‘‘Jika sekolah
hanya untuk sekedar berjalan sebagaimana bisnis”. Hal ini sering terdengar
terutama untuk sekolah-sekolah swasta, di mana terbentukknya lembaga lebih
berorientasi bisnis pelayanan pendidikan. Hal ini menghantui beberapa kepala
sekolah dan guru, karena dari kondisi semacam ini mereka merasa ada sesuatu
yang hilang, dan seakan terbawa arus ke arah yang salah. Hal ini menjadi
penghambat untuk memperoleh kebanggaan ketika semua itikad baik dalam bekerja
tidak juga terukur. Namun, kita coba untuk melihat hal lain sebagai bahan
perbandingan. Apa makna sesungguhnya dari semua ini? Apa yang membuat suatu bisnis menjadi sukses? Seperti
inikah struktur dan strategi? Apakah teknologi ini ataukah tujuan yang jelas?
Atau mungkin standar baku mutu dan akuntabilitas yang ketat?
Suatu kebenaran lebih dalam
daripada sekedar alasan umum tersebut. Dalam bidang bisnis, hal tersebut sangat
jelas sejernih kristal: budaya dari suatu
perusahaan selalu memainkan peranan dominan dalam performa yang patut
diteladani. Organisasi-organisasi yang terhormat telah berevolusi dalam
jalinan norma-norma serta penanaman tradisi kerja yang penuh makna, semangat dan
cita-cita. Hal ini terbukti secara meyakinkan dengan kata-kata budaya yang
merupakan hal utama dalam bisnis secara leksikal. Setiap pimpinan perusahaan
yang menjalankan bisnisnya akan bicara tentang kesuksesannya menyebutkan dalam
beberapa menit pertama.
Kita mendapatkan bahan pertimbangan
dengan beberapa contoh terkenal. Howard Schultz, CEO Starbucks, mengatakan sebagai
berikut: ''Sebuah perusahaan dapat tumbuh besar tanpa kehilangan semangat dan
kepribadian yang selama ini dibangun, namun hal itu hanya tidak hanya didorong oleh keuntungan
tetapi lebih didorong oleh nilai-nilai dan banyak orang. . . kuncinya adalah
dengan hati. Saya mencurahkan hati saya ke dalam setiap cangkir kopi, dan
begitu juga mitra saya di Starbucks. Ketika pelanggan merasakan, dan memberikan
tanggapan yang baik. Jika Anda menuangkan hati Anda ke dalam pekerjaan Anda,
atau ke setiap perusahaan yang layak, Anda dapat mencapai mimpi yang mungkin
tidak masuk akal bagi orang lain'' (Schultz & Yang, 1997, hal. 8).
Contoh lain, masih pada sekitar
kisah klasik Lou Gerstner dari IBM, ia memulai perbaikan secara struktural, dan
mengatakan: '' Hal terakhir yang dibutuhkan IBM adalah visi.'' Tetapi saat ia bersembunyi
dibalik sopan-santun perusahaan, ia menyadari bahwa bersembunyi dibalik merek
ternama merupakan pengabaian dari permasalahan yang sesungguhnya yang
semestinya dihadapi. IBM telah melambung berkat nilai-nilai dan berbagai cara
yang pernah membuat menjadi salah satu organisasi yang paling sukses di dunia.
Strategi ini kemudian menjadi salah satu yang lebih merupakan kebangkitan
daripada reformasi. Beberapa tradisi untuk membuang hal-hal yang menghambat
atau yang dapat membersihkan ternoda, dipelukan perhatian khusus untuk
mengembalikan kemilau sejarah atas kesuksesan di masa lalu. Gerstner
menyimpulkan setelah terkenal, jatuh, dan kemudian bangkit untuk suksesnya IBM,
dikatakannya: '' Saya lihat di waktu saya di IBM, bahwa budaya bukan hanya
salah satu aspek dari permainan –namun budaya adalah permainan itu sendiri''
(Gerstner, 2002, hal 182.).
Berikutnya di luar contoh dunia bisnis, yaitu dari Korps Marinir AS. Dalam buku “Making The Corps”, Thomas Ricks (1997) mengatakan bahwa budaya sebagai perekat simbolis yang telah mempersatukan kebersamaan Korps yang mengiringi seluruh kampanye militernya. Dia mengatakan, '' Budaya –yang merupakan, nilai-nilai dan asumsi yang membentuk rasa keanggotaan mereka - adalah semua yang dimiliki oleh para Marinir. Hal Ini adalah sesuatu yang mengikat kebersamaan mereka. Sekalipun mereka merupakan bagian yang terkecil dari layanan militer AS, dan terdapat beberapa hal yang paling menarik. Hal ini merupakan budaya terkaya: formalistik, kesetiaan, elitis, memiliki jangkar kuat serta mendalam pada sejarah dan mitologi '' (p 19.) Mereka sendiri.
Terdapat banyak contoh lain dalam berbagai perusahaan. Inti dari semua ini adalah bahwa pendidikan tampaknya akan belajar dari pelajaran yang diperoleh dari kesalahan yang pernah dilakukan, yaitu cara bisnis yang sangat konvensional dengan fokus hanya pada keuntungan dan tujuan keuangan jangka pendek terukur. Dan Pendidik selalu dipaksa untuk menghindari mengadopsi praktek-praktek organisasi terbaik. Jika sekolah ingin meniru organisasi lain sukses, maka orangtua, guru, dan administrator harus melihat pada tradisi lokal, tata cara, dan impian mereka. Dan peforma ini harus menjadi sesuatu yang berkelanjutan, pengawasan ketat, dan tidak hanya pengawasan sebagai formalitas sambil lalu. Pelajaran berharga lain yang dapat diambil dari bisnis seperti IBM adalah seberapa cepat tradisi budaya dapat melemahkan atau dan salah arah. Starbucks pun dihadapkan keadaan ini pada tahun 2007. buku Schultz, “Pour Your Heart In To It”, diterbitkan pada tahun 1997 ketika perusahaan itu merasa dicemburui bisnis lain dan produknya mendominasi palet kopi konsumen. Pertumbuhan Starbucks sangat fenomenal (mencapai100 sampai 123.000 toko dalam sepuluh tahun), dan tentu saja dengan keuntungannya. Namun sebuah memorandum dari Schultz untuk eksekutif senior pada tahun 2007 yang menyoroti sisi sinis dari kesuksesan tersebut:
Banyak orang mengatakan bahwa toko kami steril, seperti pemotong kue, yang tidak lagi mencerminkan semangat kemitraan yang dirasa pada kopi kami. . . toko tidak lagi memiliki jiwa masa lalu dan mencerminkan sebuah rantai toko versus perasaan hangat dari toko disekitarnya .... Dengan demikian Sudah waktunya untuk kembali ke inti dan melakukan suatu perubahan yang diperlukan untuk membangkitkan warisan, tradisi, dan gairah kita semua miliki dari pengalaman Starbucks di masa lalu.'' (''BigQuiz,'' 2007)
Banyak dari perubahan dan
pertumbuhan Starbucks yang disebabkan oleh segala sesuatu yang tampak tidak
berbahaya, karena secara rasional mereka selalu tampak lebih unggul cara-cara
lama. Melakukan otomatisasi dengan mesin espresso dapat meyakinkan secangkir memiliki
rasa minuman kopi yang lebih, tetapi dibalik itu semua melemahkan dan cita rasa
citra barista lokal. Pengemasan biji kopi bersegel dalam kantong kedap udara untuk
mempertahankan kesegaran dengan mengorbankan aroma label toko kopi segar.
Singkatnya, pertumbuhan Starbucks dan otomatisasi bergabung untuk '' [dengan
mengorbankan] yang 'nuansa romantis dan teatrikal' dengan referensi pengalaman
coffeeshop demi efisiensi dan keuntungan '' ( '' Show Tracker, '' 2007).
Perusahaan pernah menutup semua toko pada suatu sore di tahun 2008, saat itu
dilakukan “reculture dan retune” untuk barista Starbucks. Waktu akan menunjukkan
apakah pemasok kopi bisa mengembalikan jantung dari perusahaan. Tetapi jelas
bahwa fokus baru pada nilai-nilai inti organisasi, menghubungkan kembali pada sejarah dan pengetahuan.
Jika seseorang ingin mendapatkan
sinkronitas antara bisnis dan sekolah, pengalaman IBM dan Starbucks menyarankan
tempat untuk memulai yang menjanjikan. Seperti Starbucks dan IBM, sekolah telah
bergeser dari akar budaya tradisional. Tetapi, pergeseran yang terjadi pada
sekolah lebih disebabkan oleh mandat
legislatif, sebagaimana pengabaian pada muatan lokal.
Selama beberapa dekade, organisasi pendidikan telah dihujani oleh inisiatif reformasi eksternal. Sebagian besar upaya dari niat baik ini telah berusaha membuat sekolah menjadi lebih rasional dan maju secara teknis, dengan mengadopsi cara-cara sebagai mana perusahaan dan bisnis yang sukses. Standardisasi, nilai tes, dan metode berbasis penelitian telah menggantikan kearifan lokal, iman, kreativitas, dan kecerdikan pengajar.
Hal yang ditemukan secara tidak
sengaja adalah tersingkapnya serat-serat simbolik yang pernah menjadi pusaka
yang memberikan semangat, gairah, tujuan, dan makna suatu badan usaha. Apa
tempat yang pernah menyenangkan dari janji, dan harapan selama ini lebih mirip
dengan pabrik mekanik yang hanya bertekad memproduksi sebagian kecil dari hal yang
dibutuhkan dan yang diinginkan oleh orang terdidik dalam masyarakat. Sebagai mana dinyatakan oleh
Departemen Pendidikan Amerika Serikat dalam komentarnya di tahun 2007, '' Jika
tidak dapat diukur, kami tidak akan tertarik pada hal tersebut.''
Buku ini berusaha secara konsisten
mengembara dan mengurai makna simbolis tentang sekolah, serta menegaskan pentingnya
budaya dan bagaimana mendukung dengan memberikan nutrisi supaya kinerja lebih baik -tidak hanya pada hasil
tes tetapi sepenuhnya ke ranah sosial, emosional, dan komunal, sebagaimana kita
harapkan pada sekolah untuk mencapai hal
tersebut. Banyak aspek yang tidak mudah nilai atau diukur, walaupun demikian hal
tersebut penting. Prestasi mereka harus diakui yang sebagian besar berupa
kedisiplinan dan percaya pada mereka yang mengajar.
Situasi di Ethiopia dapat
dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan. Ethiopia percaya bahwa Tabut
Perjanjian dibawa ke negara mereka untuk disimpan dengan aman. Hal itu
merupakan suatu acara di sebuah kapel kecil, dihadiri oleh seorang biarawan
yang disebut sebagai “penjaga bahtera. '' Bagaimana dia diasumsikan memiliki peran
atau bagaimana ia nanti akan diganti ketika dia meninggal adalah misteri. Dia
adalah satu-satunya yang telah melihat kitab perjanjian tersebut. Bahkan
pemimpin agama tertinggi negara tidak pernah melihat harta suci sebut. Hal
tersebut tidak perlu. Kekudusan dari Gereja Orthodok Ethiopia (a Ph.D.
Princeton) mengatakan: '' Tidak ada klaim kebenaran dalam hal ini.... Aku masih
dilarang melihatnya. Penjaga bahtera adalah satu-satunya orang di bumi yang
memiliki kehormatan tiada taranya '' (Raffaele, 2007, hlm. 40-41). Selain itu
ada pula yang menyetujuinya. Seorang pendeta juga mengatakan: '' Kami tidak
perlu bukti karena hal tersebut merupakan fakta. Para biarawan di sini telah
diwarisi selama berabad-abad. . . . Ini adalah tabut (replika dari tablet tabut
tersebut) yang menkuduskan gereja, dan tanpa semua kekudusan itu maka tak lebih
hanya sekedar kadang keledai '' (hlm. 42). Seorang Uskup Agung Gereja Ortodoks menegaskan bahwa:
''cerita ini diturunkan dari generasi ke generasi oleh para pemimpin gereja
kami, dan kami mempercayai hal tersebut sebagai fakta sejarah... itulah alasan kami selalu dan akan terus menjaga tabut di
setiap gereja di Ethiopia'' (hlm. 42).
Kondisi negeri Amerika
kontemporer, keteguhan iman tampaknya hampir tak terbayangkan. Kita sebagai
peneliti menginginkan ingin bukti nyata, bahkan ketika topik menarik tersebut adalah
unquantifiable/tak dapat diukur. Namun banyak bisnis-bisnis tingkat tinggi yang
bekerja pada level keimanan: ''Kami memiliki keyakinan, bahwa kepercayaan tidak
berwujud, dan nilai-nilai pada akhirnya akan menghasilkan kesuksesan keuangan
''. Budaya pada organisasi yang sukses muncul sebagai
mana wahana makna yang berada di suatu tempat antara misteri dan matrik. Hal ini
adalah perekat, harapan, dan iman dianut sebagai milik bersama: '' Tidak ada
yang layak dilakukan untuk dapat diraih dalam hidup kita; oleh karena itu kita
harus diselamatkan oleh harapan. Tidak ada yang benar atau indah atau sepenuhnya
cukup masuk akal dalam konteks sejarah secara langsung; oleh karena itu kita
harus diselamatkan oleh iman. Tidak ada yang kami lakukan, namun dengan berbudi
luhur, segalanya dapat tercapai dengan sendiri '' (McCain & Salter, 2008,
hal. 338). Cara yang menggembirakan dengan berpikir untuk memetakan masa depan
kita untuk menjadikan sekolah-sekolah menjadi lebih baik: menghidupkan kembali
jiwa dan semangat sebagaimana yang dimiliki perusahaan/organisasi usaha, tujuan
mulia dan penting.
Ketika dihadapkan pada suatu
kondisi bahwa lembaga pendidikan bukan hanya untuk tujuan pendidikan namun juga
tidak lepas dari hakikat suatu bisnis, untuk menyangga keberlangsungan, ataupun
kemajuan di masa yang akan datang. Pertimbangan profit seringkali membuat
tujuan mulia pendidikan mulai terabaikan. Orientasi profit kemudian menjadi
sesuatu yang jauh lebih utama tanpa fokus pada peningkatan kualitas.
Peningkatan kualitas memang tidak menjanjikan profit dalam jangka pendek, namun
untuk keberlangsungan jangka panjangnya hal ini tidak dapat dipungkiri.
Perusahaan yang besar sekalipun menyadari, namun mengapa beberapa lembaga
pendidikan yang seharusnya memiliki budaya, semangat, dan tujuan-tujuan mulia
justru hanya sebatas motto, jargon, dan banner?! Mungkin hal ini perlu
direnungkan bersama.
Referensi :
Schultz, H., & Yang, D. J. (1997). Pour your heart into it: How Starbucks built a company one cup at a time. New York: Hyperion.
Gerstner, L. V. (2002). Who says elephants can’t dance? Leading a great enterprise through dramatic change. New York: HarperCollins.
Ricks, T. E. (1997). Making the corps. New York: Scribner.
Show tracker: ‘‘Battlestar’’ kills Starbuck, but how dead is she? (2007, March 5). Los Angeles Times. Retrieved April 1, 2007, from Los Angeles Times.
Big quiz 2007: The year in business. (2007, Dec. 30). Seattle Times. Retrieved February 24, 2008, from Seattle Times.
Raffaele, P. (2007, December). Keepers of the lost ark? Smithsonian Magazine, 40–41.
McCain, J., & Salter, M. (2008). Hard call: Great decisions and the extraordinary people who made them. New York: Twelve.