Rabu, 18 Mei 2016

FILOSISOFI RISET KEPEDIDIKAN (31): Intensional, Subjektivitas, dan Fenomenologi dalam Teori Interpretif

Distingsi/ pemilahan yang telah digambarkan antara benda-benda fisik dan pribadi-pribadi pada akhir-akhir ini, namun bukanlah pembentuk, penafsir, atau melampirkan makna pada satu orang ke orang lain. Untuk memahami orang lain, dibutuhkan pemahaman interpretasi yang diberikan mereka terhadap apa yang mereka lakukan. Kita harus mengetahui apa niat mereka. Pada pembahasan di artikel-artikel sebelumnya, Pring telah menjelaskan aspek mengenai niat yang dapat kita identifikasi dari tindakan-tindakan tertentu. Apa yang tidak dapat kita pahami sebagaimana berbagai perilaku mereka yang dapat diobservasi. Dalam  perilaku-perilaku tersebut termuat berbagai niat. Hal ini yang muncul di sini dapat dilihat dari penanda seperti misalnya tempat yang dipilih, sikap tubuh, atau tindakan-tindakan ingin merebut perhatian. Hal ini dilakukan tergantung dari maksud pelaku. 
Penjelasan mengenai perilaku mereka, dapat diperoleh dari berbagai niat dan motif-motifnya. Kita sebaiknya juga memahami atau menafsirkan situasi-situasinya. Untuk alasan tersebut, maka para peneliti perlu membicarakan berbagai pemaknaan subjektif dari para pelaku yang diteliti - hal ini merupakan perbedaan pemahaman dan penafsiran mengenai situasi yang dibawa oleh peneliti pada para pelaku. Jika seseorang menambahkan keyakinan/pemaknaan dunia sosial yang dibentuk oleh niat dan pemaknaan oleh pelaku sosial, maka tidak akan ada pembicaraan kajian secara objektif. Berpikir terbalik akan dapat membuat lebih konkrit (memperlakulan objek-objek tidak terikat pada pemikiran kita tentang mereka) yang dalam kreasi-kreasi aktor sosial dalam pemikiran dan niat kita sendiri. Kita masing-masing berada dalam dunia subjektif pemaknaan melalui penafsiran kita terhadap dunia sosial kita. Memang, dunia sosial kita tidak lebih dari pemaknaan pemaknaan yang kita lakukan. 
Paling tidak hal ini nampak sebagai penampakan populer, dan merupakan hal yang dilakukan terlalu untuk para peneliti yang sedang berusaha mengungkap penafsiran-penafsiran situasi yang dilakukan oleh aktor-aktor sosial. Ini 'menerangi' apa yang telah terjadi. Jika tidak kita paksakan pada interpretasi situasi yang bukan dari para pelaku ataupun dari partisipan. Dan dengan kata lain, interpretasi bukan dipahami melalui situasi ini.
Meskipun begitu, kita perlu berhati-hati. Karena akan muncul pertanyaan, Apakah tidak mungkin aktor sosial salah menafsirkan tindakan baik sendiri dan orang lain? Mungkin hal tersebut tidak menjadi kasus , bagi orang lain mungkin dapat memberikan yang lebih baik dan lebih benar mengenai tindakan “saya” daripada “saya “sendiri?  Kita  berbicara tentang penolakan diri atau tidak memahami seluruh gambaran diri. Orang lain mungkin dapat melihat ambisi yang gagal dilihat oleh agen itu sendiri. Hal seperti ini harus jelas, seperti bagian tertentu yang menciptakan jurang antara jenis penelitian dalam tradisi positivis dan penelitian yang menekankan intensionalitas aktor sosial. Dengan demikian maka,  mungkin perbedaan tertentu memang perlu dibuat, untuk mencerminkan tradisi yang berbeda mengenai penjelasan  sosial. Mari kita mulai dengan fenomenologi, yang sepertinya memiliki pengaruh yang kuat.
Bagian yang mendukung aliran baru dalam sosiologi mengacu pada karya-karya Alfred Schutz (1972), yang berusaha menegakkan dasar-dasar sosiologi fenomenologi. Schutz sendiri menentukan bahwa fenomenologi berkaitan dengan filsuf Edmund Husserl. Hal ini sulit untuk dipahami dalam kata-kata yang ringkas, sebagaimana para filsuf mengatakannya. Namun Husserl menyediakan tempat untuk penjelasan mengenai kesadaran manusia yang bebas dari prasangka. Untuk melakukannya dibutuhkan jenis kemampuan khusus dari refleksi mendalam melalui pengalaman yang dialami secara langsung. Seperti pengalaman-pengalaman yang mendalam dalam pengalaman-pengalaman tentang sesuatu. Namun alam dari pengalaman ini diungkap dalam sisi subjektif, tidak mengacu pada keberadaan yang bebas dari pengalaman. Hal ini merupakan objek-objek sebagaimana yang dialami dalam pikiran, dan dicirikan oleh salah satu dari kesadaran mereka –bentuk dan warnanya relevan dan signifikan, dengan demikian hubungan sebab akibat dibuat dengan objek-objek lain, serta ide-ide disulap dan dihubungkan-hubungkan.
Tentu saja pengalaman kita begitu selektif, dan prinsip seleksi tersebut  umumnya memiliki relevansi dengan kebutuhan yang dirasakan. Mode pengalaman tersebut tidak memerlukan apakah itu adalah realitas obyektif, seolah-olah tidak berkaitan dengan apapun selain pengalaman itu sendiri. Demikian salah seorang merepresentasikan orang lain dengan cara fenomenologis. Hal ini bukan soal bagaimana mereka dalam diri mereka, dan lebih pada masalah bagaimana mereka mengalami pengalaman, dan bagaimana diri mereka dibangun oleh pengalaman subjektif seseorang.
“The Stranger”, essay yang di tulis oleh Schutz (1964) menggambarkan tentang seorang pengunjung yang datang di suatu masyarakat yang asing. Apakah orang asing memaknai dibayangi dengan prasangkanya sendiri - dengan interpretasi subjektif sendiri. Namun dia perlu memahami bagaimana praktik kehidupan sehari-hari yang dibentuk oleh makna subjektif dari anggota masyarakat yang telah masuk.  Jika  tidak, dia tidak akan bertahan. Pemahaman sehari-hari masyarakatnya akan selalu menganggap pendatang tersebut orang baru. Interpretasi- interpretasi yang tertanam dalam praktek masyarakat baru seringkali tidak sesuai dengan prasangka dari orang asing, karena interpretasi tersebut diciptakan dan dipelihara keberadaannya hanya melalui interpretasi dari anggota dalam masyarakat yang terlibat dalam praktek keseharian. Entah bagaimana orang asing itu perlu mendapatkan interpretasi yang sama di dalam masyarakat tersebut, untuk berbagi dalam berbagai aktivitasnya dan menjadi bagian dari masyarakat didefinisikan dan mendefinisikan kembali realitas yang konstan, bahkan dalam memasuki dunia sosial, sehingga dunia akan selalu berubah, dalam proses negosiasi interpretasi dengan orang asing, ketika ia mencoba untuk memahami, dan menjadi bagian lebih lanjut dalam konstruksi realitas sosial. Terdapat interpretasi yang konstan, melalui realitas sosial yang didefinisikan, dan muncul juga re-interpretasi terhadap interpretasi tersebut. Setiap orang membawanya pada negosiasi interpretasi berdasarkan pengalaman unik mereka sendiri. Karena tidak akan ada yang dapat memiliki sejarah hidup orang lain, tidak akan ada yang akan berbagi interpretasi yang sama persis, demikian pula dengan pengalamannya.
Fenomenologis menekankan pada pembuktian pengalaman yang merupakan kombinasi antara claim pengalaman yang disaring melalui pengalaman-pengalaman seseorang yang unik, dan yang menjadi poin-poin penting dari pemaknaan subjektif ataupun interpretasi subjektif terhadap pengalaman dalam pemahaman kita. Seseorang tidak akan dapat menghindari filter dari seseorang yang unik dan juga pengalaman pribadi, perasaan, dan juga pemahaman. Untuk memahami peristiwa tertentu seseorang harus melihat hal-hal dari sudut pandang para partisipan atau masyarakat yang terlibat - bagaimana mereka menginterpretasikan peristiwa, dan oleh karena interpretasi tersebut yang membentuk peristiwa-peristiwa sebagai peristiwa yang memiliki tertentu. Orang mungkin melangkah lebih jauh dan berusaha untuk menjelaskan mengapa orang berperilaku dalam suatu cara tertentu. Kemudian mereka mengambil tindakan dengan mencoba untuk kembali memberlakukan apa yang mereka peroleh dari sejarah hidup mereka, di mana beberapa  tindakan tertentu tersebut merupakan bagiannya . Memang, Collingwood (tahun 1946, The Idea of History, melihat diberlakukannya kembali secara imajinatif merupakan salah satu bagian penting untuk memahami sejarah.
Intepretasi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda untuk dapat dipahami dan menghubungkan pemaknaan untuk melengkapi penjelasan mengenai perkataan atau tindakkan kita.
·         Pertama menayakan makna apa yang yang telah dilakukan oleh seseorang, kita membutuhkan acuan dari niat yang berada dalam suatu tindakan.
·         Kedua, makna dari suatu tindakan ataupun situasi yang mengacu pada makna yang lebih luas dari situasi dan tindakan suatu agen.
·         Ketiga, makna apa yang dikatakan, meskipun terkait dengan pengalaman tertentu dan perasaan dan tidak ada orang lain, mempergunakan kata-kata (dan tata bahasa untuk menempatkan kata-kata yang disepakati) atau kata-kata yang berlaku umum atau 'milik umum'.
·         Keempat, niat yang dimiliki, dan diwujudkan dalam tindakan atau gerak tubuh atau kata-kata, dan memerlukan interpretasi dari orang lain (Kode, simbol, dan tanda/sign).
·         Kelima,  makna suatu tindakan atau dari suatu peristiwa atau teks mengacu pada maknanya yang mungkin jelas bagi orang-orang selain agen.

Pring memberikan catatan penting dalam pembahasan pemaknaan dan interpretasi. Jika pemaknaan subjektif diartikan perasaan (feeling) seseorang, kontasi atau asosiasi pribadi yang menyertai suatu pernyataan, gerak tubuh ataupun tindakan, maka intepretasi subjektif dan pribadi tidak disangsikan lagi batas objektivitas adalah apa yang kita lakukan, katakan, ataupun yang kita percaya. Seseorang dapat melihat, mengapa para peneliti ingin menggunakannya  untuk memahami mengapa orang-orang bertindak dengan berbagai cara sebagaimana yang mereka lakukan (Berpikir jumlah dalil yang hanya memburu persepsi orang-orang yang diteliti). Jika memang kita mengartikan pemaknaan subjektif merupakan suatu cara khusus untuk memahami segala sesuatu mengenai subjek atau agen, maka makna yang  subjektif hanya merupakan hal yang tidak penting (sepele). Semua itu merupakan pemahaman-pemahaman khusus pada seseorang atau subjek tertentu. Namun pemahaman semacam itu merefleksikan kehendak-kehendak yang memberikan informasi-informasi khusus dari tindakan, gerak tubuh ataupun kata-kata, prasangka publik dan dengan demikian dunia objektif aturan sosial dan bahasa melalui perilaku yang dibuat menjadi dapat diterima umum. Dan dengan demikian interpretasi ini mungkin bisa salah. Selanjutnya, pemahaman tentang makna yang dikatakan ataupun tidak, seringkali tidak dapat terobservasi. Mereka seakan menipu diri mereka sendiri. Atau mereka mungkin bersikap dan berperilaku dalam konteks kekuatan sosial dan latar belakan sejarah yang berada di luar pemahaman  mereka.
Memang hal ini mungkin masih dapat dianggap walaupun aturan-aturan yang dibentuk oleh kehidupan sosia dan fakta-fakta sosial (sebagai contoh, aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur hubungan perkawinan) yang merupakan warisan aturan dan tidak tergantung pada makna subjektif dari masing-masing individu, tidak ada yang kurang secara sosial karena dibentuk dan keberadaan mereka masih terus tergantung pada kesepakatan sosial.  Seperti makna-makna yang mengalami perubahan untuk menafsirkan sesuatu yang telah berbeda. Pernikahan homoseksual mungkin tidak akan dimengerti oleh generasi tua, dan hal itu tidak lagi terjadi. Kesepakatan tentang hal-hal yang yang digunakan menafsirkan berbeda menciptakan kembali realitas sosial. Jika bom neutron atau gas saraf dilenyapkan semua manusia, maka tidak akan ada fakta-fakta sosial - meskipun realitas fisik akan tetap. Itu karena secara sosial, -tetapi bukan secara fisik- realitas tergantung pada kesepakatan masyarakat untuk menafsirkan berbagai hal dengan cara tersebut. Demikian pula, cara yang digunakan untuk  menggambarkan  motif, tergantung pada perjanjian dalam kelompok sosial dengan beberapa taksonomi kemungkinan motif. Daftar kebajikan, misalnya, perubahan dari budaya ke budaya. Oleh karena itu, bukan cara tertentu dibentuk untuk menafsirkan orang lain, dan memang diri kita sendiri dibangun secara sosial, dan dapatkah interpretasi tersebut masih akan dipertanyakan?
Jawabannya adalah keduanya 'ya' dan 'tidak'. Tentu saja, sebagai contoh, sekolah sebagai organisasi yang didefinisikan dalam hal aturan yang diterima oleh semua orang di dalam sekolah-sekolah tersebut – hal ini merupakan jenis tertentu dari pengetahuan yang bernilai dan harus diajarkan, otoritas yang harus dihormati, kinerja yang harus dinilai oleh standar eksplisit yang terkandung dalam pemeriksaan sistem, dan lain sebagainya. Dan memang benar bahwa aturan tersebut (dan demikian pula organisasi sekolah) tergantung pada kesepakatan para agen yang berbeda (orang tua, guru, siswa). Realitas sosial sekolah dipertahankan melalui perjanjian tersebut. Terdapat berbagai jenis sekolah di mana mereka memahami diri mereka secara berbeda, perbedaan tersebut dilihat dari segi tujuan pendidikan, keyakinan tentang sifat manusia dan motivasi, cita-cita hubungan guru/ pelajar, --yang disepakati. Oleh karena itu, akan tampak konyol untuk tunduk aturan Summerhill dengan kriteria keberhasilan yang sama sebagai sekolah dipahami dengan cara yang sangat berbeda –tujuan pendidikan, visi misi sekolah berbeda, namun menggunakan indikator keberhasilan yang sama.
Sekali lagi, ranah pembahasan sekolah tersebut - dalam konteks ambisi kepala sekolah, brutalnya dari para siswa, keputusasaan para guru, otoritas lokal birokrasi pendidikan, tekanan dari pengawas - hal ini tergantung pada interpretasi mengenai motif, sikap, aspirasi, niat, penilaian dari orang lain. Lingkup tersebut tergantung pada kejelasan penyajian deskripsi yang miliki. Dan  hal ini juga memungkinkan sebaliknya. Selain itu, mereka mungkin bukan bagian dari kepala sekolah, guru, siswa, pemerintah daerah dan para dipilih. Oleh karena itu, tampaknya kasus ganda bahwa realitas sosial merupakan konstruksi dan hal tersebut mencerminkan makna subjektif dari kedua agen sendiri dan dari orang-orang yang menafsirkan mengenai apa yang agen lakukan.
Di sisi lain, sebagai 'konstruksi sosial', meskipun hal ini dikelola oleh kesepakatan sosial, hal ini merupakan warisan dari dunia di mana kita dilahirkan. Hal tersebut tertanam dalam bahasa yang kita peroleh melalui penggambaran kita tentang dunia sosial yang memiliki hubungan satu sama lain. Setiap rekonstruksi bahwa dunia sosial harus menjadi rekonstruksi 'diberikan'. Selain itu, ranah yang  kompleks untuk menjelaskan dunia memerlukan pembedaan yang memang harus berhubungan dengan ketidaktergantungan realitas dengan upaya-upaya kreatif seseorang. Ambisi kepala sekolah atau keganasan siswa yang didasarkan pada segala hal yang diakui sebagai perilaku didasari kehendak atau niat masing-masing. Mengingat apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut, tuduhan seperti itu mungkin salah. Seseorang tidak dapat langsung menentukan untuk memaknai kepala sekolah sebagai seorang yang ambisius atau siswa brutal.
Fenomenologi berfokus pada kesadaran individu. Oleh karena itu Penelitian fenomenologis bertujuan untuk mengungkap kesadaran subjektif.  Hal ini menekankan pentingnya penafsiran peristiwa atau 'tindakan yang jelas' untuk menemukan makna subjektif '. 'Makna subyektif', bagaimanapun, merujuk baik pada ide-ide dan perasaan yang terkait atau tujuan dan komitmen dari agen – Hal ini terlalu sering membingungkan dalam kajian fenomenologis. Lebih lanjut, hal ini menyatakan bahwa realitas sosial hanyalah konstruksi subjektivitas. Tidak terdapat realitas sosial dalam arti sebagai sesuatu yang muncul secara independen. Penilaian bahwa seseorang bertindak dari ini atau itu, sehingga motif hanyalah interpretasi subjektif dari suatu peristiwa.
Namun, para pendukung pandangan ini melupakan objektivitas tersirat pada segala hal yang mereka katakan. Makna dari tindakan atau perkatakan tergantung pada keberadaan orang lain yang akan menafsirkan dengan benar, mengenai segala hal yang dikatakan atau dilakukan. Terdapat kebutuhan untuk mensepakati bahasa bersama dan menetapkan aturan-aturan sosial, melalui pemahaman subjektif terbentuk dan niat mereka yang ditafsirkan oleh orang lain. Selain itu, perbedaan yang dibuat dari dunia sosial untuk pembahasan ini, meskipun mungkin hal ini digantikan oleh pembedaan yang lebih bermanfaat, untuk keperluan membayar pada dunia nyata, yang membuat pembedaan tersebut memungkinkan. Makna subjektif, kecuali dalam kasus definisi ketiga di atas, adalah parasit pada pengetahuan mengenai realitas objektif dan bukan sebaliknya. Mengutip Bhaskar (1989: 4), 'praktek sosial tidak terbuang oleh aspek konseptual mereka' .

Referensi:
Bhaskar, R. (1989) Reclaiming Reality. London: Verso.
Collingwood, R.G. (1946) The Idea of History. Oxford: Oxford University Press.
Schutz, A. (1964) 'The Stranger', in A. Brodersen (ed.) Studies in Social Theory. The Hague: Martinus Nijhoff.
Schutz, A. (1972) The Phenomenology of the Social World. London: Heinemann.

Sabtu, 14 Mei 2016

FILOSOFI PENELITIAN KEPENDIDIKAN (30): TRADISI ARITMETIKA POLITIS

       Pelabelan istilah dalam riset selalu terdapat bahaya- (Pring, 2005: 97) untuk menjadikan semua konsep tersebut lebih konkret (sebagaimana istilah para sosiolog). Namun bahaya menolak sumber dari positivisme, adalah bahwa seseorang mungkin sebenarnya menolak tradisi penelitian pendidikan yang pernah telah terbukti memang sangat bermanfaat. 'Aritmatika politik' dikaitkan dengan tradisi penelitian kuantitatif yang membutuhkan pengumpulan data lapangan, terutama dalam kaitannya dengan gender, etnis dan kelas sosial, dan bermaksud untuk  menemukan korelasi data tersebut dengan kinerja dan prestasi berikutnya. Asumsi (asumsi memang cukup eksplisit dalam beberapa kasus -. Lihat Heath, 2000, hal 314) adalah bahwa salah satu legitimasi yang dapat menunjukkan tentang hubungan kausal antara, katakanlah, kelas sosial dan prestasi akademik, mengingat kekuatan korelasi dalam tradition tersebut, tercermin dalam karya Floud et al. (1956), Halsey et al. (1980), dan Heath et al (1990), menyajikan data bagi mereka yang menentang seleksi penerimaan siswa di sekolah-sekolah tata bahasa (grammar schools) di Inggris. Hal ini menjadi klaim sebagai hal yang 'a-teoretis' dan deskriptif, karena membiarkan fakta berbicara dengan sendiri sendirinya.
Bahaya yang terdapat tradisi positivis tersebut mungkin dikacaukan oleh mereka yang mengasosiasikan positivisme 'obralan', dan mereka yang menolak pendekatan yang valid untuk penelitian pendidikan. Dan bahaya ini tercermin pada terjadinya penurunan jumlah peneliti dalam lembaga-lembaga kajian kependidikan yang terlatih dalam tradisi aritmatika politik. Singkatnya, terjadi kekurangan peneliti kuantitatif yang baik. Tentu saja, di satu sisi, ini bukan 'atheoretical'. Terdapat anggapan bahwa 'fakta berbicara sendiri', bahwa deskripsi, seperti pada kelas sosial, kemudian dapat dikaitkan dengan sekelompok orang yang diharapkan dapat berperilaku dengan cara yang khas dan dapat diprediksi. Kelas sosial itu sendiri menjadi elemen kausal dalam rantai penjelasan pencapaian manusia dan kinerja.
Pada seri artikel sebelumnya edisi 19- 27 (Konsep Kunci dan Penyelesain Konflik), Richard Pring berpendapat (terhadap mereka yang menolak dasar 'positivis' dalam penelitian pendidikan), bahwa masih perlu untuk mempertahankan mengenai gagasan 'fakta sosial' dan 'kausalitas' dalam melakukan penjelasan tentang manusia, serta secara fisik,  dann peristiwa. Ia juga berpendapat bahwa mungkin untuk melakukannya tanpa komitmen pada posisi sebagai determinis total atau penolakan cara khas dari personal dalam dunia dan pengalaman sosial yang ditafsirkan oleh masing-masing individu. Hal ini merupakan kegagalan untuk melihat ini yang menciptakan 'dualisme palsu' antara penelitian kuantitatif dan kualitatif (lihat Edisi 18).
Di sisi lain, terdapat (dan akan selalu ada) kesulitan-kesulitan melalui kesepakatan konsep-konsep ataupun kategori tersebut seperti 'kelas sosial' atau 'etnis minoritas'. Hal ini bukan klasifikasi yang 'menatap rupa'. Dalam konsep-konsep ini adalah cara melakukan klasifikasi yangmenjadi parasit pada konsep yang lebih luas, serta konsep pemahaman budaya masyarakat - di mana pemahaman tersebut akan bergeser sebagai basis ekonomi dari perubahan masyarakat dan pengujian kritis terhadap konsep kita, akan mengikis cara-cara memahami dunia sosial sebelumnya. Hal ini menciptakan permasalan dalam perbandingan longitudinal mengenai 'fakta sosial'.

REFERENSI:
Floud, J., Halsey, A. H. and Martin, F. M. (1956) Social Class and Educational Opportunity. London: Heinemann.
Foster, P. (1999) ' "Never mind the
Halsey, A. H. (1972) Education Priority, Vol. \. London: HMSO.
Halsey, A. H., Heath, A. F. and Ridge, J. M. (1980) Origins and Destinations: family, class and education in modern Britain. Oxford: Clarendon Press.
Heath, A. F. and Clifford, P. (1990) 'Class inequalities in the twentieth century7. Journal of the Royal Statistical Society, Series A, 153.
Heath, A. (2000) 'The Political Arithmetic Tradition in the Sociology of Education7. Oxford Review of Education, 26 (3 & 4).

Pring, Richard (2005) ‘Philosophy of Educational Research: Second Edition’, London: Continuum 

Jumat, 13 Mei 2016

FILOSOFI RISET KEPENDIDIKAN (29): INSPIRASI POSITIVISME PADA RISET KEPENDIDIKAN

POSITIVISME
Pring (2005: 89) memulai dengan ‘positivism’, bukan karena prioritas sistematika kronologis. Para filsuf dari pihak pra sokrates telah menyediakan penjelasan-penjelasan non posisitivis mengenai bagaimana dan mengapa manusia  bertingkah dalam cara tertentu sebagaimana yang mereka lakukan. Namun dalam kesadaran-diri yang sering dan lebih berusaha untuk melakukan penelitian perilaku manusia personal ataupun sosial, semangat positivis nampak memiliki kesempatan paling besar dalam kemajuannya. Kritisisme dalam penelitian kependidikan oleh mereka yang ingin mendapatkan hasil-hasil yang jelas, yang  mendasari kebijakan dan praktek untuk menyebarkan semangat positivisme tersebut. Dan secara filosofis, sejarah penelitian kependidikan akhir-akhir ini penelitian pendidikan telah didominasi oleh konflik yang jelas antara tradisi positivis dan tradisi interpretivist.
Nama yang secara historis paling erat terkait dengan positivisme adalah Auguste Comte, seorang filsuf Prancis abad kesembilan belas. Namun, ia sendiri bekerja dalam tradisi empirisme, yang kemudian diperhitungkan di antara penganutnya filsuf Inggris seperti Locke, Hume dan Bacon. Tradisi ini tidak mempercayai klaim-klaim pengetahuan apa yang tidak dapat diakses oleh observasi. Positivisme tidak mempercayai dan menolak keyakinan filosofis dan agama yang memberikan penjelasan non-empiris tentang dunia. Kata 'positivis' tampaknya menunjuk pada hal yang mempelajari secara sangat sistemati, faktual dan terbuka untuk observasi.
Sebagaimana terlihat yang termasuk sebagai fakta, atau apa yang merupakan merupakan objek-objek dasar observasi yang diartikan tidak ambigu. Apakah hal tersebut seperti gereja-gereja dan sekolah? Atau semua itu merupakan batu bata dan mortir, yang yang diletakakan bersama-sama, kita (tapi tidak ada kemungkinan lain dari budaya yang sangat berbeda) panggilan gereja dan sekolah? Atau hal tersebut pengalaman yang tak tertafsirkan dalam warna, bentuk, suara - dari fenomena pengalaman langsung? (Lihat Ayer, 1963, pembahasan menyeluruh dari 'fenomenalisme', yang sesuai objek-objek fisik yang di-konstruksi-kan dari indera -data.) Tak kurang, di sini merupakan pembahasan yang positif dari hal-hal yang perlu dipahami. Dan cara pemahaman yang secara jelas telah membuktikan dengan sangat produktif menjelaskan fenomena-fenomena dari ilmu-ilmu tersebut dan juga dalam memprediksi apa yang mungkin terjadi di masa depan. Sumbangan utama Comte adalah perluasan agenda positivis ini untuk mempelajari dan penjelasan masyarakat, struktur sosial dan urusan- urusan manusia. Suatu ranah positivis harus merangkul tidak hanya fenomena dunia fisik tetapi juga manusia dalam dunia sosial sebagaimana, dalam kata-kata Carnap, sebagai satu kesatuan ilmu. Ada untuk menjadi ilmu masyarakat.
            Mereka yang sekarang mengutuk agenda positivis perlu mengingat semangat dan motif yang mengendarainya. Terdapat kecurigaan mendalam dari penjelasan-penjelasan tersebut, tanpa bukti yang menjadi dasar dan karena itu tidak secara terbuka melawan argumen yang memang ditopang tatanan sosial yang terlanjur mapan, meskipun ketidakadilan dan kejahatan positivisme begitu jelas. Memang, positivisme mengambil alih peran agama. Bahkan sampai didirikan kuil untuk positivisme; London Positivist Society, didirikan pada 1867, membuka sebuah kuil positivis di Chapel Street di ujung timur London. Terdapat semangat yang hampir setara dengan agama tentang manfaat studi yang tepat untuk memberdayakan supaya masyarakat mampu membawa kepada perbaikan. Tindakan yang efektif diperlukan oleh pengetahuan. Dan tradisi penting dari penelitian sosial berasal dari keyakinan mereka.           
Akhir-akhir ini, semangat dan agenda positivis  tercermin dalam karya Viena Circle pra-perang dunia, sekelompok filsuf bersatu dalam apa yang mereka diyakini sebagai keyakinan yang paling berarti tentang dunia -kemampuan menghitung dan perhitungan sebagaimana yang paling dimengerti sebagai pengetahuan mengenai dunia. Hal terbaik tercermin dalam karya salah satu anggotanya, Rudolf Carnap. Rudolf mengatakan bahwa dasar dari semua pengetahuan harus menjadi pengalaman langsung yang kita miliki. Oleh karena itu, teori-teori dan tubuh pengetahuan- yang kami kembangkan - harus berakhir dalam tujuan puncak yang secara logis direduksi menjadi 'pernyataan dasar' tentang pengalaman-pengalaman walaupun pada pertemuan pertama tidak muncul untuk menjadi pengalaman (meaning absent, red). Bagaimana mungkin sesorang lari dari masalah ini? Agenda yang ditetapkan oleh Lingkaran Wina (Vienna Circle) salah satunya adalah menunjukkan bagaimana semua pernyataan yang bermakna (misalnya dalam ilmu, atau dalam studi sosial) dapat secara logis disusun sebagai suatu pernyataan mengenai pengalaman langsung. Jika hal tersebut tidak dapat begitu tersusun secara baik maka hal itu akan dijadikan sebagai pseudo-statement; dan kita boleh melupakannya. Kita telah merasa tertipu ditipu oleh tata bahasa dari berbagai pernyataan seperti "Tuhan adalah mahakuasa 'atau' Kita harus mengejar kebaikan secara umum di masyarakat 'menjadi percaya bahwa sesuatu yang berarti telah dikatakan. Namun, karena pernyataan tersebut tidak mampu secara logis disusun sebagai suatu pengalaman, maka pernyataan tersebut tidak otentik sama sekali.
            Kemungkinan eksponen paling berpengaruh posisi ini di Inggris adalah A. J. Ayer, yang dengan singkat menjadi anggota Lingkaran Wina dan yang kemudian menjadi Profesor Filsafat di University College London dan Wykeham Profesor Logika di Universitas Oxford. Dalam buku karyanya yang berjudul Language, Truth dan Logic, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1936, Ayer menetapkan prinsip-prinsip logis positivisme - maka dari itu, dinamai 'positivisme logis'. Prinsip utamanya menyatakan bahwa makna proposisi terletak pada modus verifikasi. Demikian:
Kita mengatakan bahwa kalimat faktual yang signifikan untuk diberikan pada setiap pribadi, jika, dan hanya jika, ia mengetahui cara untuk melakukan memverifikasi proposisi yang dimaksud untuk diungkapkan - yaitu, jika dia mengetahui benar pengamatan yang akan membimbingnya, pada suatu kondisi tertentu, untuk menerima proposisi sebagai sesuatu yang benar, atau menolaknya sebagai sesuatu yang palsu. (Ayer, 1946, p. 16)

Hal ini penting adalah mengikuti secara cermat mengenai formulasi tersebut dan memahami konsekuensinya. Mari kita lupakan seruan saat emosi, ucapan rasa jijik, perintah dan pesanan, atau berbagai jenis permintaan. Ayer berpendapat bahwa, dalam membuat pernyataan, seseorang mengklaim bahwa ada sesuatu yang terjadi. Seseorang mengatakan bahwa dunia, atau apa pun, memiliki sifat atau fitur tertentu. Sebagai contoh, baik itu hujan atau tidak hujan; baik saya memiliki kaki yang patah atau saya tidak; baik kelas itu nakal atau tidak nakal. Tentu saja, batasan konsep-konsep ini kabur dan mungkin akan memunculkan kesalahpahaman definisi. Namun kesalahpahaman tersebut dapat dijelaskan. Dan, setelah kita jelas tentang arti istilah-istilah tersebut, kita tahu bukti yang akan membenarkan penerapan untuk pengalaman. Jika tidak terdapat cukup bukti, maka tidak ada cara untuk memverifikasi pernyataan tersebut, dan pernyataan tersebut tidak, apapun dalihnya.
Konsekuensi dari posisi ini cukup drastis. Menurut Ayer, hanya ada dua jenis proposisi yang dapat diverifikasi - dengan demikian hanya terdapat dua jenis proposisi yang dapat dikatakan bermakna. Ilmu pengetahuan dibangun dari pernyataan empiris dan logika/ pernyataan matematis secara tautologis (perulangan pernyataan dengan bahasa yang berbeda) benar. Jika Anda ingin mengetahui kebenaran dari pernyataan 'itu adalah hujan', Anda pergi keluar dan melihat-lihat atau rasa. Jika Anda ingin mengetahui kebenaran dari pernyataan matematika '2 + 2 = 4' Anda harus melihat arti dari istilah dan prinsip kontradiksi. Pada akhirnya semua pernyataan yang bermakna dapat diterjemahkan keluar pernyataan pengalaman atau ke dalam pernyataan yang benar-benar logis. Dengan syarat tersebut, maka pernyataan tentang apa yang benar dan baik serta indah, atau tentang apa yang harus seseorang lakukan, tidak memiliki arti. Tidak ada cara bahkan dalam prinsip verifikasi hal tersebut. Karena itu semua hanyalah adalah ekspresi hanya emosi. Pernyataan 'Anda salah dalam menghukum anak' merupakan benar-benar kombinasi dari klaim faktual 'Anda dihukum anak' dan ekspresi emosi. (seperti ujaran 'huuu- waaahh' dalam teori etika.)
Ilmu pengetahuan selalu menunjukkan cara untuk mengembangkan pengetahuan. Pernyataan-pernyataan ini dapat diuji kebenarannya atau dibuktikan. Dalam membuat klaim, seseorang mengetahui jenis-jenis bukti tersebut dapat dibuktikan atau tidak sebagaimana dikatakan. Makna dari apa yang dikatakan merupakan cara verifikasi. Pernyataan ilmiah dibuktikan secara berbeda dengan matematika dan logika murni. Dan sejak semua jenis pernyataan tidak dapat diverifikasi walaupun secara mendasar, maka hal tersebut disebut pseudo-statement. Sejak pernyataan ilmiah dan empiris mengenai fenomena pengalaman, maka hal ini memunculkan generalisasi dan pernyataan-pernyataan “seakan hukum/dalil” yang memprediksi pengalaman-pengalaman di lingkungan-lingkungan yang hampir sama,  namun generalisasi sementara ini memungkinkan untuk dilakukan. Bahkan seorang dapat menggunakan untuk mempertahankan statemen tersebut secara presisi sebagaimana yang adopsi oleh matematika. Seseorang dapat juga membangun basis kuantitatif untuk mendapatkan kepercayaan seperangkat klaim dari orang lain. Ranah sistematis dunia akan berusaha untuk memberikan penjelasan  tersebut secara kausal.
Salah seorang yang tebaik dari penafsir filosofis positivisme ke dalam teori, praktek, dan penelitian kependidikan, adalah D. J. O'Connor (1956). O'Connor dengan sangat luar bias melakukan kritik pada teori kependidikan mengenai kegagalannya dalam memberikan bukti verifikasi dari pernyataan-pernyataan pada teori-teori yang digunakan. Dalam kenyataannya teori merupakan campuran dari pertimbangan nilai, tujuan, dan pernyataan yang terlalu longgar diutarakan bagi siapapun untuk mengetahui apa yang akan dihitung sebagai bukti untuk atau terhadap tersebut. Ada kebutuhan untuk membedakan antara tujuan pendidikan (jenis laporan yang hanya mencerminkan seseorang keterikatan emosional) dan pernyataan empiris diverifikasi. Ini perlu sehingga menyatakan bahwa salah satu akan tahu apa yang akan memverifikasi atau memalsukan tersebut.
Dalam kenyataannya teori merupakan campuran dari pertimbangan nilai, tujuan, dan pernyataan, serta terlalu longgar diutarakan untuk menunjukkan mengenai apa yang akan diperhitungkan sebagai bukti untuk atau terhadap tersebut. Terdapat kebutuhan untuk membedakan antara tujuan pendidikan (jenis pernyataan yang hanya mencerminkan keterikatan seseorang secara emosional) dan pernyataan empiris yang dapat diverifikasi. Hal ini perlu supaya dapat diketahui apakah pernyataan tersebut terverifikasi atau palsu.
Pring (2005) tidak ingin menjabarkan semua kritik yang terkenal dan terlatih dengan baik dari posisi filosofis ini. Sebaliknya, Pring ingin mengetengahkan tantangan-tantangan khusus dalam penelitian pendidikan.
Pertama, tidak terdapat perbedaan logis yang jelas antara penelitian fenomena fisik dan penelitian institusional dan struktur sosial. Masyarakat dapat dipelajari secara ilmiah. Terdapat fakta sosial, seperti ada pula fakta fisik. Seseorang, meskipun individualitas mereka, termasuk dalam tipe atau kelompok, dan pernyataan umum dapat dibuat tentang tipe tersebut. Generalisasi tersebut dapat diverifikasi. Secara bertahap deskripsi teoritis dapat dibangun dalam kaitan dengan jenis struktur sosial, sehingga dapat menjelaskan mengapa orang-orang tertentu bertindak dengan cara yang mengacu pada struktur sosial. Hal ini dapat dikatakan yang dapat dikatakan menyebabkan perilaku tertentu. Penjelasan sosial seperti bertentangan mereka yang berusaha untuk menjelaskan perilaku dalam hal pilihan pribadi atau psikologi individu. Tentu saja, seseorang tidak dapat menyangkal bahwa ada beberapa pilihan pribadi, tapi, pertama, pilihan tersebut akan dilaksanakan dalam parameter ditentukan oleh fakta-fakta sosial, dan, kedua, perilaku khas apa yang sedang dijelaskan -ada selalu dapat pengecualian.
            Salah satu “founding fathers/ bapak dari” sosiologi modern, Emile Durkheim, membahas dan mengkaji 'Ilmu Pendidikan' di Sorbonne pada tahun 1902. Bagi Durkheim, ilmu tentang masyarakat yang sangat penting dikaji lebih sistematis untuk kebijakan pendidikan dan pengajaran. Studi semacam ini penting karena dapat mendukung secara pedagogi. Ilmu kemasyarakatan menempatkan lembaga dan struktur sosial sebagai fakta –yang hanya dapat dipahami dalam seluruh bagian sistem pendidikan (holistik). Untuk memahami pendidikan, salah satu yang diperlukan adalah memahami fungsi pendidikan tersebt dalam konteks masyarakat yang lebih besar. Namun hal tersebut akan bervariasi dari satu masyarakat dengan masyarakat lain. Selain itu, dalam salah satu sistem sosial sekolah yang berbeda akan memberikan fungsi yang berbeda pula, apa pun retorika yang diklaim sebaliknya. jenis analisis fungsional memunculkan tradisi penelitian yang kuat dalam pendidikan, yang didasarkan pada prinsip bahwa struktur sosial menentukan fungsi dari lembaga tertentu dan pemahaman sosial dalam masyarakat, dan dengan demikian akan membentuk harapan dan pemahaman individu. Hal ini memukul secara telak kausal-determinisme. Kita adalah bentukan milik masyarakat, dan merupakan suatu proses sehingga membuat hal tersebut dapat dipelajari secara ilmiah.
Kedua, semangat para positivis selalu membutuhkan distingsi yang jelas di antara tujuan dan nilai-nilai dalam pendidikan, di sisi lain makna yang jelas dari pencapaian akhir. Hal nilai bukanlah merupakan laporan dari penyelidikan empiris (atau hasil yang diperoleh dari luar atau diskusi yang bermakna) sedangkan sarana adalah untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut. Peneliti dituntut untuk menunjukkan bagaimana tujuan tertentu yang mungkin dicapai, bukan mengatakan apa-tujuan seharusnya. Perbedaan cara yang jelas/terakhir terlihat saat memasuki penelitian politik dan manajemen pendidikan. Durkheim, mengatakan tertarik untuk melihat hasil praktis dari penelitian sosiologis; itu sebabnya dia mencurahkan begitu banyak waktu untuk mengajar guru dan peserta di berbagai pelatihan. Namun ia membedakan dengan hati-hati antara pekerjaan analisis sosial dan kepentingan moral yang ia harap dapat memberikan pelayanan analisis sosial bagi para praktisi dan ilmu kependidikan.
Secara implisit Pring telah mengatakan beberapa kritik penting mengenai positivisme dan juga jenis-jenis penelitian yang telah memberikan berbagai inspirasi. First, reduksi pada berbagai pernyataan yang sangat penting yang menjelaskan berbagai hal secara ilmiah, ekspresi murni logis dan hubungan matematis, dan berbagai pengabaian menjadi tidak memiliki arti dari variasi cara yang dibicarakan mengenai orang-orang atau pengurangan pernyataan tentang fakta fisik ataupun fakta sosial. Apakah kita sebagai orang tidak mampu yang melampaui struktur sosial di mana kita menemukan diri? Dan fakta-fakta sosial tidak dengan sendiri diciptakan oleh makhluk yang sangat manusiawi yang dimaksudkan untuk menjelaskan? Kedua, nilai-nilai yang tertanam dalam struktur sosial, di luar kendali atau tanggung jawab individu. Kita tidak dapat memberikan alasan bagaimana harus nilai-nilai tersebut – Hal itu adalah masalah emosi, relatif tetap, dan harus dijelaskan secara kausal sebagai fungsi dari kebutuhan sosial.
Orang dapat melihat, karena keganasan agenda positivis dan pandangan berikutnya yang akan diserang. Hal ini tercermin pada buku yang diedit oleh M. F. D. Young diedit Knowledge and Control (1972) dan buku yang ditulis oleh Filmer  New Directions in Sociological Theory (1972). Mereka menarik perhatian pada cara manusia yang khas yang dapat kita pahami dalam dunia sosial. Dunia yang tidak dapat dipelajari sebagai objek ilmu pengetahuan dan diamati sebagai hal dalam diri sendiri ('reifikasi'). Sebaliknya hal itu harus ditafsirkan, dan sampai batas tertentu konstruksi tersebut interpretasi. Hal ini memiliki implikasi besar bagi konsep penelitian standar seperti kebenaran dan verifikasi, objektivitas, realitas dan pengetahuan.
Namun sebelum kita mempertimbangkan perkembangan, kita perlu mengulas fitur mengenai positivis yang tidak dapat kita abaikan begitu saja.
Pertama, hubungan yang dibangun antara makna pernyataan dengan cara yang diverifikasi. Seseorang mungkin berpendapat bahwa positivis logis yang salah dalam daftar mereka sangat terbatas, tentang cara pernyataan memungkinkan diverifikasi. Jadi terdapat kebutuhan untuk mencantumkan pernyataan tentang hal lain dan tentang struktur sosial dengan cara yang ini tidak logis, yaitu direduksi dan disamakan menjadi pernyataan tentang benda-benda fisik. Namun dengan demikian, seseorang secara logis berkomitmen untuk menemukan cara yang berbeda untuk memverifikasi pernyataan tersebut. Kebenaran atau kesalahan pernyataan tersebut tergantung pada kondisi kebenaran tertentu, yaitu, kondisi yang ada secara independen dari seseorang membuat pernyataan tersebut. Ketika seseorang mengatakan bahwa seseorang berbohong, mengingat apa yang kita maksud dengan 'kebohongan', maka kondisi tertentu menang, cukup independen, yang membuat itu benar atau klaim keliru. Namun  kondisi tersebut tidak sama dengan yang akan membuat pernyataan tentang dunia fisik benar atau salah. Oleh karena itu, tidak akan modus verifikasi sama. Dalam menolak hal yang dianggap positivisme, banyak teori yang salah saat menolak, bukan hanya bentuk sempit verifikasi, tetapi gagasan mengenai verifikasi itu sendiri.
Kedua, pengakuan kapasitas manusia khas untuk terlibat dalam tindakan yang disengaja dan sangat bermakna, seharusnya tidak mengalihkan perhatian kita dari fakta bahwa, sebagai Durkheim menunjukkan, terdapat fakta sosial. Fakta-fakta ini mengatur parameter mengenai cara kita berpikir. Nilai-nilai yang diwujudkan, input pikiran, dan niat dari pribadi-pribadi dalam masyarakat. Terdapat jenis lain, yang mencerminkan konteks sosial di mana orang-orang ini menemukan diri mereka. Misalnya, keberadaan kelas bawah memiliki penjelasan sosiologis, dan keanggotaan kelas tersebut akan mempengaruhi bagaimana anggotanya berpikir dan bercita-cita. Masih terdapat ruang untuk jenis generalisasi, namun tentatif/sementara, dan penjelasan kausal walaupun pada tradisi penafsiran.

Referensi :
Ayer, A. J. (1946) Language, Truth and Logic. London: Penguin.
Ayer, A. J. (1956) The Problem of Knowledge. London: Penguin.
Ayer, A. J. (1963) Philosophical Essays. London: Macmillan.
Filmer, P. (1972) New Directions in Sociological Theory. London: Collier Macmillan.
O'Connor, D. J. (1956) An Introduction to the Philosophy of Education. London: Routledge & Kegan Paul.
Pring, Richard (2005) Philosophy of Educational Research, Second Edition. Continuum: London

Young, M. F. D. (1972) Knowledge and Control. London: Methuen.

Senin, 09 Mei 2016

FILOSOFI RISET KEPENDIDIKAN (28): Persaingan Posisi Filosofis


Artikel kali ini memulai pokok bahasan baru dari pembahasan pemikiran Richard Pring (2005), yang selama ini merenungkan kekacauan yang terjadi pada ranah penelitian kependidikan. Mulai dari kekacauan metode yang muncul karena adopsi yang sembarangan dari berbagai bidang ilmu lain dengan mengabaikan dasar-dasar filsafat ilmu, yang semestinya dipertimbangkan dengan asumsi-asumsi dasar penggunaannya. Secara pribadi penulis -yang sedang mempelajari- masih berniat untuk melanjutkannya untuk meperoleh pemahaman yang lebih mengenai ilmu pendidikan ini, mengingat penulis adalah "orang baru" -secara "common sense" akan selalu dianggap orang baru di dunia ilmu kependidikan ini-  karena tidak memiliki latar belakang pendidikan  ilmu pendidikan. Namun apapun kata mereka, dengan segala kerendahan hati penulis akan terus mencoba untuk mempelajarinya dengan keterbatasan kemampuan berbahasa, ataupun jangkauan pikiran yang belum seluas penulis harapkan sebaga refleksi tiada henti ini. Berikut ini akan kita simak bersama penuturan dari Richard Pring tentang persaingan para pemikir pendahulu yang mungkin dianggap bertanggungjawab akan terjadinya "multipolar" aliran-aliran dalam ilmu pengetahuan. Penulis berharap untuk dapat membagikan ini untuk bahan diskusi atau perenungan berbagai pencarian, dapat juga untuk memilih sikap yang tepat  (fleksibilitas) dan memperluas keterbukaan pikiran dalam beradaptasi terhadap perubahan. Seperti dalam hati kecil penulis yang terkecewakan dicabutnya kurikulum 2013 karena kita kurang mampu mengatakan "ya" pada perubahan. Kelegaan hampir terjadi, ketika kita mulai melangkah menuju era konstruktivisme. Kita kurang percaya diri, enggan belajar hal yang baru, dan takut pusing, serta tidak ingin repot dengan perubahan sudut pandang baru. Selipan paragraf di atas mungkin tidak ada hubungannya pembahasan ini. Berikut kita mulai.

***

Kita telah terlibat dengan isu-isu  mengenai - konflik antara penelitian kuantitatif dan  kualitatif, sifat kebenaran dan verifikasinya, hal yang dianggap realitas, objektivitas dan subjektivitas, pengetahuan dan perkembangannya, dan lain  sebagainya - mungkin hal ini akan cenderung bermanfaat dipahami dari sudut yang berbeda. Cara-cara dominan dalam  berpikir tentang fenomena sosial yang telah diartikan pada posisi teoritis berbeda. Oleh karena posisi tersebut dalam suatu penelitian memiliki latar belakang budaya dan filosofis  yang berbeda pula. Tanpa perumusan eksplisit latar belakang filosofis - dengan implikasi untuk verifikasi, penjelasan, pengetahuan tentang realitas - peneliti dapat tetap dengan tanpa dosa tidak menyadari makna yang lebih dalam, dan komitmen dari apa yang mereka katakan, atau bagaimana mereka melakukan penelitian mereka. (Lihat, misalnya, Atkinson et al, 1993.)
Posisi filosofis dikenal dengan berbagai judul membingungkan. Kita sering mendengar mengenai "positivisme" (yang merupakan tradisi filsafat tetap dipertahankan di tengah banyak penghinaan dari banyak peneliti), fungsionalisme, teori interpretatif, fenomenologi, ethnomethodology, etnografi, konstruktivisme, postmodernisme, dan lain sebagainya. Pada bagian berikut, Kita akan mencoba untuk menyediakan peta filosofis singkat tentang posisi dominan. Namun tentu saja, peta setiap bisa saja disimpulkan secara berbeda, yang kemudian akan membuat perbedaan lebih lanjut dan kabur orang lain. Pada artikel lebih lanjut akan disajikan satu persatu.

Referensi:
Pring, Richard (2005) Philosophy of Educational Research, Second Edition. Continuum: London

FILOSOFI RISET KEPENDIDIKAN (27): Konsep-Konsep Kunci dan Mengatasi Konflik dalam Penelitian Kependidikan


PENJELASAN-PENJELASAN MENGENAI COMMON SENSE

Keyakinan-keyakinan mengenai common sense akan menjadi jelas jika dibedakan dibedakan secara teoritis dan sebagai kejelasan (kebenaran yang tidak perlu dibuktikan) palsu. Bahasa common sense dibedakan dengan bahasa secara teknis melalu pengalaman yang dideskripsikan ulang secara lebih tepat dalam tatanan ilmiah. Para filsuf suka sekali membedakan 'dunia sains' dengan 'dunia sehari-hari' atau 'teknis' dengan konsep 'untechnical/ non-teknis' (lihat Ryle, 1954). Dan selalu begitu hingga hari ini, seringkali tujuan peneliti pendidikan menyertakan bahasa yang lebih teknis dari ilmu-ilmu sosial dalam wacana keseharian bahasa yang lebih teknis dari ilmu-ilmu sosial. Dengan cara apalagi untuk mengembangkan ilmu pengajaran atau sekolah yang efektif? Dan politisi dan birokrat lebih memilih hal ini karena bahasa teknis tersebut lebih memungkinkan memiliki kepastian akuntabilitas.


Contoh dari upaya untuk menggeser kekurangan common sense menjadi penjelasan yang lebih ilmiah, dengan cara menginformasikan melalui pengajaran, sebagaimana pendapat Atkinson (1964). Ia berpendapat bahwa psikologi (khususnya, dalam pemahaman motivasi), sebagai ilmu eksperimental perilaku, berubah dari “pra-ilmiah, memiliki dasar kebijaksanaan intuitif, yang sering disebut common sense, melalui beberapa tahapan kemajuan dalam metode penelitian”. Bagian dari kemajuan kecanggihan tersebut adalah pada skema konseptual lebih sesuai. Psikologi bertujuan untuk mengembangkan skema konseptual atau teoritis, yang mampu memberikan penjelasan lebih memadai dari sekedar kebijaksanaan konvensional 'arah, semangat dan ketekunan dari aksi individu'. Dalam mengejar kajian ini, Atkinson menemukan konsep-konsep seperti 'keinginan/'wants', 'harapan/wishes', 'nafsu/desires', 'maksud/intentions' dan 'tujuan/ purposes', namun hal ini tidak banyak berguna. Ketidak tepatan konsep-konsep tersebut akhirnya hanya berbelit-belit di dalam definisi saja. Perkembangan psikologi terletak pada bahasa teoritis yang didefinisikan lebih ketat seperti pada psikoanalisis, neuro-fisiologi atau behaviorisme. Hal ini kemudian menjadi pengganti untuk bagaimana kita biasanya menjelaskan mengapa orang bertindak seperti yang mereka lakukan.


Atkinson mengatakan bahwa bagaimana kita biasanya menjelaskan motivasi tidak secara memadai. Cara pembahasan tersebut harus digantikan oleh bahasa baru yang dapat menarik batas-batas konseptual berbeda, serta membuat asumsi yang berbeda. Namun, dalam upaya untuk melakukan hal ini, Atkinson mengalami banyak kesulitan, dan hal ini terungkap pada proses tersebut. Kemudian, bahasa yang direkomendasikan harus berlaku untuk sesuatu, dan sesuatu di mana individu atau kelompok individu memilih dalam bahasa umum biasa/ordinary atau wacana common senses. Poin pada pengembangan teori motivasi adalah untuk membantu mengejar tugas-tugas praktis misalnya mengajar atau memecahkan masalah praktis seperti manajemen kelas yang telah diidentifikasi dalam bahasa non-teoritis keseharian. Solusi yang diajukan dalam bahasa behaviorisme harus terhubung dengan masalah yang diajukan dalam bahasa 'keinginan/'wants', 'harapan/wishes', 'nafsu/desires', 'maksud/intentions' dan 'tujuan/ purposes'. Untuk melakukan hal ini adalah untuk menghadapi masalah logis berkaitan suatu pembatasan dan wacana universal secara teknis dengan pengguna bahasa yang dikenal dalam keseharian. Mungkin itu sebabnya guru 'berpikir secara bisnis', dalam arti apa yang mereka lakukan hanya terbatas untuk mengejar target, masukan, audit dan indikator kinerja, dengan demikian sulit untuk menerima common sense.


Permasalahan menjadi tidak sederhana ketika melihat objek-objek atau peristiwa-peristiwa non teoritis yang diidentifikasi sebagai common sense yang harus berkaitan. Ranah common sense menentukan penjelasan relevan. Untuk mengidentifikasi perilaku dari tindakan seseorang (sebagai lawan refleks atau tindakan terpaksa) adalah dengan melihat kerangka niat, dan aturan-aturan sosial yang membentuk niat mereka untuk dimengerti. Pada tingkatan teoritis, tidak ada alasan untuk mengabaikan dimensi intensional dan sosial ini. Jika tidak, maka apa yang akan menjadi penjelasan? Kita berkomitmen untuk jenis tertentu penjelasan, dan jenis penjelasan macam apa yang dapat di jelaskan diluar penjelasan tersebut (misal behavioral), jika ini ditawarkan sebagai cara yang lengkap untuk mengetahui mengapa orang bertindak seperti yang mereka lakukan. 


Tidak kurang masalah yang terjadi, saat membicarakan pemahaman umum, keyakinan common sense, dan bahasa umum dari orang awam, atau berbicara dari common sense praktis. Tidak jelas apa ini 'common sense', atau bagaimana mungkin berhubungan dengan non- common sense pengetahuan dari teori dan peneliti. Dapatkah kita mengidentifikasi area yang cukup spesifik dari pemikiran yang mungkin semacam common sense tentang pengetahuan? Jika demikian, sikap filosofis seperti apa yang harus kita adopsi supaya menuju arah tersebut- mengenai hal tersebut, di satu sisi, secara sementara dan sebenarnya tidak memadai, atau, di sisi lain, sangat diperlukan dan sebagai alat penentu mengenai yang nyata dan benar? Tentu, hal itu mungkin terus-menerus perlu disempurnakan, tetapi tidak untuk dibuang. Apa hubungan dari common sense seperti dengan karakteristik berpikir yang lebih disiplin jenis penelitian tertentu?


Common sense mungkin merupakan hal yang tepat untuk menjadi tantangan yang memang diinginkan oleh para peneliti. Hal ini seringkali mengacu pada pernyataan-pernyatan dan penjelasan yang terlihat menjadi benar secara jelas. Common sense berada di antara keyakinan yang tidak diragukan lagi pada suatu kelompok masyarakat dan hal ini memberikan pandangan mendasar tentang dunia – Hal ini merupakan seperti apa yang Atkinson sebut sebagai 'modal pra-ilmiah, atau kearifan intuitif'. Common sense menyediakan aturan-aturan praktis di mana setiap orang dapat hidup dan membuat keputusan. Dan hal ini mungkin bekerja dengan baik, ketika lingkungan fisik dan sosial cukup stabil atau memenuhi syarat untuk keberhasilan selanjutnya dari asumsi dipertanyakan.


Fitur mengenai kajian seperti common sense ini selalu terjadi perubahan isi. Apa yang terdapat dalam common sense pada suatu waktu mungkin akan berubah di waktu berikutnya; Apa yang tidak diketahui waktu itu, pada waktu berikutnya akan menjadi bagian dari folklore yang nggak perlu dipertanyakan lagi. Hubungan antara lingkungan rumah dengan prestasi di sekolah sekarang merupakan bagian dari common sense para guru, walaupun dalam salah satu hubungannya mungkin tidak nampak nyata. Penelitian meresap hingga asumsi sebagai hal yang tidak diragukan lagi dari kehidupan sehari-hari, sehingga bertahan atau mengubah common sense. Selanjutnya, common sense bagi satu orang mungkin tidak berlaku untuk orang lain. Keyakinan common sense dari guru mungkin tidak jelas bagi orang tua, sehingga asumsi tidak diragukan lagi, seseorang mungkin dipahami dengan baik atau dipertanyakan oleh orang lain. Penelitian meresap hingga asumsi sebagai tidak diragukan lagi dari kehidupan sehari-hari, sehingga memperpanjang atau mengubah common sense. Selanjutnya, common sense satu orang mungkin tidak untuk yang lain. Keyakinan common sense dari guru mungkin tidak jelas bagi orang tua, sehingga asumsi tidak diragukan lagi dari orang mungkin baik dipahami atau dipertanyakan ke yang lain.


Apa yang dibawa dari keyakinan, seperti common sense merupakan tatacara yang mereka pertahankan –dengan tanpa dipertanyakan, umumnya dianggap jelas. Dalam hal ini, penelitian dapat dilihat sebagai hal yang bertentangan dengan common sense, tidak harus dengan isinya (yang mungkin benar dan signifikan) tetapi dengan cara yang tidak perlu diragukan lagi di mana keyakinan yang diciptakan. Dalam mengembangkan sikap akal non-common sense terhadap keyakinan seseorang di awal pemikiran disiplin, kritis dan reflektif menanda dari penelitian pendidikan. 'Pendidikan common sense' terletak pada pengambilalihan kebiasaan dan kualitas mental –pendekatan interogasi dan kritis untuk segala yang diterima tanpa kritik, penolakan untuk menerima segala yang dianggap pasti diyakini benar secara umum, sikap reflektif dan analitik terhadap warisan modal kearifan.


Di sisi lain, dalam common sense biasanya terdapat kepercayaan tertentu yang tampak tak dapat di tolak – terdapat dunia luar, yang di dalamnya merupakan objek-objek fisik berhubungan secara sebab-akibat antara satu dengan yang lain dan terdapat pribadi-pribadi yang memiliki maksud dan motif-motif. Pribadi-pribadi tersebut tidak dapat dianggap menjadi objek fisik. Fitur ini lebih merupakan pusat dari kepercayaan-kepercayaan common sense yang bukan merupakan tata cara (manners) dipertahankan, namun lebih merupakan status khusus. Hal tersebut di satu sisi tidak perlu dipertanyakan karena mengandung praduga-praduga yang mendasar untuk semua pemikiran kita. Hal ini juga memberikan kerangka kerangka keyakinan yang tidak dapat digantikan oleh pemikiran teoritis. Memang, perkembangan prasangka-prasangka tersebut membuat Piaget khawatir - kerangka kategoris saling mendahului dan masuk ke negara-negara lebih mencerminkan pemikiran teoritis. Pemikiran teoritis dan lebih disiplin dalam penelitian tidak boleh bertentangan ini 'kerangka common sense” yang berasal dari pengalaman. Akan lebih baik jika menggabungkan referensi common sense pada objek dan kualitasnya, dan pada pribadi-pribadi dan motif, atau (dalam disiplin yang lebih formal) membangun untuk tujuan tertentu dengan objek baru dari referensi yang paling tidak harus dihubungkan kembali pada kerangka common sense tersebut. 


Perlu dicatat bahwa common sense mengacu pada beberapa hal, yang pertama adalah mengacu pada kepercayaan-kepercayaan yang dipertahankan dengan cara tidak perlu dipertanyakan; seperti perubahan kepercayaan dari satu kelompok pada kelompok lain dan dari jaman ke jaman. Kedua, Hal ini mengacu pada kerangka kerja mutlak di mana kita mengidentifikasi dan berpikir tentang dunia fisik dalam waktu dan ruang, sebab dan akibat, dan pribadi-pribadi. Ketiga, mengacu pada wacana bersama (yang mungkin lebih atau kurang canggih) yang akan kontras dengan bentuk yang lebih teknis dan terbatas wacana fisik dan ilmu-ilmu sosial.


Penelitian seringkali merupakan suatu yang menentang common sense. Hal ni merupakan pertanyaan mengenai apa yang sering menjadi tidak perlu dipertanyakan lagi, dan hal ini mungkin dilakukan dalam perhatian yang berpusat pada bukti-bukti yang bertentangan atau perbandingan perbandingan dengan apa yang dipercaya orang lain. Penelitian seringkali juga menentang common sense pada pengertian ketiga, keinginan untuk membawa pada perspektif yang lebih teoritis dari ilmu sosial pada apa yang selama ini di pahami oleh para orang-orang kalah, tersisih, dalam bahasa wacana awam. Namun ranah teoritis sering tidak dapat berlaku lebih lanjut dari pengertian common sense yang kedua –kerangka yang mendasar dan penting dari ide-ide mengenai, kondisi fisik, pribadi, dan dunia sosial di mana kita berada.


Mari kita ambil beberapa contoh teori. Di satu sisi ekstrim, Teori dibuat dan dibangun oleh perbedaan pendapat dari postulat-postulat dari wacana keseharian. Fisikawan menbuat satu perbedaan tentang alam semesta dari wacana yang dapat terlihat, objek nyata, sebagaimana postulat-postulat tentang objek yang tak terindera, sepeti partikel-partikel misalnya. Seorang Psikolog, Skinner atau Atkinson, membuat postulat-potulat yang bertentangan dengan keyakinan-keyakinan common sense, yang menyebutkan bahwa manusia tidak dapat dimengerti sebagaimana agen-agen yang berkepentingan dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan. Di dunia ekonomi tidak terdapat perbedaan secara mendasar dari common sense –dengan anggapan dunia dari para pribadi, dengan keinginan, harapan, dan tujuan dan pembuatan asumsi-asumsi tertentu (mengenai pergerakan harga) yang diakui oleh orang-orang awam berdasarkan pengalaman keseharian mereka. Tetapi apa yang bukan common sense adalah pembenahan keyakinan pada postulasinya, yang dipertentangkan dengan pengalaman keseharian, dari seseorang yang rasional, dalam penetapan ketepatan konseptual yang lebih besar, dan kuantifikasi hubungan antara berbagai faktor yang berbeda (seperti contoh, yang ditunjukkan dengan grafik elastisitas antara permintaan dan penawaran). Postulat secara individual yang dimiliki oleh seseorang yang rasional, untuk menentukan defnisi yang tepat dari istilah kunci, dan mengkuantifikasikan hubungan antara hal-hal tersebut, tergantung pada penerimaan ketetapan yang digantung bersama sebagai suatu sistem tertentu, walaupun itu bukan merupakan bagian dari common sense. “Homo economicus”, sebagaimana “homo skinnerius”, merupakan suatu abstraksi dari makhluk yang agak lebih komplek, sebagaimana kita temui di jalanan ataupun dalam literatur.


Seringkali kaitan dengan pembatasan bidang wacana, sebagaimana telah kita bahas, merupakan suatu ketepatan teknis yang dipaksakan pada penggunaan-penggunaan istilah –sebagai contoh dalam pengurangan tindakan-tindakan intensional pada perilaku-perilaku yang terukur. Sesuatu yang ideal dari ilmu-ilmu alam akan menjadi pengganti untuk pendekatan kualitatif sedapat mungkin melalui penggunaan deskripsi kuantitatif, seperti misalnya di mengganti standar yang tepat pengukuran untuk 'penilaian sehari-hari' terhadap suhu udara. Ketepatan juga menjadi tuntutan dituntut, sebagaimana dalam ilmu sosial, seperti ketika, misalnya, dalam psikologi yang memberikan tes sikap, atau penyimpangan sebagaimana diungkapkan dalam kaidah-kaidah statistik Walaupun sesungguhnya dalam disiplin non-ilmiah, kuantifikasi jelas tidak memungkinkan, istilah-istilah penting harus secara tepat didefinisi dan perlu ditekankan dalam penggunaannya dalam wacana awam.


Oleh karena common sense mengacu pada sesuatu yang tidak dapat dikritik karena memang merupakan keyakinan yang dipegang erat, maka hal ini perlu untuk diubah. Namun, sejauh pertanyaan kritis yang mengembangkan ketepatan secara lebih teoritis, akan menimbulkan perbedaan logis antara wacana common sense dan teori. Common sense tidak lagi hanya mengacu pada cara kritis ketika keyakinan tetap dipertahankan. Hal ini mengacu pada struktur keyakinan yang meskipun seharusnya dibedakan secara pasti dengan teori. Mungkin supaya lebih mendasar dan memadai, maka common sense tersebut perlu dilawan oleh peneliti dengan hati-hati.


Tanpa mengkaitkan pada common sense, pemikiran yang dikhususkan, secara teknis didefinisikan menjadi istilah-istilah dan materi pelajaran yang dibatasi, akan ada 'pembayaran' pada pertanyaan yang kita biasanya ditanyakan. Guru, terperangkap dalam dunia praktis yang kompleks di kelas, sehingga perlu untuk melihat di mana ranah teoritis yang terkait secara luas sangat berbeda pada wacana. Teori perlu menunjukkan di mana teori mampunmengoreksi atau memperbaiki keyakinan terhadap common sense yang menuntun praktik guru.


Kekuatan argumen Pring (2005: 87) berdasar tidak hanya pada perbedaan yang kontras antara common sense dan mode lebih disiplin dan teoritis dari suatu pemikiran, tetapi juga pada interkoneksi pemikiran-pemikiran tersebut. Bahasa yang digunakan dalam kesehariam menerapkan berbagai konsep, prinsip, aturan dari kesimpulan dengan banyak tujuan tumpang tindih - lukisan kompleks tentang dunia dalam kerangka objek material dan kepentingan tujuan, dan aturan-yang mengikuti, tugas dan hak-hak dan interaksi sosial dari bermacam-macam pribadi . Dan itu merupakan lukisan yang kompleks tentang dunia, yang diidentifikasi pertama kali oleh penelitian dan perlakuan teoritis dan teori (sering kali memusatkan pada aspek kuantitatif suatu pengalaman) dan memaksakan beberapa penyesuaian, sementara pada saat yang sama ditempatkan dalam suatu perspektif. Kerangka bahasa awam, bersama-sama dengan keyakinan yang menyertainya tentang dunia luar, serta pikiran lainnya, dan lain sebagainya, menyediakan baik titik awal dan titik penerapan teori, maupun jembatan antara disiplin ilmu yang berbeda, maupun kesamaan dari kejelasan yang memungkinkan untuk komunikasi antara ranah teoritis yang berbeda. Beberapa prioritas logis juga harus diberikan pada apa yang disebut “dunia keseharian” dan “konsep mengenai wacana keseharian. Hal ini penting untuk diingat bagaimana penjelasan psikologi s mengenai perilaku yang terkait dengan bahasa yang kita anggap motif dan niat, atau bagaimana gaya mengajar formal dan informal -dari Bennett (1975)- berhubungan dengan perbedaan guru dalam membuat gambaran tentang kelas mereka. Teori selalu berjalan secara paralel dengan bahasa keseharian (dan karena itu merupakan pengganti bahasa teoritis) dan hanya untuk tujuan tertentu. Bahasa tentang atom dan partikel harus berhubungan dengan bahasa meja dan kursi. Bahasa modifikasi perilaku harus berhubungan dengan bahasa niat dan motif. Bahasa efektivitas sekolah perlu berhubungan dengan bahasa hubungan dan tujuan moral. Bahasa pencapaian dan kompetensi perlu berhubungan dengan bahasa pemahaman dan pengetahuan, dengan semua kompleksitas, sebagaimana diingatkan filsuf Plato dan seterusnya.






KESIMPULAN: Konsep-Konsep Kunci dan Mengatasi Konflik dalam Penelitian Kependidikan


Ada perpecahan mendalam antara peneliti pendidikan berdasarkan posisi filosofis, yang jarang muncul secara eksplisit. Perbedaan tersebut, bagaimanapun memiliki dampak yang mendalam pada pelaksanaan penelitian. Pring (2005: 88) telah mencoba untuk menunjukkan bagaimana perbedaan-perbedaan filosofis mengacu pada konsep yang saling terkait dan di dalamnya terdapat saling keterkaitan antara realitas dan objektivitas, kebenaran, fakta dan verifikasi, dengan teori dan pengetahuan. Konsep-konsep ini, yang tampaknya sangat diperlukan dalam wacana penelitian. Bagaimanapun dapat diterapkan dengan variasi yang cukup untuk menciptakan ide-ide yang sangat berbeda tentang sifat dan pelaksanaan penelitian. Pring juga telah mencoba untuk menunjukkan bahwa pada beberapa kasus posisi filosofis yang mendasari ternyata terdapat kekeliruan. Memang, saya telah menunjukkan bahwa, kegagalan untuk melakukan kajian filosofis yang tepat, membuat peneliti pendidikan dipaparkan dengan terlalu tajam kontras antara tradisi kuantitatif dan kualitatif. Tradisi dalam proses memahami dan menjelaskan dunia sosial, dan khususnya untuk praktek pendidikan yang lebih kompleks. Hal itu akan menjadi jelas hanya jika peneliti pendidikan akan hadir lebih dekat dengan bagaimana akademisi melakukan menjelaskan personal-personal dan praktek sosial.


Sebagian dari masalah adalah kegagalan untuk menghadiri cara kaya dan cerdik di mana kita telah masuk untuk menggambarkan praktek sosial, tertanam dalam bahasa penggunaan awam. keyakinan common sense perlu dipertanyakan, tapi bahasa common sense mewujudkan cara kompleks memahami dunia, yang pada satu tingkat tidak akan ditiadakan dan di tingkat lain adalah yang terbaik yang kita miliki. Penelitian harus berhubungan kembali ke sana, dan dasar-dasar filosofis untuk penelitian yang tak dapat mengabaikan apa yang common sense katakan tentang realitas untuk diteliti lebih dalam.


Posisi yang dianut di sini mungkin secara kasar dapat digambarkan sebagai salah satu realisme yang kuat, berakar kuat dalam bahasa common sense melaluinya kita datang untuk menggambarkan alam dan dunia sosial tempat kita tinggal, dan dengan demikian menghormati berbagai logika yang berbeda untuk penjelasan yang melekat di dalam bahasa. Waspadalah terhadap 'isme' - dan pembedaan yang timbul dari aplikasi yang kaku. Mungkin cara lain untuk melihat ini adalah untuk menguji beberapa dari 'isme'. Posisi filosifis tersebut akan dimunculkan pada artikel-artikel berikutnya mengenai positivisme, tradisi aritmatika, fenomenologi, etnografi, dan pos modernisme dalam konteks filsafat riset kependidikan.


Referensi :


Atkinson, J.W. (1964) An Introduction to Motivation. NJ: Van Nostrand.






Bennett, N. (1976) Teaching Styles and Pupil Progress. London: Open Books.






Pring, Richard, (2005) Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum






Ryle, G. (1954) Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press.



Kamis, 05 Mei 2016

FILOSOFI RISET KEPENDIDIKAN (26): Konsep-Konsep Kunci dan Mengatasi Konflik dalam Penelitian Kependidikan

 Pengetahuan
Suatu kritik penelitian kependidikan menyatakan bahwa  tidak menciptakan tubuh pengetahuan yang dapat diandalkan oleh pembuat kebijakan dan para profesional. Pertama, berbagai penelitian memiliki skala kecil dan tercerai-berai serta tidak ada perkembangan pengetahuan tersebut secara kumulatif. Kedua, wacana pendidikan terlihat menuai banyak kritik dari penelitian lain sehingga tidak terdapat kesimpulan-kesimpulan yang telah terverifikasi-  tanpa ada pengetahuan. Berbagai Kesimpulan penelitian tampak lebih seperti keyakinan sementara daripada pengetahuan mapan.
Salah satu analisis filosofis mengetahui bahwa terdapat sesuatu yang terjadi seperti misal. 'X mengetahui P' (di mana P merupakan singkatan dari pernyataan apapun) jika, dan hanya jika, (i) X mempercayai P, (ii) X dinyatakan dianggap benar diyakini sebagai P, dan (iii),  maka P benar. (Lihat variasi dari analisis  Ayer, 1956; Scheffler, 1965; Woozley, 1949.) Sebagai contoh, klaim guru untuk mengetahui bahwa seorang murid akan melakukan hal yang baik dalam ujian, disangkal jika (i) guru menunjukkan kurangnya kepercayaan dengan memberikan pelajaran perbaikan dasar, atau (ii) dengan alasan percaya bahwa itu adalah keliru - ia membingungkan pekerjaan siswa dengan orang lain, atau (iii) siswa akhirnya gagal ujian. Guru memiliki keyakinan sementara tetapi keliru; tetapi ia kurang memiliki pengetahuan.
Klaim bahwa saya mengetahui sesuatu akan menjadi kasus yang berakibat saya dapat saja sedang keliru, tetapi dengan memperhatikan bukti atau argumen yang relevan, saya memiliki alasan yang baik untuk begitu percaya. Selanjutnya, ternyata saya tidak salah. Proposisi ‘P' itu benar. Dengan demikian, pada analisis ini, 'pengetahuan' akan secara logis terkait dengan 'kebenaran' dan, memang, untuk 'realitas' yang membuat klaim saya adalah benar dan untuk menegakkan dengan mode penyelidikan dan verifikasi, secara objektif, dan pembenaran keyakinan itu. Pengetahuan bukanlah gambaran dari keadaan psikologis pikiran -sebuah keyakinan yang kuat. Hal ini tergantung pada kerangka yang disepakati publik sebagai pembenaran, sanggahan dan verifikasi.
Sedikit perbedaan mengenai, pemikiran yang terhubung, kesadaran pengetahuan. Kita katakan sebagai “tubuh pengetahuan. Peletakan penekanan Hal ini menekankan pada wilayah pikiran seseorang. Seseorang tersebut mungkin mengacu pada akumulasi pengetahuan seperti di perpustakaan atau basis data walaupun tidak seorangpun memilikinya. Pengetahuan tanpa berpengetahuan a. Sesesorang dapat membayangkan pemusnahan total umat manusia, namun bukan berarti pengetahuan yang disimpan jauh di lemari arsip dan buku ikut musnah, dan hal ini menunggu penemuan kembali oleh beberapa korban yang selamat. Popper (1972) menyebut hal ini sebagaimana 'dunia ketiga' - pertama adalah kondisi mental saya dan keyakinan dan yang kedua menjadi realitas yang ada secara independen dari wilayah mental. Masalah dalam gagal untuk mengenali 'dunia ketiga' ini adalah bahwa, pertama, 'pengetahuan' datang untuk dihubungkan dengan keyakinan pribadi masing-masing individu dan, kedua, pembenaran klaim pengetahuan akan didasarkan dalam mata rantai wilayah-wilayah subjektif pikiran pada realitas objektif. Dan permasalahan tersebut tercermin pada pencarian Descartes untuk menemukan proposisi terbantahkan melalui proses keraguan metodologis yang tidak bisa diragukan.
“Tubuh Pengetahuan” ini merupakan berbagai teori, proposisi dan penjelasan yang telah terakumulasi dari hasil pencarian, kritik, argumen, dan argumen balasan. Hal ini telah teruji dan di kritik, dan merupakan yang bertahan dari kritik. Dengan demikian hanya beberapa “tubuh pengetahuan”, yang diperkuat dengan pemikiran yang baik, yang memenuhi ketentuan. Dan memang tingkat kepercayaannya tergantung pada keterbukaan untuk tantangan dan sanggahan publik. Oleh karena itu, setiap 'tubuh pengetahuan', meski dengan baik dikuatkan, hanya dapat bertahan relatif sementara; karena selalu terbuka untuk berubah lebih lanjut melalui kritik. Hubungan antara pengetahuan 'dan' kepastian 'rusak. Kekuatan keyakinan seseorang dan rasa kepastian terdapat pada jaminan pengetahuan. Memang, tidak terdapat dasar untuk kepastian; hal itu selalu dibayangkan bahwa apa yang percaya akan berubah menjadi salah dalam ketika bukti dari  pengalaman dan kritik lebih lanjut.
Hal ini menjadi tugas guru supaya pembelajar muda dapat mengungkapkan secara tubuh pengetahuan secara publik, dengan demikian dapat mengubah representasi subjektif tentang dunia. Dengan “pengungkapan” bentuk atau tubuh pengetahuan yang dimaksud tersebut adalah diperolehnya pemahaman mengenai gagasan-gagasan kunci atau konsep-konsep yang ada di dalamnya, mode-mode pengumpulan informasi sebagaimana yang mereka bangun, uji kebenaran dan validitas. Dan  Bruner (1960) berpendapat bahwa hal ini akan dapat di mulai dalam suatu cara yang terhormat secara intelektual pada suatu jaman.
Kegagalan untuk mengenali hal tersebut, adalah ketika seseorang berada dalam bahaya yang merongrong otoritas dan peran profesional guru. Guru dibayar bukan untuk memberikan pandangan pribadi dan kepastiannya. Otoritas guru terletak pada penguasaan atau pemahaman bentuk atau tubuh pengetahuan yang diacu demi meningkatkan dan membentuk penilaian terhadap pelajar. Matematikawan merasa percaya diri dalam mengajar karena memiliki bukti publik sebagai fakta bahwa dia telah menguasai elemen kunci dalam tubuh khas pengetahuan tersebut. Ini bukan permainan pribadi yang ia mainkan. Itulah sebabnya pengajaran pengembangan pribadi dan sosial sangat sulit dan tidak populer. Ketika tubuh pengetahuan telah disepakati secara publik, maka guru dapat menentukan untuk menambahkan bentuk penilaian pelajar. (Itu untuk alasan ini bahwa Stenhouse, dalam mengembangkan Proyek Kurikulum Humaniora, bersikeras menerapkan penggunaan strategi pengajaran tertentu untuk pengajaran dengan isu-isu kontroversial mengenai hidup praktis (lihat Stenhouse, 1975).
Pertanyaan untuk penelitian kependidikan kemudian muncul, apakah ada atau dapat menjadi suatu tubuh pengetahuan beserta dengan atribut aspek-aspek dari gagasan-gagasan dan konsep-konsepnya? Karena hal ini merupakan prinsip dan teori-teori umum, merupakan mode penyelidian yang sering dianggap aneh, sebagaimana tes telah disepakati kebenarannya, karena telah  berkembang dan bertahan melalui berbagai macam kritik, percobaan, pengujian, refleksi dan sebagainya. Kemudian seseorang mungkin akan memanfaatkan dengan penuh keyakinan sebagai pembuat kebijakan atau sebagai seorang profesional dalam membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan. Tubuh Pengetahuan mungkin akan turun level menjadi tingkat yang cukup rendah dan tidak terlalu teoritis. Hal-hal tersebut memuat generalisasi tentang beberapa hal seperti misalanya efektivitas suatu sekolah. Hal ini dapat dipinjam dari ilmu-ilmu sosial, untuk menjadi teoritis dalam bahasa dan cara untuk menjelaskan.
Satu kritik mengenai penelitian pendidikan kemudian muncul, yaitu terdapat hal yang  terlihat tidak menjadi seperti badan pengetahuan. Terdapat hal yang kemudian tidak menjadi program penelitian jangka panjang, di mana para peneliti baru, membangun pondasi dari penemuan-penemuan yang sudah tua. Yang sekarang membaca Bruner atau Peel? Seberapa jauh pengetahuan lama hadir turut membangun penelitian Piaget (seorang struktural fungsionalis Perancis dalam bidang psikologi) dan Kohlberg (Pengembang Konstruktivisionis yang terinspirasi oleh Jean Piaget, Red)? Apakah penelitian yang baik sudah diraih oleh Stenhouse? Rintisan riset dan pemikiran Stenhouse menghilang bersama kematiannya di usia muda -atau Akankah akan dilanjutkan oleh murid-muridnya setelah kematiannya? Oleh karena itu terdapat pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dipertanyakan tentang sifat pertimbangan profesional dan hubungan tersebut demi perkembangan pengetahuan melalui berbagai penelitian.
* * *
Pring telah menekakankan pada kunci dan konsep-konsep penting dalam berbagai pemahaman tentang riset. Khususnya dengan melansir pendapat seseorang yang telah memberikan beberapa konsep-konsep yang secara mendalam mempengaruhi praktek penelitian dan kepercayaan seseorang untuk memberikan kesimpulan-kesimpulan.
Di sisi lain, seseorang dapat mengatakan “dunia nyata” dapat diteliti, dengan keberadaannya secara independen terpisah dari kehendak peneliti, dan mengikuti prosedur yang layak (objektif), dan hal ini membuat pernyataan-pernyataan yang dapat di-verifikasi dengan demikan dapat ditampilkan menjadi sesuatu yang “benar”. Sementara kebenaran yang tergantung pada fakta-fakta dengan sedikit canggung dalam menentukan apa yang dapat dikatakan secara benar. Selanjutnya, akumulasi pernyataan yang benar mungkin memandu menuju sistem yang tersurat dan penjelasan (a body of knowledge) serta dalam sorotan kritik dan bukti-bukti lebih lanjut, akan terus berubah. Namun perubahan tersebut akan menjadi semacam proses pertumbuhan dan perkembangan, setiap tahap tidak berhasil menggabungkan tetapi juga mengembangkan menjadi lebih kompleks daripada sebelumnya.
Di sisi lain, hal ini tidak hanya dapat dibahas hanya salah satu ketika membahas realitas independen dari peneliti. 'Reality' merupakan konstruksi sosial, dan batas-batas antara tujuan dan subjektivitas menjadi kabur. Terdapat banyak realitas karena terdapat banyak konstruksi sosial, dan tentu saja peneliti menjadi bagian dari dunia yang akan diteliti, dan kebenaran bukan lagi hubungan antara pernyataan dan fakta-fakta dari sekitar pernyataan, melainkan hasil dari negosiasi dan kesepakatan pada ranah yang harus dianggap sebagai nyata.
Pring (2005: 82) ingin berpendapat bahwa hal tersebut di atas sebenarnya jauh lebih rumit. Hal initercermin dalam analisis konsep-konsep yang berbeda. Pembahasan mengenai konsep-konsep tersebut memang tidak akan berhenti di sini. Namun ada hal yang telah terpotong, yaitu, tempat dari common sense dalam evaluasi sebagaimana yang dikatakan penelitian. Kritik Pring terhadap Mr Blunkett, penelitian yang tidak mengukur sampai pada nalar, itu pasti akan ditolak. Namun siapa yang memiliki akal sehat dalam pikirannya? Sebuah pertimbangan ini akan membantu kita untuk lebih dekat dengan sifat penelitian pendidikan - yaitu, penelitian yang lebih masuk akal dari praktek pendidikan.

Referensi
Ayer, A. J. (1956) The Problem of Knowledge. London: Penguin.

Bruner, J. (1960) The Process of Education. Cambridge: Harvard Press.

Pring, Richard, (2005) Philosophy of Educational Research, Second Edition. London: Continuum

Popper, K. (1972) Objective Knowledge: an evolutionary approach. Oxford: Oxford University Press.

Scheffler, I. (1965) Conditions of Knowledge. Chicago: Scott. Foresman.

Stenhouse, L. (1975) An Introduction to Curriculum Research and Development.London: Heinemann

Woozley, A. D. (1949) Theory of Knowledge. London: Hutchinson.