologi pada tahun 1960, ditandai
dengan penekanan awal pada kajian migrasi desa-kota, pertumbuhan populasi
eksponensial dari pusat-pusat perkotaan di negara-negara berkembang, dan
transformasi terkait masyarakat dari agraris pedesaan untuk industri perkotaan.
Tiga puluh tahun kemudian, pada era 1990-an, perhatian telah mulai bergeser pada
kajian yang lebih luas yaitu migrasi internasional, dan studi besar di daerah yang
difokuskan pada pengirim migran, pada kehidupan migran di lingkungan baru, dan
bahwa anak-anak mereka (generasi kedua). Aspek teoritis terkonsentrasi pada
isu-isu transnasionalisme sebagai model alternatif berpikir tentang migrasi ke
model lama, tentang asimilasi dan integrasi, dan identitas etnis sebagai isu
menjadi lebih penting karena populasi migran berkembang dalam konteks
perkotaan. Tema lainnya secara reguler dibahas dalam literatur mengenai peran
kekuasaan dan gender dalam proses pengambilan keputusan migrasi, dan makna
migrasi paksa, dan daya mengacaukan proses demografi. Sementara ulasan terbaru,
tugas antropologi dalam makalah-makalah yang merupakan hasil kajian migrasi lebih
banyak tertarik dengan kajian migrasi dari Asia, Afrika, atau Amerika Selatan
ke daerah yang lebih makmur, contoh yang sesuai dari penelitian demografi antropologi dalam
konteks Eropa adalah penelitian oleh Brettell pada migrasi Portugis ke Prancis
(Brettell 2003). Individu, rumah tangga, dan menyatakan semua memiliki peran
dalam penentuan fenomena migrasi, sehingga migrasi yang dapat dipelajari secara
mikro, meso, ataupun di tingkat makro, serta pada berbagai unit analisis yang
dipilih. Dalam rangka untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang kasus migrasi
Portugis, Brettell memilih fokus pada keterkaitan antara tiga tingkat dinamika
antara struktur dan agensi. Dia membahas masalah migrasi - mengapa orang
bergerak, yang bergerak dan apa konsekuensi dari pengambilan keputusan tersebut
– dilihat dari perspektif multilevel dan sejarah. Penelitiannya didasarkan pada
data arsip, data statistik, wawancara narasi, dan kerja lapangan antropologis
di Portugal, serta partisipasi observasi di antara masyarakat pendatang
Portugis di Perancis, Amerika Serikat, dan Kanada.
Pertama, dari perspektif makro, Brettell membahas kaitan antara bagaimana
arus penduduk terlihat dan dikendalikan oleh negara Portugis, dan strategi
individu untuk menghindari kontrol negara tersebut. Kesimpulan dari hal
tersebut, sejak tahun 1960-an, migrasi keluar menjadi solusi yang nyaman dan
efisien bagi Negara untuk mengatasi tingkat pengangguran yang tinggi melanda
Portugal Utara. Dengan meninggalkan negara asal, migran bertanggungjawab
terhadap kesuksesan atau kegagalan dan upaya mereka sendiri ekonomi untuk
mempertahankan keluarga mereka, sementara pengiriman uang juga mewakili sumber
kekayaan bagi negara. Kedua, cerita-cerita sukses migran pendahulu menjadi
motivasi mereka untuk bermigrasi dan mencari pengalaman hidup mereka untuk
migrasi, Brettel mengumpulkan informasi rinci tersebut di tingkat mikro
mengenai migrasi individu, dan proses
pengambilan keputusan. Informasi tersebut kemudian disesuaikan dengan konteks
dan ditafsirkan secara jelas dengan menggunakan data statistik yang berkaitan
dengan sejarah migrasi masyarakat yang memiliki banyak cerita pengalaman individu yang tertanam. Ketiga, mengingat
individu sebagai anggota jaringan sosial (rumah tangga, keluarga, atau
masyarakat), Brettell juga memperhatikan strategi kelompok dan hubungan saling
ketergantungan untuk mengambil keputusan dalam kelompok sosial tersebut:
"baik itu keluarga inti di mana laki-laki bermigrasi sementara wanita
cenderung tetap tinggal, sebuah keluarga besar yang mengirim beberapa anak yang
belum menikah untuk migrasi dengan, atau tanpa orang tua, atau desa di mana
keluarga mengukur/membandingkan diri terhadap satu sama lain, sehingga relatif
kurang menjadi stimulus untuk keberangkatan "(hal. 6).
Terinspirasi oleh konsep "budaya migrasi" (Massey 1993), ia
menguraikan tentang pengaruh pengalaman migrasi kumulatif dalam suatu populasi yang
dari generasi ke generasi telah menjadi saksi sebagian besar proses migrasi pemuda
yang meninggalkan negara tersebut. Di sisi lain, hal ini dilihat dari
perspektif sosiologis, dilakukan analisis jaringan hubungan di antara para
migran di negara tujuan. Modal sosial di daerah tujuan dibangun oleh masyarakat
yang datang terlebih dulu merupakan aset bagi para pendatang baru dan
potensial. Di sisi lain, Brettell menyimpulkan dari wawancara bahwa migrasi dalam
konteks tingkat migrasi yang tinggi dipandang sebagai transisi jalan hidup yang
diharapkan; diharapkan sebagai mana halnya pendidikan atau pekerjaan. Dengan
karakteristik tersebut, maka hal ini menjadi penanda baik bagi identitas individu dan kelompok (
"menjadi Portugis untuk melakukan emigrasi atau memiliki seseorang dalam suatu
keluarga emigran" p. 4). Makna budaya migrasi dalam pengertian ini merupakan
identifikasi simbolik.
Brettell menempatkan pengalaman migrasi penduduk Portugis ke dalam
perspektif sejarah, kemudian analisis adalah kedua pola kecenderungan historis
imigrasi Portugis di negara-negara tujuan serta konsekuensi bias gender dari
aliran migrasi-keluar dari Portugal tersebut. Secara khusus Brettell tertarik
pada konsekuensi migrasi-keluar pada struktur rumah tangga, pengaturan hidup,
dan aktivitas ekonomi perempuan yang ditinggalkan sebagai single, menikah, dan
janda (baik dalam arti harfiah atau sebagai janda virtual dengan suami masih
hidup namun suami tidak ada). Untuk studi kasus penelitian ini dilakukan pada
paroki Santa Eulalia de Lanheses di Northwestern Portugal, yang memungkinkan
untuk dapat dilakukan rekonstruksi informasi penting selama periode antara
tahun 1850 dan 1920. Salah satu temuan yang paling luar biasa adalah bahwa
banyak rumah tangga yang muncul dan menjadi mandiri, secara geografis
berkerumun bersama dalam satu garis kekerabatan perempuan; pada kenyataannya,
mereka merupakan semacam rumah tangga yang diperpanjang dan terbentuk sebagai
konsekuensi dari intensitas laki-laki yang melakukan migrasi keluar.
6. Perspektif
Masa Depan
Demografi antropologi adalah bidang penelitian yang berkembang dan telah
menghimpun para ahli dari dua disiplin ilmu untuk mempelajari topik yang sama. Definisi
yang terus dikembangkan dari tahun ke
tahun di perbatasan disiplin ilmu tersebut. Pengembangan yang terus-menerus
dilakukan oleh komunitas riset secara aktif dan telah mencapai kemajuan secara konseptual dan secara analitis telah mengiringi
luasnya penelitian empiris di beberapa tahun terakhir. Pembahasan ini memusatkan
perhatian pada elemen kunci dasar teoritis dan metodologis serta tantangan Demografi
Antropologis yang dihadapi oleh para praktisi sampai saat ini.
Harapan yang memungkinkan untuk diwujudkan dengan keberadaan disiplin
ilmu demografi antropologi ini paling tidak ada beberapa hal, sebagai berikut.
Pertama, diharapkan bahwa demografi antropologi banyak menyumbangkan peran
dalam penelitian-penelitian empiris
terutama untuk memahami aspek-aspek yang berkaitan dengan fenomena kependudukan
dalam konteks industri modern. Hal ini telah terlihat selama ini bahwa dalam
bidang kajian migrasi dan demografi sejarah. Konsekuensi demografi budaya
reproduksi, kelompok, penduduk usia lanjut, dan kesehatan masyarakat, masih
belum banyak diteliti oleh para ahli demografi antropologis. Memang, mudah
untuk membayangkan perlunya penggunaan pendekatan demografi antropologis untuk
meneliti berbagai nilai-nilai secara simbolik mengenai teknologi reproduksi dalam
atau yang menentukan keadaan politik dan ekonomi mengenai penduduk usia lanjut.
Kedua, dialog antara antropologi dan demografi dapat diperpanjang sehingga
beberapa cabang tetap pada margin studi populasi. Salah satu contoh adalah
antropologi kognitif (D'Andrade 1997 [1992]), yang dapat menunjukkan sebuah
studi sistematis mengenai cara seseorang membangun skema budaya serta peran
gender, dengan mengkaji mengenai bagaimana kondisi penduduk usia lanjut, cara perawatan,
jenis penyakit, identitas dan lain sebagainya. Pendekatan ekonomi politik belum
sepenuhnya dilakukan untuk pembaharuan demografi institusional. Dalam kedua
penjelasan di tingkat konteptual masih didominasi oleh konsep yang kaku secara
institusional. Konsep seperti itu membatasi demografi institusional dalam
lingkup dampak institusi tertentu terhadap
perilaku individu. Hal yang dibutuhkan adalah penggabungan interaksi antara
lembaga individu dan lembaga-lembaga, serta bagaimana cara institusi-institusi
budaya, ekonomi dan politik saling terkait dalam perspektif sejarah.
Ketiga, sejak masa awal munculnya sampai pada antropologi mendudukung
teknik demografi yang lebih canggih seperti analisis peristiwa sejarah dan melakukan
kajian komparatif, serta berkomitmen untuk membuat kolaborasi dalam tim
multidisiplin yang lebih baik dan melakukan pengembangan demografi antropologi secara
lebih pesat. Menurut David Kertzer, "banyak projek antropologi pada
topik-topik seperti fertilitas dan migrasi yang berlangsung tanpa mengacu pada
literatur demografi" (Kertzer 2006: 543). Meskipun demografi antropologi
mendapatkan wilayah kajian secara khusus dalam demografi, berkat kontribusi
penting yang telah dibuat, komunitas ahli demografi belum bulat meneriman dalam
batas-batas tertentu. Beberapa perwakilan dari demografi lebih memilih untuk
menentukan inti dari bidang mereka dengan metode analisis formal, dan membatasi
ilmu yang mempelajari perubahan populasi dan struktur dalam ukuran kuantitatif.
Dengan definisi tersebut, sebagian besar penelitian yang didedikasikan untuk mengungkap
penyebab dan konsekuensi dari perubahan demografi seharusnya tidak lagi
dianggap sebagai bagian dari pekerjaan demografi saja. Namun, jika demografi
dianggap sebagai ilmu yang menganalisis penyebab dan akibat proses populasi, maka
sebagaimana pendapat Bozon (2006) menyatakan bahwa "demografi
komprehensif", dengan demikian, maka demografi antropologi akan terus
memberikan wawasan yang unik ke dalam peran budaya dan kompleksitas kekuatan
institusional global dan lokal dalam proses tersebut.
Referensi
Aaby P. (1998), Are men weaker or do
their sisters talk too much? Sex differences in childhood mortality and the
construction of biological differences. In: in Basu, A. and P. Aaby (eds.) The
Methods andthe Uses of Anthropological Demography, Oxford, Clarendon Press:
223-245.
Basu, A. and P. Aaby (1998).
Introduction: Approaches to Anthropological Demography, in Basu, A. And P. Aaby
(eds.) The Methods and the Uses of Anthropological Demography, Oxford,
Clarendon Press, 1-21.
Basu, A. and P. Aaby (1998). The
Methods and the Uses of Anthropological Demography. 329 pp.
Oxford,Clarendon Press
Bernardi, L. and I. Hutter (eds.)
(2007 forthcoming). The Anthropological Demography of Europe,Demographic
Research
Bernardi, Laura (2007). An Introduction to Anthropological
Demography. MPIDR WORKING PAPER WP 2007-031, Rockstock: Max-Planck-Institut für
demografische Forschunghttp://www.demogr.mpg.de/papers/working/wp-2007-031.pdf
Bledsoe, C. (2002). Contingent
Lives, 396 pp. Chicago, the University of Chicago Press.
Bledsoe, C. (1990). No success without
struggle: social mobility and hardship for foster children in Sierra Leone. Man,
New Series, 25(1), 70-88.
Bozon, M. (2006). The Contribution of
Qualitative Methods to Demography, Demography. Analysis andsynthesis,
Vol 4 (ed. G. Caselli, J. Vallin, G. Wunsch), 731-744 Brettell C. (2003). Anthropology
and Migration. Essays on Transnationalism, Ethnicity and Identity, pp. 238,
New York, Altamira Press.
Caldwell, J., P. Caldwell, B.
Caldwell, D. Eversley, A. G. Fix, N. Howell; M. Nag, C Taeuber, and F. Van de
Walle (1987). Anthropology and Demography: The Mutual Reinforcement of Speculation
andResearch [and Comments and Reply] Current Anthropology, Vol. 28 (1),
25-43.
Caldwell, J, A Hill, and V. Hull
(1988). Micro-Approaches to Demographic Research, 500 pp. London, Kegan
Paul International
Carter, A. (1998),. Cultural Models
and Demographic Behavior. The Methods and the Uses of
Anthropological
Demography, Oxford, Clarendon Press (eds. Basu, A. and P. Aaby), 246-268.
Cleland, J., & Wilson, C. (1987).
Demand Theories of the Fertility Transition: An Iconoclastic
View. Population Studies, 41(1), 5-30.
D'Andrade, R.G. (1997[1992]) Schemas
and motivation. In: D'Andrade R. and C. Strauss (eds.), Human Motives and
Cultural Models. Cambridge: Cambridge University Press : 23-44
Firth, R. (1983, 1936) We, the
Tikopia, 374 pp., Boston, Beacon.
Fortes, M. (1943), A note on Fertility
among the Tallensi of the Gold Coast, Sociological Review 35 :99-113
Fricke T. (1997) Culture theory and
demographic process: Towards a thicker demography, in
Kertzer, D. and T. Fricke (eds.) Anthropological
Demography. Towards a New Synthesis, Chicago, The University of Chicago
Press :248-277 .
Geertz, C. (2000[1973]). The
interpretation of cultures, 480 pp. New York: Basic Books.
Greenhalgh, S. (ed.) (1995), Situating
Fertility, 304 pp., Cambridge, Cambridge University Press
Hammel, G. (1990). A Theory of Culture
for Demography, Population and Development Review, Vol 13(3), 455-485
Hammel G., and N. Howell (1987), Research in population and Culture: an
Evolutionary Framework, Current
Anthropology 28(2), 141-160.
Howell, N. (1986). Demographic
Anthropology. Annual Review of Anthropology, 15, 219-246.
Harris, M. and E. B. Ross (1987), Death,
Sex, and Fertility, 227 pp. New York, Columbia University Press.
Johnson-Hanks (2006). Uncertain
Honour. Modern Motherhood in an African Crisis, 301 pp., Chicago, The
University of Chicago Press
Kertzer and Fricke (1997), Anthropological
Demography. Towards a New Synthesis, pp. 294. Chicago, The University of
Chicago Press
Kertzer and Fricke (1997). Toward an
Anthropological Demography, in Kertzer, D. and T. Fricke (eds.) Anthropological
Demography. Towards a New Synthesis, Chicago, The University of Chicago Press,
1-35.
Kertzer, D., & Dennis Hogan.
(1989). Family, Political Economy, and Demographic Change. Madison, Wisconsin.
MPI 775 290: The University of Wisconsin Press.
Kertzer D. (2006), “Anthropological
demography”, In: Dudley Poston and Michael Micklin (eds.), The Handbook of
Population. New York: Plenum, 17, 525-547.
Knodel, J., & van de Walle, E.
(1979). Lessons from the past: policy implications of historical fertility studies.
Population and Development Review, 5(2), 217-245.
Leibenstein, H. (1981). Economic decision
theory and human fertility behavior: A speculative essay . Population and
Development Review, 7(3), 381-400.
Lesthaeghe, R.J. (1980). On the Social
Control of Human Reproduction. Population and Development Review, 6(4):527-548.
Marpsat M., (1999) Les apports
réciproques des méthodes quantitatives et qualitatives : le cas particulierdes
enquêtes sur les personnes sans domicile, pp 10. Paris: INED
Massey, D.S. (1987). The Ethnosurvey
in theory and practice. International Migration Review, 21 (4),1498-1522.
McDonald, P. (2000). Gender Equity,
Social Institutions and the Future of Fertility. Journal of Population Research,
17(1), 1-16.
McNicoll (1980). Institutional
Determinants of Fertility Change, Population and Development Review 6:441-462.
Netting, (1981) Balancing on the Alp:
Ecological Change and Continuity on a Swiss Mountain
Community, 270 pp. New York: Cambridge
University Press.
Radcliff-Brow A. R. (1964) The
Andaman Islanders, 510 pp., Glencoe, Free Press
Roth A. E. (2004). Culture, Biology,
and Anthropological Demography, pp 217. , Cambridge, Cambridge University
Press
Schneider, J., & Schneider, P.
(1984). Demographic transitions in a Sicilian rural town. Journal of Family History,
fall, 245-272
Schneider and Schneider (1996) The festival
of the Poor, 322 pp., Tucson, The University of Arizona Press.
Scherper-Hughes, N. (1992). Death
without Weeping. The Violence of Everyday Life in Brazil, 614 pp. Los Angeles,
University of California Press Schacht, R. (1981). Estimating Past Population
Trends. Annual Review of Anthropology, 10:119-140.
Sherper-Hughes (1997). Demography
without Numbers, in Kertzer, D. and T. Fricke (eds.)
Anthropological
Demography. Towards a New Synthesis, Chicago, The University of Chicago
Press, 201-222.
Townsend, N. (2002). Cultural Contexts
of Father Involvement. In C. S. Tamis-LeMonda & N. Cabrera(eds.), Handbook
of Father Involvement, Mahwah, Lawrence Erlbaum Associates 249-277
Townsend, N (2000). Male Fertility as
a Lifetime of Relationships: Contextualizing Men's Biological Reproduction in
Botswana, in Fertility and the Male Life Cycle in the Era of Fertility
Decline. In Bledsoe, C. , S. Lerner, and J. Guyer (eds.), Oxford University
Press, Oxford: 343:364
Watkins C., S. (1986). Conclusions:
The Decline of Fertility in Europe. In A. J. Coale & S. C. Watkins (Eds.), The
Decline of Fertility in Europe. Princeton: Princeton University Press
[1]
Agensi dapat diartikan sebagai
kapasitas manusia yang memiliki pengaruh pada kesempatan-kesempatan dalam
kehidupan mereka sendiri dan orang-orang lain yang memainkan peran dalam
formasi realitas sosial di mana mereka berpartisipasi.